Bab 2

Sejarahnya, Kuil Cahaya merupakan bangunan yang dibangun oleh Malaikat Algojo—Argus—untuk melatih para pemuda-pemudi menjadi petarung hebat. Mereka diharapkan sebagai tunas yang dapat membela keadilan, berjuang sebagai rakyat Moniyan. Letaknya jauh dari ibu kota, meski begitu kuil ini menjadi salah satu bangunan yang sangat penting di kerajaan. Seiring berjalan waktu kuil ini menjadi pelatihan Pemburu Iblis resmi yang dikoordinasi dan dipimpin oleh seorang pria yang dipanggil dengan gelar Petapa Agung.

Pria itu sangat dihormati di Moniyan, bahkan pihak keluarga kerajaan. Meski begitu tidak ada yang tahu pasti identitas aslinya seperti apa. Bahkan para Pemburu Iblis yang tinggal di sana. Setiap melakukan pertemuan, Petapa Agung selalu menggunakan jubah putih yang menutupi seluruh tubuhnya yang kurus dan jakung, mengenakan penutup kepalanya yang tak ditumbuhi sehelai pun rambut. Walau tampak misterius, pria itu sangat disukai karena sikapnya yang wibawa dan bersahaja, ditambah suara basnya yang terdengar bersahabat.

Para pemburu yang berkumpul langsung memberi hormat padanya seketika tiba di ruangan. Dengan menaikkan telapak tangan, para pemburu itu menegakkan badan. "Iblis kembali menjarah Land of Dawn, begitu agresif. Kegelisahan semakin tersebar di mana-mana. Tidak hanya manusia, seluruh makhluk dan ras ketakutan, bertanya-tanya 'kapan mereka datang untuk menjarah?'"

Di depan ruang pertemuan, Petapa Agung membuka pidatonya di hadapan para pemburu pilihannya malam ini. Ia memberitahukan kondisi wilayah-wilayah yang telah hancur akibat pertarungan dengan abyssal, para pribumi yang mempertahankan tempat tinggal mereka dari makhluk menakutkan yang tiba-tiba menyergap. Dan beberapa kabar terbaru yang disampaikan para pemburu iblis di lokasi perkara.

"Karena itu, sebelum mereka beraksi, kita terlebih dahulu bersiaga. Misi kalian kali ini berjangka lama dari biasanya. Untuk para pemburu muda, kalian akan bekerja sama dengan senior. Mereka yang telah berpengalaman hampir sepuluh tahun, bahkan lebih. Kalian akan beregu kecil menuju lokasi yang ditentukan, memberi kekuatan, membantu para pribumi mengusir iblis-iblis agar kembali ke kandang mereka."

Setelah memberikan pidato, masing-masing nama para pemburu diumumkan bersamaan dengan daerah yang akan mereka tuju. Pertemuan besar berlangsung selama lebih kurang lima belas menit itu berakhir dengan tenang. Para pemburu langsung mengerti, bicara sebentar dengan rekan satu grup, kemudian kembali ke kegiatan masing-masing. Tentu mempersiapkan segala keperluan yang akan dibawa esok subuh, terutama mempertajam alat berburu agar dapat menebas kepala iblis dengan sekali ayunan.

Granger mengetuk pintu kamar Alucard. Pintu itu terenggang sedikit karena Alucard tengah mempersiapkan segala keperluan dan itu membuatnya bolak-balik dari kamar.

"Kau begitu fokus dengan misi sampai tidak menyapa junior," sapa Granger menahan langkah hanya sampai daun pintu.

Alis kanan Alucard naik dengan raut heran. Lalu menaikkan kedua bahu. "Oh, maaf. Aku tidak menyadarinya."

Seorang pemuda menampakkan diri dari balik punggung Granger. "Yahoo! Malam, Senior Alucard." Anak itu setinggi dengan Granger, tapi berdiri dengan sedikit membungkuk sehingga tampak agak pendek. Suaranya yang ringan dan riang ditahan agar tidak dianggap terlalu akrab. Ia takut sikapnya itu dibenci Alucard.

TangaAlucard yang tengah mengasah pedang berhenti bekerja, beranjak dari kursi, menghampiri keduanya. Ia mengulurkan tangan pada junior itu. "Alucard. Mari bekerja sama dalam misi ini."

"Kean Stov. Siap melayani Anda, Tuan!" Kean menjabat tangan Alucard, penuh semangat dan senyuman lebar. "Boleh kukatakan?" Ia bertanya pada Granger yang langsung dibalas dengan naiknya kedua bahu. Alucard menatapnya heran. "Isi hatiku jika dicurahkan sangat panjang, tapi singkatnya ... aku penggemarmu! Bukan—maksudku—aku sangat mengagumi—menghormatimu!"

Alucard berkacak pinggang, tertawa kecil. "Apa yang kau katakan, anak muda? Masih banyak pemburu yang lebih berpengalaman dariku. Kau tidak perlu kaku seperti itu. Dan aku merasa tidak pantas dikagumi."

Kean melongo dengan mulut terbuka, cukup membuat seekor lalat masuk. "Benar yang kau bilang, Granger, orang ini tidak menakutkan!"

Granger memalingkan wajah sehingga tertutup setengah oleh dinding, tubuhnya bergemetar kecil karena menahan tawa. Sementara Alucard ikut mengangakan mulut mendengar pernyataan Kean. "Apa rumor aku menakutkan masih tersebar?"

"Bukan rumor lagi, senior. Tapi kau sudah permanen dengan julukan Serigala Penyendiri." Kean menjawab tanpa maksud buruk. "Bagi para senior mungkin itu panggilan karena enggan menyebut namamu. Mereka tampaknya tidak terlalu suka satu tim denganmu. Tapi bagi angkatan kami, julukan itu ... sangat keren!"

Wajah Alucard mengeras. Ia tidak tahu harus bereaksi apa mendengar pernyataan blak-blakan itu, tepat langsung di hadapannya. Selama ini yang ia tahu para pemburu yang bekerja dengannya tidak banyak bicara karena fokus pada misi, apalagi ia juga tidak suka banyak kata karena itu tidak peduli dengan kediaman mereka. Di sisi lain, Kean dan junior lain malah menganggap sikapnya itu keren.

"Keren?" Alucard tidak habis pikir. "Well, setiap orang punya penilaian yang berbeda. Aku tidak terlalu memikirkan pendapat orang lain, apalagi tentangku secara pribadi."

Kean menarik lengan baju Granger. "Gawat, Granger! Kalau aku wanita, mungkin aku sudah jatuh hati dengan kalimat kerennya tadi!"

"Kalau sudah akrab, aku tinggal berdua, ya?" Dengan wajah datar, Granger membalikkan badan hendak pergi. Kean menarik kerah jubahnya, hampir saja Granger tercekik dibuatnya. "Aku juga perlu bersiap-siap," keluh Granger.

"Aku juga! Tapi tidak pergi begitu saja, kayak mak comblang menyelesaikan pekerjaan mempertemukan dua insan," sindir Kean. Alucard spontan melangkah mundur. Kean langsung menyadari tingkah Alucard yang salah paham dengannya. "Bukan begitu, senior!" Ia kalap sendiri. "Itu hanya pengandaian! Yah, karena tadi di ruang pertemuan kau langsung pergi setelah mendengar pembagian misi. Aku belum pernah bicara denganmu sekali saja. Karena itu aku minta bantuan Granger menemuimu. Walau tidak begitu jelas, kalian berdua tampak akrab. Dari sekian pemburu yang ada di Kuil Cahaya, kau tampak lebih terbuka dan bicara lama dengan Granger."

Alucard terenyak. Lagi-lagi pendapat Kean—lebih tepatnya pendapat orang-orang di kuil yang dilontarkan kembali oleh Kean menyadarkannya. Selama ini ia tidak berpikir merasa sendiri, tapi ia sadar tidak pernah banyak bicara dengan banyak orang. Bahkan komunikasi hanya pada orang-orang tertentu. Selama hampir tujuh tahun tinggal di Kuil Cahaya ia tidak sekali pun mencoba untuk bercengkrama akrab, duduk bersama dalam jumlah lima bahkan lebih, membicarakan masalah-masalah sepele atau saling bertukar cerita dengan para pemburu lain.

"Sebegitu sepikah, aku?" herannya pada diri sendiri.

Ia melihat Granger. Pria sepantar dengannya itu tipe pendiam, sama halnya dengannya yang tidak terlalu banyak bicara, baik saat misi maupun di luar misi. Tapi kenapa Kean lebih akrab cepat dengan Granger. Sebelum pertanyaan itu membuatnya bingung, sedetik jawaban telah muncul di benaknya. Meski Granger tampak pendiam, auranya tidak mengintimidasi, terbuka dan tidak disangka mudah diajak bicara. Ia sendiri mengakuinya.

"Maaf sudah mengganggu persiapanmu, Senior Alucard. Kali ini hanya menyapa, esok pagi aku mohon bimbinganmu." Kean memberi hormat dengan kepalan tangan kanan menepuk pelan dada—tepat di jantung—sekali. "Apa pun yang kau perintahkan, akan kulaksanakan."

"Anak ini sangat berisik. Kalau perlu kusarankan membawa lakban menutup mulutnya." Granger mencoba bercanda. Kalimat barusan ia dapatkan dari teman sekamar Kean yang berpesan padanya dengan kalimat yang sama.

"Granger!" Kean bersungut.

"Sikapmu itu berbeda. Pada Alucard, kau menambahkan kata 'senior', sementara padaku tidak. Aku seangkatan dengan Alucard." Tidak disangka Granger selama ini merasa tersinggung dengan sikap juniornya itu.

"Kalau begitu kau tidak perlu memanggilku 'senior'," tambah Alucard. "Sudah kukatakan, kan? Tidak perlu formal. Panggil saja aku Alucard." Ia tidak masalah orang lebih muda darinya memanggil nama langsung tanpa embel-embel apa pun.

"Ya, kan? Kau sangat keren, Alucard!" Kean kembali terkesima dengan balasan Alucard yang bersahabat. "Ah, kalau begitu ... panggilan Alucard terlalu panjang. Bagaimana 'Alu' saja?"

"Hmm." Alucard bergumam, mempertimbangkannya.

Granger spontan menepuk dada Kean dengan punggung tangan agak keras hingga juniornya itu terbatuk. Ia sebal karena selama ini tidak pernah terpikir akan membuat panggilan singkat yang terdengar 'sangat akrab' itu pada Alucard. Pencetus panggilan akrab itu malah diusul oleh Kean yang baru bicara sekali ini dengan sang Serigala Penyendiri.

"Tidak masalah," jawab Alucard tampak tidak keberatan.

"Tuh, kan?" Kean membalas dengan menepuk punggung Granger keras-keras. "Kalau begitu selamat malam, Alu!"

Panggilan 'Alu' terdengar asing, terlalu menggelitik indera pendengarannya. Meski begitu ia tetap menerima agar tidak dianggap 'sombong' oleh juniornya itu. "Selamat malam, Kean."

Granger masih bergeming di depan pintu. Kedua alisnya naik. Entah apa ekspresi yang tergambar di wajahnya yang selalu tertutup oleh kerah hingga menutup hidung itu, Alucard tidak bisa menebak. Tetapi yang jelas Granger yang biasanya beraut datar itu seakan menertawai panggilan barunya.

"'Alu'.... Terdengar imut." Setelah berpendapat, Granger segera menghilangkan diri dari pandangan Alucard. Yah, sebelum pria itu mencekiknya—karena ia memang ingin melakukannya sebagai candaan.

"Sial kau, Granger! Sejak kapan kau dapat bergurau?"
.
.
.
.
.
Misi di depan mata. Para Pemburu Iblis hanya beristirahat paling lama dua jam karena mempersiapkan diri pergi sebelum matahari terbit. Itu yang dialami Alucard. Lebih dari itu ia sudah 'tidak sabar' memulai perjalanan dan tidak bisa tidur nyenyak, hanya menutup mata melepas sejenak penat setelah berbenah.

Ia sangat siap, lebih dari siapa pun. Pukul tiga ia mengenakan seragam pemburu kebanggaannya. Memasang sarung berbentuk cakar 'Demonic Claws' di tangan kanannya, menyarungkan pedang yang kemudian bertengger dikaitan pinggangnya.

Sebelum keluar kamar, ia kembali menatap selembar foto keluarga. "Pekerjaan ini lebih dari sekedar balas dendam," ia mengingatkan diri kembali. "Kewajiban yang harus diemban. Bukan demi Raja Cahaya maupun kerajaan, tapi untuk diriku sendiri setelah kalian pergi."

Alucard tidak pernah membawa foto itu maupun lambang keluarga seperti yang dilakukan kedua orangtuanya dulu. Ia lebih mementingkan membawa keberanian, kekuatan mental, alat untuk berburu, dan rencana. Hal-hal sensitif tidak akan efektif dibawa ke medan perang.

Di depan kuil, para pemburu sudah berkumpul sembari meregangkan otot. Anak-anak yang tinggal sebagai pelayan membawakan mereka masing-masing kuda yang telah dipersiapkan khusus untuk menjalankan misi. Kuda-kuda itu telah dikenakan zirah dengan bahan logam khusus dan sihir pertahanan agar tidak mudah tumbang saat pengendalinya bertarung dengan iblis. Begitu pula Alucard, ia menerima tali kuda dari seorang anak berusia sepuluh tahun.

"Kuda untuk Anda, Tuan."

"Trims, Hex." Alucard mengelus hidung kuda yang sudah menjadi rekannya selama tiga tahun belakangan ini.

Kean menghampiri Alucard, masih dengan kuapan besar. "Pagi, Alu!"

Alucard menyelingar akan sikap Kean yang sudah terbiasa memanggilnya 'Alu'. Tapi ia bersikap tidak peduli. "Dengan menguap lebar, aku tidak yakin kau bisa fokus memulai misi."

Kean tersenyum lebar. "Tidak masalah. Ngantuknya akan hilang setelah menggerakkan badan!" ucap pemuda itu optimis.

Alucard menaikkan kedua bahu. "Cari kudamu," suruhnya agar bersegera. "Dan fokus. Dalam waktu tidak lama, kita akan berangkat. Kau masih ingat misi kali ini?"

Seorang anak pelayan lain membawa kuda, menyerahkan talinya pada Kean. "Mengintai lokasi yang berkemungkinan diincar para iblis. Bergerak jika mereka mulai beraksi. Dan memusnahkan para makhluk tidak beradap itu," jawabnya mantap.

Alucard mengangguk, membenarkan jawaban Kean. "Enchanted Forest dikuasai oleh para Elf. Mereka makhluk tertutup, tidak begitu menerima bantuan dari manusia. Ada kemungkinan mereka akan mengusir jika kita bertindak terlalu jauh. Kau paham?"

Kean memberi hormat. "Paham, Kapten!"

Granger menghampiri keduanya dengan mengiringi kudanya dan beberapa pemburu lain di sampingnya. "Kita sama-sama pergi ke Enchanted Forest. Sampai diperbatasan pergi bersama?"

"Tidak masalah," balas Alucard. Timnya dengan tim Granger ditempatkan di dua titik yang berbeda, namun berdekatan. Alucard dan Kean ke Dark Forest, sementara Granger dan dua pemburu muda ke Deep Forest.

Terdengar kikikan kuda dari barisan depan. Para pemburu paling senior telah menaiki kuda masing-masing, berteriak untuk membakar semangat para pemburu muda. Mereka terlebih dahulu pergi sebagai pembuka.

"Kita juga pergi," ingat Granger.

Alucard dan yang lain mengangguk setuju. Mereka segera menaiki kuda dan menarik tali kekang dengan kuat. Kuda-kuda memekik seakan ikut bersemangat, menghentakkan kaki-kaki depan dan melangkah semakin kencang.

Para Pemburu Iblis berangkat dari Kuil Cahaya, meninggalkan teritorial Kerajaan Moniyan. Kecepatan lari kuda membawa mereka bagaikan anak panah yang melesat ke titik-titik yang dituju dengan tepat.

Di pelataran kuil tinggallah Petapa Agung dan para pelayan yang masih anak-anak itu mengepalkan tangan bersama dan berdoa.

"Semoga Raja Cahaya melindungi kalian semua—anak-anaku—para Pemburu Iblis yang terhormat. Amin."

[]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top