Bab 1
Kenangan dari orang yang dicintai begitu berharga daripada uang maupun emas. Ia terus tersimpan dalam ingatan bagaikan berlian di dasar lautan. Bagai dua koin yang saling bersanding, kenangan indah layaknya permukaan nan sangat halus berkilauan yang membuat sang pemilik tergoda untuk mengenangnya terus, namun begitu keras hingga tidak dapat dilupakan terutama kenangan buruk yang membekas. Sekali memilikinya, ia tidak akan pergi dari benak.
Itulah definisi kenangan bagi Alucard, seorang pemuda yang sedang bersinar akan posisinya sebagai Pemburu Iblis, yang tidak bisa diganggu gugat. Waktu bersama orangtua ialah hari-hari yang sangat berharga yang tidak akan kembali. Ia baru menyadari hal tersebut setelah kehilangan keduanya.
Satu-satunya benda peninggalan orangtuanya ialah lambang keluarga yang tersemat di dada, yang selalu dibawa setiap pergi menjalankan tugas sebagai Knight's Order-kesatria kerajaan yang terpilih demi memenuhi perintah raja atas nama Raja Cahaya. Lambang itu bukanlah kenangan yang berharga, justru momen menemukannya merupakan pengalaman tragis yang selalu membekas dalam hati. Ia tidak ingin mengingatnya meski tidak bisa. Karena sepedih apa pun kenangan itu menjadi alasan yang membuatnya dapat berdiri hingga kini.
Namun bukan lambang itu yang menjadi peninggalan berharga baginya, hanya selembar foto yang menggambarkan kedua orangtua dan dirinya yang masih dalam gendongan. Foto itu sengaja ia ambil dari rumahnya dulu yang sampai saat ini terjaga di balik seragam, di dalam kantong kecil dekat dada. Baginya foto itu sebuah pengingat diri selain dari tujuan dan misinya, amarah yang terpendam, tapi juga penahan diri bahwa ia juga manusia yang bisa saja khilaf. Dendam dan amanah misi sebagai Pemburu Iblis yang diembannya.
"Seluruh iblis harus dimusnahkan di tanah ini."
Tekadnya bulat. Tidak akan ada yang bisa menggeser perasaan itu dalam hatinya. Alucard telah bersumpah atas dendam, darah orangtua yang mengalir dalam dirinya, dan demi kedamaian tanah Land of Dawn. Dengan menghunuskan pedangnya ke tubuh para iblis, begitu cepat, tajam, dalam dan mematikan.
Kuil Cahaya merupakan tempat lahirnya para Pemburu Iblis. Kebanyakan dari mereka adalah anak-anak korban peperangan yang telah ditinggal orangtua, tanpa adanya yang mengasuh. Di sinilah Alucard tinggal. Setelah berlatih seorang diri, ia istirahat di bangku yang bernaung pohon yang rindang sembari menatap foto keluarga. Selalu mengingatkan diri kenapa ia ada di sini dan apa tujuannya.
Cahaya matahari sore menyusup ke sela-sela pilar Kuil Cahaya, menyisihkan bayang-bayang panjang pada lantai dan dinding bangunan tersebut. Sinarnya jua membuat sosok yang perlahan melangkah ikut membayang dan menutupi eksistensinya bagaikan siluet. Alucard mendongakkan pandangan, menatap seorang pemuda yang berdiri membelakangi matahari, tepat di sebelah kirinya.
"Granger," sapa Alucard terlebih dahulu. Ia segera menyimpan foto keluarga yang beharga ke saku kembali. "Baru kembali dari misi?"
Granger, pemuda seusianya juga seorang Pemburu Iblis, mengangguk sekali. "Misi selanjutnya tengah menunggu."
Alucard setuju. "Kau benar." Ia berdiri dan menyarungi pedangnya. "Salah satu visi Pemburu Iblis, tidak ada misi terakhir. Tampaknya kau datang membawa pesan dari Petapa Agung."
"Seperti dugaanmu. Tidak hanya kau, aku juga. Tapi...."
Alucard melirik Granger heran. "Ada keperluan lain?"
"Ya. Untukmu. Ada seseorang yang tengah menunggumu di gerbang barat." Granger menunjuk dengan ibu jari ke balik punggungnya.
Alis kiri Alucard naik, gestur bertanya 'siapa?'. Granger mengikuti sikapnya, menjawab dengan bahasa tubuh 'kau akan tahu jika ke sana' dengan menggerakkan kepala ke arah yang dimaksudnya tadi. Alucard menghela napas pasrah. Ia menepuk pundak Granger dua kali sebelum melangkah pergi.
Setiap langkah meninggalkan halaman kuil Alucard bertanya-tanya dalam hati, siapa yang ingin menemuinya di saat menjelang malam akan tiba? Dan lagi ia tidak punya janji bertemu dengan siapa pun hari ini. Teman atau kenalan? Entahlah. Bisa dianggap setelah mengabdikan diri dan berlatih di Kuil Cahaya, ia telah memutuskan semua hubungan dengan dunia luar. Walau misinya menyelamatkan manusia dari penjarahan para iblis, tujuan utamanya hanya membunuh makhluk dari Abyss itu, tidak lebih.
Dari jauh Alucard sudah menerka siapa yang tengah berdiri di sana. Sosoknya menjadi siluet karena terkena sinar matahari senja. Emosi dalam hatinya berkecamuk hebat. Sempat langkahnya terhenti dan berkeinginan berbalik, ia enggan bertemu dengan pria itu. Namun nasihat Petapa Agung terngiang di benaknya, ia tidak boleh dikendalikan oleh emosi. Jika ia bisa tetap tenang menghadapi para iblis dari Abyss yang sangat menakutkan itu, ia tidak boleh menyerah hanya karena satu orang. Meski begitu ... dendam dalam hatinya terus mendesak keluar.
Alucard melangkah dengan tenang menghadapi pria yang jelas-jelas bukan musuh Kuil Cahaya maupun musuh kerajaan, tetapi orang yang sangat dibencinya. Sampai kapan pun. Dan pria itu juga mengerti akan perasaan Alucard dan sejarah hidupnya. Ia tahu dibenci oleh pemuda itu. Meski begitu ia berdiri tanpa gentar di depan seorang 'bocah' yang dibayangi oleh masa lalu suram menghantui di balik punggungnya.
"Alucard," sapa pria itu.
Alucard berdengus sebal. Pria itu hadir dengan seragam dan atribut lengkap sebagai seorang kesatria kerajaan. Berdiri dengan raut tenang di depan batang hidungnya. Seolah tidak pernah memiliki rasa malu maupun bersalah. "Tuan Paladin Tigreal. Sebuah kehormatan bertemu dengan jenderal tertinggi Knight's Order." Walau berkata begitu, Alucard tengah mengejek lawan bicaranya. "Apa yang diinginkan seorang kesatria kepercayaan raja datang ke Kuil Cahaya? Menemuiku secara pribadi? Menarik!"
"Kabar yang kudengar kau mencapai peringkat tertinggi sebagai Pemburu Iblis. Di usia yang masih muda, pencapaianmu sangat patut dibanggakan." Tigreal berusaha berbasa-basi.
"Tidak ada peringkat bagi kami. Semua pemburu sama, tidak ada perbedaan. Kami sama-sama menerima misi, melaksanakannya, menyelesaikannya sesuai protokol. Tidak seperti para kesatria kerajaan yang menginginkan jabatan tertinggi seperti yang Anda pegang kini."
"Meski begitu, namamu sering menjadi buah bibir. Dalam hal baik. Prestasi yang kau raih selama menjalankan misi selalu disanjung oleh Petapa Agung di istana."
Seorang jenderal besar datang ke hadapannya hanya untuk memberikan pujian? Alucard tidak berpikir demikian. Ia bahkan tidak besar kepala dengan semua pernyataan yang keluar dari mulut Tigreal. "Kesampingkan mulut manismu, Tuan Paladin. Apa bisnis sebenarnya yang ingin Anda sampaikan pada seorang pemburu?"
"Aku ingin kau bergabung dalam timku," jawab Tigreal tanpa perlu bertele-tele lagi. Nada yang tegas dan penuh kepercayaan diri. Ia yakin permintaannya dapat dimengerti baik oleh pemuda di hadapannya.
"Tim? Maksudmu ... Knight's Order?" terka Alucard dengan intonasi cemooh. "Tindakan Anda sudah terlalu jauh, Tuan Paladin. Apa yang Anda harapkan pada seorang Pemburu Iblis sepertiku?"
"Kau sangat berbakat, Alucard. Aku butuh kekuatanmu dalam ekspedisi-"
"Sebaiknya kau tahan ucapanmu!" Mendengar kalimat terakhir Tigreal membuat emosinya tak lagi tertahan. "Aku tidak akan pernah bergabung dengan timmu maupun Knight's Order."
"Aku sudah menerkanya, kau tidak akan pernah mau bergabung selagi aku ada di Knight's Order. Itu karena kau masih ... membenciku." Tigreal menatap balik tatapan tajam yang diberikan Alucard dengan raut iba. "Kau masih dihantui masa lalu."
"Itu bukan alasan. Tapi memang benar! Dan itu semua karena kau. Kaulah penyebab orangtuaku mati. Jangan pernah lupa akan kenyataan itu." Alucard menekan setiap kata terakhir dengan tegas.
Tigreal sempat membuka mulut untuk membela diri, namun diurungkannya. Apa yang telah terjadi di masa lalu antara ia dengan kedua orangtua Alucard menyesakkan dada. Saat itu ia masih muda, terlalu berambisi dan besar kepala menghadapi sekelompok besar abyssal seorang diri. Bahkan ia tidak sadar akan nyawanya sendiri terancam. Ia tidak meminta pertolongan, tapi ayah Alucard menyongsongnya, melemparnya keluar dari gerombolan iblis. Sang istri, tanpa suara, menyusul sang suami. Keduanya bertempur dengan hebat untuk mengulur waktu agar para kesatria yang tersisa mundur dari pertempuran. Semua itu terjadi dengan cepat. Andai saat itu ia memiliki waktu untuk memilih, ia tidak akan mengorbankan kedua nyawa mentor yang sangat dihormatinya itu.
"Dan sekarang kau ingin aku bergabung dalam kelompokmu? Untuk pengorbanan lain?" Cara bicara Alucard tenang namun menusuk. Bahkan Tigreal merasa rendah berhadapan dengan pemuda tersebut.
"Setiap individu Kesatria Kerajaan sudah menguatkan hati di awal dalam pengorbanan. Tidakkah Pemburu Iblis juga begitu? Kita sama-sama mengharapkan para iblis musnah di tanah kita ini." Tigreal mencoba mengendalikan pembicaraan agar harga dirinya tidak jatuh.
"Dari sudut pandang umum, iya. Tapi secara individu, kurasa itu tergantung." Alucard menyadari matahari segera terbenam. Suhu di sekeliling mereka mulai menurun. Dari napas yang terembus pun tampak bagai kumpulan awan tipis. "Aku tidak akan bergabung dengan timmu, Tigreal, apa pun yang kau iming-imingkan. Karena aku akan tetap seorang pemburu, sampai titik darah penghabisan." Telapak tangannya terlentang, menunjuk ke arah tangga. "Hari sudah malam, jika kau tidak ada keperluan lain sebaiknya kembali sebelum jam makan malam berakhir."
Tigreal menghela napas dengan berat. Tidak ada sedikit pun sikap Alucard melunak untuk ajakannya. Sebelum menemui pemuda itu empat mata langsung, ia punya ide untuk menemui Petapa Agung. Jika lewat pemimpin tertinggi para pemburu, kemungkinan permintaannya akan disetujui. Dan Alucard, jika itu atas titah Petapa Agung, pasti akan menerima bergabung dengan Knight's order meski dengan paksaan. Tapi ia tidak suka cara seperti itu. Ia ingin dengan dorongan hati sendiri Alucard bergabung.
"Baiklah." Tigreal menyerah. "Tapi, jika di kemudian hari kau tertarik untuk bergabung dengan Imperial Knight, aku akan dengan senang hati menerimamu. Kau sangat diharapkan menjadi kesatria kerajaan atas nama Raja Cahaya."
Dengan berat Tigreal melangkah, menuruni setiap anak tangga, menuju gapura yang menjadi pembatas kuil dengan lingkungan luar. Ia menaiki kuda, mengendarainya dan pergi meninggalkan Kuil Cahaya.
Sementara Alucard terpaku di tempatnya berdiri, mengamati sosok Tigreal hingga tidak lagi dapat terlihat oleh kedua matanya. Malam pun menyelimuti Kuil Cahaya. Suhu semakin dingin hingga dapat menggigilkan tulang. Cahaya dari obor sihir di setiap pilar menyala dengan terang. Dengan langkah berat Alucard menelusuri lorong-lorong dingin dan sepi itu. Ia ingat pesan Granger, Petapa Agung membutuhkannya. Itu berarti misi terbaru. Ia pun bersegera menuju ruang rapat para pemburu yang biasa digunakan untuk menerima misi.
[]
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top