3 | Bagaimana kalau....
Bab 3
Bagaimana kalau....
Ramalan cuaca di bulan Oktober merisaukan para murid. Pasalnya dalam bulan ini, bunkasai—perayaan festival sekolah—akan diberlangsungkan. Mendung yang mendatangkan gerimis saja menghilangkan niat pengunjung dari luar untuk mampir.
Mereka tidak ingin hal itu terjadi. Demi menangkal hujan, teru teru boozu terpajang serempak di jendela setiap kelas tanpa janji, hanya inisiatif individual.
"Ashita tenki ni nare,"[1] lafal Taketatsu Rina sembari menyatukan telapak tangan di depan wajah setelah menggantung boneka kecil dari kain putih tesebut.
Para murid laki-laki tertawa mendengar permintaan sang ketua kelas. "Seperti anak kecil saja."
Yumi yang ikut membantunya membuat boneka tersebut ikut tertawa. Rina merasa tersinggung, keningnya berkerut dengan pipi membulat sebal.
"Maaf, aku hanya teringat adik-adik di rumah membuat ini. Katanya supaya bunkasai kita tidak diganggu dewa hujan. Mereka ingin ke sini bersama ibu panti."
Raut Rina berubah lunak. "Ooh.... Kuharap mereka datang ke kafe kelas kita," ujarnya terharu.
Meski gadis itu terlihat sangar sebagai ketua kelas, ia sangat menyukai anak-anak. Terlahir tanpa saudara membuatnya kesepian, tidak ada yang diajak bicara di rumah maupun bertengkar karena hal sepele, seperti cerita yang didengar dari teman-teman yang memiliki saudara.
"Teru teru boozu, teru boozu. Ashita tenki ni shite okure. Itsuka no yume no sora no you ni. Haretara kin no suzu ageyou...."[2]
Tanpa keduanya sadari, Megumi yang sedari tadi ikut membantu telah membuat lebih dari sepuluh boneka dari sisa kain baju pelayan. Gadis itu malah bersemangat menjahit dan berdendang tanpa sadar akan hasil pekerjaan tangannya terlalu banyak.
Yumi segera menahan tangan Megumi yang ingin membuat satu boneka lagi.
"Sudah cukup, Shiraishi. Bukannya besok cerah, malah terlalu cerah. Bisa-bisa kita mati kepanasan."
"Di musim gugur?" heran Rina tidak mengerti maksud gurauan Yumi.
"Ah, maaf." Megumi yang termakan candaan itu pun menghentikan pekerjaannya. "Karena kebanyakan, bawa pulang ya?" ujarnya memberikan kesepuluh teru teru boozu pada teman-teman yang berada di jangkauannya.
Walau tidak penting, mereka menerima karena segan. Megumi tersenyum senang.
"Mari sama-sama berdoa semoga besok cerah!"
"Hari ini Shirai-chan ceria sekali. Ada apa, ya?" bisik Rina bertanya pada Yumi.
Yumi menaikkan kedua bahu, tidak tahu. "Ah, katanya kemarin dia dapat poster terbatas dari pembelian CD terbaru Venus."
"Poster?"
"Hm. Biasanya gambar poster sesuai dengan sampul CD. Kali ini beda. Hanya gambar Tomohisa atau Ryuuno, bisa dipilih jika stok masih ada. Karena itu Shiraishi begitu senang karena berpikir hampir kehabisan poster Tomohisa seorang."
Rina memiringkan bibir ke atas saking tidak percaya Shiraishi Megumi begitu fanatik dengan grup idola laki-laki yang kini tengah populer.
Sudah beberapa minggu ini Shiraishi Megumi terlihat lebih ceria dan terbuka pada teman-teman sekelas. Yang biasanya gadis itu selalu menjaga sikap, tersenyum simpul, dan tidak begitu banyak bicara. Ada yang menyangka perubahan karena perjalanan wisata yang mendekatkannya dengan yang lain.
Tapi bagi Ibara dan Kanemoto, dua gadis yang selalu ada di sisi Megumi, semua itu karena Hasegawa Yumi memonopoli. Mereka menyangka anak panti asuhan itu memiliki niat terselubung, sangat menginginkan kekuatan dari keluarga Shiraishi karena itu mendekati anak tunggal keluarga kaya tersebut untuk kepentingan pribadi.
"Pasti ada apa-apanya. Kudengar yayasannya sudah kehilangan donatur. Pasti dia ingin Megumi perhatian pada pantinya dan meminta orangtua Megumi menjadi donatur tetap."
"Tidak salah lagi. Sejak awal aku sudah tidak suka dengan sikapnya yang sok akrab. Ke mana-mana tersenyum. Menjijikkan."
"Anak itu harus terus diawasi."
"Kenapa tidak langsung kasih pelajaran? Biar tidak lagi terlalu akrab dengan Megumi."
"Kau ada ide?"
"Bagaimana kalau...."
Kanemoto membisikkan sarannya. Ibara pun mengangguk setuju.
Bagi mereka sosok Shiraishi Megumi sangat penting dalam kehidupan sekolah. Tanpa berada di dekat Megumi, keduanya tidak lagi menjadi pusat perhatian—karena pusat yang sesungguhnya telah menjauh di antara keduanya—itu berarti kepopuleran mereka terancam. Yang lebih penting adalah keakraban tersebut menjadi poin khusus untuk orangtua mereka.
Karena selain kaya, ayah Megumi, satu-satunya pewaris yang memiliki berbagai macam bisnis terkenal di Kobe, juga menjadi donatur usaha paling diminati oleh pembisnis kalangan menengah. Jika pria itu tahu anaknya memiliki teman akrab dengan anak-anak kolega, termasuk orangtuanya Ibara dan Kanemoto, tentu ia akan lebih murah hati pada rekan bisnisnya tersebut. Uang akan mengalir dengan sendirinya, dan usaha pun semakin lancar. Justru sebaliknya, jika keluarga Shiraishi tahu anak-anak kolega tidak lagi berteman dekat dengan Megumi, kemungkinan kecil sangat susah meminta dana tambahan.
Keduanya sepakat dan menyusun beberapa rencana. Begitu bunkasai selesai, mereka akan melaksanakannya.
Dua hari festival sekolah berjalan di bawah langit cerah. Entah berkat teru teru boozu atau harapan para murid yang dikabulkan oleh Tuhan, acara berjalan dengan lancar tanpa adanya kericuhan.
Setelah semua pengunjung pulang, di penghujung acara pada sore hari seluruh murid berbenah—baik di dalam maupun di luar gedung, mengumpulkan aksesoris-aksesoris sekali pakai yang menghiasi kelas dan stan, lalu membawanya ke halaman depan sekolah untuk dibakar. Sementara perlengkapan berbahan kain, plastik, kayu, dan bambu yang masih bisa dipakai tahun depan akan disimpan ke gudang.
Yumi melirik jam di layar ponsel. Gadis itu khawatir terlambat bekerja. Kemarin dulu ia telah meminta izin pada manajer konbini untuk tidak bekerja di hari bunkasai. Tapi pria berkepala empat itu berat hati memberi jatah libur dua hari berturut-turut. Apalagi mereka kekurangan karyawan. Karena itu ia hanya diberi libur kemarin, dan hari ini kembali bekerja dengan catatan boleh terlambat.
"Maaf ya, Take-chan, teman-teman, aku pulang dahulu," sesal Yumi yang telah mengganti pakaian pelayan dengan seragam. Sebelumnya ia telah meminta izin pada mereka karena tidak bisa membantu berbenah hingga selesai. Kini ia tinggal pamit.
"Ya sudah, sana." Taketatsu Rina memahami kondisi Yumi, mengizinkan temannya pergi terlebih dahulu.
Kanemoto menarik lengan Yumi yang hendak keluar kelas. "Setidaknya buang sampah."
"Tidak usah, Kane-chan. Biar anak laki-laki saja," sahut Rina.
"Apa salahnya? Dia kan keluar juga. Tanggung," balas Kanemoto sinis.
"Ya, tak apa, kok. Biar kubawa," ujar Yumi segera meraih sekantong sampah dapur.
Tidak terlalu berat, benaknya bersyukur bisa menjinjing sehingga tidak memperlambat langkah. Ia harus segera sampai ke konbini sekitar lima belas menit lagi, sementara perjalanan ke sana dengan sepeda butuh waktu yang sama.
Anak laki-laki justru senang pekerjaan mereka hilang satu. Dengan begitu tidak ada yang perlu ke belakang gedung, setelah berbenah mereka tinggal ke luar dan langsung pulang.
"Terima kasih, Hase-chan," sahut Rina telat karena Yumi sudah tidak ada di kelas.
Ia melirik pergerakan Kanemoto yang mencurigakan, tersenyum sendiri, diam-diam meraih ponsel dan mengetik sesuatu. Ia pun menoleh kiri-kanan. Tidak ada, gumamnya. Ia mendekati Megumi.
"Shirai-chan, kau lihat Ibara-chan?" tanyanya bisik-bisik.
Megumi mengedarkan pandangan. "Iya ya? Sepertinya sedari tadi Ibara-chan tidak ada. Kupikir ia pergi beli bahan tambahan. Tapi tak mungkin juga, kan? Soalnya sudah sore."
"Ibara meminta ganti waktu denganku. Dia sudah bebas tugas jam tiga tadi," jawab siswi yang tidak sengaja mendengar percakapan.
"Aneh. Aneh," gumam Rina membuat Megumi dan siswi itu kebingungan. "Aku keluar sebentar, lihat situasi. Kalian teruskan berbenah."
Rina mengendap-endap keluar kelas tanpa sepengetahuan Kanemoto. Merasa ada yang tidak beres dengan tindak-tanduk keduanya sebagai duo yang tidak pernah terpisah sedetik pun.
Megumi menyusul. Ia malah menyangka bahwa Rina mencemaskan Ibara yang kemungkinan mengalami kesulitan, sampai-sampai tidak juga kembali ke kelas di akhir acara.
Begitu tiba di belakang gedung sekolah, langit yang semakin oranye pekat memberi tahu Yumi bahwa ia harus segera bergegas. Tidak ada waktu untuk berleha-leha. Langkahnya semakin cepat menghampiri sepetak ruang penampungan sampah. Ikatan kantong yang dibawanya mengendur.
"Aduh, kalau begini bisa berserakan."
Ia pun mengikatnya lebih kencang sebelum membuka pintu penampungan tersebut. Kemudian tangannya memutar kenop, pintu terdorong ke luar.
Keadaan plastik-plastik sampah di dalam begitu rapi. Padahal ia kira anak-anak akan melemparnya begitu saja sehingga kelas yang terlambat meletakkan sampah mau tidak mau harus mendorong kantong sampah ke dalam agar semuanya muat.
"Apa karena hari ini bunkasai?" Karena itu para murid lebih memperhatikan peletakan sampah agar tidak merepotkan yang lainnya, begitu tambahnya dalam hati.
Tanpa ragu Yumi masuk, meletakkan kantong sampah agar ikut berbaris rapi di dalam. Perlahan tapi yakin ia mendengar suara daun pintu bergerak. Sepintas ia melihat ada seseorang di luar mendorong pintu. Benaknya berpikir cepat, selangkah tidak akan menggapai pintu sebelum tertutup, ia akan terkurung.
Sontak ia melempar kantong sampah dengan begitu kuat sehingga pintu tersebut kembali terbuka, bersamaan dengan pekikan seseorang yang terhempas dari sana. Dengan langkah cepat Yumi menahan pintu, lebih tepatnya membukanya lebar-lebar untuk mencari tahu siapa yang ingin menutup pintu padahal jelas ia ada di dalam.
"Ibara?" kagetnya melihat teman sekelasnya itu terduduk di tanah, mengiris kesakitan.
Siswi itu masih mengenakan seragam pelayan. Yumi mencoba berpikir positif terhadap gadis itu.
"Maaf. Apa aku mengejutkanmu? Kamu sempat berpikir pintu penampungan ini terbuka, ya? Makanya kamu datang ingin menutupnya. Padahal aku ada di dalam."
Yumi mengulurkan tangan, membantu Ibara berdiri. Namun gadis itu malah menangkis tangannya dan berdiri seorang diri.
"Kau juga sampah! Dasar murahan!" pekik Ibara tanpa aba-aba.
Mata Yumi terbelalak. Ia tidak mengerti mengapa Ibara memasang raut masam.
"Sekalian saja kubuang kau, dasar gadis tidak tahu malu! Apa yang kau inginkan dari Megumi, hah?"
Kening Yumi berkerut, tidak mengerti dengan perkataan Ibara. Sesaat ia tahu maksud hati gadis itu. Namun belum sempat membalas, seseorang memanggil namanya. Spontan Ibara berlari pergi walau namanya juga sempat disahuti.
"Kau tak apa, Hase-chan?" tanya Rina.
Yumi mengangguk.
Megumi yang menoleh tidak mengerti. "Memangnya Hasegawa-san kenapa? Tadi Ibara-chan, kan? Kenapa dia pergi? Kupikir dia kesulitan, makanya tidak juga balik ke kelas."
"Ya Tuhan, Shirai-chan, kau belum mengerti juga? Dilihat dari tindak-tanduk kedua orang itu jelas sudah bisa ditebak mereka maunya apa," ungkap Rina langsung berkacak pinggang.
Megumi tetap memasang wajah tidak paham. Rina menghela napas lemah.
"Tidak, tidak. Tidak akan kujelaskan. Biar kau tahu sendiri, Shirai-chan."
Menganggap diri sebagai pihak netral, ia tidak ingin menjelaskan apa yang baru saja terjadi. Sementara yang menjadi sasaran dengan sikap tidak acuh kembali meletakkan kantong sampah ke dalam dan menutup pintu baik-baik.
"Sempat beradu mulut?" tanya Rina penasaran.
Yumi sedikit menyunggingkan senyum. "Tidak. Kami hanya bicara," jawabnya sederhana.
"Kau itu selalu saja mudah menghindari perselisihan."
"Itu lebih baik." Yumi menepuk pundak Rina. "Terima kasih sudah mencemaskanku. Tugasku sudah selesai, aku pergi dulu ya."
"Itu, Hasegawa-san," tahan Megumi, "bisa tunggu sebentar? Aku juga ingin pulang."
Yumi melirik Rina. Ketua kelas hanya menaikkan kedua bahu, pertanda tidak mempermasalahkannya. Yumi pun mengangguk. "Baiklah. Kutunggu di depan gerbang."
Megumi mengangguk senang. Ia menarik Rina untuk kembali ke dalam gedung, kemudian berlari kecil menuju kelas.
Sementara Yumi mengambil sepeda di parkiran, menggirignya sampai ke depan sekolah. Ia sempat mengucapkan 'otsukaresama deshita' pada murid-murid yang dikenalnya yang berkumpul di tengah halaman depan.
Tidak lama menunggu, Megumi pun menghampiri, masih dengan seragam pelayannya. Yumi terheran-heran kenapa anak itu tidak menyempatkan diri bertukar pakaian.
"Tidak risi mengenakannya di luar sekolah? Nanti apa kata orang?"
Megumi tertawa pelan. "Mirip dengan baju idola, tidak? Aku ingin membiasakan diri mengenakan baju berenda seperti ini. Image simulation?" bergumam tidak yakin dengan istilah bahasa asing yang barusan diucapkannya.
"Ya ampun. Kamu itu benar-benar niat jadi idola, ya?" timpal Yumi yang mulai mengiring sepeda. Keduanya pun berjalan bersama.
"Tentu saja. Diam-diam di rumah aku latihan menari, lho. Aku membayangkan bentuk panggung di kamar dengan karpet, berdiri di tengahnya, lalu bernyanyi dan menari dalam lingkaran tersebut. Hehe, kekanakan ya?"
"Menurutku wajar," ungkap Yumi ringan. "Simulasi diri di atas panggung."
Megumi senang dengan kalimat-kalimat Yumi yang terkesan tidak merendahkan apa pun pendapatnya terhadap peridolan.
"Nah, Hasegawa-san, bagaimana kalau ... kamu juga jadi idola? Kento-kun kan seorang idola. Tidakkah kamu ingin seperti dia?"
Yumi tertegun sesaat. "Jadi idola, kah?" Ia tertawa kering. "Ya, aku suka sih bernyanyi. Tapi selama ini aku tidak pernah menari, kecuali waktu kecil aku ikut menari dalam perayaan obon. Aku tidak bisa membayangkan diri menjadi penyanyi atau pun idola. Tidak sesuai dengan image-ku yang suka ketenangan. Menonjol di antara orang-orang itu membuatku grogi."
"Tapi menurutku Hasegawa-san punya daya tarik tersendiri. Kamu mudah bergaul dengan seluruh teman di kelas."
"Yah, itu tidak ada hubungannya," sanggah Yumi.
"Seorang idola harus pandai bicara di depan umum. Sementara aku ... begitu payah dalam hal itu. Karena itu aku ingin kamu bergabung denganku membentuk grup idola!"
Yumi terperangah dengan permintaan Megumi. "Ta-tapi aku tidak bisa—"
"Kita bisa belajar mulai dari sekarang!" Megumi berujar penuh semangat. "Setelah lulus sekolah, kita kembali ke Tokyo. Belajar sungguh-sungguh di tempat pelatihan menari dan bernyanyi. Siapa tahu dengan begitu kamu bisa bertemu dengan Kento!" Megumi menggenggam kedua tangan Yumi erat, memasang ekspresi penuh harapan. "Bagaimana?"
Sesaat Yumi menelan semua perkataan Megumi bulat-bulat. Tidak ada yang salah dengan persepsi tersebut. Meski begitu tidak mudah baginya menganggukkan kepala. Ia harus memikirkan saran tersebut dengan kepala jernih. Yumi terperanjat begitu melirik bayang-bayang mereka semakin panjang. Ia melupakan satu hal.
"Ya ampun, aku telat pergi kerja!"
Megumi ikut kalap. "Waah, maaf. Sebenarnya aku tahu kamu terburu-buru, tapi aku ingin sekali mengatakan hal ini padamu. Maaf Hasegawa-san."
Yumi menaiki sepedanya, menggeleng pelan. "Tidak apa. Akan kupikirkan. Kalau begitu aku duluan ya."
Tanpa mengulur waktu lagi ia mengayuh sepeda sekuat tenaga. Megumi tertegun di tempatnya berdiri.
"Apa aku terlalu memaksakannya? Haah, habis begitu tahu saudaranya seorang idola membuatku semakin bersemangat."
Embusan angin di musim gugur melewatinya tanpa izin menerbangkan rambut panjangnya yang tergerai bebas. Suhu dingin menyadarkan bahwa pakaiannya kini tidak pantas dikenakan di luar ruangan.
Merasa sendirian tanpa kawan barulah Megumi merasa malu dengan rok pelayan di atas lutut—lebih pendek dari rok sekolah. Saking malu ia mempercepat langkah agar segera tiba di rumah sebelum langit berubah gelap.
"Total seluruhnya seribu dua ratus yen."
Sang pembeli menyerahkan selembar uang seribu dan dua koin logam seratus di atas meja kasir.
"Uangnya pas, ya?"
Yumi menerima uang tersebut, baru menyerahkan kantong belanjaan pada sang pembeli.
"Terima kasih banyak. Ke depannya silakan mampir kembali." Ia sedikit membungkukkan badan sebagai rasa hormat pada pelanggan.
Malam ini tidak begitu banyak pelanggan. Tapi saat ia tiba di konbini, manajer kewalahan seorang diri dengan kedatangan banyak pembeli dalam satu waktu. Belum sempat mengganti pakaian, hanya dengan mengenakan celemek khusus karyawan, Yumi menggantikan tempat manajer di kasir, dengan begitu pria tua itu bisa menyetok persediaan yang kurang.
Saat sibuk, ia tidak begitu mendengarkan lagu apa yang diputar. Kini ia bisa menerka judul dan penyanyi yang tengah berdendang memenuhi sudut konbini. Lagu berhenti diganti dengan lagu yang lain. Baru pertama kali didengarnya, namun iramanya sudah tidak asing. Begitu mendengar suara-suara yang dikenal, barulah ia menerka siapa penyanyinya.
"Cresendo, kah?"
"Kau suka?" tanya manajer yang baru saja selesai mencatat persediaan tersisa. "Ini lagu baru lho. Yaah, aku senang sekali mendengar suara anak remaja. Dengan begitu aku juga ikut merasa muda, lebih bersemangat bekerja."
Yumi tertawa kecil. "Judulnya apa ya, tencho?"
"Seishun yokose. Mereka meminta kembali masa muda yang tertindas oleh orang-orang dewasa. Dari judul saja keren, apalagi dentuman nada dan liriknya!" ujar manajer bersemangat. Ia pun berdendang sesuai dengan suara sang penyanyi.
Yumi tertawa melihat tingkah jenaka pria tua itu bergoyang dengan perutnya yang buncit. Manajernya itu tidak tahu malu, akan bernyanyi dengan suara cempreng dan menari padahal pelanggan meliriknya dengan tatapan aneh. Mungkin itu salah satu caranya menghilangkan penat seharian bekerja tanpa hari libur.
Semakin lama mendengar suara Kento, hati Yumi semakin perih. Ia sangat senang seketika tahu bahwa saudara kembar yang selama ini ingin ditemuinya itu malah menampakkan diri sebagai publik figur, penyanyi dan salah satu anggota grup idola laki-laki yang dikagumi banyak kaum hawa.
Namun lebih dari perasaan itu, sejak kapan sisi lain hatinya merasa iri atas apa yang telah diraih Kento kini. Saudaranya terkenal di mana-mana, hidup di bawah sorotan lampu, tentu kehidupannya berkecukupan dengan tinggal di apartemen mewah.
Berbanding terbalik dengan kondisinya yang harus banting tulang agar tetap sekolah, makan seadanya, dan menahan diri untuk tidak ikut fesyen yang sedang tren di antara teman-temannya.
Bukan berarti selama ini ia mengeluh dengan keadaan, hanya saja ia merasa tidak adil.
Mengapa ibu mencampakkannya?
Kenapa lebih memilih Kento dan membesarkannya hingga menjadi sosok yang sangat dikagumi banyak orang?
Apa benar ia dibenci karena lebih condong mirip ke ibu daripada ayah?
Mungkinkah karena biaya keperluan anak gadis lebih besar dari anak laki-laki, karena itu lebih efektif membuang salah satu ketimbang membesarkan dua anak?
Keluhan-keluhan negatif mulai meracuni pikiran yang selama ini sudah sangat lama dipendamnya. Pertanyaan-pertanyaan itu pernah terlontar di bibirnya saat beranjak duduk di bangku SMP. Ia pernah memberontak, tidak ingin pergi sekolah karena ditertawakan teman sekelas lantaran dirinya hanyalah anak buangan.
Hanya sekali ibu panti menjawab semua keresahan tersebut, dan sangat manjur memadamkan api dalam dadanya.
"Tumbuhlah menjadi wanita dewasa. Lalu carilah jawabannya sendiri. Lebih baik mendengar alasan sesungguhnya langsung dari bibir ibumu ketimbang menyimpan dendam seumur hidup. Meski pahit sekali pun, dengarkanlah. Tidak ada arti bagi seorang ibu meninggalkan anaknya tanpa alasan pasti."
Tanpa sadar lagu Cresendo berakhir. Ia menghela napas pelan, menjernihkan pikiran agar tidak terbawa suasana dalam bekerja.
Iya, Yumi, pasti ada satu alasan mengapa ibu lebih memilih Kento ketimbang dirimu. Saat bercerai dengan ayah, kondisi ekonomi kami tidak baik. Ibu terpaksa membuangku karena tahu aku bisa bertahan meski tanpa dirinya.
Kini Kento menjadi idola karena keberuntungan berpihak padanya. Ia dibesarkan di kota besar, tidak heran perekrutan menghampirinya. Jika bukan karena kesungguhan hati, ia tidak akan sukses seperti saat ini.
Sekali lagi Yumi menguatkan diri, mengalahkan sisi negatif yang sempat singgah ke dalam hati.
Catatan kaki:
[1] Semoga besok cerah
[2] Lirik lagu teru teru boozu
[3] kembalikan masa mudaku
Writer's corner
Ohayou~
Aku senang ada yang mampir di lapak baruku ini o (^‿^✿)o hontou ni arigatou gozaimasu!
Naskah Futago dakara ini sudah tamat, kemungkinan di tengah-tengah akan ada penambahan bab. Saat itu kemungkinan akan slow update. Semoga saja saat menuliskannya ada waktu dan mood bagus untuk menyelesaikannya ∩(︶▽︶)∩
Sering-sering mampir ke lapakku ya~ ヾ( ゚∀゚)ノ゙
Jyaa nee~
Koifumi
24 Maret 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top