2 | Rahasia terbesar

Bab 2
Rahasia terbesar

"Yumi-nee, oleh-olehnya mana?"

Begitu sampai di panti asuhan, anak-anak berusia sekitar lima sampai sepuluh tahun langsung mengerubungi Yumi, memeluk dari belakang, bergelayutan di lengan dan kaki, ricuh meminta oleh-oleh apa pun bentuknya dari sang kakak tertua.

Yumi menyerahkan tas berbahan karton tebal pada adik-adik panti tersebut. "Dibagi rata. Jangan pada berebutan, ya!"

Yang namanya anak kecil tentu langsung meloncat kegirangan menerima buah tangan tersebut. Mereka segera duduk melingkar, mengeluarkan seluruh isi tas jinjing tersebut, dan membagikannya hingga seluruh anak mendapat satu tanpa tersisihkan. Sementara Yumi menghampiri satu-satunya wanita yang mengurus Yayasan Hikari, menyerahkan oleh-oleh khusus padanya.

Ibu panti begitu terkejut dengan pemberiannya. "Yumi...."

Perasaannya tidak enak menerima barang yang dibeli dari hasil jerih payah anak asuhnya itu. Namun kata yang terlontar di mulut hanya nama anak tersebut. Ia juga tidak ingin membuat Yumi sedih akan penolakannya, karena gadis tujuh belas tahun itu tersenyum bahagia memberikan selembar tenugui padanya.

"Terima kasih."

Kata itulah yang diharapkan Yumi. "Sama-sama. Ibu suka dengan motifnya?"

Warna biru muda yang tepinya ada gambar pohon sakura dan kelopak-kelopak bunga yang gugur bagai diterbang angin. Sangat cantik, menurut sang ibu panti. Wanita itu mengangguk dan tersenyum. "Sangat. Terima kasih lagi ya."

Saat itu juga anak-anak mengucapkan hal yang sama pada Yumi. Mereka sangat senang menerima camilan dan mainan.

"Seharusnya tak perlu membeli oleh-oleh. Simpan uangmu untuk saat yang penting."

"Sesekali, Ibu. Tidak apa," jawab Yumi merasa sama sekali tidak keberatan. Justru melihat kebahagiaan kecil di wajah anak-anak itu sangat berharga baginya.

Ibu panti asuhan menghela napas. "Kamu selalu seperti itu. Selama ini tidak ada yang sesekali."

Ia ingat pertama kali Yumi mendapat gaji dari hasil kerja paruh waktu yang diniatkan membeli sepatu olahraga, namun gadis itu lebih mendahulukan kepentingan dua adik panti yang baru masuk sekolah dengan membelikan peralatan sekolah baru. Anak itu selalu saja mendahulukan orang lain ketimbang keinginannya sendiri.

Yumi tahu betul yang dipikirkan ibu panti. Namun baginya hal tersebut wajar sebagai kakak tertua di yayasan. Karena ia tidak bisa membantu lebih demi panti yang minim donatur.

Demi memenuhi kebutuhan mereka, setiap hari ibu panti membuat bento praktis dan kue yang dijual di beberapa konbini. Penghasilannya tidak begitu banyak tapi cukup menutup delapan belas perut.

"Jangan dipikirkan, bu."

Bagaimana tidak dipikirkannya? Meski wanita itu bukanlah ibu yang melahirkannya maupun ketujuh belas anak lainnya, tapi perasaannya tetaplah bagai seorang ibu yang selalu menginginkan kebahagiaan seluruh anak, bukan membebani mereka. Ia tidak tega meminta uang dari Yumi maupun anak-anak panti yang telah dewasa yang tinggal mandiri di luar sana. Bahkan tidak sanggup menyuruh mereka bekerja dengan alasan meringankan bebannya.

Dulu yayasan panti asuhan ini memiliki donatur yang selalu mengalirkan dana setiap bulan hingga anak-anak tetap hidup sejahtera meski tanpa orangtua. Namun enam tahun belakangan ini para donatur bagai hilang ditelan bumi, sama sekali tidak mendapat kabar sedikit pun. Ia maupun anak-anak yang lebih tua pun menjadi tulang punggung dengan bekerja sana-sini. Mungkin karena tindakan mereka membuat Yumi kecil terinspirasi untuk membantu setelah dewasa kelak.

"Pikirkanlah masa depanmu, Yumi. Karena ibu tidak bisa memberimu sepersen pun, simpanlah uangmu baik-baik. Setelah lulus sekolah tidakkah kamu ingin kuliah atau pergi dari kota ini?"

"Apa itu artinya ibu mengusirku setelah lulus sekolah?" tanya Yumi tersinggung dengan maksud tersirat ibu panti.

"Bukan begitu, sayang...."

Yumi menutup mata, menahan emosi yang tiba-tiba membuncah karena kalimat ibu panti barusan.

"Anak-anak seusiaku telah menemukan keluarga baru. Tinggal aku yang dianggap berpenyakitan karena warna mataku ini. Yah, benar juga, Ibu. Sudah dewasa seharusnya aku tidak lagi menyusahkan Ibu dan yang lain. Akan kupikir baik-baik ke mana harus pergi setelah lulus nanti."

"Yumi, bukan maksud ibu...."

"Yumi-nee, ikutan main kartu UNO, yuk?"

Tiga anak usia sepuluh menghampiri dengan sekotak kartu yang baru didapat sebagai oleh-oleh tersebut.
Yumi menyunggingkan senyum, menutupi rasa yang didera akibat perselisihan dengan ibu panti.

"Nanti saja, ya. Neesan capek."

Ia pun menjinjing tas, melangkah pergi dari ruang depan. Sedapat mungkin ia langsung menghempaskan badan ke kasur, mengistirahatkan fisik dan benak yang memenatkannya seharian ini. Apalagi, ia masih memikirkan salah satu anggota Cresendo yang diyakini sebagai anak laki-laki yang dikenalnya sejak dulu.

Mana mungkin aku bisa salah sangka. Pasti dia adalah ... dia.

Semester genap telah dimulai sejak seminggu lalu. Suasana sekolah, baik di luar maupun di kelas tidak ada yang berubah. Namun sebenarnya Megumi sudah gerah dengan sikap tidak acuh Yumi seketika ada di dekatnya. Gadis itu sejak pulang dari audisi sampai kembali bertemu di kelas tidak mengungkit sedikit pun tentang dirinya.

Setidaknya penasaran kenapa seorang Shiraishi Megumi sangat ingin menjadi penyanyi. Tapi keakraban biasa yang diperlihatkan Yumi seakan tidak terjadi apa-apa antara mereka berdua. Dan lagi, ada satu hal yang mengganjal dari sikap gadis itu saat pulang ke penginapan.

Karena itu ia tidak ingin lagi menghindar, pura-pura tidak tahu maupun menyangka Yumi hanyalah peralihan dari pertemanan yang telah ada. Ia bangkit dari kursi, membuat dua teman akrabnya terheran-heran.

"Maaf, hari ini aku tidak bisa makan siang bersama kalian."

Bersikap tidak acuh, Megumi menghampiri meja Yumi sembari membawa kotak bekal makannya.

"Hasegawa Yumi-san. Aku ingin bicara denganmu."

Spontan diajak bicara oleh murid populer mengguncang seisi kelas. Teman-teman yang biasa makan siang dengan Yumi pun takjub dibuatnya. Sementara siswi yang disebut itu menyunggingkan senyum dengan santai.

"Silakan. Sekalian makan siang bersama kita."

Megumi menggelengkan kepala satu kali. "Tidak. Kita bicara di luar. Empat mata," ujarnya tegas. "Sekalian bawa bekalmu."

"Begitu penting?" bingung Yumi tidak jadi membuka pembungkus kotak bekalnya.

Megumi sudah tidak sabar lagi. Ia menarik lengan Yumi agar ikut dengannya. Dengan gerakan terbata-bata, tapi tidak melupakan bekalnya, Yumi mengikuti permintaan Megumi tanpa bertanya lebih lanjut.

Ada sekitar tiga menit berlalu tanpa suara begitu Megumi memilih bangku panjang yang melingkari pohon besar di halaman tengah sekolah. Yumi tampak canggung, merasa teman sekelasnya itu marah padanya.

Apa karena audisi lalu? Apa ia ketahuan ikut audisi di LightHouse kemarin ini oleh orangtuanya? Ada yang membeberkan hal itu padanya?

Yumi sangat memegang erat janjinya, tidak pernah mengungkit sedikit pun tentang audisi maupun rumah produksi musik LightHouse tersebut pada siapa pun.

"Itu..., Shiraishi-san? Apa aku melakukan kesalahan?" tanyanya dengan kalimat begitu formal.

Megumi menurunkan sumpit ke kotak bekal agak kasar. Hampir saja Yumi terperanjat dengan suara hentakan kecil itu, menyangka terkaannya benar.

"Aku senang kamu tak bicara apa pun pada yang lain soal aku ikut audisi. Kamu menepati janji. Tapi tidak begini juga, kan? Setidaknya kamu penasaran dan bicara padaku, bukan mendiamiku seakan hari di mana kita akrab itu hanya ilusi."

"Ah, begitukah?"

Yumi tidak menyangka hal seperti itu membuat Megumi tidak nyaman. Ia pun merasa lega karena persepsinya keliru.

"Yah, kalau aku langsung bicara akrab denganmu tiba-tiba, apa kata teman-teman? Bisa-bisa aku dianggap cari muka dengan Nona Besar Shiraishi, tahu?"

"Kamu segan bicara padaku?"

Yumi bergumam 'iya' dengan santai.

"Tapi sikapmu yang begitu tidak acuh itu tidak terlihat segan sama sekali, tahu?" timpal Megumi sebal.

"A-aah.... Maaf kalau begitu." Yumi merasa tindakannya tidak tepat. "Sudah terbiasa."

Megumi mengembuskan napas agak kasar. "Pertama kali bicara denganmu, kupikir kamu itu beda dengan yang lain. Memandangku seperti teman-teman yang lain, bukan karena aku anak dari keluarga Shiraishi. Karena itu, aku meminta tolong padamu menemaniku ke tempat audisi. Aku pernah bicara pada Ibara-chan dan yang lain, iseng-iseng bertanya seandainya aku menjadi penyanyi. Apa reaksi mereka? Tertawa. Memangnya lucu, ya? Apa aku benar-benar tidak cocok jadi seorang idola?"

Yumi tetap mengunyah makanannya, setelah menelan ia tidak bersuara sepatah pun. Kedua matanya memandang ke langit yang cerah.

"Idola...kah?" gumamnya. "Hm, kurasa siapa pun bisa menggapai impian asal berusaha."

"Tapi sepertinya memang tidak cocok, ya? Buktinya aku gagal di putaran pertama." Megumi terkekeh hambar. "Saat nomorku disebut, jantungku berdegup tidak karuan. Suaraku tidak keluar begitu baik saat bernyanyi. Para juri langsung menggelengkan kepala."

"Setidaknya kamu sudah mencoba, kan?"

Pertanyaan Yumi dijawab dengan anggukan pelan.

"Nah, karena sudah mencoba, kamu sudah dapat gambaran audisi seperti apa. Tinggal diulang lagi tahun depan. Kata orang bijak, kesempatan memang tidak datang untuk yang kedua kali, tapi pengalaman memberikan arti. Jangan menyerah."

Hampir saja Megumi meneteskan air mata mendengar kata bijak tersebut. Meski begitu ia sesenggukan, mengangguk terus-terusan.

"Makasih.... Aku tak akan menyerah."

Yumi tersenyum, senang dengan keteguhan hati Megumi. "Ah, enak ya punya mimpi?" Ia teringat perselisihan kecilnya lalu dengan ibu panti. "Sampai detik ini aku bingung harus melakukan apa setelah lulus sekolah." Tangan kembali bekerja, menyumpit telur gulung dan menyuapnya dengan lahap.

"Memang tidak ada yang ingin kamu lakukan?" heran Megumi. Ia ikut menyantap bekalnya sendiri.

Keduanya pun kembali bicara bagai air yang mengalir lancar, sembari menghabiskan bekal masing-masing.

"Hanya ingin bekerja dengan gaji agak besar untuk membantu keperluan panti. Tapi pekerjaan apa yang bagus, sama sekali tidak terbayangkan."

Megumi tertegun. "Begitu ya?" ujarnya pelan. "Hasegawa-san, kamu sudah membantuku, kan? Kalau ada yang kamu inginkan jangan sungkan bilang padaku. Aku ingin balas budi—ah, bukan maksudku buruk. Balas budi sebagai teman yang saling membantu. Begitu."

Yumi tertawa pelan dengan tingkah gelagapnya Megumi. "Terima kasih. Tapi saat ini tidak ada." Namun ia teringat satu hal. "Hm, mungkin ada satu."

Megumi menatapnya dengan serius. "Apa? katakan saja," pintanya penuh harap.

"Apa kamu punya video musik Cresendo?"

"Itu saja?"

Yumi mengangguk.

Tanpa bertanya lebih lanjut, Megumi menyisihkan bekalnya dan merogoh saku. Ia menghidupkan ponsel pintar yang sejak awal jam pelajaran dimatikannya. Dalam beberapa detik layarnya menyala, dan langsung menuju halaman menu.

"Sebenarnya tidak ada. Tapi MV STARLET ada Cresendo juga. Bagaimana?"

"Itu pun tidak apa."

Walau sebenarnya ia lebih ingin melihat lebih banyak sorotan layar pada salah satu anggota Cresendo untuk memastikannya. Kalau videonya STARLET yang berjumlah sepuluh orang, ia tidak yakin pemuda itu disorot lebih lama.

Megumi menyerahkan ponselnya pada Yumi begitu video diputar.

"Memang ada apa dengan Cresendo?" tanyanya heran. "Ah, jangan-jangan saat menungguku, kamu melihat mereka?"

Yumi menggeleng, jarinya telah menekan layar untuk menghentikan video tepat menampilakan satu wajah. "Iris matanya.... Benar," gumamnya semakin yakin.

Megumi mencondongkan badan, menatap apa yang diperhatikan Yumi. "Kento?" herannya mengapa teman sekelasnya itu tertarik dengan anggota Cresendo bernama Kento. "Kusarankan untuk tidak menjadi penggemarnya. Dia itu hanya bisa bermulut manis. Ya, meski aku akui tarian dan suaranya seksi."

Senyum menghiasi wajah Yumi. Ia tidak berkomentar apa pun, melanjutkan MV tersebut hingga selesai, lalu menyerahkan ponsel tersebut pada Megumi.

"Terima kasih."

"Hanya itu saja? Tidak ada hal lain yang kamu inginkan?"

Megumi semakin tidak mengerti dengan isi hati Yumi. Gadis itu hanya mengangguk puas. Tapi ia sama sekali tidak terima.

"Apa ... kamu mengenal Kento 'Cresendo' secara pribadi?" terkanya asal.

Yumi tidak membalas, sama sekali tidak bergumam 'iya' atau pun 'tidak'. Sangat misterius dan membuat Megumi sebal.

"Aaah, Hasegawa-san! Bicara, dong! Jangan buat aku penasaran!"

Yumi menatap dengan raut serius. "Apa kamu bisa menjaga rahasia sama seperti yang aku lakukan?"

Ia sudah tidak betah menyimpan perasaannya seorang diri. Jika ada setidaknya satu orang yang mengetahui rahasianya dan setia menutup mulut, dengan senang hati ia akan bercerita.

Megumi mengangguk dengan sepenuh hati. "Aku berjanji."

"Sebenarnya aku tidak begitu suka dengan iris mataku. Warnanya kuning seakan berpenyakitan. Padahal iris mata orang Jepang umumnya cokelat."

"Lalu?"

Yumi menyunggingkan senyum. "Coba kamu putar lagi video tadi, berhenti di pemuda tersebut. Lalu perbesar hingga menampakkan seluruh sisi wajahnya."

Megumi mengikuti permintaan Yumi.
"Nah, perhatikan iris mata pemuda itu."

Megumi terkejut bukan main saat mengamati sepasang iris mata sewarna dengan milik Yumi. "Tidak mungkin ini kebetulan, kan?" tanyanya pada diri sendiri.

Melihat senyum getir di wajah Yumi membuatnya dapat menarik kesimpulan.

"Apa kalian ... bersaudara?"

"Lebih tepatnya ... kami saudara kembar."

Setelah mengungkapkan fakta tersebut, tanpa beban Yumi pun menceritakan masa lalunya pada Megumi.

Catatan kaki:
(Jika ada yanh tidak tahu, tanyakan lewat komentar, ya. Karena untuk sementara catatan kaki tidak akan kutulis. Trims!)

Writer's corner:

Ohayou~
Apdet lagi ceritanya Yumi-chan! Hampir aja lupa 😅
Karena siang aku sibuk, apdetnya tiap Selasa pagi 👍

Semoga suka sama ceritanya Yumi~
Jangan lupa vote, dan tinggalin jejak dengan komen2mu ya 🤗

Koifumi
17/03/2020

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top