10 - Memori yang diyakininya
Bab 10
Memori yang diyakininya
Megumi kembali sesenggukan begitu keluar dari ruangan Cressendo. Ia sangat malu tidak pandai bekerja.
Benar kecemasan ibu seandainya ia bekerja, kini hanya menjadi beban bagi staf yang lain. Apalagi tadi sempat bertatap muka langsung dengan Kento, pemuda yang sangat ingin ditemui Yumi, ia sangat malu saat itu.
Tapi ia langsung membalikkan perasaan, mengingatkan diri sendiri demi mengubah karakternya yang pemalu dan lembek menjadi lebih berani dan mandiri.
Ditepuknya kedua pipi keras-keras, kemudian beranjak menuju dapur sesuai arahan Penanggung Jawab ruangan Cressendo.
Untung saja Penanggung Jawab di sana seorang wanita yang ramah. Ia lebih memahami perintah wanita itu yang mendetail hingga pekerjaannya semakin cepat.
Baginya pekerjaan di dapur hal yang sudah biasa. Ia malah lebih senang memasak hingga melupakan keinginannya bertemu dengan Tomohisa. Tidak disangka kerja paruh waktu pertamanya itu menguras tenaga.
"Akhirnya selesai," ungkapnya senang, duduk di kursi lipat dekat kulkas. Sejak kecil ia sangat suka menempelkan badan ke bagian kulkas yang dingin saat letih karena telah berjuang sesuatu.
Penanggung jawab katering memberinya segelas jus lemon. "Otsukare."*
"Terima kasih," sambutnya dengan senang. "Sejak awal kalau kerja sama Maihara-san pasti aku tidak semalu tadi," ujarnya kini bisa tertawa dengan ringan.
"Koto-san, penanggung jawab Cressendo memang sangar. Tapi kamu ketemu dengan tiga pemuda tampan kan?"
Megumi menganguk senang. "Ya, meski awalnya aku ingin ditempatkan di ruangan Venus, tapi ya begitulah...."
Ruang pertemuan Venus mempekerjakan orang-orang yang sudah dipilih Tomohisa langsung, jadi tidak ada staf asing di sana.
Megumi tidak tahu hal tersebut, ia menganggap karena tempat itu sangat sakral, hanya orang-orang tertentu yang boleh masuk.
Kemudian ia kembali teringat tujuannya ke acara ini untuk apa, buru-buru berdiri bagai orang kalap.
"Benar juga! Sudah selesai! Ya ampun, aku lupa! Yumi!"
"Kenapa?"
"Maihara-san, aku pergi dulu."
Dengan terpogoh-pogoh ia keluar, tidak sabar menaiki lift menuju lantai dua. Ia harus segera membawa Yumi menemui Kento. Ia tahu Yumi tidak akan pergi dengan sendirinya, perlu dorongan.
Karena itu ia harus ke atas sebelum Yumi semakin jauh mengumpat. Ia pun keluar dari lift begitu daun pintunya terbuka, berlari kecil di koridor.
"Ah!"
Seseorang yang menabraknya ikut terkejut, menangkap lengannya agar tidak terjatuh.
"Tak apa—kamu kan yang tadi?" ungkapnya tak sangka.
"Shuya-kun?" kaget Megumi heran kenapa salah satu anggota Cressendo ada di luar sendirian.
Shuya tersenyum menampakkan deretan gigi putihnya yang rapi. "Ketemu lagi ya? Buru-buru sekali? Mau ketemu kami lagi?" candanya.
"Iya," ungkap Megumi tanpa basa-basi.
Shuya terkejut dengan kejujurannya, lalu memasang senyuman menggoda.
"Kento-kun masih ada di ruangan kan?"
Mulut Shuya yang ingin merayu malah cemberut. "Uuh, malah Kenchin~. Aku kecewa. Sayang sekali, Sochin dan Kenchin sudah tidak ada di tempat. Kami pindah ke tempat istirahat lebih rahasia. Kalau kamu mau ketemu, beri tahu dulu alasan logis kenapa ingin bertemu. Kalau sekedar foto dan tanda tangan...."
Shuya mendekati Megumi perlahan. Megumi terkejut dengan suasana aura Shuya yang berbeda. Spontan ia mundur hingga tidak sadar langkahnya dibimbing Shuya hingga punggungnya bertemu dengan dinding. Pemuda itu mengunci pergerakannya dengan satu tangan diluruskan, menempel ke dinding tepat di atas pundaknya.
"Biar aku saja yang memberimu perlakuan khusus."
Wajah Megumi langsung memerah padam. Ia tidak sangka Shuya lebih agresif dari gambaran luarnya di televisi yang kekanakan. Secepatnya Megumi mendorong Shuya agar menjauh.
"Bukan hal aneh. Aku harus menemuinya—bukan aku, tapi Yumi."
Shuya menelengkan kepala tidak mengerti. "Yumi? Siapa?"
Megumi menggigit bibir, bingung harus menjelaskan dari mana. Ia berpikir Shuya temannya Kento, pasti tahu seluk-beluk latar belakang sesama anggota Cressendo. Tidak apa, benaknya meyakinkan. "Saudari kembarnya Kento-kun."
Shuya terpegun. Tangannya yang melekat ke dinding langsung terjatuh. "Coba ulang lagi kalimatmu tadi," pintanya dengan suara lemah.
Megumi menatapnya dengan ragu dan agak serius. "Saudari kembarnya Kento-kun...."
Shuya terbatuk sekali, tiba-tiba ia tertawa begitu keras sampai memegang perut. "Tung—yang benar aja! Sauda—saudari kembar?" Ia tertawa lagi dan lagi. "Baru pertama kali kudengar!"
Kali ini Megumi yang terkejut. "Sekali pun Kento-kun tidak pernah menyinggung kembarannya?"
Shuya menghentikan tingkahnya. Melihat ekspresi gadis asing di hadapannya yang begitu serius itu membuatnya berpikir dua kali. "Kau tidak berbohong agar bertemu dengan Kenchin, kan?"
"Kalau kau tanya siapa favoritku di STARLET, tentu saja Pangeran Tomohisa! Karena itu tidak mungkin bagiku beralih hati hanya dengan uluran sapu tangan!" ungkap Megumi berterus-terang.
Shuya kembali tertawa, tidak menyangka perlakuan khusus dan mulut manis Kento tadi terhadap Megumi tidak membuatnya jatuh hati. "Hei, kalau kau bilang begitu ke Kenchin, dia bisa patah hati."
Megumi terdiam, sadar kalimatnya tadi berlebihan. "Maaf.... Tapi, aku serius. Shuya-kun, bisakah aku minta tolong mempertemukan mereka?" Ia pun menyatukan kedua telapak tangan di atas kepala. "Kumohon!"
Shuya mempertimbangkannya. "Baiklah, tapi aku harus tahu kalau kamu berbohong atau tidak."
"Kalau ketemu Yumi, pasti kamu bisa melihat kemiripan mereka."
"Saudari kembarkah?" Shuya tidak bisa membayangkan Kento versi perempuan. Ia berpikir sejenak.
"Nah, aku ada ide. Kamu harus ikut rencanaku. Kamu bawa Yumi-chan itu, tapi kalian tidak boleh langsung menampakkan wajah, tidak sebelum Kenchin mengaku dari mulutnya sendiri kalau ia punya saudari kembar. Bagaimana?"
Megumi mengangguk setuju, sangat yakin Kento akan mengakui Yumi sebagai kembarannya. Karena ia percaya Yumi tidak salah prasangka.
"Setuju."
Sesuai rencana, Megumi mengajak Yumi, datang dengan diam-diam ke tempat yang dijanjikan Shuya.
Ketiga anak Cressendo duduk di koridor paling ujung, mereka tidak suka berdiam diri di dalam ruangan, begitu pengap bagi Sogo. Dan lagi Kento sedang ingin minum cola, mereka pun nangkring dekat vending machine.
Megumi bergerak agak ceroboh, hampir saja ia berbelok ke koridor di mana Cressendo berada. Untung saja dua personel selain Shuya duduk membelakangi arah mereka.
Setelah melihat Megumi dan seorang gadis lagi mengumpat di balik dinding Shuya pun beraksi.
"Hei, aku kepikiran soal penggemar yang datang tadi, mereka kembar, bagaimana pun ingin masuk bersama."
"Aah, saat itu staf di luar kewalahan."
"Tapi akhirnya dibolehkan."
Shuya mengangguk-angguk, menaikkan kepalan tangan ke dada. "Hm, rasanya enak ya punya kembaran. Ke mana-mana bersama, punya pakaian sama, selera sama, bisa saling berbagi kisah, suka dan duka," ucapnya terdengar dramatis.
"Bisa hancur dunia kalau kau ada dua," timpal Sogo bernada sebal.
"Benar," Kento setuju.
"Heee, kalian ini kejam sekali. Padahal kupikir kalau aku ada dua, dunia ini akan semakin ceria dan damai~."
Rengekan Shuya hanya dijawab dengan tawa oleh Kento dan Sogo.
Shuya bergumam. "Hm, kalau Sochin gimana? Seandainya punya saudara kembar?"
Sogo menilikkan pandangan, bersamaan dengan bibirnya, gaya berpikir yang dibuat-buat. "Pastinya seru, bisa bermain musik bersama."
"Kalau Kenchin?" selidik Shuya kemudian.
"Entahlah. Aku tidak mau bersaing wanita dengannya," jawab Kento ringan.
Shuya menepuk tangan sekali. "Nah, kalau seandainya kembaran kita perempuan? Bagaimana pendapat Sochin? Punya saudari sama-sama tegas?"
Sogo berdecak sebal. "Kakakku saja sudah menyebalkan, apalagi ada saudari kembar. Sial hidupku!"
Shuya tergelak keras, tidak bisa membayangkan Sogo versi perempuan. yang aslinya saja sudah seperti ibu baginya dan Kento—dalam hal mengedor-ngedor pintu tiap pagi. "Kalau Kenchin?"
Kento tidak menjawab. Wajahnya mengeras. Perubahan sikap itu membuat kedua rekannya tertegun. Kento meninggalkan minumannya, perutnya bergejolak tidak karuan.
"Kenchin kenapa? Teringat sesuatu?" Shuya melirik-lirik dengan senyuman jahil. Ia seakan senang kala umpannya dimakan. Dan tingkahnya yang seperti itu paling tidak disukai oleh dua rekannya. "Jangan bilang~ kalau Kenchin punya saudari kembar?"
Sogo terbatuk-batuk karena tersedak minuman. "Bercanda kau, Shuya!"
"Tapi, ya, mana tahuan. Soalnya~ aku melihat seorang gadis sangaaat mirip dengan Ken—"
Belum sempat kalimatnya selesai, Kento telah menarik kerahnya lalu mendorong Shuya ke sebelah vending machine. Matanya berkilat-kilat hebat, membuat Shuya merinding, pertama kali melihat Kento semarah di hadapannya kini.
"Ken-Kenchin?"
"Apa maksudmu, Shuya?" tanya Kento dengan suara berat.
Ia tahu Shuya sangat menyebalkan, tapi ia paling tidak suka dikerjai. Apalagi rekannya sendiri mengungkit-ungkit latar kehidupannya.
"Wanita bernama Aizawa itu bicara apa padamu, hah?"
Shuya terpegun. Reaksi Kento di luar dugaannya. Jelas ia sudah memancing emosi Kento yang terdalam, tapi tidak sangka hal itu akan terkait dengan sang ibu kandung.
"Ti-tidak bicara apa-apa. Kenchin menakutkan!" jeritnya sambil menutup mata. "Aku kan bilang seandainya~."
"Jawab dengan jujur, Shuya, kau bertemu dengan Aizawa kapan? Apa yang dikatakannya padamu?"
Kento mencurigai Shuya yang diam-diam bicara dengan ibunya dan mengetahui semua kisah yang seharusnya terkubur dalam.
"Aku tidak bertemu dengannya. Hanya ... hanya melihat seorang gadis yang mirip denganmu. Itu saja!"
"Kau bicara padanya, hah?"
Shuya kewalahan. Niatnya memancing isi hati Kento agar rekannya itu bercerita sendu mengenai perpisahannya dengan saudari kembar. Kemudian Yumi menampakkan diri, pertemuan mengharukan pun terjadi. Happy ending. Tapi kenyataan malah yang terpancing emosi Kento yang terdalam.
Sogo langsung menengahi keduanya, menarik tangan Kento dari kerah Shuya. Shuya terlepas, Kento menjauh selangkah.
"Kau kenapa? Sudah jelas anak ini sering jahil. Jangan dianggap serius," tukasnya tegas.
Kento menundukkan kepala. "Maaf, aku...."
Ia sadar telah kalap mata. Tangannya mengacak rambut, frustasi. Kepalanya tidak bisa lagi berpikir jernih. Tanpa pamit ia pergi, menjauh dari keduanya untuk menenangkan pikiran.
"Hoi, Kento!" panggil Sogo kesal. "Anak itu kenapa sih?"
Shuya menepuk pundak Sogo. Wajahnya pucat pasi, menatap dengan raut ganjil. "Ternyata benar...," gumamnya lemah.
"Benar apanya?" heran Sogo.
Saat itulah Megumi keluar dari persembunyian. Sogo menoleh begitu Shuya menunjuk dengan anggukan kepala. Ia baru mengerti begitu seorang gadis lainnya menampakkan diri, membuka topi dan memperlihatkan wajahnya.
Sogo menatap wajah itu lekat-lekat. Bentuk hidung dan warna bola mata yang sama persis dengan Kento. Ia menganga tidak percaya. "Yang benar saja?"
Kento menenangkan diri ke toilet, bersyukur tidak ada seorang pun di sana. Ia langsung membasuh muka di westafel. Berkali-kali mencimpratkan air yang mengalir deras itu ke wajahnya. Air dingin yang menemui kulit muka yang memanas begitu menusuk pori-pori. Sensasi itu dinikmatinya seakan mampu meredakan emosi.
Ia menatap diri di depan cermin, mulai geram. Kenapa setiap westafel dirangkai selalu serangkai dengan cermin besar, hingga ia harus memandang wajah yang serupa dengan sang ayah.
Mulutnya mengumpat berkali-kali, dongkol. Kenapa Shuya bisa-bisanya mengungkap sesuatu yang tak pernah dibahasnya?
"Saudari kembar," lirihnya menyenakkan hati.
Ia tidak sudi menganggap siapa pun sebagai keluarga. Tiga orang itu sudah mati terkubur dalam kenangan. Ayah yang selalu memecut tubuhnya dengan ikat pinggang. Ibu yang menangis, tidak peduli apa yang terjadi dengannya.
Satu-satunya cahaya yang diharapkannya malah tersenyuman manis pergi tidak pernah lagi kembali. Senyuman itu bagai mengejeknya karena terbebas dari kesengsaraan, pergi hidup tenang dengan ibu.
Tinggallah ia sendiri di rumah, menangis, kelaparan. Hingga tetangga menyadari kesengsaraannya. Ia pun dititipkan ke berbagai tempat, saudara pihak ibu yang dikenalnya.
Hingga suatu hari ia ditemui seorang agen, merekrutnya menjadi seorang model. Karena teriming-iming hidupnya akan terjamin, ia pun menerimanya dan memanfaatkan kelebihan wajahnya itu untuk menghasilkan uang. Hidupnya lebih stabil dari sebelumnya. Dan semakin mengepakkan sayap dengan mengikuti pembinaan menjadi idola.
Wanita itu malah hadir kembali untuk mengusik hidupnya yang tenang. Untuk apa ia mendesak bertemu?
Kento menerka itu ada hubungan dengan saudari kembarnya. Apa wanita itu ingin mereka bertemu kembali?
Yang benar saja! Ia sudah dicampakkan keduanya, untuk apa menampakkan diri setelah semua dianggapnya mimpi buruk? Kurang ajar!
Kento tidak peduli. Apa pun alasan ibu dan saudarinya ingin bertemu, bahkan nyawa mereka terancam penyakit mematikan tau hari akan kiamat, ia tidak sudi bertemu dengan keduanya, sampai kapan pun.
"Mungkin benar dugaanku," ungkap Yumi setelah menceritakan kisahnya pada Sogo dan Shuya. "Kento berpikir aku pergi dengan ibu dan meninggalkannya. Selama ini aku hidup dengan ibu, sementara selama ini ia hidup seorang diri."
Megumi menitikkan air mata. Ia paling lemah dengan cerita seperti ini.
Sogo ikut prihatin. "Kita bantu," putusnya. Ia meremas pundak Shuya yang susah payah menahan air mata. "Kau yang mulai duluan, kan?"
Shuya mengangguk setuju, tidak akan lari dari tanggung jawab.
Yumi tersenyum senang menerima tawaran Sogo. "Terima kasih."
Meski pertemuannya dengan Kento tidak sesuai dengan harapan, setidaknya ada sekutu yang ingin meringankan masalahnya. Ia sangat lega Kento memiliki teman sekaligus rekan kerja yang sangat mendukung.
Setelah mendengar kisah dari keduanya kalau Kento sebelum tinggal di asrama agensi, selalu tinggal sana-sini tanpa arah, bahkan sempat berhenti sekolah. Ia juga bersyukur doanya sejak dulu didengar-Nya. Tuhan melindungi Kento, membimbingnya hingga menjadi orang sukses seperti saat ini.
Apa pun akan dilakukan agar kesalahpahaman ini tidak berlanjut lama. Untuk itu ia tidak segan meminta bantuan, mempercayakan Kento pada kedua anggota Cressendo tersebut.
Catatan kaki :
*) Sama dengan otsukaresama deshita, hanya lebih singkat.
Publish: 11 Mei 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top