3| Alien itu Kesepian!
Pikiranku gak bisa lepas dari Vega. Iya, Ibu dan aku sudah sepakat memanggil alien aneh itu dengan nama Vega, karena pelafalan nama si Alien itu terdengar demikian.
Sampai di sekolah pun aku merasa bersalah karena sudah berpikiran negatif ke si Alien. Memang kesan awal yang dibuat si Vega itu aneh bin ajaib bin nyebelin bin ngeselllin, tapi setelah mendengar cerita dia... aku jadi kasihan.
"Aku datang dari planet bernama Ocxjrystea. Aku pangeran tunggal dari Kerajaan Trsjiytea."
Setelah makan, Si Alien akhirnya mau bicara mengenai dirinya. Tentu berkomunikasi menggunakan alat canggih yang pastinya jika orang pribumi tahu bakal diincar sampai dapat.
Kalau aku jual pasti dapat puluhan juta. Miliaran? Sekalian jual aja ni alien, pasti aku jadi orang kaya tujuh turunan. Hehehe...
"Kami mengalami permasalahan internal. Ayahanda bilang perebutan tahta hal yang wajar. Aku tidak boleh besar kepala, merasa bisa menjadi raja di masa depan menggantikan Ayahanda. Kakak-kakak sepupu adalah orang-orang yang hebat. Mereka sudah dewasa, lebih pintar, juga lebih tinggi dariku. Aku harus mengejar ketinggalan sebagai anak raja. Agar bisa diakui aku harus belajar dan berlatih ilmu pedang. Aku sudah berusaha, tapi..."
Alien itu terlihat ingin menangis, tapi yang namanya anak laki-laki selalu berusaha kuat agar tampak keren di mata orang lain. Aku ingin sekali mengomelinya, tapi buat apa? Kesal karena dia terlihat cengeng atau sok kuat? Saat itu, aku masih belum bisa menerima kehadiran makhluk asing ini.
"Semuanya mulai berubah sejak setahun lalu. Bangsawan yang mendukung Ayahanda mulai memberontak. Rakyat bilang kerajaan yang dikuasai Ayahanda tidak adil. Lalu... tunanganku beralih ke sepupuku..."
"Masih kecil udah main tunangan aja," sindirku geli mendengar pengakuan putus cinta si Alien.
"Hus!" Ibu mencubit ujung bibirku gemas. Beliau mengusap-usap punggung si Alien setelahnya. "Lalu bagaimana kelanjutannya?"
Ketulusan hati Ibu mampu membuat air mata si Alien menetes. Ia mulai terisak-isak, bicara terpatah-patah.
"Pemberontakan rakyat... dipimpin bangsawan... menyerbu istana. Lektor---penasehat raja, satu-satunya orang kepercayaan Ayahanda... menyuruhku pergi... ke Bumi.... Memberiku misi. Katanya... jika aku... dapat menguasai satu planet... rakyat Trsjiytea akan bertekuk lutut padaku... Ayahanda dan Ibunda... akan dikeluarkan dari penjara... kalau aku bisa... jadi raja... yang diakui... karena aku... menguasai Bumi."
"Misi bunuh diri kataku sih---"
"Mil!" Ibu lagi-lagi menyumpal mulutku dengan jari-jarinya yang masih bau bawang goreng. Setelah menjutekiku, raut wajah Ibu kembali sendu menatap si Alien. "Ibu... turut berduka cita atas apa yang menimpa keluargamu. Sayangnya... Ibu tidak punya kekuatan apapun untuk membantu."
Alien itu menangis tersendu-sendu. "Aku... tahu... tidak mungkin...tapi... aku... putus asa.... Aku takut... penjara.... Lebih baik... mati di angkasa... karena... tanah Trsjiytea... sudah tidak... menerimaku...."
Ibu memeluk si Alien, mengusap-usap kepala, punggungnya berkali-kali, membuat si Alien nyaman. Perlahan aku juga mulai sedih dengan ceritanya. Aku juga sedikit khawatir, kalau kenyataannya dia sengaja berbohong agar diterima di rumah ini. Tapi... dia beneran nangis, sampai keluar ingus. Ingusnya lendir putih, kupikir biru, tapi sama joroknya sih sama ingus manusia Bumi---sama kayak ingusnya aku. Ha.
"Aku pikir jadi anak raja, tinggal di istana enak, ternyata berat, ya?" Aku bergumam sendiri.
Aku coba mengingat cerita fiksi bertema kerajaan. Snow White? Putri kerajaan yang terpaksa tinggal di hutan agar tidak dibunuh sama Ibu Tirinya? Atau seperti drama korea yang tayang tiap sore yang disukai ibunya itu, mengisahkan persaingan antaranak raja demi harta warisan dan tahta sampai merencanakan pembunuhan? Memang itu bukan tontonan anak SMP, tapi aku keikutan nonton dan suka geram berjemaah sama Ibu di depan televisi.
Dari dua kisah fiksi itu, heh, yang mana yang bilang kalau aslinya anak kerajaan hidupnya enak?
"Bibi... boleh tidak aku tinggal di sini sampai pesawat kuperbaiki?"
"Kamu yang perbaiki?" celetukku heran.
Si Alien mengangguk. "Begini pun... aku juga suka mempelajari mesin. Orang di planetku tidak asing dengan pesawat luar angkasa."
Mulutku menganga lebar. Pesawat luar angkasa, katanya! Jika NASA mengetahui keberadaan Alien ini aku yakin bukan hanya pesawatnya yang dibedah, otakya juga dibongkar biar tahu caranya membuat pesawat luar angkasa yang bisa sampai ke planet lain. Tidak hanya itu, jika Alien ini mau kerjasama, bisa dipastikan seluruh informasi planetnya terbongkar. Ya, kalau si Alien ini memendam dendam terhadap rakyatnya sendiri. Waduh, ajigile omonganku udah kayak detektip amatir.
"Sampai kapan pun kamu boleh tinggal di sini, kok, Sayang. Jangan bebani dirimu, ya? Pikirkan baik-baik langkahmu selanjutnya. Posisimu sekarang ini cukup sulit. Dan satu lagi, panggil aku Ibu, ya, jangan Bibi."
"Iya, kalau Bibi di sini identik sama pembantu," celetukku lagi. Aku buru-buru kabur sebelum tangan Ibu berhasil mencubit lenganku. Tapi Ibu berhasil menyelepet kakiku dengan lap kain yang bergelayut santuy di pundaknya.
"Ni anak benar-benar, dah! Buru sana sekolah! Telat ntar!"
Aku buru-buru meraih ransel, berlari-lari kecil ke pintu depan sebelum Ibu mengeluarkan serangan kedua. "Mil pergi dulu. Assalamualaikum!!!"
"Oi, Mile, lamun aja!"
"Eh?" Aku baru sadar setelah teman sebangku menarik lenganku cukup keras. "Loh kok pada keluar? Guru mana?"
Sintia bergumam sebal. "Hm? Kan lo melamun! Untung Pak Yosef gak pake kacamata. Ngelantur sendiri di depan kelas sampe gue ngantuk."
"Lo tidur tadi?"
"Kate lo?" celetuk Sintia jengkel. "Kesel juga di-judge orang yang kaga dengar pelajaran, malah nuduh orang lain tidur di kelas.
"Hehe, sori." Aku mulai membereskan buku, menyimpannya ke dalam laci meja. "Dikasih PR gak sama Bapak?"
"Kaga sih." Sintia menarik lenganku begitu aku hendak berdiri. "Eh, lo kenapa sih? Gak biasanya melamun, tauk!"
"Hmm." Aku tengah mempertimbangkan satu hal, apa berbagi cerita ke Sintia aman? Kami baru aja dekat di tahun pertama SMP ini, itu artinya kita dari SD yang berbeda, sama sekali gak pernah kenal sebelumnya. Walau Sintia bisa dipercayapun, buat apa aku menceritakan si Alien? Rasanya untuk sekarang aku belum bisa bilang deh. Tapi ngarang dikit, gapapalah.
"Sepupu jauh gue datang sendirian ke rumah. Kayaknya kabur gitu," ujarku dengan suara berbisik. Sintia terbelalak, langsung percaya dengan omonganku. "Nah, sekarang dia kan di rumah. Ibu bujuk dia, nenangin dia buat balik pulang, tapi situasi keluarganya kacau banget. Ibu kayaknya mau ngasuh dia deh sampai keadaan keluarganya balik lagi."
"Broken home gitu ya?"
Aku mengangguk penuh keyakinan dengan karanganku sendiri. "Jangan kasih tahu yang lain, ya? Gue gak tahu mau bilang apa kalau ada yang tahu soal dia. Ini aja gue bilang ke lo karena gue percaya lo orangnya gak ember."
"Tengkyuu lo udah percaya ama gue. Gue juga gak suka bahas yang gak penting ke orang lain." Sintia menepuk-nepuk pundakku. "Sebenernya posisi gue sama kayak sepupu lo itu."
Mataku terbelalak. "Oh iya?" Aku baru dengar pernyataan ini dari teman baru!
Sintia tersenyum, tapi aku bisa lihat isyarat ketegaran dari tatapannya. "Keluarga gue miskin, ortu gak bisa nyekolahin gue. Gue dibawa tante gue ke sini buat sekolah. Aslinya gue udah kelas dua loh. Abis dari SD gue nganggur setaon, bantu Bapak di ladang. Untung aja tante gue liburan ke desa gue, ketemu gue, jadiin anak angkat gitu. Kalo enggak mah tahun ini gue udah dinikahin sama perjaka dekil."
Sintia tertawa. Aku ikut tertawa, meski patah-patah kayak siaran radio terhambat sinyal.
"Untung lo datang ke sini, ketemu gue," Aku mulai melontarkan guyonan buat mencairkan suasana, "...yang asik gak ada duanya. Ssshaaappp!"
Kali ini Sintia tertawa dari lubuk hati terdalam---ehem, agak lebay tapi gak apa dah!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top