Tauge
Semua berawal dari jatuhnya sebulir biji kacang ijo di sela-sela retakan lantai di dapur rumah seorang tukang bubur kacang ijo. Tukang bubur bernama Naji dan bercita-cita untuk naik haji. Meski dia pernah berkata bahwa pernah melakukannya sekali dan langsung digampar karena dianggap kurang ajar. Yah, di sinilah aku tumbuh dengan kebisuan dan kemudian disadari olehnya. Menjadi pohon tauge kontet dan abadi berumur panjang tanpa mengalami pertumbuhan.
"Aku anak sehat, tubuhku kuat. Karena ibuku jualan kawat ...."
Naji sambil bernyanyi-nyanyi melakukan kegiatan sehari-harinya, memasak bubur untuk dijual. Lelaki yang hidup sendiri, bertubuh kurus tinggi berambut botak belah tengah dan dicat merah --lah botak ini-- sekilas mirip penabuh tamborin di orkes dangdut yang pernah kulihat di ponsel milik Naji waktu dia menunjukkan padaku. Dia lalu berbaring tengkurap di hadapanku untuk menyapaku.
"Halo, Marni. Pohon taugeku sayang. Tahu, tidak? Aku sekarang ikutan grup penulis, nih."
Seperti itulah setiap hari, Naji tak pernah melewatkanku sebagai teman curhatnya dan menceritakan sesuatu. Entah itu cerita yang membuatnya sedih atau cerita yang membuatnya susah.
Ya, memang tidak ada cerita yang membuatnya senang diceritakan padaku, tapi tidak kali ini.
"Peso .... Pseeumemedh, Pseucolomiynmeh. Ah, susah sekali ini nama grupnya," kata Naji sambil memperlihatkan layar ponselnya padaku yang hanya bisa membisu.
"Rame obrolannya, Marniku sayang. Dua menit bisa tujuh ratus lima puluh tiga koma empat obrolan. Gila!"
Dia menggelengkan kepalanya.
"Tapi isinya obrolan receh semua. Nah, grup yang satu lagi ini selalu sepi, nih. Rame kalau ada grup coro yang muncul, nama grupnya Indomacet."
Sekali lagi dia menunjukkan layar ponselnya padaku. Sebuah halaman obrolan dengan gambar latar cabe rawit bersama dengan gelembung-gelembung obrolan yang muncul terlihat olehku.
"Tidak asyik di sini. Oh, ya, Marni. Aku akan menulis cerita tentang putri duyung. Tahu, kan? Makhluk separuh manusia separuh ikan. Tapi duyung punyaku itu dari pinggang ke atas ikan dan pinggang ke bawah manusia, jadi tidak terlihat jorok dengan menunjukkan bagian dada yang telanjang. Bagaimana?" tanyanya padaku yang tentu saja cuma diam membisu.
"Hah? Bagian bawah jadi kelihatan, ya? Apa? Tempe? Wuahahaha. Kau benar, Marni."
Padahal aku diam saja tanpa bisa berkata dan bertanya, namun Naji seolah menganggapku teman ngobrolnya yang bisa berbicara. Tanpa perduli aku hanya sebatang pohon tauge yang rentan patah, Naji selalu menganggapku seorang teman.
"Andai saja kita bisa mengobrol dan bercakap-cakap, Marni. Aku pasti senang," kata Naji yang lalu bangkit.
"Aah, aku hampir lupa mengaduk bubur kacang ijo ini. Tunggu sebentar, sayang, nanti kita ngobrol lagi."
Tanpa bisa menjawab pun aku dengan senang hati menunggunya. Andai saja Naji juga paham dengan bahasa kebisuanku.
Naji melanjutkan kegiatannya memasak bubur sambil bernyanyi-nyanyi, aku suka mendengar nyanyiannya yang tidak jelas itu.
"Tak sengaja lewat depan rumahmu
Ku melihat ada tenda biru
Dihiasi indahnya gigi kuning
Hati bertanya ...."
Tiba-tiba Naji berhenti bernyanyi, dia membungkuk dan tangannya memegangi leher. Terbatuk-batuk lalu ambruk ke lantai tepat di depanku.
"Ma --- Marni .... aku keselek upil."
Berakhirnya kata-kata Naji, berakhir pula hidupnya. Aku sangat bersedih dan terpukul dengan kematiaannya.
Tiba-tiba kulihat sesuatu bergerak dari dalam celana kolor Naji yang bolong dan kemaluannya terlihat karena tidak memakai sempak. 'Biji' Naji terlihat berkedut lalu tumbuh tauge dari situ. Naji mati tapi hidup kembali menjadi tauge dari 'biji'nya.
Kini kami berdua bisa bersama, saling berpandangan dan berbicara dengan bahasa yang sama, bahasa tauge.
"Sljnfnrkii smwriwiwiwiw, Wjdkkdikitilutilu?"
"Fjitrewewgweg! Ywir ywir ywir unthul unthul wsewesekk!"
"Qwitil thol thol othol."
SFGEH *
....
*TAMAT (Bahasa Tauge)
Gimana? Udah receh, belom?
Sebagai seseorang yang selera humornya terlalu tinggi, susah sekali buat humor recehan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top