Fatal Final [Misteri]
Buk!
Sosok yang wajahnya tertutup bayangan itu mengayunkan tongkat baseball pada pria yang langsung tersungkur di ruangan remang-remang.
"Ini salahmu sendiri ...."
Bruak!
Belum selesai pria yang kepalanya berdarah itu mengucapkan kata-katanya, sosok tadi kembali memukul kepalanya hingga dia tak bergerak lagi.
....
Vincent kembali melihat pada sosok mayat pria yang kepalanya hancur, tidak ada bekas luka lain selain di kepalanya.
Mayatnya tergeletak, telentang, dengan mulut menganga dengan genangan darah di bawah kepala.
"Bagaimana, Vincent? Kau sudah menemukan petunjuk?" kata Inspektur Thomas yang meminta bantuan padanya sebagai seorang detektif.
"Belum, Inspektur. Ku rasa pelaku mengenalnya, tidak ada tanda-tanda perkelahian dan ruangan ini masih rapi, bahkan pintu atau jendela rumah juga tidak rusak."
"Korban bernama Frederic Kean, umurnya 50 tahun, dia tinggal sendiri di rumahnya, bahkan tetangga pun tidak terlalu mengenalnya. Waktu kematian diperkirakan pukul 9 malam." kata Inspektur Thomas.
"Apa dia tidak punya keluarga?"
"Dia bercerai dengan istrinya hampir 8 tahun lalu, dan meninggalkannya sendiri tanpa menghidupi anak-anaknya."
"Apa yang membuat dia bercerai, Inspektur?"
"Katanya masalah ekonomi, dia bangkrut karena berjudi."
Vicent kembali memeriksa ruangan, mayat tadi ditemukan di ruangan kerja pada sebuah rumah kecil jauh dari kota. Seorang pria tua berambut hitam beruban yang basah oleh darah, terbujur kaku. Ada beberapa polisi yang bertugas juga mengumpulkan barang bukti. Tidak ada sidik jari, hanya ditemukan tongkat baseball sebagai alat untuk membunuh.
Detektif berperawakan tinggi dengan kumis tipis itu kembali mengamati mayat, dia menunduk dan dilihatnya bekas darah dari korban, noda darah dari tubuh yang terseret. Tapi dilihat dari cipratan darah korban di posisinya saat ini, dia menyeret tubuhnya sendiri, berusaha lari atau menjauh dari pelaku, sebelum akhirnya pukulan mematikan mendarat di kepalanya.
Mata Vincent mengikuti noda darah, dan berhenti di depan meja komputer. Dia mendekat dan menunduk ke bawah meja, lalu mengambil sebuah bola baseball yang bernoda darah dengan gambar sidik jari.
Vincent bangkit mendatangi mayat dan melihat pada jarinya, bernoda darah.
"Inspektur, coba panggil polisi ahli sidik jari untuk mencocokan ini."
Inspektur Thomas yang sudah paham apa maksud Vincent lalu melakukan apa yang dimintanya.
Setelah beberapa saat, diketahui jika sidik jari yang tercap pada bola baseball dengan darah tadi adalah milik korban.
"Sepertinya korban menyentuhnya dan melemparkannya ke kolong meja, dia ingin memberi petunjuk dengan cepat sebelum pelaku menghabisinya."
"Mungkin korban ingin memberitahu jika pelakunya berhubungan dengan baseball, atau seorang pemain baseball."
"Mungkin." jawab Vincent.
Vincent kembali berjalan memeriksa seluruh ruangan. Dia berhenti di depan dinding, sebuah syal berwarna merah biru tergantung. Dia mengambilnya dan melihat, sebuah syal suporter sepakbola.
"Inspektur anda ingat kasus 5 tahun yang lalu dan sampai sekarang kita belum menemukan pelakunya, kemudian 3 tahun setelahnya yang kita juga belum memecahkan misteri itu."
"Ya, memang kenapa? Apa ada hubungannya dengan kasus kali ini?"
"Anda masih ingat, kan?"
"Pada kematian pertama korban tewas di halaman rumahnya dengan luka tusukan, yang aku ingat dia menggenggam sejumlah rumput ditangannya, aku kira itu hal wajar yang dilakukannya untuk menahan sakit kematiannya."
"Kurasa bukan, Inspektur, bisa jadi itu petunjuk. Kasus kedua korban meninggal di gang sepi, dengan posisi tangannya memegang sepatunya, sepertinya dia berusaha melumuri sepatunya dengan darah."
Vincent menunjukan syal yang tadi diambil olehnya di dinding pada Inspektur Thomas.
"Ah, ya, korban pertama menggunakan kaos bola klub ini, dan korban berikutnya kalau tidak salah menggunakan syal yang sama."
"Ya, dulu kita tidak terlalu memperhatikan hal ini, karena ada banyak suporter bola di kota, jadi mungkin hanya kebetulan, tapi ini sudah ketiga kalinya."
"Apakah maksudmu ini pembunuhan berantai, Vincent?" mata Inspektur yang berbadan gempal itu tiba-tiba melebar.
"Rumput, sepatu, bola dan klub, ku rasa aku mulai menemukan sedikit benang merah pada misteri ini." Vincent mengusap dagunya dengan melihat pada mayat korban.
....
Vincent dan Inspektur Thomas mendatangi rumah mantan istri Frederic dan disambut olehnya dan anaknya.
Istrinya bernama Susan, wanita kurus setengah baya dengan rambut rapi disisir ke belakang dan anaknya seorang lelaki berumur 22 tahun bernama Eddy, yang bertubuh tinggi.
Mereka duduk di ruang tamu dan mulai mengobrol. Vincent menceritakan kejadian yang menimpa Fred, tapi sepertinya ekspresi mereka biasa saja.
"Nyonya, setelah suami anda pergi dari rumah, apakah kalian masih sering berhubungan?"
"Tidak, kami tidak pernah menjalin komunikasi apapun setelah dia pergi."
"Maaf saya mendengar alasan anda berpisah karena suami anda bangkrut karena judi, apakah dia sering datang ke casino atau semacamnya?"
"Tidak, sebenarnya dia jarang berjudi, entah judi apa yang membuatnya bangkrut pada 8 tahun lalu."
"Apa anda tidak bertanya padanya?"
"Tidak, sebelumnya dia sering datang ke suatu bar menggunakan kaos dan jaket sepakbola, tapi setelah itu dia berhenti sama sekali datang ke sana dan tabungannya habis."
"Dimana anda kemarin malam, Nyonya?"
"Saya pergi berbelanja di supermarket BnB dari jam 8 sampai 9 malam, saya punya struknya, ada waktunya tertera di situ."
Kemudian Susan memberikan struk belanja padaku untuk membuktikan alibinya.
"Baiklah, Nyonya. Sepertinya ini menguatkan alibi anda."
Kemudian Vincent dan Inspektur Thomas pergi meninggalkan rumah mereka.
....
Vincent pergi ke sebuah bar bersama inspektur. Bar itu tidak terlalu besar dan sudah lama berdiri, dia pernah sesekali datang ke sini.
Mereka bertemu dengan pelayan bar yang kemudian mereka tanyai. Namanya Bernard, pria berbadan kekar dan belum terlalu tua. Sudah lebih dari sepuluh tahun dia bekerja di situ.
Dia bercerita tentang lima orang pria yang sering datang untuk menonton sepakbola pada 8 tahun yang lalu setelah Vincent menunjukan foto Fred dan dua korban pembunuhan sebelumnya, Willson yang terbunuh 5 tahun lalu dan Allan korban berikutnya.
Sesuai dugaan Vincent, mereka semua berhubungan dengan sepakbola.
"Mereka semua penggemar sepakbola, dulu ada kompetisi besar yang berlangsung, klub yang mereka idolai masuk ke final, saat itulah terakhir saya melihat mereka bersama." kata pelayan itu.
"Apa setelah itu tidak ada salah satu dari mereka yang kesini?"
"Ada satu orang yang masih kesini hingga beberapa waktu, dia sendirian dan nampak kesepian, tapi saya tidak tahu namanya. Setelah itu sama dengan yang lainnya, dia menghilang."
Kemudian pelayan itu mengajakku ke sisi bar, dimana hampir seluruh dinding terpajang puluhan foto-foto pengunjung.
Dia terlihat sedang mencari-cari sesuatu, matanya beredar pada foto-foto yang terpajang.
"Itu dia ...." dia menunjuk sebuah foto kecil berbingkai kayu lalu mengambilnya.
Dia memperlihatkan pada Vincent sebuah foto dengan gambar lima orang mengenakan kaos klub bola dengan warna sama, mereka adalah para korban bersama dua orang lelaki yang belum diketahui.
"Boleh kami membawanya, Tuan?" kata Vincent pada pelayan bar itu.
"Tentu saja," dia melepas foto dari bingkainya lalu menyerahkan pada detektif itu, "silahkan, tapi bingkainya jangan."
"Terimakasih." ucap Vincent lalu pergi bersama Inspektur Thomas meninggalkan bar.
"Oh, ya," Bernard tiba-tiba berbicara dari ambang pintu sesaat setelah Vincent dan Thomas keluar, "dulu ada wanita datang kesini, dia mabuk lalu bercerita sambil marah-marah tentang suaminya yang kalah taruhan sepakbola di bar ini, entah itu ada hubungannya atau tidak."
Vincent tersenyum, "Baiklah, terimakasih informasinya, Tuan."
....
Setelah mengadakan penyelidikan diketahui dua orang itu adalah Ronald Weed dan Basil Dwyer, polisi juga mendapatkan alamat mereka.
Polisi memanggil mereka berdua dan Vincent menanyai mereka satu persatu di kantor polisi.
"Mau minum sesuatu, Tuan?" Vincent bertanya pada Basil, "atau ...." kemudian dia menyodorkan sebungkus rokok.
"Tidak, terimakasih, saya juga tidak merokok."
"Tuan Basil Dwyer, anda mengenal Frederic Kean?"
"Tentu saya mengenalnya, dia teman baikku jika sedang menonton pertandingan sepakbola di bar."
"Kasihan nasibnya sama dengan Wilson dan Allan."
"Apa yang terjadi dengan kalian 8 tahun yang lalu?"
"Terakhir, klub bola favorit kami masuk final pada sebuah kompetisi, kami sebelumnya tidak pernah berjudi dengan mempertaruhkan uang pada bandar, tapi Willson dan Allan terus mempengaruhi kami untuk bertaruh karena yakin pasti menang, karena klub kami sangat hebat waktu itu, tapi ceritanya lain, kami kalah dan hampir dari kami semua mempertaruhkan seluruh tabungannya. Setelah itu kami bertengkar dan tidak pernah berhubungan lagi."
"Dimana anda kemarin malam?"
"Kemarin aku menonton siaran langsung sepakbola di rumahku. Belum sampai pertandingan selesai aku tertidur. Anda bisa tanyakan kepada istriku."
Vincent menatap Basil dengan serius melihat mimik wajahnya.
"Kenapa? Anda tidak percaya, bukan saya yang membunuhnya? Bahkan saya tidak tahu alamat Fred setelah dia pindah rumah."
"Baiklah, silahkan anda pulang dan sewaktu-waktu akan kami panggil kembali."
Setelah itu Vincent memanggil Ronald Weed. Pria pendiam, berwajah keras. Vincent menanyakan hal yang sama seperti yang dilakukannya pada Basil.
Ronald mengaku saat kejadian dia baru pulang bekerja dan langsung tidur. Dia pria lajang dan belum menikah.
Ronald terlihat sangat membenci mantan teman-temannya menonton sepakbola dulu. Dia bercerita ditinggal mantan kekasihnya setelah dia bangkrut. Ronald paling muda diantara semuanya, umurnya 35 tahun.
Dia bercerita bahwa para korban lah yang menghasutnya agar ikut bertaruh, dia merasa sangat bodoh waktu itu.
"Aku sudah melupakan semuanya." kata Ronald sambil menghisap rokoknya. Sepertinya dia perokok berat, sejak interogasi dia sudah habis beberapa batang, aroma rokok menthol yang khas menyerbu ruangan.
"Anda masih dendam dengan mereka, bukan?"
Ronald diam sejenak, "memang, tapi aku tidak berniat membunuh mereka, baguslah mereka mati. Masih ada yang ditanyakan? Aku tidak bisa berlama-lama, masih ada urusan yang harus ku kerjakan."
"Baiklah, silahkan."
Setelah mereka pergi Vincent dan Inspektur berdiskusi.
"Aku yakin pelakunya antara mereka berdua, Vincent." kata Thomas sambil melihat berkas-berkas pembunuhan terkait.
Vincent terlihat berpikir, dia mencubit-cubit bibir bawahnya, "Rumput, sepatu, dan bola. Apa semua itu hanya menunjukan jika pelaku berhubungan dengan sepakbola? Terlihat dangkal sekali kalau begitu." Vincent berbicara pelan, lebih mirip berbicara pada diri sendiri.
"Susah sekali bila tidak ada saksi, kurasa kita harus menggeledah rumah mereka." kata Inspektur Thomas.
"Inspektur, tolong beri saya berkas pembunuhan Wilson dan Allan!"
Inspektur Thomas menyodorkan sebuah berkas lengkap dengan foto-foto korban.
Hingga larut malam mereka berdiskusi dan memeriksa kembali catatan pembunuhan sebelumnya.
Jam sudah menunjukan hampir pukul 10 malam, mereka berdua masih berdiskusi dengan analisis mereka.
"Vincent, ini sudah malam lebih baik kau pulang dulu, kita teruskan besok."
"Sebenarnya aku menemukan sesuatu tapi aku ragu-ragu untuk mengatakannya."
"Apa itu?"
"Anda liat ini?" Vincent menunjukan foto-foto kematian Allan yang meninggal di gang sepi.
"Kenapa?"
"Liat di samping mayat korban ada puntung rokok, di foto yang ini juga ada."
Inspektur Thomas mengernyitkan dahi, mungkin dia menganggap Vincent bodoh atau hilang akal karena menemui kebuntuan, "bukan hal yang aneh kan kalau ada puntung rokok di jalan umum, meski itu gang yang sepi."
"Memang, sebelumnya aku juga tidak berpikir ke sana, aku hanya mengamati, di foto puntung rokok ini sepertinya masih kering, masih baru, artinya belum lama seseorang berada di situ," lalu Vincent mengambil foto-foto Wilson yang tewas terbunuh di halaman, "makanya aku terkejut saat aku melihat ini."
Inspektur Thomas mengambil foto itu dan memperhatikannya, matanya memicing tajam dan terlihat berpikir, "hmm... ada puntung rokok juga, dan kelihatannya sama, rokok dengan cap pita hijau."
"Ya, inspektur, jika di jalanan mungkin biasa, tapi di halaman rumah? Sedangkan di dalam rumah Wilson tidak ditemukan rokok atau bahkan asbak, dia bukan perokok."
Wajah Inspektur Thomas tiba-tiba berseri, "berarti pelakunya dia yang merokok saat kita interogasi, kan?"
"Ya, dan lagi aku rasa rumput bukan menjelaskan lapangan tapi nama pelaku, dan lihat, Allan bukan berusaha menyentuh sepatunya, tapi dia menunjuk pada puntung rokok di dekat kakinya."
"Bagaimana dengan bola baseball?"
Vincent mengambil dokumen foto kematian Fred, memperhatikan sebentar, dan tiba-tiba dia kembali mengernyitkan dahi, lalu menyerahkan foto itu pada Inspektur Thomas, kemudian kembali mereka berbicara.
....
Esoknya berita ditangkapnya Ronald Weed sebagai pelaku pembunuhan berantai menyebar, televisi memberitakan wawancara mereka dengan Inspektur Thomas bahwa polisi memastikan dia pelakunya melalui petunjuk pesan kematian korban. Rekaman wawancara tentang pembunuhan itu menjadi topik hangat dan disiarkan berulang-ulang.
"Kami menemukan pesan kematian dari para korban, tapi baru terungkap setelah kematian korban ketiga."
"Pesan kematian seperti apa?"
"Rumput liar yang di genggam korban pertama menunjukan bahwa pelaku berinisial Weed. Kedua dan ketiga menunjukan bahwa ini berhubungan dengan sepakbola, kami menemukan bukti-bukti lain juga seperti puntung rokok di tkp."
"Apa motifasi pelaku, Inspektur?"
"Pelaku dendam karena merasa dirugikan oleh para korban yang mengajaknya berjudi bola dan akhirnya kalah, membuat mereka bangkrut."
"Apa tindakan selanjutnya?"
"Yang pasti menghukumnya dengan setimpal, dan kasus ini ditutup karena sudah terungkap. Korban terakhir sudah dimakamkan oleh keluarga dan garis polisi rumahnya juga sudah kami lepas. Terimakasih."
"Baiklah, terimakasih, Inspektur. Berikut wawancara yang ...."
Klik!
Televisi yang menyiarkan wawancara itu padam begitu tangan seseorang memencet tombol pada remote.
"Hahaha! Polisi dan detektif itu memang benar-benar bodoh." Basil Dwyer tertawa, kemudian dia terbayang ingatannya tentang apa yang telah dilakukannya.
Dia mendatangi rumah Wilson, lalu membunuhnya di halaman belakang. Mencabut rumput disekitar mayat Wilson dan menaruhnya pada genggaman tangan mayat. Lalu sebelum meninggalkan mayat, dia mematahkan sebatang rokok, menyalakannya dan membuangnya di sekitar mayat, karena akan aneh jika rokok yang masih panjang tergeletak.
Dia berharap polisi segera mengira pembunuhnya Ronald Weed dengan memberi petunjuk rumput, kaos bola yang dipakai Wilson dan puntung rokok, tapi ternyata menjadi pembunuhan yang tidak terungkap.
Kemudian dia teringat dua tahun berikutnya, saat dia mengajak Alan pulang bersama. Dia memberi syal pada Alan dan menyuruh memakainya, kemudian mebunuhnya di gang sepi dalam perjalanan pulang. Dia mengatur mayat agar telunjuknya menunjuk puntung rokok, karena tubuhnya mayat jatuh dengan posisi agak membungkuk, dia menaruhnya di dekat sepatu, sayang polisi malah mengira Alan menunjuk sepatunya, tapi tak mengapa, pikir Basil, justru itu menunjuk pada sepakbola.
Basil juga teringat saat menghabisi nyawa Fred. Dia mengingatnya saat mereka bertengkar.
"Seharusnya kau tidak menipuku, Fred!"
"Aku tidak menipumu."
"Kau harus ikut bertanggung jawab dengan kematian Wilson dan Alan, Fred! Katakan dimana benda itu!"
"Aku tidak tahu! Itu salahmu yang membunuh mereka, aku tidak menyuruhmu."
Buk!
"Ini salahmu sendiri ...."
Bruak!
Basil mengingat setiap sensasi yang dia rasakan saat dia memukul kepala Fred hingga tengkoraknya pecah. Dia ingat saat apa yang dicarinya di rumah baru Fred tidak ketemu lalu merapikan kembali barang-barang, agar polisi tidak curiga dia mencari sesuatu. Kini yang harus dia cari hanya benda itu, dan Basil yakin bahwa itu ada di sana.
....
Suasana rumah Fred sangat sunyi pada malam hari, setelah polisi melepas garis peringatan polisi dan tidak lagi melakukan penjagaan.
Semua barang-barang masih berada di dalam rumah, pihak keluarga belum mengambilnya.
Basil dengan cepat menyelinap masuk ke rumah fred yang gelap gulita melalui jendela belakang yang sebelumnya telah dicongkel olehnya.
Dia menyisir setiap ruangan mencari sesuatu, "Brengsek, dimana bedebah itu menyembunyikannya selama ini."
Basil kemudian mengendap-endap menuju kamar, dia hanya membawa senter kecil untuk menerangi ruangan.
Klik!
Tiba-tiba lampu ruangan menyala, "kau mencari ini?"
Basil menoleh ke arah suara dan dilihatnya seorang pemuda menggenggam sebuah pistol dan sebuah kertas di kedua tangannya.
"Kau -- kau Eddy anaknya Fred, kan?" tanya Basil.
"Ya, dan anda Tuan Basil Dwyer yang telah membunuhnya."
"Haha, jangan main-main, nak, aku tidak membunuh ayahmu."
"Lalu kenapa kau kemari? Bukankah benda ini yang kau cari?"
"Ayahmu pernah menyuruhku untuk mengambilnya, tapi belum sempat ku ambil, dia sudah terbunuh. Pasti Ronald mengincar itu, aku kesini untuk mengamankannya."
"Ronald sudah tertangkap, Tuan Dwyer, kenapa anda khawatir kan ini? Anda hanya ingin memilikinya kan?" Eddy melihat kertas itu yang ternyata sebuah cek tanpa atas nama dan tanggal kadaluarsa, "dua juta poundsterling, banyak sekali."
"Nak, bagaimana kalau kita bagi dua? Aku tahu kau sudah ditinggal ayahmu, kan? Itu jumlah besar, kita bisa kaya."
Sesaat Eddy seperti berpikir, " "Aku bisa saja membunuhmu dan mengambil uang ini untukku sendiri, tapi baiklah, hanya aku ingin kau ceritakan secara detail apa yang terjadi selama ini. Atau ku tembak kepalamu. Tenang saja aku hanya penasaran, toh aku tak peduli dengan mereka dan aku tahu kau pelakunya."
"Baiklah, dulu kami tidak saling mengenal, tapi sewaktu ada pertandingan sepakbola, aku mencoba menonton di bar, sebelumnya aku lebih suka di televisi. Di sanalah aku mengenal Wilson, Alan, dan Fred, mereka terlihat akrab. Aku bergabung dengan mereka setiap ada pertandingan bola, dan kemudian datang juga Ronald."
"Lalu?" kata Eddy sambil duduk di sebuah kursi.
Basil ikut duduk di ranjang dan melanjutkan cerita, "waktu itu klub yang aku idolai masuk ke final, aku dan Ronald sangat antusias, begitu juga mereka bertiga, tapi itu hanya sandiwara mereka."
"Maksudmu?"
"Wilson, Alan dan Fred sebenarnya agen dari mafia judi bola, mereka anak buah kriminal kelas kakap. Mereka menipuku untuk ikut taruhan pada pertandingan final, katanya mereka semua ikut dan yakin kali ini bakal menang."
"Ronald ikut juga?"
"Ya dia ikut, tapi aku baru tahu dia tidak banyak bertaruh, tapi mereka bilang mempertaruhkan hampir seluruh tabungan mereka, dan aku yang bodoh ini mengikuti mereka."
"Berarti mereka bertiga tahu skor sudah diatur?"
"Ya, mereka tahu tentang pengaturan skor, setelah pertandingan selesai dan tabunganku habis, mereka juga berpura-pura kalah. Aku mengetahui kedok mereka dari Wilson saat aku menemuinya. Dia bercerita semuanya dan bilang kalau cek dari hasil taruhan dibawa kabur oleh Alan dan Fred. Aku yang marah membunuhnya di halaman belakang.
Tadinya Wilson mengajakku untuk mencari mereka dan menawariku separuh dari uang itu, makanya dia bercerita, tapi aku terlalu kalap. Setelah membunuh aku bingung karena belum tahu alamat mereka."
"Lalu kenapa kau berusaha memfitnah Ronald?"
"Tadinya aku berpikir untuk memfitnah Alan atau Fred, tapi jika mereka tertangkap polisi maka uang itu tidak bisa kumiliki. Lalu aku pergi ke bar berkali-kali berharap dapat bertemu mereka, tapi mereka tidak pernah datang."
"Lalu bagaimana kau bertemu Alan?"
"Aku tidak sengaja bertemu dengannya waktu dia pulang, dia terlihat takut, kami berjalan bersama, dia mengatakan kalau cek itu dibawa kabur Fred yang merasa bersalah dan tidak ingin mencairkannya, dan dia bersungguh-sungguh.
Aku mendesaknya untuk bicara dimana Fred, tapi dia tidak tahu, dan aku membunuhnya lalu menaruh beberapa puntung rokok, lalu membuat tangannya menunjuk pada benda tersebut."
"Lalu bagaimana kau menemukan ayahku?"
"Aku masih sering ke bar setelah itu, waktu itu seorang wanita datang kesitu kemudian mabuk. Dia bercerita pada pelayan bar tentang suaminya yang gara-gara judi bola, dia sekarang pindah rumah di suatu tempat dan berpisah. Aku menguping dan lama aku mencari tempat itu, akhirnya menemukan Fred di rumah ini."
Wajah Eddy terlihat gusar, "lanjutkan!"
"Fred tidak mau menyerahkan cek itu, dia bilang akan mengembalikan uang taruhanku setelah aku bercerita tentang Wilson dan Alan yang kubunuh, bahkan dia menyalahkan aku."
"Fred tahu kau yang membunuh mereka?"
"Ya, tapi dia tidak melapor karena takut jika mantan bos judinya tahu, nyawanya juga terancam. Aku membunuh Fred tapi lupa meninggalkan petunjuk palsu untuk memfitnah Ronald, tak kusangka Fred sendiri meninggalkan petunjuk dengan bola baseball dan polisi bodoh itu langsung menghubungkannya dengan Ronald."
"Sayang sekali kami tak sebodoh itu, Tuan Dwyer." tiba-tiba dari balik pintu Vincent muncul kemudian diikuti Inspektur Thomas.
Basil terlihat terkejut, "bagaimana .... kalian .... apa maksud semua ini? Kau!" dia menatap Eddy yang menyerahkan pistol dan cek pada Vincent.
"Maaf, kami lah yang menyuruh Eddy bersandiwara, dan tentu berita penangkapan Ronald juga, hanya untuk memancing anda. Tentu saja kami sudah beberapa hari menunggu anda kesini dan hampir putus asa, karena aku sendiri juga masih ragu apakah anda pembunuhnya, tapi ucapan anda tadi membuktikannya."
"Bagaimana kalian tahu aku akan kesini? Dan kau, bodohnya aku tidak bertanya dimana kau menemukannya." kata Basil yang marah-marah tapi tak berdaya berhadapan dengan polisi yang bersenjata.
"Kami sebelumnya benar-benar belum yakin, saya hanya merasa aneh waktu menginterogasi anda. Anda bilang terakhir kali bertemu dengan Fred saat di bar setelah kalah judi 8 tahun lalu, dan setelah itu tidak pernah berhubungan lagi, tapi anda bilang tidak tahu dimana rumahnya sekarang setelah dia berpisah. Bagaimana anda tahu kalau dia berpisah dan pindah rumah?"
Basil hanya bisa menatap Vincent tanpa bisa berkata.
"Dan lagi, waktu kematian korban anda bilang menonton siaran langsung sepakbola di rumah, aku sudah bertanya pada semua stasiun televisi, tidak ada siaran langsung sepakbola di hari itu, karena sekarang sedang jeda transfer musim panas. Yang anda lihat hanyalah siaran ulang melalui komputer Fred, koleksi rekaman sepakbola miliknya yang kebetulan diputarnya saat kau membunuhnya."
"Lalu dimana kau menemukan itu?" Basil menunjuk pada cek yang digenggam Vincent.
"Fred sendiri yang memberitahu, bola baseball." Vincent menunjuk ke bawah meja komputer tempat ia menemukan bola, "benda ini dimasukan ke dalam amplop dan Fred menempelkannya di bawah meja komputer.
"Sial!" Basil mengumpat.
"Mari ikut kami ke kantor, Tuan Dwyer!" Inspektur Thomas memborgol tangan Basil dan membawanya keluar.
Fin
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top