Surface - 3

BAGAIKAN ANGIN, gadis itu menghilang tak lama setelah mereka keluar dari restoran cepat saji. Raka hanya mengalihkan pandangannya sekejap, tahu-tahu gadis itu telah lenyap tanpa menyebutkan nama maupun identitasnya.

Tanpa disadari Raka berbicara seorang diri, entah berapa banyak orang yang menganggapnya tidak waras. Tak terlihat lagi sosok gadis yang mengenakan mantel berwarna nila di tengah kerumunan dengan matahari seterik ini. Namun tetap saja masih sangat banyak pertanyaan dalam benak Raka yang belum terjawab seperti di mana 'di bawah sana' itu atau cairan bening yang melibatkan ayah gadis itu dalam proses pembuatannya.

Alih-alih menjawab pertanyaan Raka, gadis itu meminta maaf dan mengatakan bahwa tidak seharusnya ia membicarakan hal itu. Mendengarnya, Raka gemas sendiri. Pilihan katanya sangat hati-hati. Alih-alih mendapat penerangan, kepala Raka malah terpenuhi awan kelabu.

Ketika Raka tiba di kontrakannya, malam telah tiba. Iyas mengirim pesan bahwa malam ini ia tidak akan pulang. Sementara itu, Duta, seperti biasa, tidak terlihat batang hidungnya sama sekali. Teman Raka yang itu memang tidak bisa ditebak. Tiba-tiba dia bisa berada di rumah tertidur seharian; tiba-tiba dia berada di kampus dengan muka yang sangat segar; tiba-tiba dia bisa menghilang selama seminggu. Setiap kali Raka menanyakan hal itu kepada Duta, lelaki berambut panjang itu menjawab singkat, "Biasa kerjaan."

Raka tidak pernah tahu kerjaan apa yang sebenarnya Duta lakukan. Terkadang ia dan teman-temannya sering melontarkan lelucon-lelucon mengenai 'pekerjaan sampingan' Duta —yang bisa jadi— sebagai seorang germo atau mungkin seorang mata-mata intelejen. Lucunya, pemuda itu tak mengelak bahkan mengatakan bahwa ia seorang selir dari belahan dunia mana. Tak luput juga membumbui bahwa ia adalah budak alien yang nantinya akan menculik Raka dan kawan-kawan. Tetap saja, guyonan Duta tidak memberikan jawaban yang sebenarnya.

Sendirilah Raka di kontrakannya, ditemani dengan secangkir kopi, sarung yang menyelimuti tubuh, serta tontonan yang telah ia unduh sejam yang lalu. Lampu kamarnya ia matikan, pintu rumahnya sudah ia pastikan terkunci kemudian Raka menekan tombol 'play' untuk memutar salah satu film yang katanya paling menyeramkan sepanjang masa, tapi nyatanya benar-benar membosankan.

Raka berdecak, kecewa. Jam pada ponselnya telah menunjukkan pukul sebelas malam dan ia bosan. Ia mengirim pesan kepada Akbar untuk main ke kost-annya karena kontrakan ini begitu sepi. Setelah Baba mengiyakan, Raka mengganti celana pendek dengan celana jins, mengenakan jaket, dan tak lupa membawa tas sepedanya. Seluruh lampu ia matikan, ia mengecek kembali jendela kamar Jun namun tidak menemukan apapun di sana.

Ketika ia menuruni tangga dan bersiap untuk mengenakan sepatu, terdengar suara gemerisik dari arah dapur. Kontrakan itu tidak terbilang besar maupun kecil. Meskipun terdapat dua buah pintu untuk masuk ke dalam rumah, tetapi hanya ada satu akses untuk memasuki area pekarangan dan tempat parkir yang hanya muat satu mobil itu. Pagar rumahnya memang terbilang cukup pendek dan jika seseorang nekat, bisa saja mereka memanjat, tapi hal itu tidak pernah terjadi.

Raka meletakkan tas sepedanya di lantai, berjalan mengendap ke arah dapur yang pintunya tertutup. Ia menempelkan telinga di daun pintu, mencoba mendengar suara di balik sana. Alih-alih, ia mendengar detak cepat jantungnya sendiri. Tak lama ia mendengar derit kursi yang ditarik serta kaki yang terseok.

Dari mana orang itu masuk? Raka tak habis pikir. Di saat yang sama ketika Raka menekan kenop, napas seseorang terdengar tertahan dari balik pintu. Pintunya berderit namun kedua tangan Raka kosong. Tidak ada waktu bagi Raka untuk mengambil alat pertahanan diri. Jika orang di balik sana membawa senjata tajam...habis sudah.

Semburat cahaya yang muncul dari ruangan tempat Raka berdiri tak dapat mengidentifikasi sosok yang berada di dapur sekaligus ruang makan itu. Ia mendorong pintu sekuat tenaga, tak peduli lagi dengan siapa yang ada di balik sana. Kuda-kuda pertahanannya tidak sempurna dan jika seseorang di balik sana adalah seorang pencuri —bahkan pembunuh— handal, Raka pasti bisa pingsan seketika.

Untungnya, bukan. Seseorang di balik sana tidak menerjang Raka. Seperti terpergok, ia malah duduk dengan posisi yang rancu, menyeringai lebar, menampilkan gigi buruknya yang rancung.

Jarak di antara mereka tak berkurang. Raka masih di ambang pintu sementara sosok yang mengenakan tudung jaket serta pakaian serba hitam itu duduk di hadapannya. Sosok itu bersiul, "Kenapa kau datang cepat sih, Hiraka. Padahal aku mau berpose yang keren terlebih dahulu sebelum kau datang. Seperti lukisan-lukisan di era klasik, kau tahu. Mungkin dengan tangan yang dikepal di samping kemudian aku harus menegakkan tubuhku agar mendapatkan pose paling bagus, huh?"

Suaranya serak namun tidak terdengar begitu berat maupun tinggi layaknya perempuan. Tubuhnya untuk seukuran seorang pria terbilang kurus, tingginya pun cukup di atas rata-rata dan apakah dia baru memanggilnya Hiraka?

Raka tak pernah memperkenalkan dirinya dengan nama Hiraka kecuali dalam keadaan formal. "Kau siapa?"

"Aku? Ya aku!" suara paraunya terdengar mencemooh, "Aku bisa jadi Charlie, George, atau mungkin Oliver. Nama itu tidak penting 'kan? Namamu Hiraka, tapi kau bisa juga menjadi Adit atau bahkan Yoga, atau Bambang, siapa tahu. Yang paling penting, dirimu tetaplah dirimu, 'kan? Karena aku selalu mengawasi dirimu dan nama tidak penting, tahu. Tidak penting."

Pria asing itu menyeret kursi, menimbulkan suara berderit yang mengganggu. Raka dapat melihat pantulan matanya ketika terkena cahaya lampu: hitam seluruhnya, bahkan di bagian di mana seharusnya berwarna putih. Bergidik, Raka mencoba menyalakan lampu ruang makannya, tetapi pria itu berdecak, menyuruhnya berhenti melakukan apa yang hendak ia lakukan.

"Lampu? Yang benar saja. Kenapa harus menyalakan lampu, Hiraka?" pria itu berdiri dan berjalan mendekat, "Kegelapan itu bagus. Indah, bahkan. Kau bisa melihat yang sebenarnya dalam kegelapan, seperti mataku yang kau cemaskan, eh? Apakah seaneh itu melihat mataku? Lagi-lagi kau hanya melihat penampilan orang saja ya, Hiraka. Kenapa sih? Katanya ya, katanya sih, aku tidak tahu apakah ini bualan apa bukan, tetapi katanya, 'Jangan menilai buku hanya dari sampulnya.' Kau menyakiti hatiku, tahu."

Wajah pria itu tepat berada di hadapan Raka. Mungkin jaraknya hanya sekitar lima sentimeter dan ia dapat merasakan dengusan napasnya yang berbau mint. Ia menyeringai lebar, lagi-lagi menampilkan deretan gigi rancung yang buruk. Jantung Raka terasa berhenti.

Pria berbaju serbahitam itu melompat selangkah ke belakang, berseru riang, "Senang bertemu denganmu, Hiraka Oktavi! Akhirnya! Kita akan bertemu lagi, tentu saja. Kau ini memang enggak banyak omong ya, aku heran."

Ia berjalan mendekati pintu belakang yang sudah tak terkunci, membatu sejenak, dan berbalik, "Oh, ya, benar. Pesan. Aku nyaris lupa. Aku ini benar-benar suka melupakan hal yang penting. Hiraka," suara pria serak itu mendadak menjadi lebih berat, intonasinya lebih serius, "kau tidak sekeren yang aku kira dan kau merusak ritualnya. Kau harus bertanggung jawab. Gadis itu nyaris mati. Dia kuletakkan di depan pintu rumahmu. Tadinya sih mau aku bawa ke sini biar dramatis, tapi kamu terlalu cepat datangnya sih. Oh tenang saja, dia belum mati kok. Bakal mati sih, tapi ya siapa tahu, aku sudah melakukan apa yang kubisa. Lagipula kita semua bakalan mati 'kan? Sampai jumpa ya!"

"Hey! Maksudmu apa 'belum mati'?" seru Raka ketika pria berpakaian serbahitam keluar dari pintu belakang di hadapannya. Malam tidaklah segelap itu hingga Raka bisa kehilangan jejaknya, tetapi bagaikan angin, ketika pintu tertutup dan Raka mengerjapkan matanya sekali, si pria bersuara bangkong telah menghilang.

Raka mengumpat dan mengambil langkah lebar-lebar ke arah pintu depan, tak peduli jika akan ada penyusup lain yang masuk rumah kontrakannya. Gadis tadi siang nyaris mati karena ritual yang dia lakukan gagal karenanya? Gila apa? Keringat dingin yang membanjiri telapak tangan Raka membuat pemuda itu kesulitan membuka pintu dan jelas saja, apa yang dikatakan pria tadi benar.

Gadis asing yang ia temu tadi siang terduduk dalam keadaan tidak sadar. Wajahnya jauh lebih pucat dibawah temaram lampu jingga teras depan daripada kali pertama Raka berjumpa dengannya. Rambut panjang burgundinya menghalangi wajah gadis berparas menawan itu. Meski tak ada darah yang membanjiri tanah, tetapi Raka tahu gaun pendek yang gadis kenakan itu tak lagi berwarna putih gading.

"Heh, kok ada cewek telanjang di kamarku?" suara Iyas terdengar samar di telinga Raka yang setengah sadar karena kantuk. Rasanya ia baru saja tidur. Dibangunkan dengan suara tinggi karena amarah membuatnya tidak nyaman dan memutuskan untuk bergelung dan mengerang dan menjawab tidak tahu. "Serius, Nyet. Itu siapa di kamarku? Tangannya tatoan kayak 'gitu."

"Bodo ah, Yas. Aku mau tidur."

Geram, sepupunya menarik selimut yang Raka kenakan. Raka bergidik, kembali meringkuk. Iyas di hadapannya mungkin terdengar marah, tetapi wajahnya tampak cemas. "Kamu semalam enggak mabuk terus bawa cewek ke rumah 'kan?"

Berdecak, pemuda itu membalikkan tubuhnya, menarik selimut yang ditarik oleh Iyas dan menjawab ketus, "Enggaklah, kalaupun iya, aku maunya bawa banyak cewek sekalian."

"Terus kenapa dia enggak pakai baju?" perempuan berambut ikal itu duduk di pinggir tempat tidur, menunggu Raka untuk menjawab pertanyaannya.

"Enggak tahu, Yas. Aku enggak tahu," Raka mengusap wajahnya, lelah. Ia hanya ingin cepat kembali tidur karena terlalu malas menceritakan apa yang terjadi semalam. Tetapi mata Iyas melotot nyaris keluar dari rongganya.

Raka mengumpat tak keruan semalam. Jika gadis itu mati, berarti akan ada dua orang yang telah meninggal dunia di rumahnya itu. Menelpon Akbar, Raka berjongkok di samping gadis yang tak sadarkan diri itu. Raka mendekatkan jari telunjuknya ke dekat hidung si gadis, memastikan apakah ia masih bernapas. Lega rasanya ketika karbondioksida masih keluar dari hidung sang gadis dan pada saat yang sama, Raka mendengar jawaban dari seberang telepon.

"Hah?" sahut Akbar ketika Raka menceritakan ada seseorang yang nyaris mati di rumahnya. Menunggu Baba datang, Raka mencoba memapah gadis itu ke dalam. Ia mengerang, nyeri. Gadis itu membuka matanya, terengah menahan sakit. Mata cokelat beningnya menatap Raka kuyu. Pemuda itu masih tidak tahu apa yang telah terjadi padanya, tetapi ia tahu hari gadis itu sedang tidak baik.

"Dia enggak mau dibawa ke rumah sakit," jelas Raka pada sepupunya itu, "tapi Baba tetap bersikukuh. Jadi kita pergi naik motor, bertiga."

Untungnya ketika dibawa ke UGD dan mendapat perawatan, dokter mengatakan perempuan itu akan baik-baik saja. Gadis itu sudah diberikan pertolongan pertama dan luka tusukan pisau di perutnya tidaklah dalam. Dokter itu memperbaiki jahitan pada perutnya yang tidak rapi dan memberikan beberapa antibiotik. Gadis berambut burgundi itu tidak mempunyai tanda pengenal atau bahkan menyebutkan namanya. Mereka cukup kebingungan mengisi lembar administrasi.

Iyas menatap Raka tak percaya dengan seluruh informasi itu. Tentang orang bersuara bangkong di dapur rumahnya sampai bagaimana bisa gadis itu berada di pintu depan. Pertanyaan yang mengolok secara tidak langsung membuat pemuda itu hanya memutar bola mata saja. "Terus Baba ke mana? Jadi kamu belum tahu namanya siapa?"

Raka mengangkat bahu, "Nanti sajalah. Dia juga masih tidur kaya mayat."

"Tapi dia telanjang, Ka."

"Yah, terus? Kau kan cewek. Aku enggak aneh-aneh kok, Yas," Raka menarik lagi selimut dari tangan Iyas dan mencari posisi nyaman untuk tidur meskipun matahari sudah mengambang cukup tinggi.

Setelah Akbar pulang dari mengantar Raka dan gadis itu ke kontrakan, Raka membawa si gadis asing ke atas, menuju kamar Iyas. Mendudukkan gadis itu di atas tempat tidur, Raka mengambil baju ganti dari kamarnya dan air mineral botol untuk si gadis pucat. Wajah Raka bersemu merah ketika ia kembali ke kamar Iyas mendapati si gadis asing telah menanggalkan bajunya, meninggalkan dia yang hanya mengenakan sepasang pakaian dalam berwarna hitam yang tampak kontras dengan kulitnya.

Pola-pola rumit tergambar di kedua lengannya. Turus kecil yang banyak jumlahnya terajah sepanjang lengan bawah yang kemudian pada bagian lengan atasnya terdapat rajahan yang lebih kompleks, membentuk pola-pola melingkar yang Raka tak ketahui secara detail. Di sebelah kanan tak jauh dari pusar gadis itu, menempel perban untuk menutupi jahitan bekas luka tusuknya. Pandangan Raka turun ke paha dengan bercak darah yang telah mengering.

"Kau mau mandi?" gadis itu langsung menarik selimut untuk menutupi tubuhnya ketika mendengar suara Raka. Dijawab dengan anggukan, Raka kemudian menyimpan baju ganti dan botol air mineral di atas meja. "Kuambilkan handuk, kalau begitu."

Hampir pukul dua belas siang ketika gadis itu bangun dan masuk ke ruang makan. Dua jam yang lalu Iyas sudah pergi lagi ke kampus sementara Duta baru saja datang dan langsung menuju kamar Raka untuk tidur. Gadis berambut burgundi itu mengenakan kaos Raka yang kebesaran, menjadikannya daster yang panjangnya di atas lutut. Tangan penuh tatonya ditutupi dengan mantel berwarna nila yang membuat Raka ikut merasa kepanasan hanya dengan melihat saja.

"Kau enggak kepanasan?" tanya Raka ketika gadis itu bersandar di tembok dekat pintu dapur. "Jaketnya untuk menutupi tatomu itu ya?"

"Bukan urusanmu," lagi-lagi jawabannya ketus.

"Yeah, tentu saja bukan urusanku," Raka sudah mulai kebas dengan jawaban dingin yang diberikan gadis itu. Ia menambahkan, "Anggap rumah sendiri. Kalau mau minum di sini gelasnya. Aku mau makan, kau lapar enggak?"

Anggukan gadis itu membuahkan senyum di bibir Raka, "Kali ini, kau harus menyebutkan namamu," ucap Raka sebelum pergi meninggalkan rumah.

Raka kira ketika ia kembali dari pedagang soto, ia akan mendapati gadis itu sedang memanjat pohon dan kabur lagi. Tetapi, Raka salah. Gadis itu duduk dengan tenang di ruang makan sambil menulis di sebuah buku catatan. Pintu belakang yang sengaja dibuka membuat angin semilir berhembus ke dalam, menghilangkan rasa penat dari teriknya matahari. Gadis itu menyampirkan mantel tebalnya di kursi. Rambut yang ia kedepankan menunjukkan sedikit pola rumit pada punggungnya. Raka sungguh penasaran akan seberapa besar dan seberapa banyak tato di tubuh gadis itu.

Raka meletakkan mangkuk sotonya di hadapan si gadis, membuatnya langsung menutup buku catatan itu dan mengembalikannya ke dalam jaket. Raka menopang dagu, masih belum melahap makanan di hadapannya. "Jadi?" tanya Raka.

Iris coklat bening gadis itu menatap Raka meski hanya sebentar. Ia mengalihkan pandangannya ketika berkata, "Tidak, terlalu berbahaya. Bukankah kau tahu apa yang terjadi semalam? Aku tidak mau ada orang lain mati karenaku."

"Bukannya kau terluka semalam juga karena ulahku —setidaknya si suara bangkong berkata begitu sih? Karena aku mengacaukan 'ritualnya'. Memangnya iya?"

Gadis itu mengangkat bahu, mengatakan bahwa itu kali pertama ia melakukan ritual. Ia jelas tidak tahu parameter keberhasilannya.

"Anggap saja sebagai penebusan dosa; jika itu memang salahku. Lagipula aku sepertinya sudah terjun terlalu dalam. Perkataanmu tentang cairan dalam tabung itu, ingat? Kau bilang ayahmu meneliti larutan itu. Bagaimana bisa tabung kecil itu berada di pinggir jendela kamar Jun? Tabung itu hanya satu-satunya petunjuk untuk mengetahui penyebab utama kematian Jun dan aku benar-benar ingin tahu, sumpah."

"Bukan salahmu aku tertusuk. Orang-orang itulah yang mencariku. Aku...," gadis itu terdiam, memainkan sotonya yang tak kunjung dimakan. Ia membuka mulut kemudian menutupnya lagi, urung untuk berucap, "Aku tidak bisa, maaf."

"Ceritakan tempat asalmu, kalau begitu," ucap Raka setelah menyuap, "Kau bilang kau enggak berasal dari sini, 'kan? Kupikir kau juga tidak berasal dari kota-kota besar seperti Ibu Kota ataupun Daerah Istimewa. Jadi, dari mana?"

Gadis itu menghela napas panjang, menggeleng. "Tidak, aku tidak mau ada orang terluka karenaku. Kau tidak paham, aku berbahaya."

"Ha? Bahaya dari mana? Kau itu cuma anak kecil yang terluka yang mendapat pertolongan dari orang asing yang untungnya masih cukup baik untuk enggak ngapa-ngapain dirimu. Aku mau membantu. Seperti yang kubilang kemarin, kau mempunyai hubungan dengan kematian temanku. Aku ingin tahu lebih.

"Anggap saja aku merasa bertanggung jawab karena telah merusak 'ritualnya'. Jadi, siapa kau, datang dari mana, dan apa yang kau lakukan di sini?"

Hening terasa panjang, padahal kebisuan di antara mereka tak sampai satu menit. Perempuan itu menatap mangkok seolah-olah ada jawaban dari dalam sana. Akhirnya ia membuka mulut, "Kamu tetap ingin tahu meskipun nyawamu bisa jadi dalam bahaya?"

Raka mengangguk, tidak begitu peduli dengan 'bahaya' macam apa yang akan ia hadapi. Gadis itu masih belum memakan soto yang dibelikan Raka dan ia menarik napas panjang, berkata, "Namaku Nova. Aku mencari ibuku yang sudah menghilang selama berminggu-minggu. Tetapi, dia tidak ada di sini. Aku datang dari bawah sana."

"Dari bawah mana? Neraka?" tanya Raka, setengah bercanda.

"Bukan, dari bawah sana. Floor. Nama tempat itu Floor."

Raka mengernyit, terdengar asing dengan perkataan gadis itu. Sejak kapan ada tempat bernama Floor? Dia bilang, Raka tidak akan tahu tentang Floor karena Orang-orang Atas selalu melupakan keberadaan tempat itu.

Pandangannya kosong ketika Nova menambahkan, "Mereka akan membawamu, mengambil segala ingatanmu, dan melupakan semuanya."

"Ini ada hubungannya dengan cairan dalam botol itu 'kan?" anggukan Nova membuat Raka hanya bisa menghela napas jengah. "Dan kau bahkan masih belum mau menceritakan tentang hal itu. Kau ada rencana untuk kembali ke tempat asalmu itu?"

Nova mengangguk setelah menyuap sendok terakhir dari makan siangnya dan Raka menyeringai.

"Aku boleh ikut 'kan? Begini, aku akan mencari tahu jawabannya sendiri tentang cairan itu, Floor, juga kematian Jun karena kau tidak mau bercerita tentang apapun. Yang kau lakukan hanya menunjukkan jalan ke Floor lalu kita bisa kembali ke urusannya masing-masing. Seperti simbosis...apa itu namanya? Komensalisme?"

"Kamu enggak mengerti apa? Orang-orang Atas sepertimu akan mati cepat; mereka mengonsumsimu. Kamu mau mati, ya?"

"Ya. Tidak. Lebih baik aku mati karena tahu apa yang terjadi daripada mati dengan sejuta pertanyaan di kepala. Banyak jalan menuju Roma, enggak ada salahnya mencoba, ya 'kan?"

"Terserah kamu sajalah," ucap gadis itu dingin, "Walaupun terjadi apa-apa padamu, aku enggak bertanggung jawab."

"Yeah, enggak masalah." Raka memainkan rambutnya yang berantakan namun tetap saja tidak terlihat rapi. "Kapan?"

"Ketika bulan penuh menggantung di langit."

*

Meskipun bayangan sudah condong ke arah barat, teriknya mentari masih tepat di atas kepala. Nova menghabiskan hari itu untuk mencuci bajunya yang bersimbah darah kemarin; Raka memerhatikanya dari kejauhan ketika dia sedang menjemur. Duta, setengah mengantuk berjalan ke dapur, melihat Raka yang sedang duduk di depan laptop dengan mata yang tidak mengarah ke sana.

"Apa dia cewek yang tiba-tiba ada semalam?" tanya Duta sambil mengambil gelas dan menenggak habis airnya. Ia mengedikkan dagu ke gadis yang sedang menyipitkan mata karena cahaya matahari.

"Semacam. Tipemu banget enggak, sih? Putih...kecil.... Aku penasaran dari mana asalnya. Kau tahu tempat bernama Floor? Dia bilang dia berasal dari sana," Raka melihat setelan Duta yang sudah siap pergi. Di samping celana jins serta parka hitam yang ia kenakan saat dia datang, hanya kaosnya hijau lumut yang menjadi pembeda dari setelan sebelumnya. "Mau cabut lagi?"

"Pesenan banyak, Cuk," jawab Duta sambil tersenyum kecil, "Sayang 'kan kalau ditolak?"

"Pesenan apa 'pesenan'?"

Duta tertawa, tidak menjawab. Ia menarik kursi dan duduk di hadapan Raka, membuka ponselnya. "Kalau kau percaya dengan surga dan neraka, Floor bisa jadi hal nyata kan?"

Raka mengangkat bahu. "Mungkin," katanya, "tidak akan percaya kalau belum lihat langsung. Dia enggak bakal bohong 'kan?"

"Coba tanya saja."

Tanpa berpikir dua kali, Raka membalikkan badannya dan memanggil gadis itu, bertanya apakah Floor benar-benar tempat yang nyata atau hanya bualan belaka. Kerutan alis Nova semakin dalam seiring ia menyipitkan mata, memandang Raka dari halaman tengah.

"Floor nyata," Gadis itu mendekati Raka, meletakkan tangannya di pinggir meja makan. "Aku sudah bilang orang-orang melupakannya. Kalau kamu tidak percaya, kamu tidak usah ikut."

Raka mengerjapkan mata, mengangkat kedua tangan dan meminta maaf. Ia bisa meihat Duta yang tersenyum kecil sambil menganggukkan kepalanya; Raka mendengus. "Duta, Nova. Nova, Duta. Dia seorang germo."

Duta menoyor kepala temannya itu kemudian mengulurkan tangannya ke si gadis, tetapi Nova tidak menyambutnya. Alih-alih Nova hanya menganggukkan kepalanya sekali. "Kamu tampak tidak asing," ucap gadis itu.

"Oh ya? Mungkin mukaku pasaran," Duta menarik kursi di sampingnya, dan bertanya, "Jadi, Floor tempat yang seperti apa?"

Ragu-ragu, gadis itu duduk di kursi yang ditarik oleh Duta. Beberapa kali Nova menatap Raka kemudian Duta kemudian Raka lagi. Menggigit bibir, si gadis memikirkan kata-kata yang pas untuk mendeskripsikan tempat asing itu. "Padat, rumit, penuh dengan terowongan dan jalan tikus."

Kota itu sangat luas, katanya, banyak distrik yang harus kau hafal. Kau akan tersesat jika tidak tahu ke mana tujuan akhirmu, apalagi jika baru pertamakali ke sana. Mau malam atau siang hari, suhu udara selalu sejuk bahkan cenderung dingin, meskipun tidak pernah ada salju di sana. Ketika malam, Floor tidak pernah tidur dan setiap distrik mempunyai aktivitasnya sendiri.

"Apa yang menyebabkan Floor disebut 'Floor' karena sistem kota itu seperti bangunan dan levelnya. Kawasan lingkar dalam dan pusat adalah kawasan elit; tak sembarang orang bisa masuk. Paham?"

Raka dan Duta memiringkan kepala, pandangan ke atas, mencoba menerka. Raka tak bisa membayangkan hal yang baru saja gadis itu jelaskan.

"Penjelasan yang menarik," tutur Duta sambil menarik janggutnya kemudian melihat jam tangan dan berkata, "tetapi aku enggak begitu nangkep, sori. Cabut dulu ya."

Tak lama setelah Duta pergi, Raka yang masih mencoba membayangkan rupa Floor akhirnya mencoba mengonfirmasi, "Jadi Floor adalah sebuah kota yang berupa bangunan? Sebuah bangunan yang besar sekali?"

"Bukan sebuah bangunan, seperti bangunan. Floor dibangun dari bagian paling bawah dan para pendatang bermukim di sana. Semakin ke pusat dan ke atas, semakin elit," Nova mengambil buku catatan serta pena yang ada di hadapan Raka dan membuka lembarannya secara acak. Tangannya menarik garis berulang-ulang, tak lama ia memberikan buku itu kepada Raka.

Mengamati hasil gambar perempuan itu, Raka menunjuk bagian tengah yang menjulang lebih tinggi dibandingkan wilayah lainnya. "Ini apa?"

"Orenda."

// *tarik napas dalam-dalam, hembuskan* YaAllah. Akhirnya bisa update juga. maafkan hamba yg hampir ga update selama katakanlah nyaris setaun ini huhu.

Betapa terharunya ketika ada yg nanyain kapan Floor lanjut dan dengan semangat 45 (baca: cape gara2 ngerjain TA mulu) aku bisa menulis chapter 3 ini untuk sekadar refreshing huhuhu. Pun buat kamu yang belum liat instagram, aku bikin ilustrasi hiburan potret Rakacan. Semoga ga merusak imajinya di kepalamu ya! :3

Hiatusnya masih bisa dibilang belum beres. Doakan bulan depan saya sidang *curhat sekilas* dan setelah selesai mau liburan dan kebut nulis Floor sampe mampus haha. Terimakasih banyak yang masih mau menunggu cerita ini; love you to the moon lah!//

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top