Antarkasma - 8
RAKA TERENGAH. Ia terkapar di lantai, menghadap langit dengan napas yang hampir habis. Punggungnya basah, tubuhnya terasa dingin dan panas sekaligus. Cyrus tidak berbelas kasihan sama sekali. Melihat dia menyeringai dan memandangnya sembari berdiri, Raka sudah meremehkan pria itu.
"Berdiri, Hiraka. Bagaimana kau bisa lebih kuat selama tujuh hari kalau begini saja sudah mau tewas?" pria itu berjongkok tak jauh darinya, menyentil kening Raka hingga ia mengaduh.
"Kau mengerahkan seluruh tenangamu!"
"Dengar ya, di luar sana, orang-orang takkan peduli dengan kemampuanmu bertahan hidup," Cy meletakkan jari telunjuknya pada pelipis Raka, "Jika seseorang menarik pelatuk di kepalamu, ya kau mati. Jika seseorang menikam jantungmu dari belakang, kau juga mati. Memangnya kau ini siapa hingga orang-orang harus mengurangi kekuatannya untuk melawan? Kecoak? Melawan kecoak saja banyak orang yang mengerahkan seluruh kemampuannya, apalagi melawan manusia? Kau tidak istimewa, Hiraka."
Tidak istimewa, ya. Siapa juga yang meminta dirinya menjadi istimewa?
"Bangun," suruh pria dengan geligi buruk itu, "Coba kalahkan aku lagi."
Raka menarik napas dalam-dalam. Celene mengamati mereka dari bangku tinggi di sudut ruangan, menyilangkan kaki. Bibirnya terkatup rapat, pikirannya entah mengawang ke mana.
Tanpa aba-aba, Cyrus melemparkan tinjunya, membuahkan umpatan. "Lawanmu di depanmu, heh, Otak Kerbau!" sulut Cyrus, "Buat apa kau memerhatikan Celene, huh? Kau kira dia akan membantu?"
Mendecih, Raka memasang lagi kuda-kudanya. Ia tidak bisa menaklukkan kuda-kuda Cyrus. Sekuat apapun Raka menyerang, pria itu hanya perlu menampikkan satu tangan untuk membuat Raka terjatuh.
"Berapa kali kukatakan kalau ini bukan sekadar kekuatan?" Cyrus menjatuhkan Raka dalam sekali tempis. Lagi. Napasnya sama sekali tidak terdengar terburu-buru, berbeda dengan Raka yang semakin pendek.
"Aku butuh istirahat."
"Enggak, kau enggak butuh," Cy menyuruhnya untuk berdiri lagi, "Kau punya waktu tujuh hari, Hiraka, dan ini sudah hari ketiga. Waktu tidak menunggu siapapun."
"Kupikir, untuk sekarang disudahi saja, Cy," sahut Celene tak bergerak dari tempat duduknya. Pria bermata legam itu memandangnya tidak percaya dan perempuan itu melanjutkan, "Raka bukan kita. Kita memang dulunya manusia, tapi sekarang tidak lagi. Lupa ya? Dia bukanlah kita, dan dia tidak akan menjadi bagian dari kita. Ingat apa yang mereka bilang mengenai Raka? Jangan sampai terjadi apa-apa dengannya."
Raka membalikkan tubuh, menghadap langit-langit. "Apa kalian enggak bisa memberi tahu siapa itu 'mereka' dan apa maunya? Siapa coba anggota keluarga yang aku enggak kenal?"
Kedua raksaka itu saling pandang dan Celene menjawab, "Mulutku terkunci rapat. Maaf."
"Sebenarnya, cepat atau lambat kau akan tahu sih, Hiraka," timpal Cyrus sembari meregangkan tubuhnya, "Tapi tidak sampai kau bisa mengalahkanku."
Raka mengerang. Apa yang harus ia lakukan agar dapat menjatuhkan Cyrus sekali saja? Raka berkomentar mengenai postur dan juga kuda-kuda Cy yang cukup unik. Umunya Raka tahu gerakan bela diri, tapi, lagi-lagi, tidak dengan postur pria bergeligi jelek itu.
"Ha! Ini bentuk latihan bertahun-tahun dengan omelan Masou, kau tahu. Begini, Hiraka, setiap bentuk bela diri pasti ada ruang yang dapat dicela. Masalahnya, kau bisa menemukannya atau tidak. Sekarang berdiri atau mau menyudahi terserah dirimu, tinggal bilang saja."
Raka menarik napas panjang, "Sekali lagi," ucapnya, "Kalau gagal, berikan aku waktu setengah jam."
"Oke," Cy membantu Raka berdiri, mengambil beberapa langkah ke belakang.
Stamina Raka sudah di ambang batas, pandangannya pun sulit untuk fokus. Setiap gerakan yang Raka ambil untuk menjatuhkan Cyrus, pria itu dengan mudah menghindar. Satu langkah, tahu-tahu Cy sudah berad di belakangnya. Jika Cy membawa sebilah pisau, Raka pasti telah tertusuk mati.
"Sekarang kau mati," ucap Cyrus.
Mendecih, Raka melakukan hal yang sama dan dengan sama mudahnya, Cyrus menghindar. Alih-alih pria itu bergerak ke belakang, Cyrus mendaratkan tinjunya pada ulu hati Raka. Pemuda itu terbatuk, mengeluarkan asam-asam lambungnya. Mengecap mulutnya yang terasa pahit, ia terengah mengambil napas. Tidak mungkin, tidak mungkin, tidak mungkin.
"Sekarang kau bisa menikmati setengah jammu," Cyrus berjalan menjauh.
Mengumpat, Raka telentang sembari mengatur napas. Di balik deru jantungnya sendiri, ia tidak menyadari Celene mendekat, meletakkan botol minum di samping Raka sambil duduk di sebelahnya.
"Capek?" tanya perempuan itu, menyelipkan rambut panjangnya di balik telinga.
Raka mengerling. Ia terbatuk lagi, menumpahkan sebagian isi botol di wajahnya baru kemudian meminum isinya. Kesegaran air mineral rupanya tidak berpengaruh banyak terhadap kerongkongan Raka. Pemuda itu mengerang.
"Aku penasaran, kenapa kau mati-matian berusaha seperti ini dan kenapa kau begitu peduli siapa yang membunuh Jun?" Celene memandang Raka, "Kenapa kau tidak percaya saja kalau Jun meninggal karena bunuh diri?"
"Karena aku tahu, Jun tidak akan bunuh diri!" pandangan Raka menerawang ke langit-langit yang gelap, "Aku tahu anak itu luar-dalam, dia enggak gampang menyerah, apalagi sampai mengakhiri hidupnya."
"Padahal lebih mudah mengaku kalau kau tidak bisa terima kalau sahabatmu meninggal 'kan?"
"Aku tahu," ujar Raka, sudah cukup bosan mendengar kata-kata bahwa setiap manusia pasti mati. Tanpa disadari air matanya menggenang. Jun baginya sudah seperti saudara kandung. Namun, melihat mayatnya dengan mata kepala sendiri... Raka takkan bisa memaafkan dirinya. Entah berapa lama rasa sakit, terutama amarahnya bisa redup.
"Katakanlah, Jun memang bunuh diri," ujar Raka, mengerjapkan matanya berkali-kali, berharap air matanya hilang, "tapi aku sudah setengah jalan. Jun mungkin bukan lagi alasan pertamaku untuk melanjutkan perjalanan ini, melainkan untuk mencari kebenaran di bawah kebohongan yang baru kuketahui sekarang. Kontrakmu dan segala tetek-bengek lainnya. Pulang sekarang pun percuma 'kan? Tangan kosong, badan luka-luka, enggak tahu apa-apa pula.... Iyas bakal bilang apa? Indhi lalu bagaimana?"
Menarik napas panjang, Raka terkekeh pilu, "Memalukan," ucapnya.
Menopang dagu, Celene bertanya, "Sekarang apa maumu?"
Raka kembali duduk, menatap Celene penuh keyakinan. Hal-hal sinting yang ia alami ini mulai memuakkan bagi dirinya. Tiga hari meladeni Cyrus berbaku hantam membuatnya berpikir akan banyak hal.
Pemuda itu menjawab, "Mengungkap kebohongan."
"Oke," Cel mengangguk. Perempuan itu menepuk pundak Raka dan berkata, "Aku tahu hal-hal yang tidak kau ketahui. Tapi, bibirku terkunci rapat. Camkan saja ini: kau sudah di jalan yang tepat. Kau harus bisa berdiri dengan kaki-tanganmu sendiri dalam perjalanan ini. Untuk itulah, kau harus menjadi lebih kuat, Raka.
"Bukan hanya fisik, tapi juga di sini dan di sini," Celene menunjuk dada dan juga kepalanya, "Kapal yang kau naiki sekarang akan mengenai banyak guncangan. Jika pondasimu tidak kuat, kaupun akan goyah."
Perempuan itu membantu Raka untuk bangun dan mereka saling berhadapan. Cel menggenggam pergelangan tangan Raka. "Aku mengenalmu dari kau masih bocah, Raka. Aku pun mengenal orang tuamu; semua orang yang dekat denganmu. Kau bisa saja sedikit bodoh, tapi darah mereka ada padamu. Kau cuma bingung dan marah pada diri sendiri."
Nasihat Celene, mengingatkan Raka terhadap guru SD favoritnya dulu. Raka pernah bertengkar dan tidak sengaja membuat teman sekelasnya menangis. Kebingungan, Raka malah ikut menangis. Rasa takutnya semakin menjadi ketika ada saja yang bilang kalau orang tuanya akan dipanggil kepala sekolah.
Wali kelasnya tentu menegur Raka dan menghardiknya. Meskipun begitu, ia menepuk punggung Raka kecil, mengatakan hal yang hampir serupa, "Kamu mungkin bingung dan marah, Nak. Tidak apa-apa, tapi sekarang kamu tahu mana yang benar dan mana yang salah."
Termangu cukup lama, Celene memastikan bahwa pikiran Raka tidak ke mana-mana. Pemuda itu mengangkat kepalanya dan tersenyum kecil.
"Dengar," ujar Celene, "kurasa setelah ini akan banyak kekacauan yang timbul di mana-mana. Permukaan Atas, Bumiapara, Antarkasma.... Cy dan aku tidak akan selamanya bisa meladeni dirimu terus menerus. Kau lihat wujud Yang Terlupakan; kau pun lihat kebenaran di balik Orenda dan bagaimana mereka membuat orang-orang 'bahagia'. Kau pun lihat bagaimana mereka memperlakukan orang-orang Permukaan Atas untuk kepentingannya sendiri.
"Aku tidak meminta dirimu menjadi seorang pahlawan atau apa, aku hanya memintamu untuk bijak dalam melangkah. Mau tidak mau, kau sudah menjadi bagian dalam permainan ini dan kau bukanlah pahlawan kesiangan yang ditunggu-tunggu setiap orang, Raka. Kau...ya kau."
Raka menyipitkan mata, "Lalu intinya adalah?"
"Intinya, tujuh hari itu terlalu lama," Celene melepaskan genggaman tangannya dan berjalan mengelilingi Raka yang kebingungan, "Ini sudah tiga hari. Dengan Masou yang masih menghilang, bisa jadi dia dalam bahaya. Jika suatu hal buruk terjadi padanya... bukan hanya Floor dan Bumiapara, orang-orang di Permukaan Atas pun akan binasa."
"Makhluk-makhluk yang mengejarku itu ya?"
"Ya dan jumlah mereka tidak sedikit," Celene melanjutkan, "Kau tanggung jawab kami, tapi mereka merupakan ancaman yang jauh besar. Apa susahnya menjatuhkan Cyrus?"
Keberadaannya mengganggu. Suara seraknya, nada bicaranya, kesombongannya, dan postur tubuhnya seolah-olah tidak mempunyai celah untuk dijatuhkan. Setiap Raka mencoba menyerang, pria itu dengan mudah menjatuhkannya lagi, lagi, dan lagi. Raka terdiam.
Ia baru menyadari bahwa ia termakan ejekan Cyrus; terlalu ceroboh sehingga tidak menyadari bahwa ia selama ini tidak berpikir dengan kepala dingin. Celene tersenyum simpul, tampak puas dengan kesadaran pemuda itu. Cyrus sesungguhnya memiliki banyak celah untuk dijatuhkan namun matanya tertutup karena rasa kesal yang menyelubunginya.
"Paham kenapa Cy selalu mengatakan gunakan ini dan ini?" Celene menunjuk kepala dan dadanya.
"Kalau aku enggak bisa berpikir tenang, cuma ada kabut yang menghalang," Raka tak habis pikir kata-kata itu keluar dari mulutnya, "Kekuatan bukan melulu fokus utama, diri sendiri dan lingkungan sekitar juga."
"Dan lawanmu," tambah Celene, "Dalam segi kekuatan, Cy sudah pasti lebih unggul. Kau lihat sendiri bagaimana dia bisa berubah menjadi macan kumbang. Hal itu jauh di luar nalar manusia 'kan? Bagaimana bisa kau melawan seekor macan kumbang yang bertaring tajam? Tapi, kau punya otak; sama seperti kami, sama seperti yang lain. Kau selamat setelah ditinggal berhari-hari di Antarkasma dan kembali ke sini. Itu hal yang terpenting, Raka."
"Itu cuma insting untuk bertahan hidup."
"Mungkin ya, mungkin juga tidak" ujar Celene. Perempuan itu menyuruh Raka untuk duduk dan memejamkan matanya lagi. Cel pun duduk di hadapannya, "Aku ingin kau menarik napas panjang dan mengingat kembali bagaimana tubuhmu melawan Cyrus. Rasa sakit ketika kau jatuh, rasa kecewa ketika tinjumu tidak mengenai dirinya; rasa lelahmu kala melawannya. Apa yang kau rasakan?"
"Lelah, kesal...kecewa...Marah," jawab Raka.
Celene mengangguk, menyuruh pemuda itu untuk mengepalkan tangannya erat-erat. "Wajar. Hanya saja, perasaan itu akan membuatmu tidak stabil, Raka. Lepaskan perasaan-perasaan itu dan kembalilah ke titik nol. Titik di mana kau tidak merasakan apapun; tidak sedih, marah, maupun bahagia. Dengan begitu kau akan menjadi lebih peka terhadap sekitarmu, terhadap lawanmu lalu kau akan melihat peluang untuk memutarbalikkan mejanya."
"Yang begitu mana bisa?" Raka mendengus, memangnya dia biksu?
"Tentu saja bisa, Raka. Air yang tenang terkadang jauh lebih berbahaya daripada kobaran api. Orang barbar lebih sering mati ketimbang mereka yang memikirkan hal dengan matang. Perasaan-perasaan itu adalah distraksi, dan kami tidak mau kau mati hanya karena itu. Aku tidak mau kau mati karena hal itu. Kau punya pendapat yang sama kan?"
"Tentang kematian? Dengar," Raka membuka matanya, "sudah banyak orang yang mengatakan bahwa aku akan mati karena ke sini. Tapi nyatanya, sampai sekarang, aku masih selamat, hidup bahkan.
"Aku mungkin bodoh, tapi aku paham yang kau maksud dengan menggunakan kepala dan hatimu. Hanya saja, hal zen seperti itu nampaknya tidak cocok denganku. Berencana dan berpikir panjang itu buang-buang waktu. Apa yang bisa dilakukan kalau hal itu tidak berjalan sesuai dengan yang semestinya? Memikirkan rencana lain?" pemuda itu mendengus, "Mengambil jalan yang pasti katanya lebih aman, tapi entah kenapa aku selalu mengambil jalan yang berbeda. Bisa saja aku mati, tapi tidak, aku masih utuh. Mungkin Tuhan menyanyangiku atau mungkin aku telah berteman dengan Maut. Siapa yang tahu?"
"Setidaknya kau bisa memadukan kedua hal itu kan?"
"Tidak dalam waktu cepat," Raka meregangkan tubuhnya; berdiri. Rasa sakit di tubuhnya belum begitu membaik, tapi ia tahu apa yang harus ia lakukan, "Makasih, Cel. Aku mungkin belum setangguh itu, tapi kau membawakan lagi kewarasan ke dalam kepalaku. Aku tidak suka terus-terusan kalah."
Cel benar, satu minggu memang lama. Meski tidak ada yang instan dalam membentuk kemampuan bertahan hidup, tapi waktu terus berjalan. Apapun yang sedang terjadi bisa berdampak buruk baginya. Memperbanyak latihan memang membuat suatu hal menjadi lebih sempurna, tapi bagi Raka belajar sembari jalan akan lebih efektif.
Tiga kali menjatuhkan Cyrus, maka Raka akan pergi. Sekarang ia yakin. Ia tak mau lagi membebani para raksaka dan Raka akan menangani masalahnya sendiri.
Berbicara memang lebih mudah dibandingkan praktiknya. Jika ini pertarungan biasa, Raka sudah mati lebih dari tiga kali. Sulit sekali menjatuhkan Cyrus sementara kepalanya terasa begitu panas. Celene hanya memerhatikan mereka dari jauh, di tempat ia duduk semula; menunggu Raka bisa membalikkan keadaan.
"Setengah jammu ini dihabiskan untuk apa, Hiraka?" ledek Cy sembari memasang kuda-kudanya, "Membicarakan asmara?"
"Berisik," Raka mengusap wajahnya yang berkeringat, "Congormu itu enggak bisa diam ya."
Cy mendengus, mengisyaratkan Raka untuk maju dengan tangannya. Tiga kegagalan Raka di awal ia sengajai untuk bisa memastikan pola brtarung Cy. Selain kuda-kudanya yang aneh, pria itu mempunyai kebiasaan melihat ke arah berlawanan saat meluncurkan tinjunya. Kaki kanannya selalu maju ke depan dan ia selalu memutar sedikit tumpuan sebelum menerjang maupun menghindar.
Menarik napas, Raka pun maju. Ia menahan langkahnya saat Cy mengayunkan tinju dan bergeser sedikit ke kiri. Masih dengan kuda-kuda terpasang, Raka mendorong sikut Cyrus, memposisikan kakinya di belakang tubuh Cy dan memutar tubuhnya hingga terjatuh. Cy terlentang, terbelalak, dan ia pun menyeringai.
"Kau akan jatuh lebih sering lagi, Cy," Raka membalas seringai pria itu dengan tatapan merendahkan.
"Jangan sombong," suara seraknya tidak terdengar kesal sama sekali. Alih-alih pria itu terdengar lebih semangat, "Satu kali bukan apa-apa."
Cyrus menyeringai lagi, menunjukkan geligi buruknya. Ia berdiri dan memasang kuda-kuda, sekali lagi menyuruh Raka untuk menerjangnya. Sayangnya, gerakan yang sama tidak berpengaruh banyak kali ini. Cy bukan keledai dan sejumlah pengalaman bertarung yang ia miliki, pria itu bisa dengan mudah membalikkan keadaannya yang tadi.
Raka cepat berguling ke samping sebelum Cy mendaratkan pukulannya. Ia menyadari omongan Cy tidak sebanyak biasanya. Gerakan pria itu pun menjadi lebih gegabah. Tak ada lagi kuda-kuda tanpa celah; tak ada lagi seringai menyebalkan. Wajahnya bertekuk, serius. Nampaknya Raka telah melepas binatang buas dari kandangnya.
Mata hitam Cyrus menatap Raka liar. Pria itu tidak mengenal kata kalah. Sekalinya jatuh, ia akan mengeluarkan segenap kemampuan untuk membalikkan keadaan. Pria itu jauh lebih berpengalaman dari Raka, ia tidak akan semudah itu terprovokasi... 'kan?
Dugaan Raka salah.
Pria itu berlari mengulurkan tangan, mencoba meraih Raka. Mengumpat, Raka nyaris terjatuh karena menghindar dari Cy. Ketika keseimbangannya kembali, pemuda itu berbalik; memosisikan kakinya selebar bahu.
Napasnya tertahan, mempersiapkan kedatangan Cyrus. Satu langkah, dua langkah; seringai Cy semakin lebar seiring ia mendekat. Kepalan tinjunya terarah pada wajah Raka. Terlambat menampiknya sebentar saja, wajahnya pasti sudah lebam.
Terhuyung, Cy melirik Raka tajam. Ia mengayunkan lagi tinju dengan tangan satunya yang Raka tangkap dan ia dorong hingga Cy berputar dan terjatuh terlentang. Suaranya jatuh menggema, sudut bibir Raka berkedut.
"Dua kali," Raka terengah.
Cyrus menyeringai. Terdengar gemertak tulang yang mengerikan dari dirinya. Raka teringat suara itu; sudah cukup lama berlalu, namun terekam di alam bawah sadarnya.
Raka mundur, cukup jauh hingga menyisakan jarak lebar antara ia dan Cy. Pria itu membungkuk dan lambat laun tubuhnya membesar. Kulitnya yang pucat lambat laun menyatu dengan pakaiannya yang serbahitam, memunculkan bulu-bulu hitam yang tampak kasar. Wajahnya membentuk moncong dengan hidung yang pesek, sama hitamnya dengan malam. Telinganya meruncing dan berpindah ke atas kepala. Geligi buruknya berubah menjadi taring dan ia mendesis; menatap Raka tajam dengan mata hitamnya.
Sosok seekor macan kumbang berdiri di hadapan Raka, siap mengoyak tubuhnya dengan mudah. Jantung Raka berdegup cepat. Orang ini tidak main-main lagi rupanya.
"Kau tidak perlu seserius itu 'kan, Cy?"tanya Celene dari kejauhan, nampak ingin menghentikan latihan mereka.
Geraman rendah terdengar kala wujud hewan buas itu berbicara, "Ya haruslah! Tenang saja, Si Otak Kerbau ini tidak akan mati, tapi mungkin akan nyaris mati. Kau pikir orang-orang di Bumiapara dan makhluk-makhluk itu lemah?"
Raka menelan air liur, mendengar Cy menggeram lagi, "Dengar ya, Hiraka. Kalau kau berhasil menjatuhkanku dengan wujud ini, maka kau bebas meneruskan perjalananmu. Jika tidak, aku bersikeras kau tetap di sini jika tidak mau mati."
"Siapa kau mengatur-ngatur?" dengan kuda-kuda defensif, Raka meraba pinggangnya, mencari pangkal belati yang Celene Pinjamkan. Meski belum mahir, ini patut untuk dicoba.
"Lukai aku sekali dengan belati itu maka kau bebas pergi. Bagaimana? Aku tidak akan mati," Cy memiringkan kepala macan kumbangnya, "Percaya diri sekali mau pergi setelah menjatuhkanku tiga kali. Itu memang hakmu, tapi, kan ini sudah setengah jalan. Kalau kau melakukan sesuatu setengah-setengah, hasil yang kau peroleh juga setegah-setengah. Kau paham 'kan Hiraka?"
Raka menarik belati itu dari sarungnya. "Ya, tapi waktu tidak menunggu siapapun," Raka membalikkan kata-kata Cyrus. "Semakin lama aku tinggal di sini, semakin banyak hal yang kulewatkan di sana. Petunjuk mengenai Jun dan yang lain bisa lama-lama pudar seiring waktu. Aku enggak mau itu terjadi."
"Mereka tidak akan pergi ke manapun, Hiraka," ujar Cyrus sembari melangkahkan tungkai depannya, "Apa sih hal terburuk untukmu? Paling kau tidak tahu siapa atau kenapa temanmu itu mati 'kan? Faktanya, kau sudah terjebak dalam permainan ini. Cepat atau lambat kau akan menemui mereka. Sekarang, nanti, tahun depan, terserah kamu saja."
Raka menarik napas, tatapannya terpaku pada sosok macan kumbang di hadapannya. Pangkal belatinya ia pegang erat dengan mata pisau yang mengarah ke luar. Ia tidak bisa memutuskan siapa yang pertama kali bergerak. Mereka hanya memasang kuda-kuda; bergerak memutar menjaga jarak, menunggu siapa yang akan menyerang duluan.
Detik itu terasa lama hingga Raka dapat mendengar desir jantungnya sendiri. Cyrus menggeram rendah, Raka menahan napas. Tanpa adanya aba-aba, tumpuan kaki Cy tak lagi menapak pada tanah. Bayangan hitam tahu-tahu berada di hadapan Raka, semakin menggelap seiring sosok itu tertarik gravitasi.
Raka menunduk namun terlambat. Cyrus berhasil mendaratkan kakinya pada pundak Raka, membuat pemuda itu terbanting ke belakang. Tekanan hebat di punggungnya membuat pemuda itu terbatuk, melonggarkan genggaman pada belatinya. Geraman Cy terdengar begitu dekat, begitu mencekam.
Sulit bagi Raka untuk bergerak. Tumpuan Cyrus pada pundaknya semakin berat; tak heran jika tulangnya lepas dari persendian. Menahan sakit, genggaman Raka pada belatinya terlepas di satu sisi berusaha menghindar dari Cy yang hendak mencabik lehernya.
Ringisannya semakin lama berubah menjadi erangan seiring pemuda itu mencoba meraih belati sementara gerakan Cyrus semakin liar. Berkali-kali Raka menahan kepala Cy dengan tangannya, berkali-kali pula Cyrus mengambil posisi yang sama dengan sebelumnya. Hingga Raka lengah dan Cy berhasil membenamkan taringnya pada pundak Raka. Jeritan yang memilukan memenuhi ruangan.
Raka meronta, pikirannya tak lagi jernih. Kakinya ia tendang sekuat tenaga, berusaha mendorong tubuh berat Cyrus yang menindihnya. Untungnya Raka berhasil keluar dari cengkraman Cyrus. Untungnya, Cyrus belum mengoyak bahunya hingga habis.
Sulit sekali menyeimbangkan tubuhnya untuk berdiri. Ia raih belatinya yang tergeletak, cepat-cepat menghadap Cyrus yang sudah dalam posisi untuk kembali menyerang. Seluruh tubuh Raka gemetar, jantungnya berdegup hingga terasa hendak melompat dari tubuhnya. Bahu kirinya berkedut ngilu, tetapi tidak ada setetes darahpun yang mengalir dari sana. Mungkin ini rasanya nyaris bertemu dengan kematian.
Cyrus melompat lagi. Refleks Raka yang tidak seberapa membuahkan hasil yang hampir sama dengan sebelumnya. Kali ini Cyrus menggigit kakinya dan lagi-lagi hanya sakit yang terasa tanpa adanya darah yang mengalir. Raka merasa dipermainkan.
Seolah-olah dapat membaca pikiran Raka, sosok itu berkata, "Kau pasti sudah kehilangan separuh tubuh dan juga kakimu jika aku menggunakan kekuatanku dengan serius, Hiraka. Kau ini beruntung. Catat saja baik-baik."
Mendecih, napas Raka mulai habis, badannya ngilu dan nyeri. Ia tidak tahu berapa lama lagi ia bisa berdiri hingga bisa membalikkan keadaan. Ia memang beruntung karena Cy tidak menggunakan seluruh kekuatannya.
"Ayo, Cy," Raka memasukkan belatinya ke dalam sabuk; disambut oleh geraman rendah Cy sembari menunjukkan geliginya.
Raka mengambil langkah lebar, memperkecil jarak mereka. Setengah beruntung, pemuda itu berhasil menghindar saat Cy mencoba untuk menghentikannya. Hampir terjatuh, ia berlari ke belakang Cyrus dan melompat ke punggungnya. Sosok itu memiliki tubuh yang lebih besar dibandingkan macan kumbang normal. Hal yang Raka lakukan tidaklah mudah namun pemuda itu berusaha untuk mencengkram erat tubuh sosok itu, memeluk punuknya.
"Yang benar saja, Hiraka!" Cy terdengar marah. Ia melompat ke sana kemari, berusaha menjatuhkan Raka dari punggungnya.
Raka menyeringai. Ia hanya perlu meraih belati dari sabuknya, tapi hal itu sangat sulit dilakukan! Cy berguling ke samping, menjatuhkan Raka kembali ke tanah. Sebelum Cy kembali bertumpu pada tubuhnya, Raka cukup gesit untuk keluar dari area serangan Cyrus. Ia mengambil pangkal belati, berlari memutari Cyrus dan melompat kembali ke punggungnya dengan belati siap dihunuskan.
Sosok itu meronta dan berontak. Raka tak sanggup menahan genggamannya pada tubuh Cyrus; membuatnya terpelanting dan membentur dinding. Mengerang, Raka meraba kepalanya yang sakit. Sosok Cyrus berubah perlahan ke wujud manusianya, mencabut belati yang tertancap di belikatnya.
"Sialan, sakit juga," ia mengumpat dan meringis, meraba pundaknya dan melihat tangannya yang berwarna merah. Sedetik kemudian tatapannya beralih pada Raka. Tertegun, pemuda itu bersikap awas.
Pria itu menghanpiri, tampak darah mengalir meskipun tidak banyak. Ia memberikan belati itu pada Raka dan berkata, "Mengincar titik lemah, eh, Hiraka. Tidak kompeten, tapi efektif. Di medan perang tidak ada kata curang. Yang paling utama hanyalah bertahan hidup. Hukum rimba. Apapun harus bisa dilakukan demi melihat matahari esok. Aku sih tidak suka, tapi kau setidaknya berhasil menjatuhkanku lagi untuk ketiga kalinya. Keberuntungan pemula, paham? Keberuntungan pemula."
Raka melirik Celene yang tengah berjalan ke tempat mereka. Perempuan itu mengambil perban dari kotak obat yang ia bawa, menyuruh Cy untuk membuka pakaiannya. Tidak disangka pria itu memiliki banyak luka di tangan dan sekujur tubuhnya. Namun Raka bertanya-tanya kenapa tidak banyak darah yang keluar dari lukanya.
Cy menjawab sembari menyeringai, "Anggap saja kutukan yang harus kupikul hingga masa pengampunan." Mengabaikan raut kebingungan Raka, pria itu melanjutkan, "Caramu curang, tapi kau berhasil menjatuhkanku tiga kali, Hiraka. Kalau bisa aku ingin sekali tanding ulang, tapi janji ya janji. Lihat dirimu. Sekarang apa?"
Raka menunduk, melihat tubuhnya yang berkeringat, belur dan nyeri di mana-mana. Menyarungkan belati ke pinggangnya, pemuda itu berdiri. Tubuhnya masih gemetaran, kemungkinan besar akan jatuh jika ia tidak bertumpu pada benda apapun.
"Lima belas menit istirahat lalu aku akan pergi," ujarnya, menarik napas.
Setelah jantungnya terdengar normal, pemuda itu berkemas; mengisi ulang perbekalannya dan membasuh wajahnya di wastafel terdekat. Raka tidak merasa senang maupun sedih, saking lelahnya. Menjatuhkan Cyrus yang tidak mengerahkan seluruh kemampuannya bukanlah sebuah pencapaian. Langkahnya tertahan ketika Celene berdiri menghadangnya.
Perempuan itu memberikan sebuah kaos beserta satu kantong kecil berisi kaplet obat. Melihat raut kebingungan Raka, ia menjelaskan, "Obat ini obat dalam. Meningkatkan stamina dan mempercepat penyembuhan luka luar, tapi jangan terlalu bergantung padanya."
"Makasih," Raka memasukkan kantong obat itu ke dalam tas dan langsung mengganti kaosnya.
Celene mengedikkan dagunya, "Kau tahu pintunya yang mana. Jaga dirimu, jangan mati."
"Thanks, Cel. Akan kuusahakan."
Cyrus memanggil Raka, menyuruhnya untuk berhenti sebelum membuka kenop pintu. Pria itu telah mengenakan kaos tanpa lengannya, melipat kedua tangan di depan dada. "Kau ini terkadang sial, tapi cukup beruntung dari berbagai sisi. Dengar ya, Hiraka, kau mati itu masalah besar, tapi kami tidak bisa selamanya mengawasimu. Kau berhutang sparring bersamaku selama empat hari. Ingat itu. Mungkin saja nanti aku akan menggunakan kekuatan optimalku."
"Mungkin saja," Raka menaikkan bahu, "Aku akan menjatuhkanmu lagi."
Cy mengerling. Memejamkan mata dan menarik napas panjang, Raka membayangkan sosok Nova dan di mana kira-kira gadis itu berada. Sang raksaka mengatakan, membawa keberadaan siapapun untuk dikunjungi melalui pintu sangatlah memudahkan. Meskipun menurutnya tidak masuk akal, Raka mencoba saja.
Tanpa melihat ke belakang, pemuda itu menekan kenopnya; memasuki ruangan yang tidak asing. Matanya terbelalak, napasnya tertahan. Seorang pria bermasker gas terkapar tak bernyawa di lantai dengan darah menggenang memenuhi ruangan. Seseorang yang babak belur tengah meringkuk kehabisan tenaga, sementara ia mendapati Dee menodongkan pistol pada dua orang lain yang juga menggunakan masker gas membelakangi Raka.
Satu setengah meter jarak yang membatasi kedua dokter dan pria-pria bermasker gas itu membuat Raka kalut. Karena di antara dua orang bermasker yang masih hidup itu, berdirilah Indhira, menjadi sandera dengan pistol tertodong di kepala.
*
//anu...assalamualaikum. aku sibuk bekerja belakangan ini, menyita waktu, menyita pikiran. Sobat misqueen. Yang ada pengen nangis, bukannya nulis. Uhuhu. Mohon maaf lahir batin ya semua. Selamat Idul Fitri bagi yang merayakan. Saya capek nimbun cerita. Dukung saya agar ceritanya cepat beres, supaya kamu tidak berasa dihutangi (salah deng, semoga aku tidak punya utang ke kalian). Terimakasih ya buat yang masih setia membaca! Aku tanpa kalian ya cuma kulit bapao yang langsung dibuang. He-he. See you when I see you!//
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top