Antarkasma - 7

LANGIT KELABU dan minimnya cahaya membuat Raka tak bisa membedakan siang siang atau malam. Kabut yang turun pun membuat jarak pandangnya tak bisa melebihi lima meter. Kilatan petir berwarna ungu terkadang muncul dari arah selatan seolah-olah ada badai di sebelah sana; di satu sisi tampak mengerikan namun di sisi lain membuat langit sedikit lebih berwarna.

Ia duduk di tanah yang gersang itu, terkantuk-kantuk. Mengamati langit pun jauh lebih membosankan daripada menunggu Cyrus dan pria asing itu berargumen. Rasanya sudah setengah jam berlalu untuk menanti perbincangan mereka berakhir. Raka merapatkan jaketnya lagi. Lehernya nyeri, seluruh tubuhnya berkedut sakit, tubuhnya juga bau amis. Ia merogoh kantong, menelan analgesik yang Dee berikan untuk meredam sakitnya. Menarik napas, kekesalannya pun kian menumpuk. Terdengar Cyrus menyebutkan namanya beberapa kali; seolah-olah Raka tidak berada di sana. Hal ini membuat Raka ingin memuntahkan amarahnya.

"Kau tahu aku enggak tuli 'kan?" tanya Raka sinis, memicingkan mata, "Kau menyebutkan namaku berkali-kali. Apa masalahmu?"

Cyrus menoleh, begitu pula dengan pria berwajah tirus di sampingnya. Mereka berhenti berbicara untuk beberapa saat sampai akhirnya Cy berkata, "Mau kuberi tahu pun, kau tidak akan mengerti, Hiraka. Duduk manis sajalah di sana sampai kami selesai."

Raka mengerling. Ia bangkit dari duduk, melipat kedua tangannya, "Yang benar saja? Aku sudah cukup sabar menunggu kalian bacot dengan bahasa asing. Kau harus menjawab pertanyaan, Cy! Seperti, kenapa kau bisa di sini?"

Mata hitamnya dipicingkan, ia menggelengkan kepala, "Aku menyelamatkan nyawamu dan pertanyaan yang muncul adalah 'kenapa aku di sini'?! Manusia itu memang tidak punya rasa terima kasih ya. Bahkan ikan saja masih berterimakasih pada Tuhan! Memangnya pertanyaanmu ini sepenting itu sekarang, Hiraka? Tidak. Bukannya kau mencariku? Dan disinilah aku, sang pangeran berkuda putih, menyelamatkanmu untuk kesekian kalinya. Lagipula Celene kalah suit. Dia yang seharusnya datang, tapi aku terlalu malas untuk pergi ke tempat Masou, kau tahu. Puas?"

Raka mendengus. Memang yang menyelamatkan Raka pada akhirnya adalah Cyrus, tapi yang menyelamatkan dia di saat genting adalah si pria berwajah tirus itu. Menelengkan kepalanya, Raka baru menyadari bahwa dari seluruh makhluk, monster, atau apapun itu yang mengejarnya, pria ini merupakan satu-satunya seseorang berwujud manusia utuh yang ia temui. Menyadari hal itu, tubuhnya bagai membeku.

Saat Cyrus hendak berbicara lagi dengan si pria asing, Raka cepat-cepat mencegahnya, "Tunggu. Kau mau membuatku menunggu setengah jam lagi? Aku butuh jawaban, oke?"

Cy mengerling, mendekati Raka dan berbicara sembari membelakangi pria asing itu. "Waktu tak bisa menunggu, Hiraka," ucap Cy dengan suara seraknya.

"Ya, tapi kau membuatku menunggu," balas Raka tanpa basa-basi, "Pertanyaannya adalah apa kita bisa mempercayai orang itu? Dia manusia 'kan?"

"Memangnya itu penting? Kau bisa memercayainya, tapi terlalu banyak masalah bagiku bersama orang itu jadi aku memilih untuk tidak. Tidak banyak manusia yang bisa kau lihat di sini, jadi ya tentu saja dia manusia. Kau pikir orang itu bukan manusia karena kau belum pernah melihat manusia lain sejak datang ke sini 'kan? Dia bisa jadi yang terakhir, bisa juga bukan. Kau ingat apa yang dikatakan Celene? Jangan membuatku kecewa."

Raka menyebutkan kata kuncinya setelah berpikir sejenak, "Pintu menghubungkan, warna menjelaskan, pikiran membentuk jalan, dan terakhir kekuatan pikiran?"

"Ya benar, pintu. Sekalinya kau menemukan pintu yang tepat, mungkin kau tidak akan masuk ke sini. Kalau beruntung, kau bisa terdampar ke sebuah tempat yang penuh dengan manusia. Mungkin mereka sedang berpesta atau mungkin sedang berduka, yah siapa tahu. Meskipun begitu aku sangat meragukan hal itu," kata Cy, "karena dia sendiri sudah mencari pintu itu untuk kembali dan belum pernah menemukannya."

"Kembali ke mana?"

Cy menarik napas dalam-dalam, ia berkata bagai mencemooh seolah-olah Raka merupakan orang terbodoh di dunia, "Sebuah tempat di mana dia seharusnya berada, Hiraka. Manusia dengan sesamanya, hewan juga dengan sesamanya. Hubungan baik antarspesies itu agak sulit dibayangkan. Ya memang ada, tapi pada akhirnya selalu berakhir buruk. Kau tahu kenapa? Karena ketamakan kita selalu membawa kehancuran."

Berbicara dengan Cyrus selalu berbelit. Raka mengerutkan dahi semakin dalam. "Jadi apa? Selama ini orang itu berargumen untuk bisa kembali ke dunia...kita?"

"Duniamu. Ya, kurang lebih," Cy menyeringai, gigi buruknya tampak jelas, "Kau mulai bisa mengikuti permainan ini, huh?"

"Bercanda ya?!" Raka terdengar tidak percaya, "Kau punya kemampuan untuk membuka pintunya 'kan? Kau telah membuka banyak pintu seperti kau membuka pintu untukku dan juga Nova. Apa susahnya membukakan pintu yang dia inginkan? Tak ada bedanya dengan pintu yang lain, eh?"

"Ya, benar sekali. Tapi, sayangnya, aku tak bisa membuka pintu yang dia maksud. Aku bisa membuka pintu, tapi aku tidak bisa membuka pintu yang itu. Paham? Kuncinya saja tidak ada padaku pun jalan menujunya juga serumit itu untuk dicari." Cyrus menunjuknya dan melanjutkan, "Kau dan Nova itu beda kasus. Nova menjalankan ritualnya, kau merusak ritualnya. Lagipula kau punya catatan khusus, Hiraka. Seperti anak sekolah yang selalu berkelakukan buruk."

"Apa maksudmu?"

"Maksudku, kau belakangan ini seperti perempuan yang bawel sekali, paham? Kalau pertanyaanmu hanyalah pertanyaan trivia, rasanya tidak menyenangkan untuk dijawab. Memangnya ini sebuah acara kuis? Semua akan membosankan kalau misterinya hilang, kau tahu itu kan?"

"Persetan dengan misteri, Cyrus! Aku enggak peduli!" rasa sabar Raka mulai menipis, "Jawab saja pertanyaanku: kenapa kau bisa ada di sini? Bahkan sekarang belum masuk hari ketiga sejak aku menjelajahi tempat sialan itu! Aku bisa bertahan kok."

"Bah! Buat apa aku datang tiga hari lagi kalau kau tinggal mayat?" Cy terdengar serius, "Sudah kubilang kau ini punya catatan khusus di mata kami, Hiraka. Kau punya potensi untuk jadi orang hebat, tapi kau masih lemah. Dua hari dan bisa selamat adalah sebuah pencapaian. Lagipula kau tidak boleh mati selama kami masih bisa mengawasimu. Setelah aku bicara dengan orang itu, aku akan membawamu ke tempat Celene. Dia akan bertanya dan kau akan menjawab atau bisa saja sebaliknya. Terserah dia mau menyampaikan apa padamu. Simpan saja pertanyaanmu itu. Aku tidak mau membuang waktu membicarakan hal ini denganmu."

Apa-apaan? Penjabaran Cyrus yang berbelit malah menimbulkan lebih banyak pertanyaan. Raka diawasi? Untuk apa? Saat Raka menanyakan hal itu pada Cyrus, pria itu menjulurkan lidahnya, tampak kilauan tindik dari dalam sana.

Ia berkata, "Kalau dapat dari apa yang kau lihat, Hiraka. Kebenarannya pun harus kau cari sendiri. Ingat? Misteri! Hidupmu akan membosankan tanpanya!"

Melenggang pergi, Raka mengerang kesal. Kali ini Cyrus tak banyak lagi berbicara dengan si pria asing itu. Meskipun mereka tidak terlihat akur, Raka cukup paham bahwa keduanya menyudahi pembicaraan panjang lebar itu. Cyrus memanggil Raka, menyuruhnya untuk mendekat. Ia mengatakan bahwa mereka akan pergi.

Pria berwajah tirus itu mengenakan lagi tudung jubahnya, berjalan ke arah Raka. Meskipun cahaya tidak seberapa, wajahnya tampak lebih jelas: jauh lebih pucat dari yang ia kira dan tampak beberapa bekas luka di dekat dahi dan juga hidungnya Begitu pula dengan jenggot yang lebat dan mata merah layaknya kurang tidur, benar-benar tampak seperti pengguna narkoba jika mengabaikan lekuk tubuhnya yang kurus penuh dengan otot.

Raka berdeham, dan pria itu berhenti. Meskipun kemungkinan besar pria itu tidak mengerti perkataan Raka, ia berterima kasih. Pun meletakkan jarinya di dagu pun hanya menghasilkan wajah si pria asing yang kebingungan. Ternyata menggunakan bahasa isyarat pun tidak bisa. Merasa canggung, Raka menggaruk kepalanya. Ia merogoh kantong dan mengambil rokoknya yang tinggal beberapa batang lagi lalu menyuruh pria asing itu untuk mengulurkan tangannya.

Raka meletakkan dua batang rokok padanya, "Ini untukmu. Sebagai rasa terima kasih. Semua orang suka rokok, dan kupikir kau bisa menikmatinya di dunia yang...kacau ini."

Melihat pria berwajah tirus itu menyipitkan mata, cepat-cepat Raka menyulut rokok yang ia selipkan di bibirnya. Nikmatnya nikotin rasanya meregangkan seluruh sarafnya, "Semudah ini, lho," ujar Raka.

Mendengus, pria asing itu mencengkram pundak Raka dan berkata dengan terbata bahwa ia paham apa yang Raka katakan. Matanya yang merah melirik ke arah Cyrus dan pria itu mengedikkan dagunya ke sana.

"Terrin," pria itu berkata sembari menunjuk dirinya sendiri kemudian meniru bahasa isyarat Raka untuk mengucapkan terima kasih. Saat Raka memperkenalkan dirinya, Terrin berkata, "Aku tahu."

Sejujurnya, Raka merasa terkejut. Pertama dia bisa menggunakan bahasa yang sama dengan Raka. Pertanyaan terbesarnya hanya 'kenapa'.

Cyrus memanggilnya lagi, dan Terrin menyipitkan matanya, membalikkan tubuh dan berjalan menjauhi mereka. Perpisahan tanpa kata-kata ini seolah mengatakan bahwa mereka akan bertemu suatu saat nanti.

*

Setelah Terrin pergi meninggalkan Cyrus dan Raka, mereka menjauhi reruntuhan maupun sarang makhluk-makhluk mengerikan itu. Semakin menjauh, tanah terlihat semakin tandus dan semakin sedikit pohon yang tumbuh. Meskipun terasa sudah berjam-jam pemuda itu berada di sini, Raka tak pernah melihat secercah cahaya matahari. Kabut semakin tebal dan suhu udara semakin menurun.

"Jika kau mempertanyakan ke mana aku akan membawamu, Hiraka, coba pikirkan sebuah pintu," ujar Cyrus, "Ini untuk kebaikanmu sendiri, tahu."

"Aku enggak mau lagi dengar omong kosongmu," gerutu Raka.

Berdecak, Cy mengatakan bahwa Raka tidak lagi menyenangkan, "Kau bilang kau mau menjadi lebih kuat, jadi ya ini salah satu caranya."

Raka menyadari adanya perubahan udara di sekitarnya. Perasaan yang menggelisahkan dan kesenyapan saat dibawa ke lorong-lorong kelabu; sebuah sensasi yang masih terasa asing bagi dirinya. Semakin jauh mereka berjalan, semakin banyak reruntuhan-reruntuhan yang menyatu, membentuk dinding-dinding kelabu. Tempat ini, tempat ketika Raka ditinggal untuk menjalani 'ujian'. Ia tak paham. Bagaimana bisa ia sudah berada di sini lagi?

"Bagaimana kau melakukannya?" tanya Raka.

"Melakukan apa?"

"Ini; berpindah-pindah," kala Raka menoleh ke belakang, tanah tandus itu sudah tak lagi terlihat seolah-olah memang tak pernah ada, "Ini enggak masuk akal."

Cyrus mendengus, "Sudah berapa banyak hal yang kau anggap tidak masuk akal, Hiraka? Banyak, 'kan? Akal itu terkadang membatasi banyak hal, kau tahu. Tapi, kau tidak boleh meragukan kemampuan ini," Cyrus menunjuk kepalanya kemudian dadanya, "dan ini. Jika kau sebut kemampuan ini sihir, ya terserah padamu sih. Tidak salah juga. Sebut saja sihir, tapi sesungguhnya ini hanya memainkan energi sekitarmu."

Raka menggeleng, "Terlalu banyak teori."

"Enggak heran kapasitas otakmu itu cuma seperti kerbau," komentar Cyrus membuatnya ingin melemparkan sesuatu ke kepalanya.

"Kalau kau bisa mengubah sekitarmu menjadi labirin-labirin itu, kenapa kau enggak melakukannya dari tadi?"

"Tidak sesederhana itu, Hiraka; tidak sesederhana itu," jawab Cy, "Bayangkan saja makhluk-makhluk itu mengepung dirimu lalu kau berpindah ke labirin ini. Bukan hal yang kau inginkan, eh? Bukan hal yang kami inginkan. Terlalu banyak pintu yang menghubungkan tempat ini ke Permukaan Atas atau bahkan Bumiapara. Tidak aman, Hiraka, tidak aman."

Berbicara tentang pintu, Raka ingat seorang Yang Terlupakan juga menanyakan dirinya mengenai pintu. Ia bertanya, "Aku penasaran apa keterkaitan pintu terhadap makhluk-makhluk itu dan kenapa mereka begitu terobsesi terhadapnya?"

"Kau mau cerita singkat atau panjang lebar?"

"Apa ini berkaitan dengan kematian Jun?"

Cyrus berdecak, "Tidak, tidak. Mungkin, tapi sepertinya tidak. Keduanya tidak berhubungan secara langsung tapi sepertinya hal-hal itu bisa disusun di sebuah rangkaian puzzle yang sama. Kau tahu seperti yang ini ada di tengah, tapi yang lain merupakan bagian tepi. Meskipun begitu, aku bisa bilang kalau ini tidak ada hubungannya dengan kematian temanmu itu. Siapa namanya? Jun?"

"Ya sudah, yang singkat saja."

Cyrus mengerling lagi, bergumam otak kerbau beberapa kali sebelum ia menjabarkan, "Kau lihat bagaimana mereka memakan sesamanya dan merubah wujudnya menyerupai apa yang mereka makan? Bagaikan pesta karnivor, mengelilingi api unggun beserta nyanyian-nyanyian pilu. Pintu yang mereka cari itu terhubung dengan Permukaan Atas dan hanya Masou yang mempunyai akses untuk ke sana, kau tahu. Mereka perlu tubuh fisik untuk mendapatkan kehidupan dan jumlah mereka tidak hanya satu atau dua, Hiraka. Banyak, terlalu banyak."

"Lalu masalahnya apa?" Raka mengelap wajahnya yang lengket.

"Masalahnya adalah jika mereka berhasil melewati pintu itu."

Raka mengerjapkan mata."Kalau begitu kalian harus menjalankan tugas kalian dengan baik dong."

Cy mendecih, "Bicara memang gampang. Kau kira ada berapa orang seperti Terrin di Antarkasma? Kau kira ada berapa banyak orang sepertimu yang bolak-balik melewati tempat ini? Kau kira ada berapa banyak raksaka yang kau temui? Jika membandingkan diri dengan kawanan lebah, yang menjadi lebah bukanlah kami, tapi mereka. Dari segi jumlah jelas kami kalah. Apa jadinya satu koloni lebah menyerang satu manusia? Mati? Bisa jadi. Bisa bayangkan kalau mereka ke Permukaan Atas? Masih bisa bertanya 'masalanya apa' lagi?"

Permukaan Atas... dunia asalnya akan kacau balau, huh. Apa yang bisa Raka lakukan? Dia hanya manusia biasa. "Satu persatu, yeah?" ujar Raka, "Kematian Jun lebih penting daripada apa yang kau jelaskan tadi."

"Ya, tentu saja," suara seraknya tidak mengindahkan ucapan Raka.

Entah sudah berapa tikungan yang mereka lalui hingga Cyrus akhirnya berhenti berjalan. Meski sulur merambat, tak membuat dinding tampak hijau sama sekali. Batang-batang keringnya tampak layu dan rapuh. Cyrus pun berbalik badan, bertanya, "Apa kau bisa mencari pintunya?"

"Hah?"

"Pintunya," ulang Cyrus, "Apa kau bisa mencari pintunya?

Raka terlalu lelah untuk mengikuti permainan Cyrus. Pintu apa? Di hadapannya hanya ada dinding rata terbuat dari susunan bata berwarna kelam. Pemuda itu menggeleng, "Aku enggak melihat pintu apapun."

Berdecak, Cyrus berkata, "Ini untuk kepentinganmu sendiri, Hiraka. Kau tidak akan bisa bertahan di Antarkasma jika kau tidak bisa menemukan sebuah pintu. Ingat," pria itu mengetukkan telunjuk di keningnya dan berkata, "kau dapat dari apa yang kau lihat, tapi sayangnya kau tidak mencari."

"Terlalu banyak teka-teki. Apa maumu?"

"Aku mau kau menemukan pintunya, Hiraka."

"Enggak ada pintu apapun di sini!" amarah Raka memuncak.

"Tutup matamu!" suara serak Cyrus meninggi, kesabarannya juga mulai habis.

Sontak, Raka memejamkan matanya, menarik napas panjang. Kenapa ia malah menuruti perkataan Cyrus? Ia terlalu lelah untuk berpikir waras. Cy menanyakan apakah ia bisa mendengar suaranya. Raka menjawab, "Tentu saja."

"Bagus," suara serak Cy masih terdengar lantang, "Kau masih ingat pintu yang membawamu ke tempat Masou? Atau pintu yang membawamu kembali ke Permukaan Atas? Guratan kayu yang sama dan lambang burung hantu yang kau anggap aneh itu, kau masih ingat? Sekarang coba bawa pintu itu ke sini."

Raka mengerutkan alis, kebingungan, "Gimana caranya?" Pemuda itu tersentak saat Cyrus menyentil keningnya.

"Jangan dipikirkan, tapi rasakan," suara serak Cyrus terdengar tepat di telinga Raka, "Kau sudah lihat belum? Pintunya?"

"Apa-apaan Cy—"

"Jangan! Jangan buka matamu, Hiraka," Cyrus terdengar serius, "Tarik napas dalam-dalam dan pastikan pintu itu ada di depanmu. Dengan detil yang serupa, kau lihat pintu itu ada di depanmu? Apa yang kau rasakan?"

Apa yang Raka rasakan? Ia tidak bisa bilang apapun. Membayangkan pintu itu saja sudah sulit, apa lagi merasakannya? Cyrus menyuruhnya untuk menarik napas dan kembali merasakannya. Menanyakan hal yang sama dengan apa yang ia rasakan, pemuda itu menggelengkan kepala dan berkata, "Apa? Dingin?"

"Dingin? Ya, ya, dingin permulaan yang bagus. Kau mendekati pintu itu; kau harus mendekati pintu itu. Pelan-pelan saja, tak usah terburu-buru. Coba kau pegang gagangnya, apa dia punya gagang? Bila tidak, apa yang bisa kau pegang? Besi dingin berbentuk lingkaran?" Cyrus terdiam sejenak, membiarkan Raka membayangkan dan merasakan sekaligus, "Kalau itu terasa dingin, coba ketuk, dan buka pintunya. Kau dengar sesuatu tidak?"

"Aku mendengar suaramu," ucap Raka, masih memejamkan matanya.

"Tidak, tidak, tidak. Jika kau sudah membuka pintunya, tapi belum mendengar apapun berarti ada yang salah. Coba kau tutup lagi dan kali ini ulangi semua dari awal. Kau tahu, pasang semua inderamu dan tetap jangan lupa gunakan ini," jemari Cyrus terasa di kepala Raka, mengetukkan telunjuknya beberapa kali, "Dan ingat ada teman yang kau percaya dulu berada di balik pintu itu. Temanmu, temanku juga. Orang yang telah mengawasi sepanjang hidupmu."

"Cecil?" tanya Raka namun tak ada jawaban satupun. Meski sulit dicerna, pemuda itu mengulangi apa yang Cy katakan di dalam pikirannya. Ketika ia membayangkan lagi sebuah pintu yang menghubungkannya dengan ruangan Masou, ia dapat mendengar suara berdebum beberapa meter tak jauh darinya.

"Bagus," suara Cyrus terdengar riang, "bagus, bagus, bagus."

Kerutan di dahi Raka semakin dalam dan perlahan, pemuda itu membuka mata. Betapa terkejutnya ia melihat sebuah pintu terpampang di hadapannya. Memang ukurannya tidak sebesar kali pertama Raka melihatnya, tapi setidaknya pintu itu memiliki lambang yang sama tergores di sana. Dengan pandangan penuh rasa tidak percaya, Raka mengerjapkan mata, kebingungan.

Cyrus menyeringai lalu mengetukkan jarinya lagi di kepalanya, "Kadang yang kau cari itu tidak harus selalu tampak, Hiraka. Tidak harus selalu tampak."

Masih larut dalam pikiran, yang menyambut di balik pintu itu tetaplah kegelapan. Ruang kosong itu tidak menimbulkan perasaan mencekam yang bisa membuat bulu kuduknya berdiri. Anehnya, kesunyian itu malah menenangkan dirinya. Semakin dalam ia menelusuri, pintu di belakangnya tertutup sendiri, meninggalkan Raka dan Cyrus di tengah kegelapan. Melihat ke atas, tampak gemerlap cahaya kebiruan di sana; berpendar terang lalu gelap, terang lalu gelap.

"Jadi apa sekarang? Aku tidak merasa semakin kuat," tanya Raka dengan pikiran yang belum tersusun baik. Suaranya bergema di ruangan yang terlihat hampa ini. Ia bahkan lupa kenapa ia ingin bertemu dengan Cyrus pada awalnya.

"Prosesnya tidak akan semudah dan secepat itu, Raka."

Raka mengenali suara perempuan itu: Cecilia. Ia melipat kedua tangannya, menggerai rambut hitamnya yang panjang, tampak kontras dengan kemeja putih yang ia kenakan. Jarak mereka mungkin hanya sekitar tiga meter namun dalam kesunyian yang menyelubungi, suara pelannya bisa terdengar cukup jelas di telinga Raka.

"Yeah, memang," jawab Raka, "Ingat kalau ada yang bilang bahwa aku ini terlalu berharga untuk mati. Oleh karenanya dia mengantarkanku ke sini, huh? Bisa kau menjelaskan hal itu, Cel?"

Celene menarik napas panjang, "Aku bukan orang yang tepat untuk membicarakan ini, Raka."

"Serius? Setelah semua ini?" cibir Raka, perkataannya terdengar dingin, "Aku tahu kau menyembunyikan sesuatu, Cecil. Kenapa juga aku 'diawasi' oleh kalian? Kenapa juga aku tidak boleh mati? Ini hidupku dan aku mempunyai risiko itu dan aku siap untuk menanggung risiko itu. Kenapa?"

"Kami...mempunyai kontrak...atau janji untuk menjagamu tetap utuh sampai waktunya tiba kamu bertemu dengan orang itu," Celene memilih perkataannya dengan hati-hati.

Kenapa semua orang hobi sekali bertele-tele, "Dan orang itu adalah?"

"Seserorang...dari keluargamu," jawab Celene.

Raka mengerutkan alis, "Seluruh anggota keluargaku ada di...tempat yang kalian sebut Permukaan Atas...'kan?"

Cyrus mendengus, "Yakin? Kau dapat apa yang kau lihat, tapi kau tidak pernah mencari, Hiraka. Tidak pernah mencari," oloknya. Terdengar suara denting es yang dimasukkan ke dalam gelas kaca. Entah dari mana, pria berpakaian serba hitam itu telah berada di balik bar, menuangkan alkohol ke dalam beberapa gelas sloki, "Perbincangan berikutnya mungkin tidak enak bagimu jadi jangan sungkan ambil minum ini untuk membuat tubuhmu lebih rileks, eh?"

Raka mengabaikan omongan Cyrus dan bertanya lagi, "Lalu dia mau apa denganku?"

"Entahlah, tapi mungkin dia mempunyai rencana terhadapmu. Dia tidak pernah membicarakan hal itu dan kami juga sudah lama tidak berjumpa dengannya," Celene mengambil gelas sloki yang telah disiapkan Cyrus, dan menenggaknya, "Tapi intinya adalah, orang itu membantu kami mencegah makhluk-makhluk yang kau temui di Antarkasma pergi menembus Permukaan Atas maupun Bumiapara."

"Yang Terlupakan percaya akan Tuhan," gumam Raka, mengingat rentetan peristiwa 12 jam terakhir.

"Ya, mereka bisa saja percaya akan Sang Pencipta," komentar Cyrus, "tapi apa kau lupa bagaimana mereka mati-matian mengejarmu dan Terrin? Kau baru bertemu beberapa, sementara jumlah mereka mungkin nyaris sama dengan populasi manusia di seluruh dunia. Bisa kau bayangkan jika mereka berhasil ke Permukaan Atas atau Bumiapara, mengoyak dagingmu?"

"Masih bukan urusanku," ucap Raka, "Prioritasku bukan itu."

"Aku tahu," ucap Cecil, "Tapi kau, katakanlah, prioritas kedua kami. Apapun yang kau lakukan penting bagi kami. Kami membuat janji dan janji itu akan mempengaruhi masa depan dan keluargamu di Permukaan Atas. Karena itu Raka, kami selalu mengawasi dirimu."

Bisa-bisanya, pikir Raka. Ia muak dengan segala lapisan teka-teki yang menyelubungi hidupnya. "Persetan. Aku enggak peduli. Aku di sini tidak untuk menjadi pahlawan, Cel. Kalau kalian pikir aku sudah cukup kuat, aku kembali saja ke Floor."

"Dalam kondisi seperti itu?" tanya Celene, "Kau bahkan tidak dalam kondisi primamu, Raka. Ingat apa yang pernah Nova katakan? 'Datang ke Floor tanpa persiapan hanya akan mendekatkan garis kematianmu."

Celene ada benarnya. Raka belum lagi melihat cermin, tapi ia tahu tubuhnya tak lagi keruan. Baik penampilan maupun fisiknya. Wajahnya juga pasti tampak kecut dari rentetan kejadian ini. Ia lelah.

"Orang memang pasti mati," gumam pemuda itu.

"Biarkan saja dia pergi, Celene," ucap Cyrus menenggak alkoholnya. Pria bertindik itu menatap Raka dalam-dalam dan mengacungkan jari telunjuknya, "Kalau kau mencariku hanya untuk bisa kembali ke tempat Nova Sarojin atau manapun yang kau mau itu, pintunya ada di sebelah sana. Kau tahu bagaimana cara menggunakannya, tinggal tekan kenopnya saja dan voila, kau tiba."

Kedua raksaka itu menatap Raka dalam diam. Mereka memberikan pilihan namun Raka-lah yang harus memilih. Ia menarik napas. Berjalan mendekati pintu, mengevaluasi kejadian-kejadian beberapa hari terakhir. Banyak orang tewas di dekatnya dan Raka tidak bisa melakukan apa-apa. Sahabatnya meninggal dan Raka terlambat untuk menolongnya. Orang yang ia kasihi terpojokkan dan Raka hampir tidak bisa melakukan apa-apa. Beberapa kali ia menyerempet garis kematian dan Raka belum bisa menopang tubuhnya dengan kakinya sendiri. Genggaman pada gagang pintu semakin keras hingga kepalan tangannya terasa sakit. Raka terdiam di depan pintu, menekan gagangnya ke bawah.

"Bukannya kau ingin bisa bertahan hidup untuk menyelesaikan misi pribadimu itu?" tanya Celene dari kejauhan.

"Ya," ucap Raka sepuluh detik kemudian. Ia menutup pintunya dan berbalik. "Gua enggak perlu bisa melakukan sihir seperti yang kalian lakukan 'kan?"

Celene dan Cyrus saling tatap. Cel berkata, "Tidak untuk sekarang, rasanya."

"Tujuh hari?" tawar Raka.

Mendengar itu Cyrus tertawa, suara seraknya menggema di seluruh ruangan itu. Ia berkata, "Kau bisa muntah darah, Hiraka. Muntah darah!"

*

//HALO! *berlari dari ujung ruangan ke ujung ruangan lainnya* berhasil update! Hore! Tetep cuma mau bilang makasih sudah mau menunggu dan membaca hingga sejauh ini. Btw, adakah yang bisa menebak ada apa dengan Raka? (lalu berubah judul jadi AADR)

Chapter ini surprisingly mudah diketik. Iya, saya seneng aja sih jadi agak lancar. Kaya dapat pencerahan. Meskipun dipikir-pikir agak ke mana-mana tapi yaudah lah ya. Hehe. everything has its reason kok. Thank you again, see you when I see you!//

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top