Antarkasma - 6

SELAMA BEBERAPA WAKTU, Raka merasa aman karena mengikuti segala hal Yang Terlupakan ini lakukan. Mereka tak pernah berkata 'aku', selalu menggunakan kata ganti 'kami' dan kata ganti orang ketiga. Entah kenapa mereka pun tampak segan terhadap Raka. Mereka tidak makan maupun minum; juga selalu bicara dengan geraman rendah dari tenggorokannya. Meskipun begitu, setiap gerak-gerik mereka tak pernah membuat jantung Raka tidak berhenti. Tak jarang Raka didekati, diendus, bahkan ditatap dalam-dalam seolah-olah ia adalah sebuah benda asing yang harus dikenali lebih lanjut. Entah apa yang terjadi jika mereka tahu identitas Raka yang sebenarnya. Kemungkinan besar ia akan celaka.

Di tengah upaya Raka agar bisa kerap membuka mata, ia mendengarkan perbincangan antara satu sosok dengan sosok yang lainnya. Mereka tak pernah menyebut nama yang akrab di telinga sehingga sulit bagi Raka untuk memanggil yang satu dengan yang lainnya. Mereka bilang mereka tak bernama; hanya mereka yang mempunyai wujud nyaris menyerupai manusialah perlahan mendapat panggilannya sendiri.

Memori-memori itu terbentuk, katanya, dari organ-organ serta anggota tubuh yang disematkan oleh wujud Yang Terlupakan, membentuk sebuah entitas baru. Nama yang tersematkan mereka ambil dari tumpukan memori itu. Tujuan mereka cuma satu: pergi ke sebuah dunia baru —Permukaan Atas maupun Bumiapara— untuk mendapatkan sebuah kehidupan dan menikmati apa yang disebut dengan 'hidup'.

Kenapa mereka begitu terobsesi akan kehidupan, pikir Raka. Ya, menjadi manusia tentu saja menyenangkan dengan segala pesta, musik, dan juga makanan enaknya, tetapi tidak sesederhana itu 'kan? Manusia perlu istirahat, perlu memejamkan mata dan mengembalikan energi yang habis, perlu memikirkan uang yang sulit dicari, perlu buang air, perlu segala hal yang lebih kompleks hanya karena sebuah sistem. Kenapa yang terlupakan ini ingin sekali ke Permukaan Atas?

Alih-alih menanyakan hal itu secara langsung, Raka berdalih, berusaha mencari celah dari pembicaraan agar bisa masuk ke inti pertanyaannya. "Apa kalian tidak lihat?" ucap sosok bermata kambing, "tanah ini telah mati. Tak bisa kalian sebut rindang, pun kabut yang tebal menggelapkan segala hal."

"Betara Surya," ucapnya, "Sebuah entitas besar nan agung yang memberikan kehidupan... sang matahari."

Mengerutkan alis, Raka bertanya, "Dan dari mana kalian tahu nikmatnya matahari?"

"Kisah. Kisah yang selalu dinyanyikan sebelum semuanya tertimpa kabut dan kegelapan. Kejayaan Antarkasma dan anak-anak buangan dari Sang Pencipta."

Sang Pencipta? Tuhan? Huh, ini hal yang baru, pikir Raka.

Sosok-sosok itu terdiam, udara dingin membuat Raka tak kuasa merapatkan lagi jaketnya. Tubuh serupa bayangan mereka tak bisa merasa kedinginan maupun menggigil. Suara rendah bergemuruh terdengar tak lama kemudian, melantunkan nada-nada yang asing di telinganya. Tanpa komando maupun aba-aba, nyanyian kisah ini bagaikan sebuah dongeng yang diberikan anak cucu sebelum tidur. Beberapa katanya terdengar asing namun tak lama dirinya terasa merinding. Di balik tengkorak hewannya, Raka hanya bisa mendengarkan larik-larik yang suram dari sebuah balada.

Segala ihwal yang disentunya 'kan kehilangan mahia kehidupan.
Bentala tandus tiap setapak yang dilangkahkan.
O dialah Sang Kegelapan; anak Tuhan, anak Tuhan

Dijatuhkan oleh-Nya bagai nila ke bumi tanpa nama
Hancurkan segala satwa dan rimba; tandas, kandas.
O dialah Sang Kegelapan; anak Tuhan, anak Tuhan

Kembalilah kau anak-anak bintang,
Percayalah kau akan pulang.
Baskara kan menyambutmu kala datang
O merekalah yang terbuang; Yang Terlupakan, Yang Terlupakan

Nyanyian mereka terhenti kala terdengar langkah kaki mendekat. Di balik tengkorak yang ia kenakan, tampak seseorang berjalan mendekati mereka. Pria —jika dia bisa dibilang pria— berperawakan tinggi. Rambutnya yang sebahu digerai dengan warna kelabu yang nyaris sama dengan kulit. Jika bukan karena kulitnya yang kelabu, sosok itu sudah tak bisa lagi dibedakan dari manusia biasa apalagi dengan proporsi tubuh yang proposional. Ia bersiul kagum, mengatakan bahwa sudah jarang ia mendengar mereka menyanyikan balada itu. Suram, panjang, meninggalkan angan-angan mati yang tak lama akan menguap bersama mimpi.

Sosok itu begitu intimidatif dibandingkan dengan sosok-sosok Yang Terlupakan yang lain. Tak ada senyum yang merekah di bibir maupun kata-kata yang terucap. Mata Raka hanya mengamat, mendapati jahitan-jahitan hitam memenuhi setiap anggota tubuhnya, seolah dijahit menjadi satu. Stratanya pasti lebih tinggi, mengingat semakin ia menyerupai manusia semakin dekat mereka untuk pergi ke Permukaan Atas maupun Bumiapara.

Anehnya, pria kelabu itu menyebut dirinya dengan kata ganti orang pertama. Ia berjalan tegap kemudian duduk diantara sosok berkepala banteng dan bermata kambing. Hidungnya yang mancung mengendus udara, "Kau mencium itu?" katanya, "Aku mencium bau manusia."

Seketika Raka membatu. Jika lari sama dengan mati, berdiam diri juga bisa berdampak sama. Apa pria kelabu ini sebodoh Yang Terlupakan lainnya yang bisa dimanipulasi?

Berjalan mendekati Raka, pria itu menatapnya lamat-lamat. "Kau bukan dari sini 'kan? Aku belum pernah melihatmu sebelumnya."

"Tidak," ucap Raka dengan suara serak dibuat-buat.

"Lantas dari mana?"

"Sebuah tempat jauh dari balik pintu."

"Pintu? Kau dari balik pintu? Pintu itu?"

Raka menyipitkan mata, menggeleng, "Kami rasa, pintu itu bukanlah pintu tempat asalku. Kalian tahu, santapan terakhir yang kami makan membuatku menjadi begini. Sedikit pelupa. Setiap orang mempunyai proses yang berbeda dalam hal ini kan?" Raka mengalihkan pembicaraan, "Kami menjadi mudah melupakan hal penting."

Sosok itu memiringkan kepala. Ia menyipitkan mata, tak lama ia menyeringai. Wajah kelabu itu mendekat ke telinga Raka, berbisik dengan suara sedingin es, "Kau kira aku bodoh, huh?"

Punggung Raka berdesir, terasa dingin dan membuatnya kaku. Kata-katanya bagai menguliti Raka dari dalam. Dengusan dari moncongnya membuat jantung Raka seolah-olah berhenti. Pemuda itu ketakutan dan otomatis berkeringat dingin. Mampus.

Sosok itu mengangkat tangannya, menepis tengkorak yang Raka kenakan untuk menutupi identitasnya hingga terjatuh ke tanah. Ketika kepala Raka terlihat, si kepala banteng menyeringai lebar kemudian mencengkram leher Raka dengan jemarinya. Cengkramannya kuat, terasa menusuk hingga ke dalam daging. Raka harap ia mati sekarang agar tidak merasakan sakit yang mengerikan ini, alih-alih pemuda itu termegap dengan tenggorokan yang terasa panas kala oksigen masuk.

Terbatuk lagi, tarikan napas Raka tak mendapatkan apapun. Kakinya tak lagi menapak dan tubuhnya dibawa oleh sosok itu entah ke mana. Pandangan matanya mulai kabur, Raka pun sulit untuk melawan tenaga si kepala banteng.

Setiap detik yang berlalu, Raka tahu sosok itu membawanya semakin jauh. Setiap detik yang berlalu, langkah kaki si kepala banteng semakin cepat membawanya menjauh dari sosok-sosok yang lain. Dan ketika kecepatan langkahnya maksimum, Yang Terlupakan menghantam kepalanya ke tembok --atau batu, Raka tak bisa membedakan.

Telinga Raka berdenging, pandangannya mendadak kabur, Raka sudah tak ada tenaga lagi untuk melawan. Kala itu pemuda itu merasa yakin bahwa ia akan mati. Petualangannya akan berakhir di sini, misteri kematian Jun takkan terungkap, dan ia akan meninggalkan Indhira lagi. Ia tidak cukup kuat. Dia akan mati.

Mati.

Terasa napas panas makhluk itu di wajahnya. Ketika kepala kerbau itu membuka mulutnya, terlihat taring-taring yang tajam serta sebuah sosok hitam di baliknya; siap memakannya bulat-bulat, menelan kepalanya.

Apakah ini akhir dari semua?

Sakit. Sakit bukan main. Lehernya terasa panas, pandangannya semakin kabur. Bagaikan disengat namun mungkin lebih dalam daripada itu. Geligi tajam itu menyentuh Raka, ia merasakan cairan hangat menuruni wajahnya. Bukan, bukan darahnya, melainkan darah dari Yang Terlupakan itu.

Mata sosok di hadapannya keluar dari rongga dengan moncong yang menganga. Keningnya bolong, tertembak menembus tengkorak. Ia pun terjatuh ke belakang; tak bernyawa. Raka terduduk lemas, benar-benar tak habis pikir dengan apapun yang terjadi barusan.

Tak ada tembakan senjata api, tak ada selongsong peluru yang terdengar jatuh. Sosok itu roboh bagaikan cabang pohon yang kering, meninggalkan sosok lain Yang Terlupakan menolehkan kepalanya, mencari sumber suara. Menekan leher, Raka mengatur napas dan detak jantungnya. Terlalu lemas kakinya untuk berdiri, terlalu kacau kepalanya untuk berpikir logis. Pilihannya hanya lari atau mati.

Dalam waktu yang begitu cepat itu, makhluk-makhluk itu bergerak mengerumuni si kepala banteng, menghasilkan suara berdesir yang merambat hingga telinga. Mereka menggerogoti sosok yang ditakuti itu; geligi bersentuhan dengan belulang, berderit mengerikan.

Pemandangan itu tidak indah. Mereka mengerubungi tubuh si kepala kerbau bagaikan semut mengerubungi bangkai hewan. Saat mereka telah menghabiskan salah satu bagian si kepala kerbau, bagian tubuh itu seperti berpindah ke sosok yang memakannya. Membesar, membentuk bagian-bagian tubuh yang tadinya tak berbentuk. Perasaannya sama ketika melihat Masou merubah sosoknya menjadi burung hantu raksasa.

Satu sosok yang Raka yakin berbicara dengannya tadi, mengalihkan kepalanya pada pemuda itu. Meskipun matanya tak tampak, perasaan yang dingin menjalar sepanjang punggungnya. Ia tak bisa bergerak; kakinya bagaikan tertancap. Makhluk itu berdiri, mengincar Raka. Kuda-kudanya siap menerjang dan pemuda itu pun mengambil langkah lebar. Sosok di belakangnya mencoba untuk meraih dirinya: mengulurkan tangan, mencoba menarik jaket yang ia kenakan.

Sekali lagi, udara di sampingnya terasa hangat ketika sesuatu melesat cepat, menjatuhkan kembali sosok Yang Terlupakan yang mengejarnya. Benda apapun itu menembus kepalanya dan sosok-sosok berbayang di belakangnya melakukan hal yang serupa pada si kepala kerbau. Raka tak mau melihat hal yang sama lagi. Ia menengadah, mencari asal benda apapun yang melesat ke arah sosok-sosok itu.

Jaraknya mungkin hanya seratus meter, tapi ia berada jauh di atas reruntuhan tempat Raka datang. Berjubah usang dan tertutup tudung berwarna sama kelabunya dengan lingkungan sekitar. Laki-laki atau perempuan, Raka tak bisa mengetahuinya. Dia membidik dan lagi-lagi makhluk itu bertumbangan di belakangnya.

Raka mencari-cari pintu masuk menuju reruntuhan, memegangi lehernya yang terasa ngilu. Ketika ia menemukan celah dan masuk ke dalamnya, Raka menarik napas panjang. Sial, dia tidak bisa berpikir jernih.

Jika ia tidak bergerak sekarang, sosok-sosok itu pasti akan segera menangkapnya. Meski masih jauh, tapi terasa desiran yang mengikuti semakin dekat di belakangnya. Raka menarik napas, berjalan menjauhi cahaya, mencari rangkaian tangga dalam gelap. Jika ia bertemu dengan seseorang yang telah membunuh Yang Terlupakan itu, setidaknya Raka bisa tahu bagaimana caranya bertahan hidup. Setidaknya ia bisa menjadi sedikit lebih kuat...setidaknya, itu yang ia harapkan.

Raka mencari tangga terdekat dan melupakan apakah ia pernah melewati jalan itu sebelumnya. Beruntung ketika Raka tiba di lantai berikutnya, sosok berjubah itu masih berada di sana. Ia berdiri menghadap jendela, dengan sebuah senapan berlaras panjang disampirkan di bahunya.

Jubah yang ia kenakan berkibar karena angin, menunjukkan sosok seorang pria berwajah tirus, berambut lurus dengan pipi ditumbuhi janggut lebat. Kantung mata hitam serta mata merah membuat pria itu tampak lebih kacau daripada seorang tunawisma yang pernah Raka temui. Pria itu mengatupkan rahangnya, menyipitkan mata seolah-olah bisa membunuh Raka dengan tatapan tajam.

Pria berwajah tirus itu membuka mulut, tetapi Raka tak bisa mengartikan perkataannya. Ia mengucapkan bahasa yang asing sama sekali dan Raka hanya bisa mengerutkan alis. Berdecak, pria asing itu mengarahkan senjatanya pada Raka dan menarik pelatuknya.

Raka terbelalak. Ia kira pria itu akan membunuhnya. Untungnya, benda apapun yang terlontar dari senjatanya mengenai sosok di belakang Raka, menimbulkan suara mengerang mengerikan yang membuat jantung Raka nyaris berhenti. Sontak Raka menunduk, berlari ke depan tanpa tahu ada berapa banyak makhluk yang mengikutinya dari belakang. Beberapa kali ia nyaris tersandung dan Raka dapat merasakan peluru yang melesat lewat di atasnya, mengenai sosok-sosok yang mengejar, menimbulkan lagi geraman dan juga erangan yang memilukan.

Ketika jarak Raka semakin dekat, pria berwajah tirus itu mendorong Raka ke belakangnya dan ia pun ikut berlari. Suara berdesir itu muncul lagi, menggelitik telinga dan juga sesuatu di punggungnya. Mereka menaiki tangga. Sesekali ia menoleh ke belakang untuk menarik pelatuk dan menjatuhkan lagi sosok-sosok yang mengejar. Efektif atau tidak, yang penting kakinya terus bergerak untuk memperlebar jarak.

Menaiki tangga, pria asing itu mengarahkan Raka untuk bersembunyi di balik susunan peti-peti rongsok yang menggunung. Dengan penerangan dari luar yang tampak kelam, tak banyak cahaya yang masuk ke dalam lorong itu. Mereka bersembunyi tak jauh dari jendela. Raka tak tahu mana yang harus ia takuti terlebih dahulu: sosok-sosok yang semakin dekat menuju tangga, atau kekacauan belasan meter di bawah sana.

Suara berdebum memekakkan telinga, bagaikan pohon tumbang menghempas tanah. Sudut mata Raka menangkap sosok bayangan hitam melesat; berukuran lebih kecil daripada sosok Yang Terlupakan yang mengejar-ngejar Raka. Bayangan hitam itu menjatuhkan lawannya satu persatu, meninggalkan mereka bagaikan debu. Pandangannya beralih lagi ketika terdengar suara berderik dari lorong, membuat Raka menahan napas cemas.

Pria asing di sampingnya mencengkram bahu Raka kencang, mengisyaratkan agar ia tak bergerak. Apa yang bisa ia lakukan? Sosok-sosok Yang Terlupakan menganggap manusia sebagai makan besar mereka. Gerakan mereka tak bisa diduga. Suatu kali jalan mereka terseok, detik kemudian lebih cepat daripada citah; suatu kali ukuran tubuh mereka sama besarnya dengan Raka, detik kemudian sama tingginya dengan sebatang pohon. Yang bisa membuat mereka mati hanyalah peluru yang dilontarkan dari senapan pria asing di sampingnya ini. Pun Raka tidak tahu terbuat dari apa senjata itu hingga membuat mereka terberai bagai debu.

Meski ia tak bisa membedakan makhluk-makhluk itu di dalam kegelapan, Raka tahu, ia hanya tahu bahwa mereka bergerak mendekat. Napasnya tertahan seolah-olah untuk menarik oksigen ke paru-parunya akan membawa malapetaka; matanya pun dipejamkan. Kesunyian yang mencekam ini membuat ia dapat mendengar detak jantungnya sendiri. Di satu sisi, ia berharap jantungnya berhenti saja.

Ketika pria asing di sampingnya meremas pundak Raka, pemuda itu membuka matanya. Ia terbelalak melihat sebuah mata yang tampak dari celah-celah peti, tengah melototi dirinya. Raka nyaris melompat, tapi pria bermata merah itu mencengkramnya terlalu keras hingga Raka hanya bisa menggigit bibir. Terkecap rasa besi di ujung lidahnya, tapi ia tidak bisa melakukan apa-apa.

Peti-peti berderit. Sosok itu berupaya untuk memindahkan apapun yang menghalangi mereka, mencari keberadaan Raka; keberadaan manusia. Raka tahu bahwa pria di sampingnya bisa melakukan sesuatu, tapi kenapa dia hanya diam saja? Memandangnya pun tidak berguna, pria asing itu mematung...atau mungkin menunggu momen yang tepat.

Dalam detik yang terasa menit, lagi-lagi terdengar ledakan belasan meter di bawah sana. Otomatis, sosok yang tadi menatapnya teralihkan perhatiannya. Pria asing itu mengacungkan senjata yang ia pakai untuk menumbangkan makhluk-makhluk itu dan menarik pelatuknya.

Kilatan mata penuh dengki, darah yang membuncah, udara yang berdesing, juga butiran debu. Derapan kaki mereka semakin nyaring, mencari-cari sumber suara. Desiran dan desisan makhluk-makhluk yang semakin mendekat dibisukan oleh peluru yang dilontarkan, membuat mereka rubuh satu persatu. Sayangnya, jumlah sosok itu tak terhingga.

Pria asing itu menarik Raka; mendorongnya ke belakang. Dia masih menembaki makhluk-makhluk itu dari celah sempit untuk melindungi, tidak, untuk bertahan hidup. Tapi, hanya papan tipis yang membatasi mereka dengan makhluk-makhluk itu. Tinggal keberuntungan yang bisa memberikannya waktu lebih —dan Raka tahu keberuntungannya telah habis ditelan oleh banyak hal. Tiga detik kemudian tumpukan peti yang membuat mereka aman hancur berkeping-keping.

Makhluk itu paling jangkung di antara semuanya. Saking tingginya, dia mencapai langit-langit dan membungkuk. Kakinya besar dan keras layaknya seekor gajah. Wajahnya hitam, tak tampak profilnya; hanya cahaya hijau di mana letak sepasang mata seharusnya berada. Raka mengalihkan pandangan pada pria asing di sampingnya dan dia bergeming.

Asu, jantung Raka sudah tak keruan.

Apa yang bisa ia lakukan? Apa yang bisa ia lakukan?

Raka lupa bahwa ia masih menyimpan belati yang dipinjami oleh Celene. Gagangnya terasa dingin di lengan Raka. Waktu terasa tak lagi berputar. Sosok-sosok Yang Terlupakan tidak langsung menerjang seolah-olah mereka ingin memainkan mangsanya terlebih dahulu: membuat mereka terpojok, menunggu mangsanya membuat kesalahan, lalu menyantapnya di saat yang tepat. Sementara itu, si pria asing memasang kuda-kuda agar tetap awas. Sekalinya ia menarik pelatuk lagi, itu tandanya mereka akan bertempur.

Raka bersiul memanggil pria itu, menunjukkan belati di tangannya. Ia siap mengalihkan perhatian makhluk itu, menjadi umpan untuk kabur meskipun nyawa taruhannya. Setidaknya ia harus mencoba daripada mati tidak berguna. Melirik Raka dan tetap awas akan keadaan, pria itu menggeleng pelan dengan kerutan di dahi.

Pemuda itu tidak tahu apakah pria itu paham atau tidak dengan apa yang jadi isi kepalanya. Memanggil lagi dengan siulan, Raka mengisyaratkan bahwa ia akan melukai sosok jangkung itu tepat di bagian kaki. Raka hanya menggunakan bahasa tubuh yang sederhana, berharap bahasa monyet ini masih bisa dipahami oleh orang itu. Alih-alih mengangguk, pria itu menurunkan sedikit senjatanya. Ia mengangkat kepalan tangan kanannya di samping telinga, menyuruh Raka untuk diam dan menunggu aba-aba darinya.

Raka bersiaga. Udara di sekitarnya terasa semakin berat dengan momen-momen yang mengharuskan ia menunggu. Kesunyian yang membebat hanya diselipi oleh hembusan napas mereka dan makhluk-makhluk itu. Perut Raka bagai dipelintir dan diinjak-injak sekaligus. Raka memasang telinganya baik-baik.

Jika beberapa saat yang lalu terdengar banyak dentuman karena perkelahian, kini yang tertinggal hanyalah kesenyapan. Mungkin saja sosok yang menjatuhkan makhluk-makhluk itu sudah mati atau mungkin dia juga tengah menunggu seperti Raka dan pria asing itu, mencari waktu yang tepat. Mungkin juga dugaan Raka salah.

Tak lama terdengar lagi suara dentuman di bawah mereka. Kali ini lebih nyaring, mungkin karena tepat di bawah mereka. Lolongan memilukan, dinding yang rubuh, geraman yang tidak seperti layaknya manusia, serta auman macan kumbang.

Tunggu, macan kumbang?

Gema langkah kaki terdengar semakin nyaring dan semakin nyaring. Raka mempererat cengkramannya pada gagang itu; berkali-kali mengalihkan pandangannya dari sosok-sosok di hadapannya lalu ke si pria asing. Jantungnya berdebar cepat.

Beberapa sosok di hadapannya berpaling, mencari sumber suara namun mata yang lain masih mengawasi gerak-gerik Raka dan juga pria berjubah itu. Pria asing itu memasang kuda-kuda seiring geraman dan langkah kakinya mendekat. Semakin nyaring, semakin nyaring, semakin nyaring.

Macan kumbang itu mengaum, pria asing itu memberikan tandanya, dan Raka berguling ke depan kemudian mengambil langkah lebar ke sosok jangkung itu. Telinganya pekak mendengar peluru yang dilontarkan juga dengan lolongan pilu serta auman yang menggetarkan udara. Tanpa perkiraan akan melukai sosok itu, Raka menikamkan belatinya ke kaki si Yang Terlupakan. Begitu dalam hingga cairan hangat terasa di tangannya.

Sosok itu memekik; Raka mencabut belatinya kemudian menikamnya lagi di bagian yang lain. Kaki Yang Terlupakan yang panjang bergerak lambat, tangannya mencoba untuk meraih tikus kecil yang melukai dirinya namun Raka masih bisa bergerak lebih gesit. Ia berlari memutar, menuju kaki satunya lalu menikamnya lagi, kali ini mengoyaknya ke bawah hingga meninggalkan luka yang dalam di dagingnya. Sosok itu meraung, kehilangan keseimbangan. Meskipun begitu, luka di kaki takkan memberikan banyak waktu untuk kabur. Sayangnya sosok itu terlalu tinggi bagi Raka untuk diincar organ vitalnya. Tapi, bagian mana yang bisa membuat makhluk itu sekali tusuk mati?

Sudut matanya teralihkan pada si pria berjubah yang berteriak, seolah-olah memanggil Raka. Dia hendak mengarahkan senapannya namun dua makhluk buruk rupa tengah mengerubunginya. Menarik pelatuk dan menjatuhkan lawan, pria itu mengisyaratkan untuk menghadap ke belakang.

Lagi-lagi Raka lengah. Satu sosok Yang Terlupakan berada tepat di belakangnya. Kala Raka mengangkat belatinya untuk bertahan, terlambat sudah. Belatinya terpelanting; Raka tertindih oleh makhluk itu. Wujudnya yang cukup besar memiliki kulit berlendir. Kepalanya bulat dan di tempat seharusnya mata terletak hanyalah dua lingkaran berpendar kemerahan. Mulutnya membuka lebar menunjukkan geligi runcing dan tajam, siap melahap Raka.

Raka terengah, memalingkan wajahnya agar tidak terkena air liur. Susah payah ia menggapai belati tak jauh darinya. Akan tetapi, Raka kesulitan untuk bergerak.Ia meringis, sulit membalikkan tubuh karena tubuh sosok itu licin dan berat. Ia terlalu lelah; hanya teriakan yang keluar dari mulutnya. Teriakan penuh amarah dan juga perasaan takut untuk mati.

Di tengah usahanya untuk menggapai belati, Raka melihat sosok bayangan yang berlari ke arahnya. Macan kumbang itu menendang belati Raka, memperkecil jaraknya hingga Raka dapat mengambil benda itu.

"Lehernya, Hiraka Oktavi!" seru macan kumbang itu, suaranya parau dengan geraman rendah; tak terdengar asing di telinganya.

Berseru, Raka mengarahkan belatinya pada leher makhluk berlendir itu. Menusuknya dalam-dalam, Yang Terlupakan meraung pilu. Cairan hangat mengenai wajah Raka dengan bau besi yang menyengat. Napasnya tak keruan. Raka mencabut belatinya dan makhluk itu menimpa dirinya, mengejang, bermandikan darah yang lengket. Dengan rasa jijik dan jantung yang nyaris keluar dari dadanya, Raka mendorong makhluk itu dari atas tubuhnya.

Sementara itu, si pria berjubah terpojokkan. Terlalu banyak makhluk-makhluk yang mengelilinginya dan dia sudah kehabisan peluru. Mereka bisa berlari dari keadaan genting ini, tapi entah berapa persentase keselamatannya. Tidak mungkin ia berlari menikam lagi makhluk-makhluk itu. Staminanya telah habis.

Tergopoh, Raka berjalan mendekati pria itu; Cyrus, dalam wujud macan kumbangnya, menyusul Raka. Ia melompat, menerjang sosok-sosok yang mengerubungi pria asing itu, mengoyak lehernya. Pria jangkung itu pun mengambil kesempatan untuk melesat. Berlari secepat yang mereka bisa, memperlebar jarak di antara mereka semua. Entah berapa lama mereka berlari namun napas Raka sudah habis. Cyrus mendorongnya, menyuruh Raka agar terus berlari.

Lorong semakin gelap dan mereka melambat kala terlihat turunan tangga. Masih dalam wujud macan kumbangnya, dia memandang Raka dan pria itu, menganggukkan kepala; mengarahkannya ke tangga. Seratus meter dari sana,tampak secercah cahaya, meskipun tidaklah terang. Pria berjubah kelabu itu mengedikkan dagunya ke arah sana, mengajak mereka keluar dari tempat terkutuk itu.

Tanah tandus dan pohon-pohon ramping tampak sama dengan apa yang Raka lihat di perkemahan. Pria asing itu membawa mereka ke sebuah batu besar yang letaknya cukup strategis dan mereka bersembunyi di sana; jauh dari perkemahan, jauh dari makhluk-makhluk itu.

Raka terduduk, mengatur napasnya. Ia usap wajahnya yang berlumuran darah, berusaha menghilangkan bau yang membuatnya mual. Pria berwajah tirus itu juga tampak kelelahan namun pandangannya tetap waspada. Mulutnya terbuka, mengatakan sesuatu yang Raka tak mengerti namun ia tahu bahwa pria itu mengatakan raksaka dalam kalimatnya.

Cy menggeram rendah. Terdengar tulang bergemeretak ketika pria itu mengubah wujudnya menjadi tubuh manusia yang Raka kenali. Pakaian hitamnya masih sama dengan yang pernah Raka lihat, begitu pula dengan tindik di seluruh wajahnya. Ia menyeringai, menunjukkan geligi buruknya. Suaranya masih parau ketika dia berbicara, mengucapkan banyak hal dengan bahasa yang Raka tak mengerti. Mereka tampak berargumen. Tampak sekali kekesalan dan juga amarah di raut wajah pria asing itu. Sementara Cyrus, dengan omongan panjang lebarnya, terlihat sombong dan penuh harga diri.

Mereka terus berbicara dan Raka sudah menganggap mereka sebagai radio saja. Napasnya sudah mulai teratur namun tangannya masih gemetaran. Dilihat mata belatinya berlumuran darah, begitu pula dengan gagangnya. Tangannya masih terasa lengket dan hangat. Ini kali pertamanya ia membunuh sebuah makhluk yang bukan hewan dan, mengingat kegilaan yang dialaminya selama hampir berminggu-minggu ini, mungkin di waktu yang akan datang, ia harus menghabisi sesamanya.

*

*insert lagu Kelelawar Malam - Bangkit Dari Kubur*

//o well, halo, semuanya! Maaf ya baru update, mungkin ada yang ngira saya sudah mokad atau apalah. sebenernya bisa jadi, tapi sayangnya saya masih idup haha. Saya cuma mau bilang kalau saya sedang berusaha supaya Floor bisa di update 2 minggu sekali seperti jadwal semula. Iya, kemarin sempat sibuk dan jahatnya saya enggak ada kabar-kabar kalo hiatus dulu. Tapi intinya, saya mau bilang makasih bagi yang sudah baca ya. Cerita ini enggak akan lanjut tanpa dukungan kalian jadi ya terimakasih banyak :) Terimakasih lagi bagi yang setia menunggu. Aku padamu~ //

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top