28th Floor

DALAM SETIAP tegukan air yang membasahi kerongkongan Nova, gadis itu merasa lebih tenang. Luke terduduk di sampingnya, memegangi tulang rusuk yang ia keluhkan telah patah. Mengembalikan botol minum pada Raka, mereka kemudian membantu pria botak itu berdiri. Nova mengalungkan tangan Luke di lehernya, memapahnya untuk berjalan.

Suara gadis itu terdengar parau, "Kamu enggak apa-apa?"

"Aku pernah lebih baik," ujar pria itu, melirik tubuh si penjaga yang tak bernyawa, "Memalukan sekali membawa instansi negara seperti itu. Penjagalah, polisilah, kelakuannya enggak jauh beda dengan binatang. Memalukan."

"Raka," panggil Nova, pikiran yang menghantuinya kembali lagi, "saat aku pergi, aku mendengar suara tembakan. Apa ada yang...," ia tidak sanggup menyelesaikan kata-katanya.

Raka mengangguk. Nova nyaris menangis lagi jika saja pemuda itu tidak menimpali bahwa orang-orang Orenda yang telah tewas.

"Jadi, Indhi, Dr. Kei dan Dee masih hidup?"

"Yep. Mereka pergi ke utara."

Nova menghela napas lega. Gadis itu terkejut ketika Luke menepuk kepalanya dan berkata, "Lihat kan? Mereka baik-baik saja, tidak apa-apa."

"Meski dibilang enggak apa-apa... kalau mereka tetap di Disposal Floor, kemungkinan besar antek-antek Orenda itu akan datang mengepungnya. Mau tak mau, mereka juga harus kabur."

Raka melepaskan Luke, membiarkan Nova untuk memapahnya sendirian. Mengikuti pemuda itu pergi, Raka tampak berbeda dengan yang terakhir ia lihat. Ia tidak seriang dan tampak sebodoh kali pertama mereka bertemu. Kantung matanya menghitam, tubuhnya terlihat sedikit lebih kurus, dengan otot yang semakin terbentuk. Janggut serta jambang tumbuh tak teratur karena tak sempat dicukur. Rasa lelah baik fisik dan pikiran terbalut oleh sikapnya yang terlihat lebih kasar. Banyak hal yang pasti telah terjadi dengan dirinya beberapa hari belakangan ini.

"Apa kau harus membunuh mereka?" tanya Raka; melihat tubuh tak bernyawa tak lagi mengejutkan pemuda itu nampaknya. Ia mengambil senjata si penjaga yang telah berlumuran darah, "Kita masih bisa memakai ini kan?"

"Kau punya ide lain?" Kres balik bertanya, ia pun mengambil senjata api dari pria tak bernyawa itu, mengelapnya dari bercak darah "Lagipula Mocha butuh makan."

"Mocha?" Raka menyipitkan matanya.

"Pagnaku."

"Dia punya nama?"

Mengabaikan Raka dan Kresna yang memperdebatkan nama pagna, Nova menanyai kemampuan Luke untuk berdiri. Mengangguk, gadis itu mengambil langkah lebar menuju tempat pembantaian tadi. Ia merogoh karung berisi barang rongsok, mengambil tas selempangnya sembari memastikan sketsa-sketsa tatonya tidak rusak maupun berkurang secara jumlah.

Sementara itu, Kresna tengah mengosongkan karung berisi barang rongsok. Kedua pemuda itu saling pandang dan Raka mengerutkan alisnya dalam-dalam saat Kres memasukkan tubuh tak bernyawa itu ke dalam sana.

"Sudah kubilang, Mocha perlu makan."

Seratus langkah dari tempatnya berdiri, dengan omelan-omelan Raka yang membuat telinga mereka panas, mereka mengistirahatkan diri tak jauh dari sebuah lubang besar sebagai akses mereka ke dalam Huva Atma.

Kres menarik karung itu dan menjatuhkannya ke ke dalam lubang. Tak lama terdengar suara remukan tulang yang menggaung. Suaranya menggelitik Nova hingga rambut halus pada tengkuknya meremang. Ia menutup telinganya, berharap suara itu cepat berakhir.

Luke, duduk di sampingnya, menekan bagian perut dan dada, berterima kasih pada Raka dan Kres karena telah membantunya menghadapi penjaga-penjaga itu. Saling berkenalan, "Bagaimana kalian menemukan kami?" tanya pria itu, meringis ketika menemukan bagian yang paling menyakitkan.

"Baju pasien yang Nova pakai," Raka menunjuk gadis berambut burgundi itu, "Baunya masih bisa tercium sehingga pagna Kres bisa melacakmu."

"Mocha," Kres mengoreksi.

"Terakhir kita ketemu saat kamu menghilang di Huva Atma. Bagaimana kamu—"

"Masih hidup?" potong pemuda itu. Seringai Raka masih sama seperti kali pertama Nova melihatnya, "Entah Tuhan sayang denganku atau sebaliknya; nampaknya aku masih belum boleh mati. Aku punya banyak pertanyaan untukmu, Nova."

Nova menaikkan alisnya, mempertanyakan hubungan antara kematian Jun dengan dirinya.

"Jun siapa?" tanya Luke.

"Temanku," jelas Raka sembari mengambil sebatang rokok dari kotaknya. Menangkap gelagat Luke yang kerap memandangi kotak rokoknya, Raka melempar kotak itu. Pria botak itu menyambutnya dengan tangan terbuka, "Kematian Jun masih menjadi teka-teki yang harus kujawab."

"Tapi, setelah semua hal sial yang terjadi," Raka menambahkan, "Ada hal yang lebih mengerikan daripada yang orenda lakukan. Singkat cerita, semua itu berakar padamu, Nova."

"Aku?" tanya Nova, "Apa hal yang lebih mengerikan dibanding Orenda?"

"Siapa Celene?" Luke menyulut rokoknya.

"Antarkasma dan Celene seorang raksaka," melihat Nova yang hendak membuka mulutnya, pemuda itu mengangkat tangannya, "Aku enggak mau membicarakan itu sekarang, Nova. Tidak sekarang."

Mengulum bibir, Nova mengalihkan pandangannya. Gadis itu bisa mendengar Luke menggerutu sembari menggelengkan kepala, "Dasar bocah-bocah edan.

Raka mendengus, "Siapa yang lebih edan, aku atau kau yang nempel sama bocah-bocah edan?"

Nova terkekeh meskipun hanya sesaat. Pandangannya kembali kosong. Sesaat wajahnya secerah matahari pagi namun kembali bagai senja yang berawan. Semua teka-teki yang ingin Raka pecahkan kembali lagi pada Nova. Segala hal berpusat pada dirinya. Sementara itu, Nova hanyalah perpanjangan tangan dari ayahnya. Konyol.

Apakah ini kutukan? Tanya gadis itu pada dirinya sendiri.

"Lagipula aku ada firasat. Kalau ikut denganmu, Nov, mungkin aku akan menguak kebenaran."

"Kebenaran apa?" tanya gadis itu. Semua orang di sini memecah teka-teki dan mencari kebenaran, tak terkecuali dirinya.

Raka terdiam, enggan menjawab; Nova mengerutkan alisnya dalam-dalam. Di saat yang sama, Kresna keluar dari lubang menuju Huva Atma, melempar sebuah peta ke arah mereka. Pemuda itu mengedikkan dagunya, mengarahkan mereka agar segera berkemas.

"Mocha hampir selesai makan," ujarnya, "Perjalanan masih panjang dan kita harus mulai berkemas."

Kres menajajakan peta usangnya di atas tanah, menyuruh rekan perjalanannya untuk mendekat. Menunjuk sebuah bagian di sana, Kres menjelaskan bahwa itu adalah Floor. Jari telunjuknya bergerak ke arah selatan, melewati beberapa kota kecil.

"Ini tujuan akhir kita. Perjalanannya memakan waktu hampir satu hari penuh. Itu pun kalau kita tidak ada istirahatnya —yang mana tidak mungkin," jelas Kresna. Ia melanjutkan, "Akan tetapi, seperti yang disebutkan oleh Dee dan Kei, pagna tidak bisa lewat sana. Tanahnya terlalu kering dan keras karena temperatur yang tinggi. Oleh karenanya pagna tidak bisa menggali sampai sana."

"Jadi bagaimana caranya kita bisa ke sana?" tanya Nova. Ia ingat Kei pernah mengatakan bahwa ada rombongan pengembara yang bisa mereka tumpangi. Tapi, sampai sekarang gadis itu tidak melihat apa-apa di luar tembok tinggi Floor.

Kres mengarahkan telunjuknya ke Barat Daya, menunjuk sebuah tempat bernama Giyarim. "Kita akan berhenti di sini," katanya, "Ada pos pengendara di sana. Aku akan menitipkan Mocha supaya kita bisa melanjutkan perjalanan tanpa pagna. Pengendara lain akan mengurus Mocha selama kita pergi."

"Kita di sana lumayan lama 'kan?" Luke memastikan.

Kres menengadah, melihat posisi matahari, "Kemungkinan besar kita akan tiba ketika senja, beristirahat di sebuah penginapan murah tak jauh dari tempat pemberhentian, dan melanjutkan perjalanan paling cepat saat fajar. Aku mungkin mau mengistirahatkan bokongku setelah lama mengendarai pagna. Kita juga perlu mengisi ulang perbekalan, khususnya air mineral."

"Bagus. Aku mau memodifikasi senjata yang baru kita pungut dari orang-orang Orenda sialan itu. Kalian tahu, Giyarim merupakan tempat berkumpulnya para pandai senjata, eh?" Luke menunjuk senjata yang Raka sampirkan di bahunya, "Kau mau ikut atau gimana?"

Nova mengerjapkan mataya, menolak halus. Gadis itu menyelipkan rambutnya di belakang telinga dan menyisirnya perlahan, "Aku mau memotong rambutku yang bawa banyak sial ini."

Mendengar jawaban Nova, tidak membuat Luke begitu terkejut. Akan tetapi, kedua orang yang menyelamatkan mereka mengerutkan alisnya dalam, heran dari mana ide itu muncul.

"Kenapa diam?" tanya Nova.

"Kau mau potong rambut karena aku bilang begitu?" Luke mengangkat alisnya sebelah.

Alih-alih menjawab, Nova mengangkat bahunya dan memalingkan wajah.

Kini seluruh mata memandang Raka seolah-olah memerlukan keterangan pasti ke mana ia akan pergi. Ia mengangkat bahu, tidak terlalu memikirkan hal yang akan ia lakukan nanti.

"Bagaimana kalau aku ikut denganmu saja, Nova? Kita bisa lebih mengenal, tidak lagi mengenalmu sebagai 'Cewek aneh bertato yang tertusuk pisau'. Terdengar oke 'kan? Setelah itu kita bisa membeli perbekalan, kalau Kres memberikan kita uang."

"Aku memberikanmu uang?" ulang Kres.

"Aku tidak kebe—"

"Sebentar," Luke memotong pembicaraan mereka, mengabaikan bentuk protes Kres sama sekali, "bagaimana aku bisa percaya kalau kau tidak akan membahayakan Nova?"

Raka memiringkan kepala, "Kenapa juga aku mau membahayakannya? Aku juga punya senjata untuk melindungi diri sendiri dan mungkin juga dia."

"Mungkin juga dia?" ulang pria botak itu.

"Apa? Kau mau menjadi samsaknya?" Raka memegang bilah belati yang disarungkan di pinggangnya. Perkataannya tak tampak bercanda.

Luke menyeringai, "Yeah? Silakan saja kalau bisa."

Helaan napas Nova terdengar berat. "Sudah dong," pintanya namun tentu saja kedua orang itu tak bisa mendengar jika kepalanya mendidih.

Dengan wajah datar, Kresna menepok kepala dua laki-laki itu. Luke yang seharusnya lebih dewasa kehilangan ketenangannya. Raka, sementara itu, terlalu terkejut untuk marah. Matanya terbelalak lebar.

"Dengar ya, kalian boleh saja saling hajar atau apapun, tapi jangan di depanku. Aku enggak mau melihat tubuh kalian dimakan oleh Mocha, paham?" Kres menuding Luke tepat di wajah, menghardiknya, "Kau sebaiknya bisa berjalan. Aku tidak mau tulang rusukmu yang patah membuatku harus mendorongmu masuk ke Huva Atma."

Luke menoleh, memandang Nova dengan kerutan dalam di dahi. Menghela napas, gadis itu bangkit dari duduk, menyampirkan tas selempangnya di bahu. Ia berjalan melewati mereka semua menuju Lubang Huva Atma. Ia menoleh, memandangi mereka satu persatu dan berkata perlahan, "Kita tidak punya banyak waktu 'kan? Bisa kita pergi?"

"Kau dengar apa kata Tuan Putri? Ayo pergi," Luke bergegas; ia mengaduh ketika mencoba berdiri.

"Ah diamlah, kau bahkan kesulitan untuk bernapas," ejek Raka seperti anak SMP.

*

Nova rasa semakin lama mereka berada di dalam tanah dan berkendara dengan pagna, semakin panjang helaan napas para penumpangnya. Jalur mereka tak banyak penerangan seperti Huva Atma di Floor. Banyaknya adrenalin yang terbuang sejak delapan jam terakhir pun membuat ketiganya terlelap dengan cepat. Dengkuran Luke, didahului oleh ringisan, terdengar semakin panjang dan lama; disusul oleh Raka yang sudah mulai bosan merokok dan belum mau berbicara apapun mengenai perjalanannya hingga bisa bertemu mereka.

Udara yang lembab dan dingin pun membuat Nova, mau tak mau, ikut terkantuk-kantuk. Gadis itu tak lama terlelap, tidak mengetahui apakah Kresna, di balik kemudi, juga ikut tertidur atau tidak. Beruntung pengendara itu menyimpan sebuah lentera minyak dalam sebuah kantong besar di punggung Mocha. Pemuda itu telah mempersiapkan segala sesuatu sebelum mereka melanjutkan perjalanan ke Giyarim. Peta, lentera, perbekalan makanan dan minuman, bahkan beberapa helai selimut tersimpan di dalam kantong itu. Nova heran bagaimana bisa Kres membawa semua barangnya di sana.

Cahaya yang Kresna atur dari lampu minyak itu begitu redup, menampilkan cahaya temaram yang tidak bisa membantu mereka melihat lebih dari tiga meter di depan. Helaan napas semakin panjang, disusul dengan raungan liar perut seseorang.

Raka mengangkat tangannya, "Ada makanan?" Pemuda itu mendongak, bersandar pada sisi pelana yang mereka tunggangi, "Sudah berapa lama kita di sini? Aku bosan melihat kegelapan dan hal-hal kelabu."

"Satu jam lagi," ujar Kresna dari balik kemudi, "Nova, di dalam kantong itu ada roti. Raka bisa memakannya."

"Aku penasaran bagaimana kau bisa tahu jalan yang tepat menuju Giyarim di tengah kegelapan seperti ini," celetuk Nova sembari merogoh kantong perbekalan Kres. Ia memberikan Raka sebongkah roti yang langsung ia lahap.

"Cuma insting seorang pengendara: peta dan merasakan arahnya."

Nova memakan sebagian roti yang Raka berikan. Luke masih tertidur, mendengkur halus di tengah derapan kaki pagna. Nova memeluk kakinya, bertanya pada Raka, "Apa itu hal-hal kelabu lain yang membuatmu bosan?"

"Ini akan jadi satu jam yang panjang jika tidak ada orang yang berbicara lagi," gerutu Kresna. Ia tampak kesal ketika melihat rekan perjalanannya tertidur tak lama ketika mereka menginjakkan kakinya di atas pelana Mocha, "Kecuali kau mau menggantikanku di sini. Aku tinggal tidur."

"Kau mempercayaiku ada di balik kemudi? Aku sih tidak yakin kita sampai dengan selamat," celetuk pemuda itu; tak terdengar kekehan atau tawa dari lawan bicaranya.

Nova memiringkan kepalanya, menunggu jawaban Raka. Menghela napas panjang, Raka mengacak-acak rambutnya, "Bener deh, aku enggak mau membicarakan itu sekarang. Semua kejadian yang kualami terlalu...terlalu berat, mengejutkan, traumatis bahkan."

"Kita masih ada satu jam sebelum sampai tujuan," ujar Kresna, "Tapi, pastikan sebelum tiba kau sudah menceritakan semuanya Raka."

Raka mengangkat bahu, "Entahlah. Hal itu jauh lebih rumit ketimbang Orenda."

"Emangnya ada hal yang lebih rumit dibandingkan Orenda?" tanya Nova, sedikit skeptis. Hidupnya sudah kepalang direpotkan oleh tetek bengek perusahaan itu.

Helaan napas Raka semakin panjang. Ia tidak tahu harus memulai dari mana. Alih-alih, pemuda itu mengalihkan pembicaraan, "Di Giyarim itu ada apa sih?"

"Jangan alihkan pembicaraan, Raka!" tegur Nova. Mendengar erangan Raka, gadis itu bertumpu pada lututnya, mendekati pemuda itu, "Bukankah kau yang bilang bahwa semua petunjuk yang kau dapat berakar lagi dari diriku? Apa sesulit itu percaya pada kami?"

Raka mengerang lagi, "Bukannya tidak percaya, tapi...pengalaman itu bikin trauma, ok?"

Kres mendecih, "Membosankan."

"Sejak kapan mulutmu jadi busuk begitu?" celetuk Luke masih memejamkan mata, "Dan Non, jangan memaksa seperti itu. Kalau Raka seekor anjing, ekornya pasti berada di antara kakinya sekarang. Berikan dia waktu."

"Belum tahu saja dia bagaimana rasanya berada di belakang kemudi dengan energi yang hampir habis seperti ini," gerutu Kresna yang tidak diindahkan oleh para penumpangnya. Pemuda itu hanya menghela napas berat.

"Kukira kamu tidur," ujar Nova, mengabaikan Raka yang hampir meledak karena perkataan Luke..

"Mana mungkin aku bisa tidur kalau kalian ribut?"

Sunyi kemudian menyelimuti. Temaram lampu minyak menunjukkan embun yang keluar dari setiap embusan napas. Derap kaki Mocha yang menggema, Kres menguap, sementara Raka menatap kosong pada lampu minyak itu. Satu jam terasa sangat panjang. Perjalanan mereka terselingi ketika berpapasan dengan seorang pengendara lain di persimpangan jalan. Kres dan si pengendara satunya saling sapa setelahnya kembali sepi.

"Apa yang bakal kalian lakukan kalau ternyata dirimu bukanlah dirimu yang kau kenal? Bagaiamana jika semua hal yang kalian anggap itu realita ternyata adalah kepingan-kepingan puzzle dalam sebuah teka-teki besar? Ideologimu, pemahamanmu, semuanya mulai hancur... apa kalian akan terus mencari kebenarannya?"

Raka tidak bertanya pada Kresna atau Luke, bahkan bukan juga Nova. Pemuda itu hanya mengutarakan kerumitan dalam kepalanya yang terhalang kabut dan tak kunjung hilang; tidak peduli bila tidak ada yang menyahut.

"Puzzle yang kau anggap 'kebenaran' itu disodorkan oleh orang lain. Walaupun hal itu melekat pada dirimu, itu hanya beban masa lalu yang, keputusan untuk dibawa atau tidak, juga tergantung padamu," ujar Luke tetap dengan mata terpejam, "Kau ya kau."

"Kalau hal itu menantangmu, ya selesaikan. Kalau puzzle itu mengganggumu, ya buang saja," tambah Luke lagi.

"Bukannya kau malah bingung akan jati dirimu sendiri?"

Luke mendengus, "Selama dia tetap jadi beban, semua jati diri yang kau cari enggak akan ada gunanya. Yang paling penting kan, kau hidup? Waktu akan menjawab semua pertanyaan itu. Enggak semuanya harus terjawab sekarang."

Raka mengerang dan kembali bersandar pada pelana. Jawaban Luke ada benarnya juga, tetapi pemuda itu tampak tidak puas. Ia kerap memandang lampu pijar dengan penerangan seadanya; tak berkedip, larut dalam lamunannya sendiri.

"Kau beruntung masih ada hal yang bisa kau bawa, Raka," ujar Kres tak lama kemudian, "Dalam kasusku, aku sudah membuang puzzle itu dan malah memutuskan untuk datang ke sini. Bukan berarti aku mau kehidupanku yang dulu itu kembali. Tapi, kalau aku punya kesempatan kedua, aku ingin menghadapi masalahnya sendiri, bukan kabur dari sana. Sekarang masa laluku sudah tidak ada artinya lagi. Kau hanya bisa membuat masa depan, dengan atau tanpa puzzle itu."

Guncangan yang cukup keras terasa, membuat ketiga penumpang Mocha itu terkejut. Kres menambahkan kecepatannya dan keadaan kembali sunyi.

"Lalu apa alasanmu datang ke sini? Kalau Indhira, dia ada alasan personal dan konfliknya lumayan runyam. Mungkin kau juga ada alasan yang serupa?" ujar Raka.

"Bisa dibilang, aku ini dulunya pecundang," ujar Kres, mengambil jalan berbelok. Lampu pijar itu berkedip karena angin, bahkan nyaris mati. Pemuda itu melanjutkan, "Kalau aku bertemu dengan mereka lagi sekarang, aku enggak akan segan untuk menarik pelatuk bahkan menghabisi mereka sampai mampus."

Perkataannya membuat Nova terkejut. Kres tampak seperti seseorang yang tenang, dan tidak banyak bicara. Tetapi ucapan itu dikatakan dengan segenap amarah dan dendam yang terpendam.

"Waktu itu aku masih remaja, mengertilah, ya, zaman SMA. Waktu prima kita, masa-masa aktualisasi diri dan mendapatkan pengakuan dari orang banyak, masa-masa paling indah. Tapi, bukan untukku. Saat itu badanku enggak sebesar ini."

Pemuda itu melanjutkan, "Aku lemah, kurus kerempeng; orang culun yang sangat sempurna menjadi bulan-bulanan geng jagoan sekolah. Aku bisa saja lebih pintar dibanding mereka, tetapi hal itu tentu saja bukan sebuah poin plus. Mereka terus datang dan mengganggu, memalak uang, dan menghajarku sampai babak-belur. Yah, kau bisa menduga apa yang terjadi setelahnya."

"Kau mau bunuh diri?" tebak Raka.

Kresna mendengus, "Pengennya. Tapi kan aku ini pengecut. Bahkan aku tidak punya nyali untuk mengakhiri hidupku sendiri."

"Bagus kan, kau tidak jadi mengakhiri hidupmu?" celetuk Nova.

Menoleh ke belakang, Kres melirik Nova dan tersenyum kecil, "Aku enggak yakin kalau ini anugerah, tapi saat itu aku menemukan sebuah selembaran The New World, pernah dengar?"

"Sebuah simulasi game. Itu yang membawa Indhi ke sini untuk pertama kalinya," jelas Raka.

"Orenda," gumam Nova.

"Yep. Kata-kata dalam selembaran itu sangat menggiurkan, kau tahu? 'Untuk Kau yang Tersesat dan Ingin Kehidupan yang Lebih Baik'. Aku pergi ke tempat itu hanya karena kata-kata iklan. Payah. Dan lagi-lagi, aku cuma lari dari masalah," Kresna menunjukkan lingkaran gelap di tengkuknya, "Tanda ini mengambil semuanya dan tanda ini akan selalu menjadi tanda peringatan untuk jalan yang kutempuh.

"Beruntung aku diselamatkan oleh seorang rider waktu itu. Di antara tumpukan tubuh-tubuh kaku, aku hampir termakan oleh pagna. Semua memoriku terekam dengan baik di kepala, tapi aku tidak tahu apa yang harus kurasakan. Aku tidak marah, sedih, apa lagi bahagia," Kres membalikkan tubuhnya, menepuk dadanya dua kali, "Di sini terasa kosong, hampa. Aku bahkan tidak tahu reaksi seperti apa ketika mengetahui kalau aku masih hidup."

Pemuda itu menaikkan kembali kerah jaket yang ia kenakan, menutupi lingkaran hitam pada tengkuknya, "Ini harga yang harus ditempuh ketika kau kabur dari masalah. Salah besar."

"Lalu bagaimana kau bisa merasakan emosi lagi?" tanya Raka, "Kau tampak sangat kesal."

"Jadi sekarang aku yang bercerita, huh," gerutu Kres datar, "Terkadang ini tidak enaknya menjadi seorang rider. Yang ingin mendengar siapa yang malah cerita siapa."

Raka mengulum bibirnya, menunggu jawaban pria bermata almond itu, "Mungkin setelah kau selesai, giliranku bercerita."

Kresna mengangkat bahunya, menarik napas panjang. Dia bilang, kondisi tubuhnya jauh lebih buruk ketimbang saat ia pertama kali datang ke Bumiapara: lebih kurus dari saat ia masih di masa sekolah menengah dulu, meninggalkan kulit dan tulang saja. Pengendara yang menemukannya membawa Kres ke klinik terdekat dan dia dirawat secara insentif lebih dari tiga bulan.

Kres terlalu lelah untuk berbicara dan kebingungannya bersemayam di dalam kepala bagai jalinan sarang laba-laba. Sedikit demi sedikit, Kres menyadari dirinya bukan berada di surga ataupun neraka, melainkan sebuah tempat bernama Floor. Di suatu sisi, ia selalu mengira ia berada di sebuah alam mimpi. Akan tetapi, tagihan pengobatan dan perawatannyalah yang membuat Kres yakin ia tidak berada di alam baka.

Di dunia yang sangat asing ini, pemuda itu dikenalkan dengan makhluk yang nyaris memakannya hidup-hidup; belajar cara menjinakkannya, menungganginya dan bergabung dalam persekutuan pengendara yang berpusat di Watch End.

"Jadi, di mana perempuan itu?" tanya Luke. Meskipun pria botak itu mengatakan ingin tidur, telinganya aktif mendengarkan dengan mata yang tertutup.

"Aku tidak bilang kalau pengendara itu perempuan," dalih Kresna. Pemuda itu menoleh ke belakang, menyipitkan matanya saat memandang Luke yang hanya membuka matanya setengah dan tersenyum penuh arti, "Aku belum bertemu dengannya lagi sejak dua tahun yang lalu."

"Sekarang dia di mana?" tanya Nova.

"Seorang rider hanya perlu berkendara dan terus berkendara. Entah berburu atau mengantarkan orang ke tujuan, ia hanya ingin melihat seluruh dunia dengan mata kepalanya sendiri."

"Dan kau pun belum menjawab bagaimana emosimu bisa kembali lagi," Raka menompang dagu di lutunya.

Kali ini Kres berbalik, mengabaikan ke mana Mocha membawa mereka. Membenarkan kacamatanya, pemuda itu kemudian berkata, "Hal itu masih dalam proses. Emosi dan empatiku belum seluruhnya kembali. Saat pertama kali menjadi rider, dia membawaku berkeliling dan berujung di klinik yang Dee dan Kei miliki. Mereka berdua terlalu eksentrik untuk ukuran seorang dokter, tapi setidaknya mereka benar-benar merawat pasiennya dengan baik.

"Istilah patcher... Aku tidak tahu kalu aku adalah salah satunya. Mereka memberikan obat dan sebagai imbalannya, mereka minta dibawakan keperluan rumah tangga setiap dua minggu sekali. Katakanlah, biaya kontrol. Hutangku saat masa penyembuhan di rumah sakit saja belum lunas," Kres memijat pangkal hidungnya, "Hidup di dunia yang sama sekali asing ini tak sekadar akademis dan uang. 'Untuk kehidupan yang lebih baik' mungkin lebih tepat jika dibilang, 'untuk kesempatan kedua dalam hidupmu.'"

Perjalanan mereka yang gelap mulai mendapatkan penerangan serta embusan angin segar. Derap kaki Mocha bukan lagi suara yang satu-satunya mereka dengar. Melainkan Pagna-pagna lain serta hiruk pikuk orang-orang dan lonceng yang kerap berdenting. Jalur yang mereka masuki semakin besar dan lebar; semakin banyak cahaya yang membuat pupil mereka mengecil. Cahaya temaram senja bertumpuk dengan putihnya lampu bawah tanah, menampakkan pemandangan yang jauh berbeda dengan pangkalan rider di Ratways.

Meski tetap berada di bawah tanah, stasiun ini terletak di dalam kubah dengan diameter tiga puluh meter. Lubang besar berada di puncak kubah, membiarkan cahaya keemasan senja serta embusan angin masuk ke dalam sana; memberikan udara segar untuk para pengendara yang sudah menempuh perjalanan panjang. Sementara tepat di bawah lubang itu adalah kolam besar yang dikelilingi oleh puluhan stand makan dan barang-barang, tempat para pengendara dan penumpangnya mengistirahatkan dirinya sejenak.

Gerbang-gerbang yang berada di lantai dasar maupun beberapa lantai di atasnya nyaris terisi penuh oleh pagna. Di ataws setiap gerbang terdapat plang bertuliskan angka dan tujuan; seolah-olah seluruh jalur pagna akan bermuara ke kota kecil bernama Giyarim ini. Stasiun ini terdengar begitu sibuk dengan panggilan dan pengumuman yang terdengar dari pengeras suara; menyatakan bahwa pagna dengan tujuan ke kota-kota di Bumiapara akan berangkat.

Puluhan orang yang singgah ke Giyarim berjalan ke sebuah bangunan tinggi yang terletak di barat. Tersusun dari batu bata dengan sebuah jam dinding raksasa yang menunjukkan pukul lima sore; membawa para pendatang yang sudah turun dari pagnanya ke pelataran kota di atas tanah.

"Selamat datang di Giyarim."

*

//Hellooo!! Tidak begitu banyak interaksi No-Rak dalam episode ini, tapi semoga cukup menghibur. Tunggu bab berikutnya ya..tidak janji fan service tapi yah..yah.. bisa dinantikan. Anyway, terimakasih banyak untuk kamu yang sudah membaca sampai sejauh ini AAAAAAAA. I am nothing without you~ Jangan lupa bintangnya!

Sekadar penasaran juga, aktif di medsos mana sajakah dirimu? Jika ada medsos lain, kuy follow-followan//

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top