26th Floor

LOLONGAN ANTEK ORENDA semakin nyaring. Nama yang telah terucap tak menghentikan apa yang Dokter sinting itu harus selesaikan, mengabaikan lolongan pilunya. Bau besi menyeruak. Di atas nampan alumunium, cairan merah menggenang dan tampak dua bagian tubuh yang sudah tak lagi menyambung dengan tangannya.

Mengalihkan pandangan, mimik wajah Dee mendadak lebih serius dibanding biasanya. Di balik kacamata yang ia kenakan, mata tajam Dee biasa memandang orang-orang tanpa alis yang menekuk. Akan tetapi, kini alisnya bertekuk tajam, begitu pula dan bibirnya yang terkatup rapat, menunjukkan rahangnya yang mengeras.

Pria itu menarik napas panjang, memijat pangkal hidungnya sembari memejamkan mata. Reaksinya bagaikan orang tua yang sudah terlalu lelah melihat kelakuan anaknya yang terlalu nakal. Mengabaikan antek Orenda yang masih meringis menahan sakit, Kei membalikkan tubuhnya menghadap Raka dan Dee; membuka sarung tangan lateksnya yang berubah merah karena darah.

"Tidak begitu mengherankan 'kan, Dee?" Kei mengecap bercak darah yang tertinggal di lengannya, "Mukamu enggak perlu menekuk seperti itu."

Alih-alih menjawab, Dee hanya mendengus.

"Siapa Leprechaun?" tanya Raka. Nama itu begitu asing di telinga dan juga lidahnya.

"Seseorang yang sebaiknya enggak kau kenal," jawab Kei mengambil botol-botol yang Raka tidak ketahui isinya dari dalam kabinet, "bahkan kau berharap untuk tidak pernah tau nama itu."

"Dia broker," timpal Dee, mengabaikan si antek Orenda, "dan dia tahu semua hal yang terjadi di Floor. Bahkan dia bisa tahu apa yang kau makan satu jam terakhir."

"Konyol; itu tidak mungkin," Raka terdengar skeptis, alisnya berkerut, "Bahkan di sini? Termasuk aku? Kukira kalian ini sedang bersembunyi."

"Tergantung," Kei mengambil tabung reaksi dan mengarahkannya di bawah lampu. Cairan berwarna ungu itu tampak bening dan berkilau. Pria itu melirik si antek Orenda yang kerap meringis, "Tergantung apakah dia bisa keluar dari sini atau tidak."

Si antek Orenda mendelik. Wajahnya semakin memucat, menunjukkan urat-urat kebiruan di balik kulitnya. Di tengah ringisan menahan sakit, pria itu mendesis, "Leprechaun tahu. Dia selalu tahu. Dan dia akan tahu akan tempat ini. Aku akan keluar dari sini!"

Kei memandang orang itu bagaikan seekor serangga. Di satu sisi Raka bersyukur bukan dia yang diikat di kursi itu. Menyedot cairan itu dari jarum suntik, seringai kecil terulas di wajah Kei. Sekali lagi ia mengarahkan suntikan itu di bawah lampu, menunjukkan kemilau keunguan yang indah.

"Kau yakin?" suaranya terdengar lebih dingin dibanding sebelumnya. Setelah nama Leprechaun keluar dari mulut si sandera, tingkah laku Kei tidak lagi seperti orang gila yang hanya ingin membuka isi kepala seseorang. Pria itu terdengar lebih waspada, berhati-hati; seolah-olah seluruh tindak tanduknya bisa menempatkan dirinya dalam bahaya.

"Kau mau apa?" hardik pria yang sama sekali Raka tidak ketahui namanya. Pupilnya mengecil; tubuhnya mengejang dengan keringat dingin yang membasahi kemeja yang ia kenakan. Kursi yang ia duduki bergoyang; nyaris jatuh jika saja Kei tidak menahannya.

Jarum suntik Kei arahkan pada lengan atas pria asing itu. Dia menghentak-hentakkan tubuhnya, enggan cairan ungu yang ada di dalam barel itu untuk masuk ke dalam tubuhnya.

"Kau sebut dirimu dokter?!" suaranya meninggi, terdengar bergetar.

Seruannya menghentikan gerakan Kei, mengarahkan jarumnya ke luar. Pria berambut perak itu mendekatkan bibirnya ke telinga pria itu, menyeringai lebar hingga taring kecilnya tampak. Dingin bagai mata pisau terasah, desisannya menusuk hingga tulang belakang.

"Memangnya itu penting? Bukannya kau bilang akan keluar dari sini? Apa yang akan kau lakukan? Memberitahu dunia? Kakimu tidak akan pernah sampai hingga pintu keluar, tahu."

Kerongkongan Raka terasa kering. Sudut mulutnya berkedut; jantungnya pun berdegup lebih cepat. Di balik ancaman Kei yang terdengar keji dan tidak manusiawi, ia tidak mengira antusiasme datang dari dirinya.

Rintih dan ronta pria itu tidak menghentikan Kei menyuntikkan cairan itu ke dalam tubuhnya. Tubuh kelabunya tak lagi memberontak. Rambut lepeknya menutupi wajah; otot-ototnya mengendur. Suaranya parau; kata-katanya pun tak lagi artikulatif.

"Maut akan menjemput, tapi tidak sekarang," bisik Kei di telinga si antek Orenda; menepuk pundaknya beberapa kali, "Kami masih membutuhkan isi kepalamu."

"P-p-persetan kau," dengan kepala telengnya, mata pria itu tampak lebih berat. Otot-ototnya yang lemas sedikit tersentak ketika Dee menyiramkan alkohol di atas lukanya. Mengaduh pun tak bisa. Hanya mata yang terbelalak dan mulut yang terkatup rapat.

Tanpa kata-kata yang terucap, Dee berusaha menghentikan pendarahan jemari orang itu. Kedua dokter itu masih membutuhkan dia dalam kondisi hidup. Banyak pertanyaan yang belum terjawab.

"Cairan apa itu, Dok?" Raka masih berdiri di ambang pintu; tidak bergerak, hanya mengamati, "Kenapa dia begitu takut?"

"Serum," ujar Kei, "dengan sedikit campuran ruska. Ini hasil percobaan ke-179 untuk mengembalikan kondisi para patcher sebelum reptiliumnya diambil. Namun larutan in iterlalu banyak efek sampingnya. Saking lemasnya, kau bahkan tidak akan bisa bergerak lagi. Tetapi, seiring waktu dia akan terus meracau dan tak ada lagi filter yang menyaring isi kepala dengan bibirnya. Menarik 'kan?"

Menangkap raut kebingungan pemuda itu, Kei menambahkan, "Kami menyimpannya untuk keadaan darurat; seperti ini. Terkadang kita butuh kekerasan."

Reaksi sedatif itu tidak instan. Bibir pria itu berkedut berkali-kali, menyinggungkan seringai teraneh yang pernah Raka lihat. Tanpa kata yang terucap, ia mengangkat wajahnya; menunjukkan seringai dan pupil mata yang lebar dengan alis berkerut. Otot-otot wajahnya tidak sinkron; Raka tidak bisa mengetahui emosi apa yang tengah pria itu rasakan.

"Ap-apa...," segala pelafalan katanya tidak jelas karena lidahnya kelu. Usahanya untuk melawan tidak lagi tampak. Tangan yang ia gerakkan tak kunjung terangkat. Mulutnya menganga namun tak ada suara yang keluar. Wajahnya penuh tanda tanya. Pupilnya yang besar memandang Raka, Dee, dan Kei bergantian; meminta penjelasan.

Raka memandang antek Orenda itu dalam bisu. Seolah-olah meyakinkan dirinya sendiri, kata-kata yang keluar dari mulut Kei tetaplah sama, "Ini untuk keadaan darurat. Enggak perlu khawatir, Raka."

Semenit, dua menit berlalu. Mulut pria itu bergerak naik turun merajut sepatah – dua patah kata yang hasilnya tetap sama. Kei mengalihkan pandangannya beberapa kali pada jam dinding lalu pria itu. Semakin cepat jarum kecilnya menyentuh angka dua belas, seringainya melebar hingga telinga.

Mengangkat dagu pria asing itu, Kei mengusapkan ibu jari pada pipinya. Jarak di antara kedua wajah pria itu tak lebih dari 2 cm ketika dia berucap dingin, "Sekarang, bicaralah!"

"Buat apa? Semuanya sudah jelas 'kan?" ucapnya terbata-bata; wajahnya sekendur orang yang tengah relaksasi di sumber air panas. Rambut lengan Raka meremang menyadari betapa mudah dokter-dokter ini mempengaruhi psikologis dan fisik orang itu.

"Sudah jelas dari mana? Kami hanya tahu kalau kau bekerja dengan Leprechaun. Apa yang dia lakukan sekarang?" pancing Kei.

"Leprechaun? Hah, ya. Orang itu... orang tua itu, si hidung bengkok," ia terkekeh bagai orang mabuk, "Dia selalu mencari, mencari gadis Sarojin itu. Dia tahu...dia tahu heheh."

"Tahu tentang apa?" tanya Raka, menyadari perjalanan dan penemuan tentang jati dirinya bermula saat ia bertemu Nova.

"Tato. Tato di punggungnya adalah kunci. Bertemu dengannya, kau tahu, dengan orang yang ingin menghancurkan segala yang Leprechaun lakukan selama lebih dari tiga puluh tahun ini. Orang tua itu tidak akan berhenti hingga titik darah penghabisan. Dia tidak akan berhenti. Leprechaun mempunyai mata dan telinga di penjuru Floor. Jika kau pikir orang-orang yang mengendalikan Floor adalah pemerintah dan Orenda, kalian salah, Leprechaun adalah kunci segalanya. Segalanya!"

"Apa maunya dengan gadis itu?" Dee melipat kedua tangannya di depan dada, "Membunuhnya?"

"Tidak, tidak, itu terlalu mudah" kepala pria itu tampak lemas, bergoyang tanpa arah dengan senyum yang semakin menjijikkan untuk dilihat, "Kami akan menguliti punggungnya, memajangnya dan memecahkan segala kode yang tergambar di sana. Semua! Hahaha!

"Kalian tahu apa yang akan kami lakukan setelahnya? Kami akan mencari kau," matanya yang sayu menatap Dee, Kei, dan Raka bergantian, "kau, kau, dan semua orang yang pernah bersinggungan dengan gadis itu lalu memberikan kalian ke pagna-pagna kelaparan; menggerogoti tubuh kalian hingga tulang. Mengerikan 'kan? Mengerikan, tentu saja. Kalian akan mati. Mati."

Teringat kata-kata Nova di awal mereka bertemu: Pergi ke Floor berarti mencari mati. Apakah gadis itu sudah sadar akan konsekuensi besar yang menantinya? Segala orang-orang bertopeng yang mengejarnya di museum...semua itu demi punggungnya?

"Tapi kenapa?" Raka bertanya tanpa sadar. Dee dan Kei langsung berbalik, menyipitkan mata mereka seolah-olah pertanyaan yang Raka utarakan salah. Melihat reaksi kedua dokter itu, Raka mengangkat kedua tangannya, heran, "Apa?"

"'Kenapa', katamu? Tato itu akan membawa kita ke orang itu; Fint Sarojin. Kau tahu kan? Dia akan menghancurkan segalanya. Dia akan menutup pintu; kedua pintu yang menghubungkan ketiga dunia. Dan jika hal itu terjadi, kita akan kembali pada kondisi di masa lalu; di mana Floorian akan merasa hampa dan tak punya lagi semangat juang dan hidupnya. Menyedihkan, bukan? Segala upaya yang dilakukan oleh Leprechaun tidak aka nada gunanya."

"Setidaknya, Orenda tidak akan membunuh dan membuang mayatnya ke Huva Atma," cibir Raka, perutnya melilit.

"Itu perlu. Perlu!" pekik pria itu dengan seringai lebar dan awa nyaring, "Kau pikir, ini ironis, hah? Dalam perang, kita membutuhkan pengorbanan. Dalam perang, kita membutuhkan pengorbanan!"

Kei menyilangkan kakinya, "Senang ya, bisa bicara panjang lebar seperti itu?"

Kepalanya yang lemas terkantuk ke belakang, ia memekik lagi, "Aku tidak minta supaya bisa bicra sepanjang ini, tapi ini memang menyenangkan! Lagipula, kau akan mati!"

"Kita akan lihat itu nanti," ujar Kei tenang. Ia pun bertanya, "Sekarang ceritakan: siapa kau dan apa hubunganmu dengan Leprechaun?"

"Kau baru menanyakan hal itu setelah memotong jariku? Di mana otak kalian?" ia tertawa lagi.

"Jawab saja pertanyaannya," Kei mendesis.

"Atau apa? Kau mau memotong jariku lagi?" matanya yangteler menatap Kei, mulutnya menekuk ke bawah. Pada momen itu, Raka mengira pria itu hanya berpura-pura saja dan serum itu tidak berfungsi seutuhnya. Tapi, tentu saja dugaannya salah.

Pria itu menunjukkan seringai kecil sembari mendengus, "Aku tangan kanan kepercayaan Leprechaun, Szell. Semua informasi yang kuberikan padamu, akurat. Kenapa aku tidak bisa berhenti bicara? Kau dan serum sialmu itu! Hentikan ini, hentikan!"

"Tidak bisa, Sayang, tidak bisa," Kei mencondongkan tubuhnya ke depan, "Semakin lama kau berada dalam pengaruh serum itu, kau akan semakin banyak bicara. Tidak akan ada yang bisa menghentikan itu kecuali kau memotong lidahmu sendiri."

Szell bergumam tentang Leprechaun yang menjadi pintu alternatif untuk orang-orang yang membutuhkan ruska, bahkan reptilium. Jika membicarakan tentang uang, tentu saja jumlahnya tidak sedikit. Perdagangan gelap itu bahkan didukung oleh petinggi-petinggi Floor. Segala informasi yang Szell tumpahkan bagaikan air yang dituang ke dalam gelas yang sudah penuh. Kepala Raka ingin meledak.

"Biarkan Leprechaun memainkan papan caturnya maka bidak kalian tidak akan dimakan."

"Catur ada untuk saling mengalahkan," Dee angkat bicara, "bukan untuk didiamkan."

Szell menatap Dee, mengangkat alisnya puas dengan jawaban dokter berambut ikal itu sembari terkekeh yang tak kunjung berhenti.

"Sekarang, sejauh apa Leprechaun telah menemukan jejak Flint Sarojin?" tanya Dee.

"Jauh? Jauh sekali. Tidak mungkin untuk melacaknya. Dia gila, orang itu memikirkan segala aspek sehingga sulit untuk dilacak. Flint menutupi jejaknya dengan sangat baik, sangat baik, kau tahu," alis Szell mengerut, meringis karena rasa ngilu yang timbul dari tangannya.

Pria itu mengatakan bahwa Nova dan Kirana adalah satu-satunya petunjuk yang bisa mereka peroleh dengan putri mereka yang menjadi rantai terlemah dalam proses pencarian ini — atau begitulah menurut mereka. Kirana yang selalu berpindah dan menggunakan nama samaran tidak begitu mudah untuk dilacak. Sesungguhnya pun, tingkah laku gadis itu selama ini tidak mencolok, hanya rambutnya yang tampak terang dibandingkan orang-orang di sekitarnya.

"Bagaimana kalian bisa tahu tentang tatonya, kalau begitu?" Raka melipat kedua tangannya di depan dada.

Menaikkan alisnya, lagi-lagi ia tertawa, "Kami punya mata dan telinga, Bocah. Di mana-mana! Kau pikir, apartemen usang tempat mereka tinggal aman dari jangkauan kami? Tidak! Tidak ada yang aman. Tempat ini pun sebentar lagi takkan aman. Kalian tidak akan aman. Kalian akan mati."

"Oh diamlah, aku pegang jarimu saja, kau menjerit-jerit. Dasar lemah," gertak Kei, "Sudah kubilang, aku akan melihat isi kepalamu duluan."

Mendecih, ia melanjutkan, "Leprechaun tahu, tato pada punggung gadis itu akan membawanya pada Flint Sarojin. Saat kami menemukan orang itu, kami akan membunuhnya. Dan ketika hal itu terjadi, tidak akan ada pintu yang tertutup; orang-orang dari Permukaan Atas akan kemari, produksi reptilium akan terus bertambah. Dunia akan terus berputar sebagaimana mestinya."

"Kau hanya membicarakan satu sisi koin," tengkuk Raka meremang mengingat dunia ketiga yang tidak Szell sebut. Meskipun saat itu Cy berkata seolah-olah itu adalah tanggung jawab Raka namun membayangkan risiko yang akan terjadi sangatlah mengerikan. "Flint tewas sekalipun, akan ada orang lain yang menggantikan perannya."

"Dan itu adalah tugasmu?" mata Szell mendelik. Raka yang terpaku membuat pria itu tergelak, "Membunuhmu tidak akan sulit."

Memicingkan mata, Kei mengangkat tangannya, "Sepertinya aku sudah cukup mendengar omonganmu." Ia menoleh, mengedikkan dagunya pada Dee, "Kau bagaimana?"

"Semuanya demi uang, huh," Dee bergumam. Melihat Kei telah mengambil serum lain untuk disuntikkan, Dee memberikan pertanyaan terakhir pada Szell, "Kau bilang, dalam perang kita membutuhkan pengorbanan. Kau pikir kita dalam sebuah peperangan?"

"Kalian. Orenda. Leprechaun. Cepat atau lambat. Tak bisa dihindari," ia memandang Raka lagi dan tanpa bersuara, ia menggerakkan bibirnya menguntai kata-kata, "Dalam perang, kita membutuhkan pengorbanan."

Ucapan Szell tidak selesai bahkan ketika Kei menyuntikkan serum itu di bagian belakang lehernya. "Senang berbicara dengan Anda!" seru Kei sembari mengelap jarum suntiknya dengan kain.

Antek Orenda itu tampak tak sadarkan diri. Kepalanya langsung terantuk-antuk lemas.

"Kau membunuhnya?" Raka membelalakkan matanya.

"Tidak, tentu saja tidak," jawab Kei sembari memegang dan mengendus rambut pria itu, "Akan sangat canggung kalau ada orang yang melihatnya 'kan?"

Dee menggiring Raka ke pintu, membiarkan Kei melakukan apa yang dia mau dengan si antek Orenda. Mereka berpapasan dengan Kei, tepat ketika pintu terbuka. Pemuda itu sedikit terkejut dan kurang dari satu detik, wajahnya kembali tenang bahkan nyaris tanpa ekspresi.

Kres mengarahkan jempolnya ke ruang resepsionis, mengatakan bahwa mereka sudah merapikan kapal pecah dan lautan darah itu. "Tidak bersih, 'bersih', tapi setidaknya terlihat lebih baik," timpalnya.

Pemuda berkacamata itu mengintip ke dalam ruang klinik, melihat tindak-tanduk Kei menangani Szell yang tak sadarkan diri. Layaknya pertanyaan normal, Kres mengutarakan apa yang ada di kepalanya, "Apakah Dr. Kei membunuh kaki tangan Orenda itu?"

"Tidak, tapi—" ucapan Raka terpotong.

"Beri aku waktu dua puluh, tidak, sepuluh menit," pria berambut perak itu mendorong Raka dan Dee keluar pintu. Senyumnya tampak lembut membuat tengkuk Raka meremang tidak normal, "Mungkin kurang. Kalian tunggu saja."

Suara klik terdengar dari pintu yang tertutup. Sensasi telapak tangan Kei yang dingin masih terasa di punggungnya. Raka mengerjapkan mata, mengingat kembali perkataan pria itu: Dalam perang kita membutuhkan pengorbanan. Jujur saja, hal itu membebani pikirannya.

"Apa kau pernah berada dalam peperangan sebelumnya?" tanya Raka pada Dee dan Kres. Mereka berdua menyipitkan matanya.

"Aku berasal dari Permukaan Atas," jawab Kres, "tentu saja aku belum lahir waktu perang dulu."

Raka mengalihkan tatapannya pada Dee, meminta penjelasan lain.

Mata sayunya menerawang dan menjawab, "Kita selalu dalam peperangan. Bukan perang dengan senjata api, bukan, tapi dengan hal lain yang lebih subtil. Kau pun merasakannya kok. Konfliknya belum ramai saja. Kau pikir buat apa orang-orang melawan dan berperang?"

"Untuk perdamaian dan kebebasan? Atau memperjuangkan hak-hak yang belum tercapai?"

Dee membetulkan kacamata di pangkal hidungnya, tampak mengkilap karena lampu. "Ya," ujarnya, "dan darah akan tumpah."

Kerongkongan Raka mendadak terasa kering. Mau tak mau, cepat atau lambat, Orenda, Leprechaun dan tetek bengeknya akan bertemu dengan Flint dan segala rencana yang masih belum jelas maksud serta tujuannya. Raktah Sol dan para patcher memperjuangkan hak mereka sebagai manusia dan hidup. Sementara Nova...dengan tato di punggung dan seluruh tubuhnya, gadis itu menghubungkan pion-pion yang tersebar.

Perlahan, Raka sudah bisa membayangkan kerangka besarnya. Perlahan pula, Raka tak bisa menghindari keterlibatannya dalam hal ini. Berusaha memutar balikkan waktu takkan ada gunanya, Raka hanya bisa terus maju dan menghadapi masalah ini.

Bagi beberapa orang, ini persoalan hidup dan mati. Namun bagi Raka, ini persoalan mencari kebenaran. Bukan lagi kebenaran tentang sahabatnya yang tewas, tetapi juga kebenaran tentang diri dan kehidupannya sendiri.

Indhira memeluk lengannya ketika duduk di tangga melingkar itu. Dia tidak menyadari Raka, Kei, dan Kres kembali dari ruang klinik yang berubah jadi tempat interograsi. Ruangan resepsionis itu menyerbakkan aroma karbol namun antainya tetap tampak kusam dengan bercak darah yang sulit menghilang. Jejak air yang tergurat dari kain pel tampak mengilap, alat-alat untuk membersihkannya pun disimpan tak jauh dari tempat Indhira duduk.

Pikiran gadis itu mungkin jauh ada di bulan.

Sentuhan Raka membuat perempuan itu terhenyak. Cengkraman pada lengannya mengendur, ia menghela napas panjang. Senyum tipis terpoles di wajahnya saat tangan hangat Raka menyentuh jemarinya. Perempuan itu menyambut jemari Raka, menautnya, meremasnya perlahan. Indhi jelas masih syok. Raka berjongkok, memastikan kepalanya sejajar dengan Indhi dan menatap perempuan itu dalam-dalam. Bulu mata Indhi tebal dan lentik, mata bulatnya tampak merah karena air mata yang tertahan.

"Maaf," Indhira berbisik. Senyumannya tidak memudar meskipun setetes air mata menuruni pipinya.

"Kenapa minta maaf? Kamu itu aneh. Tadi bilang makasih, sekarang malah minta maaf," Raka menelengkan kepalanya, mengusap air mata Indhira yang telah membasahi pipi, "Maaf karena aku nyaris terlambat dan terima kasih karena kau masih hidup."

Tarikan napas panjang Indhira setidaknya mengembalikan warna pada wajahnya. Ia menggeser sedikit posisi duduknya ketika Dee menaiki tangga. Peremuan itu kembali menatap Raka, "Apakah tidak apa-apa sedikit bersantai seperti ini? Kamu mengejar Nova 'kan?"

"Yap ... Nova," Raka menurunkan lengannya, "Aku akan pergi setelah memastikan kalau kamu baik-baik saja."

"Aku baik-baik saja," ujar Indhira, "Tapi, aku mau ikut denganmu."

Raka menaikkan alisnya, ia menggenggam tangan Indhi. Pemuda itu menolaknya dengan tegas, "Tidak, Dhi; berbahaya."

"Justru karena itu, Raka. Aku tidak mau kehilangan dirimu. Lagi," suara Indhi bergetar, "Aku meninggalkan kalian, lalu kamu menemukanku dan kamu juga meninggalkanku. Meskipun begitu, kamu tetap kembali. Apakah salah kalau aku ingin memastikan kamu selalu ada?"

"Enggak. Enggak salah. Tapi hal itu akan terlalu membahayakamu."

"Aku sudah tinggal di sini selama dua tahun, Raka. Aku bisa menghadapi satu-dua bahaya. Enggak apa-apa." Ucapan perempuan itu terdengar begitu yakin.

Seenggan apapun Raka untuk menolaknya, Raka tetap tidak mau, "Jun—"

"Jun juga temanku. Kita bertiga dekat," potong Indhira, "Kumohon."

"Tidak," Raka menarik tangannya, "Kamu akan lebih bermanfaat untuk orang banyak jika tidak bersamaku. Dee dan Kei membutuhkanmu, juga patcher-patcher itu."

Indhira mengatupkan bibirnya, membuang muka. Melihat gestur Indhira, pemuda itu menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Kebisuan di antara mereka tak berlangsung lama. Meskipun sayup, mereka dapat mendengar suara jeritan dan tawa dari ruang inap tempat Kei menjalankan 'eksperimennya'.

Terlihat Kres mengenakan jaket berwarna cokelatnya. Kakinya digoyang-goyangkan tanpa henti, pandangannya tertuju pada pintu masuk yang sudah ditutup dan dikunci; antisipasi jika orang-orang itu akan datang lagi —yang mana tidak akan memakan banyak waktu untuk menjatuhkannya.

"Maaf, Dhi."

Mendengus, wajah jelitanya yang sendu kembali lagi. Ia berdiri sembari berkata, "Tidak, kamu benar kok. Orang-orang lebih membutuhkanku dibandingkan denganmu. Jadi mungkin, ucapanmu lebih baik."

Belum Raka menjawab, derap kaki Dee terdengar tergesa menuruni tangga. Tanpa jas labnya, pria itu membawa dua buah tas ransel di punggung, tampak penuh dengan barang.

"Apa urusan rumah tangga kalian sudah selesai?" tanya pria itu datar, "Berkemaslah. Kita akan meninggalkan tempat ini."

"Kita pergi?" Indhira terdengar sedikit terkejut.

"Tempat ini sudah tidak aman lagi," Dee menjelaskan, "Kamu enggak mau hal seperti ini terjadi lagi 'kan?"

"Ke mana?" tanya Indhira.

"Utara. Aku tidak tahu apakah Zadia telah mengetahui keadaan Haven atau klinik ini sekarang," jawab Dee, "Semoga saja dia tidak apa-apa."

Zadia... Raka pernah bertemu dengannya. Ia tinggal di atas pegunungan sendiri di dalam sebuah kabin. Dee dan Kei jarang menyebutkan nama profesor itu. Kecemasan Dee semakin lengkap ketika ia menghembuskan napas panjang dan bergumam, "Dia akan membunuhku."

"Apa lebih baik aku ikut denganmu?" tanya Indhira.

"Kenapa tidak? Kita butuh bantuan ketika kembali berkumpul dengan Shen dan yang lain. Kau ada rencana lain?"

Indhira mengulum bibir, tidak berbicara bahkan saat perempuan itu berdiri dan menaiki tangga untuk berkemas. Melihat perempuan itu pergi, mata Dee kembali menatap Raka.

"Jangan sampai kau ajak dia untuk ikut denganmu," kata-katanya sedingin es batu.

"Tidak. Dia malah yang mengajukan diri," dalih Raka; tidak menyangka Dee begitu protektifnya terhadap Indhira. "Aku ingin dia tetap aman, Dok. Dan denganmu adalah pilihan yang tepat, 'kan?"

Dee tidak menjawab. Tidak ada kepastian pula keamanan akan terjamin jika ikut dengan siapa. Raka pun yakin, dengan kemampuannya yang sekarang, ia tidak bisa melindungi Indhira dengan baik.

"Apa aku melewatkan sesuatu sampai wajah kalian suram?" Raka tak menyadari Kei sudah keluar dari ruangan. Wajah sumringahnya jelas berbeda sejak Raka meninggalkan ruang rawat inap itu. "Kau tahu, isi kepala Szell...," pria itu mengecup ujung jemari yang dikuncupkan, "luar biasa!"

Kerutan dahi Raka mendalam. Ia melirik pintu rawat inap itu dan Kei berkata, "Kau enggak akan mau masuk ke dalam sana, Raka. Aku belum selesai."

Dee mengoper salah satu tas ransel yang ia bawa pada partnernya, "Cepat selesaikan kegiatanmu lalu kita pergi."

Kei menyeringai, "Aku suka saat kau mengambil alih seperti itu. Ke mana?"

"Zadia."

Mengerling, pria berambut perak itu bergumam, "Benar juga."

"Tujuan kita berbeda, ya," ucap Raka, "Kalian bilang, Nova pergi ke timur. Ke mana?"

"Sebuah tempat dengan malam yang panjang dan siang singkat yang terik. Sekali kau berada di bawah matahari, semua energimu tersedot habis. Bukan pilihan pertama orang-orang untuk berwisata. Wilayah itu bernama Ragni."

"Kenapa Nova ke sana?" Raka bertanya.

"Ayahnya mungkin ada di sana," Dee menjawab, "Perjalanannya memakan waktu dua hari jika berjalan kaki. Mereka mungkin tidak terlalu jauh."

"Dua hari tidak seberapa jika kita menunggangi pagna," Kres menyahut, "Paling hanya lima jam perjalanan. Luke dan Nova kabur karena kecerobohanku. Izinkan aku ikut denganmu."

"Ingat saja bahwa tidak seluruh pagna bisa bertahan dengan suhu ekstrem seperti di Ragni," Kei menekankan ucapannya.

"Ya, aku tahu," Kres membenarkan kacamatanya. Ia mengintip jendela, berjaga-jaga. Ia menambahkan, "Bilang saja kalau sudah mau berangkat."

Raka melirik pada tangga di mana batang hidung Indhi masih belum tampak. Fokusnya kembali pada Kei ketika ia menyodorkan pistol 16mm pada Raka.

"Kau akan membutuhkan ini," katanya, "Jangan lupa masker gasmu."

Gagang pistol terasa keras dan dingin. Kei orang kedua yang memberikan Raka sebuah senjata untuk pertahanan dirinya. Floor tanpa senjata? Hanya orang dengan keberuntungan tinggi yang bisa bertahan hidup.

Sekali lagi, Raka melirik tangga. Menarik napas panjang, Raka berterima kasih lagi pada kedua dokter itu kemudian berjalan ke pintu. Dadanya terasa berat namun Raka sendiri tidak bisa menduga penyebabnya apa. Jika ini menyoal Indhira, pemuda itu kerap meyakinkan dirinya bahwa ini untuk yang terbaik.

Sial, Raka kesal setengah mati. Pemuda itu berbalik, mengambil langkah lebar menaiki tangga. Ia hampir menarik Indhira yang juga setengah berlari untuk mengejarnya. Ketika perempuan itu hendak berucap, di saat yang sama Raka pun membuka mulutnya.

"Aku tidak akan ikut denganmu," Indhira mengangkat sepasang gawai dan memberikan salah satunya pada Raka, "Janji, kau akan kembali."

Berbentuk bundar dan pipih, radar itu tampak seperti jam saku yang sudah berkarat dan usang. Suara bip terdengar pelan ketika keduanya dinyalakan, Raka menggenggamnya erat dan memasukkannya ke dalam saku celana.

Tidak berkata banyak, pemuda itu melepas buff yang ia kenakan, "Yah, ini enggak romantis sih. Kamu boleh mencucinya kalau mau dan aku akan mengambilnya saat kita bertemu lagi nanti."

"Dasar bodoh," Indhi mendengus dengan senyuman terlembut yang pernah Raka lihat.

*

//UWOO SUDAH JANUARI SAJA. PROGRESSKU SANGAT LAMBAT TAPI AKU BERUSAHA TERUS MENULIS (eala napsu amat). Di bulan Januari 2020 ini banyak hal yang terjadi. Banjir di Jakarta, kebakaran di Australia... Semoga kita semua diberi kelancaran dan kekuatan serta kebaikan untuk menghadapi satu tahun ke depan.

World is ending and so does this story too. Hopefully this year, jadi saya bisa pindah bikin cerita baru lagi (atau melanjutkan cerita lama). Saya enggak akan bosen untuk berterima kasih buat kamu baik pembaca baru maupun pembaca lama yang kerap menuggu, Terima kasih sudah baca Floor sampai sejauh ini. Tanpa kalian saya ga ada apa-apanya. Bulan ini saya update 2x, jadi, See you in another chapter yah!//

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top