18th Floor

for better experience, please turn the video on before you start reading this chapter ※



BAGAI MELODI bertempo tinggi, jantung Raka terus melompat tanpa henti. Telinganya berdengung nyaring, tak teredam. Ia yakin kala pelatuk ditarik, peluru itu telah mengenai tubuhnya. Tubuhnya bergetar hebat dengan kucuran keringat dingin. Kakinya tak lagi bisa bertumpu melawan gravitasi. Pandangan kabur menggelap bagai malam menyelimuti, meninggalkan setitik cahaya yang param sedetik kemudian.

Hanya kegelapan yang bisa matanya tangkap. Kesadarannya entah ada di sisi sebelah mana dunia, tetapi pikirannya kerap berkelana. Kiranya ia berimajinasi ketika sayup terdengar seseorang menyerukan namanya yang kemudian digantikan dengan nyenyat.

Di ambang kesadaran, kegelapan beberapa kali berganti dengan cahaya. Redaman suara yang masuk ke telinga tak tertangkap maknanya. Tubuh Raka terlalu lemah dan lelah; tak hanya karena kekurangan darah, tetapi juga karena keadaan terguncangnya. Untungnya jantungnya masih berdetak. Raka masih hidup. Dia hidup.

Matanya berkedut setelah entah berapa lama terpejam. Napas teratur, selimut tipis dibentang menyentuh tubuhnya yang setengah telanjang dengan perban yang melintang. Jemarinya bergerak perlahan, matanya memandang langit-langit kelam; kosong, tanpa lampu maupun secercah cahaya, dan telinganya hanya menangkap napasnya sendiri. Raka berusaha bangkit di atas kasur yang berderit. Ia sudah kembali ke Haven. Pandangannya berhenti pada jendela yang menghadap ke barat di mana tampak seorang perempuan membaca buku.

Perempuan itu bukan Indhira maupun Nova. Rambut lurus dan panjangnya nyaris sepinggang. Pigmen rambutnya tampak semakin gelap terkena semburat mentari. Hidungnya mancung, tubuhnya ramping, dan dia duduk menyilangkan kaki sambil membaca buku. Dia terlalu larut dalam pikirannya hingga tak menyadari Raka telah terjaga —atau mungkin enggan untuk menatapnya secara langsung.

Ketika pemuda itu berbicara, suaranya terdengar begitu parau. Ia nyaris tak percaya bahwa itu merupakan suaranya sendiri. Raka terbatuk dan pandangan perempuan itu tak beralih dari buku saat berkata, "Ada segelas air di atas nakas," suaranya tak terdengar asing, "minumlah."

"Berapa lama aku tak sadarkan diri?" suara Raka nyaris tak terdengar.

"Sekitar tiga jam."

"Indhira? Bagaimana dengan yang lain?" Raka mengambil gelas dan membuka penutupnya.

"Dia baik-baik saja," dia tidak mengutarakan keadaan rekan yang lain. Lagi-lagi pandangannya tidak beralih ketika menjawab pertanyaan Raka.

"Apa kita pernah bertemu?" tanya Raka setelah meminum air, gelas masih dalam genggaman, memandang perempuan itu dengan alis berkerut. Perban yang membebat dada kanan dan lengan kirinya memerah karena darah.

"Ya," perempuan itu menutup buku, meletakkannya di dekat jendela. Ia berdiri dan menjetikkan jari, lampu kamar mendadak menyala bagaikan keajaiban, "Kita berbicara banyak hal. Kau mengajakku minum bersama beberapa hari yang lalu; sebelum kau berpamitan dan pergi ke dunia yang begitu asing ini. Ingat?"

"Siapa? Cecilia?" Raka benar-benar terkejut ketika perempuan di hadapannya mengangguk. Hanya Cel yang dia ajak bicara sehari sebelum Raka pergi dan teman satu studionya itu sama sekali tidak terlihat seperti perempuan di hadapannya ini, "Kau operasi plastik?" kalimat itu merupakan kata-kata terbaik yang bisa Raka utarakan dalam menanggapi keterkejutannya.

Tawa perempuan yang mengaku sebagai Cecil meledak. "Aku enggak nyangka kalau kau masih bisa bercanda di saat-saat seperti ini," ucapnya di sela-sela tawa. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri kemudian duduk di sisi tempat tidur. Ia menambahkan, "Begini, Raka. Aku Cecil, tetapi juga bukan."

"Karena itu wajahmu berbeda?"

Cecil mengangkat alis, mengiyakan. "Aku memilih menjadi Cecil dan menjadi orang lain. Nama takkan bermakna karena nantinya kau akan lupa," dengan telunjuknya, perempuan itu menyentuh kening Raka. Ia mengalihkan telunjuknya dari kening pada dada Raka di mana jantungnya berdegup teratur, "tetapi ini, akan selalu ingat. Segala emosi dan perasaanmu; bagaimana jantungmu bereaksi ketika kau bertemu orang yang terkasihi atau ketika kau marah hingga ubun-ubun. Sakit, sedih, bahagia, di sini dia mengingatnya. Sesungguhnya, Raka, aku mengenalmu sejak kau masih kecil."

"Tapi kita baru kenal pertama kali waktu kuliah."

"Apa iya?"

Pertanyaan itu mengambang di udara sementara Raka tak tahu harus berkata apa. Cel mengalihkan pandangannya dan ketika berbalik wajahnya yang asing berubah menjadi Cecil yang ia kenal selama ini: lebih bulat meskipun sama pucatnya dengan satu buah tindik di hidung. Ia memalingkan wajah lagi dan kini wajahnya berubah menjadi tetangganya ketika Raka masih tinggal di Ibu Kota dulu. Kemudian wali kelasnya waktu masih sekolah dasar, salah satu temannya di sekolah menengah pertama, dan salah seorang penjual warung langganannya untuk membeli rokok. Perempuan itu mengusap wajahnya dan kembali pada perangai Cecilia, si teman satu studio Raka. Setiap perempuan itu mengubah penampilannya, mata Raka tak hentinya terbelalak hingga mengira tak lama lagi uratnya akan lepas; membuat bola matanya menggelinding ke tempat tidur.

Mengerang, pemuda itu membaringkan lagi tubuhnya ke tumpukan bantal di belakangnya. Raka menggaruk kepala sembari melihat langit-langit yang kusam, menarik napas panjang dan berujung mendesis sembari memaki.

"Kau ini sebenarnya apa?" ucap Raka masih memandang langit-langit, "Aku paham kau bukanlah manusia. Kepalaku sudah mau pecah akan segala fakta yang aku dapat selama ada di sini. Aku bahkan sudah enggak bisa terkejut."

Cel duduk di tepi tempat tidur dan menggulung rambutnya di atas kepala sebesar jeruk bali. Ia menatap jendela dengan langit yang sudah berubah jingga. Memeluk kaki kirinya, perempuan itu berkata, "Kau ingat Cyrus?"

"Orang bertindik dan banyak omong itu? Ada apa dengannya?"

"Aku sama dengannya," ujar Cel, "dan namaku sebenarnya bukan Cecilia, melainkan Celene."

"Raksaka?" dengusan Raka berubah menjadi tawa pilu, "Celene...Cecil.... Huh, apa-apaan. Aku hanya ingin tahu fakta di balik kematian Jun, tetapi apa yang aku dapat? Ruska, Orenda, raksaka, patcher, dan hal-hal tak masuk akal lainnya.... Bahkan salah satu teman terdekatku bukan manusia! Sialan. Bohong semuanya."

Raka menegakkan tubuhnya, bahu dan dadanya sedikit ngilu, "Apa ada hal lain dalam hidupku yang masih terbalut dusta?! Apa kau bahkan sesungguhnya tahu kenapa Jun mati?" Ia menghela napas panjang, memandang langit senja di balik jendela. Ia berbisik lirih, "Apa aku masih bisa mempercayaimu?"

"Aku tidak memaksa maupun memintamu untuk percaya. Kau berhak untuk kecewa, bahkan untuk marah, tapi aku tidak bisa mengatakan bahwa aku salah. Kami melakukan ini karena janji yang telah kami buat."

"Kami? Janji? Maksudmu—" perkataan Raka teralihkan dengan ketukan pintu kamar.

Indhi melongokan batang hidungnya. Wajahnya terlihat lega mendapati Raka telah terjaga. Indhira, mengabaikan keberadaan Celene, mendekap Raka erat. Terlihat banyak goresan pada lengan gadis itu, masih kotor karena tanah dan juga debu. Tanpa kata, tanpa ucap, kelegaan Indhi teralirkan dalam pelukannya. Kehangatan yang terasa mendorong Raka untuk melakukan hal yang serupa, membalas dekapannya, membelai rambut pendek Indhira.

"Kamu enggak apa-apa?" tanya Raka.

"Aku baik-baik saja," Indhi menelan air liurnya, "tetapi yang lain tidak."

"Apa yang terjadi? Setelah suara tembakan itu, aku tidak ingat banyak."

Perempuan itu mengerjapkan mata, bergantian melihat Cecil dan Raka. Indhira membawa kursi dari dekat jendela ke sisi tempat tidur. Ia menggigit bibir, mencoba menuturkan kejadiannya, "Kamu tertembak dan darah. Terlalu banyak darah. Aku takut, Ka. Suara tembakan; begitu nyaring dan aku tengah membopong Fiz kembali ke Haven. Aku tidak bisa melemparnya begitu saja dan berlari padamu 'kan? Dee datang, Shen meminta banyak bantuan. Haven dalam kekacauan. Aku...takut aku akan kehilanganmu lagi untuk kedua kalinya."

"Bagaimana aku bisa selamat?"

"Kamu tuh... dungu," gerutu Indhi. Perempuan itu menarik napas dalam-dalam, mengalihkan pandangannya pada Cecilia, "Aku tidak habis pikir bagaimana kau di sini, Cel; bagaimana kau ada di bawah sana, bagaimana kau bisa mengingatku. Dua tahun tak bertemu dan melihatmu ada di sana, menolong Raka itu sesuatu di luar kata aneh. Kau kabur dari Orenda?"

"Kabur? Orenda?" Celene tersenyum tipis, "Tidak."

"Tunggu. Cecil yang menolongku? Dari terowongan sialan itu?" tanya Raka. Cel dan Indhi mengangguk. Pemuda itu mengerang, menutup wajahnya. "Memalukan," bisiknya, "Berapa kali aku dalam keadaan genting, nyaris mati, tak bisa berbuat apa-apa. Sekarang ditolong oleh perempuan pula! Ya Tuhan, memalukan."

"Aku bisa keluar kalau kau mau," ketika tak ada kata yang terucap dari bibir Raka, perempuan itu turun dari tempat tidur dan berjalan keluar pintu.

Ia terlalu lelah; terlalu banyak informasi yang membuat kepalanya ingin pecah. Perkataan yang keluar dari bibirnya bukanlah hal yang ingin ia utarakan. Tak heran perempuan berambut cepak itu menaikkan alisnya ketika Raka meminta dengan lirih, "Keluar, Dhi. Tolong."

Indhira meremas tangan Raka sekali sebelum angkat kaki.

Hadir dalam pikirannya adalah sosok Jun yang sudah tiada. Raka telah berpakaian, menghadap jendela yang terbuka dengan sebatang rokok terselip di bibirnya. Lukanya masih ngilu ketika ditekan. Nekat sudah menjadi nama tengah Raka. Dia sudah terbiasa mengalami kesalahan dan terkadang kegagalan. Akan tetapi, rasanya baru kali pertama ia mengalami hal serumit ini. Jika perjalanannya ibarat sebuah ekspedisi ke dasar laut, Raka masih terjebak di pusaran air. Semakin banyak ia bergerak, semakin dalam ia tersedot ke pusatnya, tapi ia tak kunjung menyentuh dasar dan menemukan Titanic yang sudah karam. Penyebab kematian Jun tak kunjung menemukan titik cerahnya.

Jika Jun melihat kondisi Raka sekarang, sahabatnya itu pasti akan mencecarnya habis-habisan, "Kau ngapain sih?. Aku sudah mati. Kau ini membuang waktu hidupmu, tahu."

Embun yang keluar dari hidungnya, menggulung tebal dan terurai kala menyentuh kaca. Selain senja, yang terpampang di balik jendela merupakan Haven yang porak-poranda; lubang menganga lebar di tempat King menggali dan menjatuhkan rumah-rumah. Abu dan Mato sudah pasti tidak selamat, tertimbun tanah, termakan pagna, atau mungkin dibawa pergi oleh orang bermasker gas itu. Tampak Indhira, tak kunjung lelah membantu di sekitarnya sementara Cecilia —Celene, entahlah— tak terlihat sosoknya.

"Pulanglah ke rumah, temui Iyas, Duta, Akbar dan semua teman-teman yang masih ingat denganmu dan bersenang-senanglah! Berkaryalah! Pameran, apa kek, jadi seniman, terserah! Untuk apa kau di sini? Berapa kali kau menyerempet garis kematian karena kebodohanmu? Apa kau merasa bersalah karena menemukanku dalam keadaan mati? Apa kau enggak sayang nyawamu sendiri?"

"Kau bahkan enggak hidup untuk mengatakan itu padaku, Jun," desis Raka menghadap ruangan yang hampa. Orang lain mungkin bisa menjalankan hidupnya seperti biasa lagi, hanya karena sebuah entitias yang tiada, tidak berpengaruh banyak bagi mereka. Tetap saja, hal mengganjal ini sudah terlanjur dikupas dan harus sampai tuntas.

Raka mengambil tas ransel, memasukkan barang-barang yang sesungguhnya tidak ada nilai lebih di Bumiapara. Kenop pintu ditekan ke bawah, tepat sebelum Raka menyentuhnya. Dee terkejut mendapati Raka yang berdiri di ambang pintu.

"Hey," sapanya, "Mau ke mana?"

"Pergi," jawab Raka sekadarnya.

"Oh? " pria itu tampak aneh tanpa jas lab putih yang biasa ia kenakan. Rambut ikalnya tampak mengembang dan berantakan. Sang dokter berdiri di ambang pintu, menatap Raka tanpa ekspresi.

"Apa maumu?"

"Mengecek keadaanmu," katanya sembari membenarkan kacamata yang melorot, "Bukankah etikanya kau harus berterima kasih terlebih dahulu sebelum pergi, setidaknya pada seseorang yang sudah mengambil peluru dari tubuhmu itu?"

"Itu kau? Makasih, kalau begitu."

Berdecak, pria ikal itu merogoh saku mantel yang ia kenakan; melempar satu bungkus plastik berisi antibiotik, analgesik, dan beberapa obat oral lainnya pada Raka, "Kalau kau mau pergi, setidaknya berpamitan dulu dengannya. Dhira cemas, kau tahu."

"Peduli apa kau dengan hal itu?" tanya Raka, bersandar di tembok, menghisap lagi rokoknya.

"Kami menyayangi Dhira. Pergi saja ke manapun yang kau mau, tapi jangan berani-beraninya kau membuatnya menangis."

Tepat sebelum dokter itu melangkahkan kaki keluar dari ruangan, Raka memanggilnya. Raka sadar wajahnya merengut penuh pikiran dan ia meminta, "Ajari aku untuk menjadi lebih kuat, Dok."

Menyipitkan mata, pria itu menatap Raka dari balik bahunya, "Kau pikir aku orang yang tepat?" pertanyaan Dee terdengar seperti pertanyaan retoris, "Kuat memiliki definisi yang luas. Kuat macam apa yang kau maksud?"

Meninggalkan Raka sendiri di kamar, pemuda itu melihat kemasan antibiotik pemberian Dee, memasukkannya ke dalam saku jaket. Rokoknya berdesis. Pemuda itu melirik lagi ke jendela, memerhatikan beberapa orang yang sudah mulai kembali ke rumahnya dan sisanya masih bergumul di sana.

Kuat macam apa yang ia mau? Memangnya Raka tahu? Ia hanya perlu untuk selamat, bukannya jadi kuat. Tetapi, bukannya dengan menjadi kuat akan memperbesar peluang dirinya untuk selamat? Untuk hidup? Persetan, Raka tidak bisa berdiskusi dengan isi kepalanya sendiri. Ia mematikan puntung rokok dan membuangnya ke pot tanaman terdekat. Ia tidak bisa berdiam diri lebih lama lagi, ia harus berbuat sesuatu, melakukan sesuatu.

Menuruni tangga, Raka berpapasan dengan Indhira. Perempuan manis itu menelengkan kepala, tersenyum canggung sembari menyapa Raka. Mereka berhadapan meski wajah saling dipalingkan. Gestur yang tercipta di antaranya tak bisa diselipi dengan kosa kata. Raka menggaruk kepalanya sementara Indhi mengelus tangannya.

"Aku—" keduanya berkata di waktu yang sama. Terkekeh mereka setelah dua detik bertatapan. Raka mempersilakan gadis itu untuk berbicara duluan.

Tatapan Indhira berubah sendu ketika dia mendapati tas ransel di punggung Raka, "Kamu mau pergi?"

Terlihat sosok Dee sekitar lima puluh langkah di barat. Tanpa membenarkan kacamata yang dia kenakan, ia yakin pria itu mengamatinya dari jauh, menatapnya awas seolah-olah siap menerkam jika Raka salah langkah. Menelan saliva, pemuda itu meminta Indhi untuk berbicara berdua saja, tanpa ada siapapun yang mengitari atau yang bisa mendengar percakapan mereka.

Berlawanan dari arah kerumunan, Indhi membawa Raka menelusuri sungai tak begitu jauh di timur. Langit senja berubah kelabu, tanpa bintang dan tanpa bulan. Cahaya lampu yang ala kadarnya pun tak membuat jalan setapak menjadi lebih jelas. Derik jangkrik dan sayup aliran sungai mengisi sunyi di antara mereka. Indhira merengkuh sikutnya, berjalan tanpa menatap Raka dengan pandangan lurus ke depan entah memikirkan apa

"Apa orang-orang masih berusaha mencari tubuh Abu maupun Mato?" tanya Raka, menendang kerikil bagaikan bola.

"Kami hanya mengharapkan yang terbaik," jawab Indhira, "Shen sudah pesimis, tapi dia tidak mau mencemaskan warga. Sulit ya menjadi pemimpin. Semua hal harus dipertimbangkan dengan benar. Salah bicara sedikit malah akan menyebabkan huru-hara."

Mereka sudah mendekati perbatasan, terlihat dari gelondongan kayu yang dijadikan dinding pertahanan. Aliran sungai itu dimanfaatkan menjadi lahan agrikultur yang cukup untuk menghidupi Haven. Indhi menunjukkan satu buah pos pengawas yang terbengkalai. Petugas keamanan lebih sering datang di tengah malam dan terjaga hingga pagi daripada bertugas di sana seharian. Menaiki tangga, Raka memasuki bilik berukuran tak lebih dari empat meter kubik.

Ketinggian memisahkan dirinya dengan Haven, sekitar empat meter namun cukup untuk mengamati ketenangan di horizon. Mereka duduk di kursi kayu sederhana, menghadap kota kecil yang mulai gemerlap. Alam yang terbuka, tanpa adanya jendela menyebabkan udara dingin langsung berhembus mengenai telinga.

"Kenapa kamu selalu membawaku ke tempat-tempat tinggi begini?" tanya Raka mengingat Indhi pernah membawanya ke atas dinding perbatasan Disposal Floor.

"Aku suka tempat tinggi," jawab perempuan itu, mengeluarkan sebatang Vincent Smoke dari sakunya. Setelah menyulut dan menghirupnya, pandangan Indhi menerawang; tak pada Raka maupun Haven, "Sunyi dan menenangkan. Setiap aku pergi ke tempat tinggi, rasanya kerumitan dalam kepala mendadak hilang. Tapi sesungguhnya, ketenangan itu sama ketika kamu berada di ujung pijakan. Namun kalau jatuh, kau mungkin akan pergi meninggalkan dunia," Indhira bangkit, mendekati pagar dan menopang dagunya. Ia tersenyum, "Kamu pasti berpikir ucapanku ini omong kosong."

"Entahlah," Raka memainkan pemantik rokok dan berkata, "tidak juga. Jika kematian merupakan ketenangan yang abadi, mungkin tidak ada salahnya berpikir seperti itu."

Indhira mendengus, "Jadi kamu benar mau pergi, huh?"

Raka tidak menjawab.

"Ke mana?" ia bertanya, "Kalau kau mau kembali lagi ke Floor, kamu tahu pasti aku dan Dokter Dee akan pulang kan? Kamu bisa ikut dengan kami!"

"Aku harus bergerak," Raka berhenti memainkan pemantik api, "Aku tahu ini baru sehari, tapi orang-orang membutuhkan kalian. Tentunya akan memakan waktu banyak."

"Apa kamu tidak merasa egois pergi di saat genting seperti ini? Haven membutuhkan bantuan dalam bentuk apapun."

"Aku? Egois?" ulang Raka, "Dengar, Dhi, aku bukan salah satu dari kalian, apa lagi Haven. Aku ini orang asing, ingat? Aku ke sini pun karena Kei yang menyuruhku, supaya aku bisa mencari jawaban sendiri melalui apa yang aku alami. Tapi, apa? Bukannya mendapatkan jawaban, pertanyaanku semakin lebar ke sana kemari! Aku tidak meminta hal seperti ini! Aku hanya ingin tahu kenapa Jun mati."

"Mungkin karena memang itu intinya? Kau harus menjawab banyak pertanyaan dari pertanyaan yang kau cari!"

Raka menyipitkan mata, terkekeh, "Itu enggak masuk akal, Indhi."

"Itu 'kan katamu," Indhi bersikukuh. Ia mengetuk batang rokok, membiarkan debunya jatuh mengikuti gravitasi, "Apa kamu enggak bisa... merelakan kepergian Jun? Ini pasti bukan hal yang dia inginkan darimu 'kan?"

"Memang, memang bukan. Aku tahu orang itu pasti akan memarahiku habis-habisan jika dia masih hidup, tapi aku telah berjanji —bersumpah bahkan— bahwa kami akan melindungi satu sama lain, dalam hal apapun, dan aku gagal. Dia bunuh diri. Bunuh. Diri. Itu enggak mungkin."

"Bagaimana jika Jun memang bunuh diri? Apa yang akan kamu lakukan? Kamu ikut mati dan mengejarnya ke alam kubur?"

Itu pertanyaan yang sama yang pernah Iyas utarakan. Bahkan sampai sekarang Raka belum menemukan jawabannya. Kerutan di dahi Indhira semakin dalam, sarat kecemasan. Raka memalingkan wajah, menatap gemerlap perkotaan, "Setidaknya, aku tahu kebenarannya," katanya.

Indhira menghela napas berat, "Kamu sadar bahwa kamu membuat banyak orang khawatir 'kan? Aku, Iyas, orang-orang yang kamu kenal di Permukaan Atas—"

"Justru karena itu, Indhi!" potong Raka, "Aku masih belum bisa melindungi diriku sendiri sejak sampai di dunia brengsek ini! Hal-hal aneh selalu terjadi padaku dan aku tidak mau hal-hal itu terjadi pada orang-orang yang kukasihi. Aku belum cukup kuat dan aku tidak bisa berdiam diri seperti ini terus menerus. Aku tidak bisa melindungimu; tidak bisa melindungi diriku; aku akan menjadi cowok yang paling memalukan seumur hidup! Aku akan terus berjalan di tempat!"

"Kejantanan?" Indhira menyimpulkan, "Itu alasan kenapa kamu pergi? Keterlaluan. Floor jauh lebih berbahaya dari apa yang kamu pikirkan; jangan kekanak-kanakan begitu!"

"Bukan itu intinya!" sentak Raka, memukul panel kayu yang telah menjadi dinding, "Aku harus mencari jawaban, Indhi, dan aku tidak bisa bersama terus denganmu."

Mereka saling tatap; intens. Keduanya memiliki beban di hati dan juga pikiran; sulit untuk saling mengutarakan. Rokok sudah Indhira matikan; hanya kepulan uap yang mengisi udara di antara mereka. Raka membuka mulutnya terlebih dahulu, "Jadi, apa sekarang saatnya aku mengucapkan 'selamat tinggal'?"

"Jangan," Indhira berkata lirih. Melihat reaksi Raka yang sedetik lagi naik pitam, ia menggigit bibir, meraih tangan Raka dan berkata, "Tolong, jangan katakan 'selamat tinggal'. Selamat tinggal berarti kamu benar-benar pergi dan mungkin takkan pernah kembali," ia menatap Raka dari balik bulu mata, tubuhnya bergetar, "Kau tahu bagaimana perasaanku 'kan?"

"Ya," tatapan Raka melembut, ia melepas genggaman tangan Indhira, "aku tahu."

Dhi menggeleng dan berkata lirih, "Enggak, kamu enggak tahu."

"Aku tahu," ujar Raka menaikkan dagu perempuan itu.

Ditatapnya mata Indhi yang nyaris tumpah karena tangis. Pemuda itu menangkup wajahnya lalu, refleks, mengecup bibir Indhi dalam-dalam. Dia terbelalak, tak menyangka bahwa Raka akan mendaratkan bibirnya. Ketika dia ingin mendorong Raka, pemuda itu mencengkram tangan Indhi hingga gadis itu tak lagi mencoba berontak.

Kecupan itu bukanlah perpisahan, bukan pula permintaan maaf. Lama dan hangat; ia pikir hal itu merupakan keharusan.

Wajahnya memanas, napasnya terengah, perempuan itu menutup bibirnya dengan punggung tangan, menatap Raka dengan emosi yang tertahan, "Kamu curang, Ka."

"Sampai nanti, Indhira."

*

//Halooo! Gila, aku seneng banget nulis chapter ini. Bisa menggambarkan segitu banyak perasaan Raka. Dari kekecewaan , takut, amarah, humiliated, dan bagaimana karakternya berubah frustasi lalu responnya ke orang-orang terdekat, kemudian mendadak jadi emo and became a jerk HAHAHAH (seneng liat OC nya sengsara) Rakacan lebih ganteng gini apa pecicilan pas dulu?

Anyway, terima kasih banyak sudah menunggu dan masih membaca kisah ini. Kalo sekiranya viewers bertambah jadi 20k, mungkin saya bakal bikin sesi Bincang Ubin lagi. Sedikit demi sedikit si Floor akan di republish dari chapter awal jadi mohon maaf kalau notifikasinya menganggu. Sekali lagi, makasih untuk segala dukungannya! See you when I see you~//

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top