BAB XXXIV
.
.
.
.
.
"Dia ada di mana, Gigie?" Bright mendesaknya sembari berjalan keluar dari kamar Win dan memegang handphonenya. Dia sudah meninggalkannya di sana. Gigie membentak dan menutup pintu lemari dengan membantingnya. "Kenyataan bahwa muka memelasmu mengatakan bahwa kau tak tahu di mana dia berada hanya membuatku semakin membencimu."
.
Sialan, apa sih yang salah dengan dirinya? Bright sudah mengalami hari yang sangat menyebalkan. Mereka semua menjadi murka ketika Bright memberitahukan pada ibunya bahwa dia harus mencari rumah lain untuk tinggal dan kemudian memberitahukan pada mereka semua bahwa Bright akan menikahi Win. Well, tidak semuanya bersikap seperti itu. Ayah Win tampak baik-baik saja menerima berita itu. Tapi Prim dan ibu yang sangat marah. Mereka saling berteriak marah selama beberapa jam dan Bright membuat ancaman serius kepada mereka. Prim seharusnya pergi rumah itu untuk kembali bersekolah di hari Senin. Dia akan pergi sampai libur musim dingin dan Bright yakin dia akan menghabiskan liburannya bersama teman-temannya di Vail. Itu yang biasanya dia lakukan setiap tahunnya. Biasanya Bright juga pergi ke sana, tapi tidak tahun ini.
.
"Aku harus berurusan dengan ibu dan adikku selama empat jam terakhir ini. Mengusir Davika keluar dari rumahku dan memberi tahunya dan Prim bahwa aku bermaksud untuk melamar Win bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan. Jadi maafkan aku kalau aku butuh informasi untuk mengingatkanku tentang keberadaan Win sekarang!"
.
Gigie menaruh botol airnya di meja dapur dengan kasar dan ekspresi kemarahannya berubah menjadi lebih mirip ekspresi jijik terhadap sesuatu. Bright kira kalau dia sudah tahu bahwa Bright akan melamar Win, dia akan menjadi lebih senang. Tampaknya dugaannya salah. "Kuharap kau belum membeli sebuah cincin," hanya itu yang terucap darinya.
.
Bright lelah menghadapi sikapnya. "Katakan padaku di mana dia sekarang," Bright menggeram.
.
Gigie menaruh kedua tangannya di atas meja dan mencondongkan tubuhnya sembari menatap Bright dengan tatapan keji yang Bright tidak tahu bisa dia lakukan. "Persetan. Denganmu."
.
Sial. Apa yang sudah Bright lakukan?
.
Pintu terbuka dan Win berjalan masuk sembari tersenyum hingga akhirnya bertatapan mata dengan Bright. Lalu senyum di wajahnya segera menghilang. Dia juga marah. Ini pertanda jelek.
.
"Win," kata Bright sembari berjalan ke arahnya dan dia mulai melangkah mundur.
.
"Jangan," jawabya sembari menaruh ke dua tangannya di depannya untuk mencegah Bright mendekatinya. Dia sedang memegang sesuatu. Sepertinya beberapa foto. Sialan, foto apa yang sedang dia pegang? Apakah itu foto dari masa lalunya? Apakah Win marah tentang beberapa perempuan dan pemuda yang pernah dia tiduri di masa lalu?
.
"Apa itu seperti dugaanku?" tanya Gigie sembari mendorong Bright untuk menyingkir dari jalannya dan berlari menuju Win. Win mengangguk dan menyerahkan foto-foto itu padanya. Gigie menutup mulutnya yang ternganga kagum. "Oh Tuhanku. Apa kau mendengar detak jantungnya?"
.
Ketika mendengar kata 'detak jantung' dada Bright serasa dibelah hingga terbuka lebar. Bright mulai memahami apa yang terjadi. Ini hari Kamis. Hari ini jadwal kunjungan Win ke dokter. Dia tadi menelpon untuk mengingatkan soal itu dan Bright malah menutup telponnya.
.
"Win, sialan baby, aku sangat menyesal. Aku sedang berurusan dengan—"
.
"Keluargamu. Aku tahu itu. Prim yang memberi tahukan padaku ketika aku menelponmu lagi. Aku tak mau mendengar alasanmu. Aku hanya ingin kau pergi dari sini." Nada suaranya datar. Tak terdengar satupun emosi di dalamnya. Win mengalihkan perhatiannya kembali ke foto-foto itu dan menunjuk sesuatu. "Ini dia bayi ku. Bisakah kau percaya bahwa dia ada di dalam perutku?" Ekspresi marah di wajah Gigie ketika menatap Bright sekejap menghilang ketika dia melihat foto itu dan kemudian tersenyum lembut. "Ini mengagumkan."
.
Mereka berdiri di sana menatap foto-foto bayinya. Win sudah mendengar detak jantungnya hari ini. Sendirian. Tanpa ditemani oleh Bright.
.
"Bolehkah aku melihatnya?" tanya Bright sembari khawatir Win akan berkata 'Tidak', atau parahnya lagi, mengacuhkan. Win justru mengambil foto-foto itu dari Gigie dan menyerahkannya. "Benda kecil yang terlihat seperti kacang kecil itu. Itu...bayi kita," dia menyelesaikan kalimatnya. Win tampak enggan untuk menyebutnya bayi mereka. Bright tak bisa menyalahkan sikapnya.
.
"Apakah jantungnya baik-baik saja? Maksudku, apakah jantungnya berdetak dengan bagus dan semacamnya?" tanya Bright sembari menatap foto di tangannya.
.
"Ya. Mereka bilang semuanya sempurna," jawabnya. "Kalau kau mau kau bisa menyimpan yang satu itu. Aku punya tiga foto lainnya. Tapi aku ingin kau segera pergi dari sini sekarang juga." Bright tidak akan pergi. Postur tubuh Gigie yang seperti menjaganya juga tak akan mampu menghentikannya. Bright akan mengatakan semuanya di depan Gigie kalau memang harus begitu tapi Bright menolak untuk pergi dari sini.
.
"Ibuku dan ayahmu datang tak diundang hari ini. Prim pergi untuk mulai kuliahnya hari Senin. Ibu mengira bahwa aku juga akan pergi dari rumah itu jadi dia ingin pindah kembali selama setahun ke depan. Aku memberitahukan padanya bahwa aku tak akan pergi dari rumah itu dan dia harus mencari tempat tinggal yang lain. Aku juga memberitahukan pada mereka bahwa aku akan tetap tinggal di rumah itu sampai kau yang memutuskan ingin pindah ke tempat lain. Aku juga memberitahu mereka bahwa aku bermaksud melamarmu,"
.
Bright berhenti sejenak dan melihat wajahnya berubah menjadi pucat pasi. Bukan reaksi yang dia harapkan. "Prosesnya tidak berjalan mulus. Ada banyak teriakan. Berjam-jam berteriak dan saling mengancam. Ketika kau menelponku, aku baru saja memberitahukan kepada mereka bertiga bahwa aku akan menikahimu. Dan semuanya berubah menjadi semakin kacau. Aku berencana menelponmu kembali setelah ibuku dan ayahmu masuk ke mobil mereka dan pergi ke luar dari kota ini. Aku tak mau kau harus berhadapan dengan satupun dari mereka. Tapi ibuku tidak menyerah dengan mudah. Prim sudah berkemas dan pergi untuk bersiap sekolah sore ini. Dia tak
mau bicara denganku lagi." Bright berhenti dan menarik nafas. "Aku tahu bahwa permintaan maafku tak akan pernah cukup. Kenyataan bahwa aku lupa tentang jadwal kunjunganmu ke dokter
hari ini adalah sesuatu yang tidak bisa dimaafkan. Tapi aku tetap harus meminta maaf padamu. Aku berharap bisa berhenti mengacaukan segalanya."
.
"Kau tadi tidak sedang makan siang bersama dengan keluargamu?" tanyanya.
.
"Keluargaku? Apa? Tidak!" Postur tubuhnya yang tegang seketika menjadi santai. "Oh," Win berkata sambil menghembuskan nafas.
.
"Kenapa kau kira aku akan pergi makan siang bersama mereka? Aku tak akan menutup telponmu hanya untuk menghabiskan waktu bersama mereka. Win."
.
"Prim," Win menjawab sambil tersenyum sedih.
.
"Prim? Sial, kapan kau berbicara dengannya?" Bright selalu bersama Prim sepanjang pagi ini.
.
"Ketika aku menelponmu lagi. Prim yang mengangkat telponnya dan mengatakan bahwa kau tidak punya waktu untukku karena kau akan pergi makan bersama keluargamu."
.
Adik kecilnya yang pembohong itu sebaiknya lega pantatnya sudah menuju ke arah pesisir timur negara ini karena Bright akan mencekik lehernya kalau nanti Bright bertemu dengannya. "Kau tadi pergi ke dokter dengan pikiran bahwa aku mengabaikan kau dan bayi kita demi mereka? Sial!" Bright mendorong Gigie untuk menyingkir dari jalannya dan memeluk Win. "Kaulah keluargaku Win. Kau dan bayi ini. Kau dengar aku? Hari ini aku melewatkan sesuatu yang tak akan pernah bisa ku maafkan. Aku ingin berada di sana dan mendengar detak jantungnya. Aku ingin menggenggam tanganmu ketika kau melihat anak lelaki kita untuk yang pertama kalinya."
.
Win mendongakkan kepalanya dan tersenyum. "Kau tahu kan kalau anak kita bisa saja perempuan."
.
"Ya, aku tahu."
.
"Makanya berhenti menyebutnya anak lelaki kita," jawabnya.
.
Bright tadi menyebutnya anak lelaki. Bright tersenyum lalu mencium keningnya. "Bisakah kita kembali ke kamarmu dan kau ceritakan padaku tentang kunjunganmu tadi? aku ingin mendengar semuanya."
.
Win mengangguk dan menatap sekilas ke arah Gigie. "Apa kau akan terus menatapnya sinis begitu atau akan memaafkannya?"
.
Gigie mengangkat bahunya tak peduli. "Aku kan tidak tahu."
.
.
.
.
.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top