8. Kesaktian
Please vomment on this story, all 💕
-oOo-
"PENGUASA Kaum Putih?"
Informasi itu terdengar keliru di telingaku. Penguasa Kaum Putih adalah Raja Gangika, pria yang monumennya dipajang di tengah-tengah balai desa Kevra. Kukira selama ini Miron adalah nama sebuah tempat, tapi bila dipikir-pikir lagi, Ibu memang tak pernah menyebutkan Miron secara spesifik. Dia hanya berbicara sepotong demi sepotong.
"Kau tidak bercanda, kan?"
"Tidak, untuk apa?" Ursa mengernyitkan kening. "Ya, sudah jelas kau tak tahu nama panjang Raja, karena kau sedang hilang ingatan."
"Siapa nama panjangnya?"
"Gangika Miron. Miron adalah nama keluarganya."
Aku menyipitkan mata, mencoba memahami pelan-pelan. Semenjak kecil, memang tidak ada penduduk desa yang benar-benar peduli dengan nama lengkap penguasa kami, atau menghafal nama-nama Dewan dan Kepala Desa yang memonopoli kawasan kami. Jadi kupikir ketidakpahamanku adalah wajar. Ursa melipat bibirnya ke dalam. Pancaran tatapannya tersembunyi di balik bulu matanya yang lentik, tetapi sekilas aku melihat gelagat ragu dari dirinya.
"Ibu di dalam mimpi berkata aku harus menemui Miron," kataku.
Ursa menatapku lekat-lekat. "Tahu, tidak? Sungguh aneh kalau ada seseorang berkata sejelas itu lewat mimpi."
Perasaan tidak enak membanjiri dadaku, sebab Ursa tampak dengan sengaja menyindirku. "Aku pun tidak tahu. Tapi bisa saja yang dimaksud ibuku bukan Raja Gangika. Bisa saja itu nama sebuah tempat, atau justru nama orang lain."
"Tidak ada banyak petunjuk untuk menyelidikinya, River. Sekarang harapan kita hanyalah menunggu agar ingatanmu kembali."
"Mudah-mudahan," kataku, sementara jauh di dalam hati aku diderai kebingungan yang begitu dalam. Bagaimana bila Ursa tahu bahwa sebetulnya aku tak hilang ingatan? Ibu hanya menyampaikan nama Miron sebagai pesan terakhirnya. Tidak ada petunjuk lagi selain itu. Di sisi lain, aku memikirkan keanehan yang terjadi padaku. Warna rambutku berubah menjadi seperti Kaum Putih. Mengapa hal itu bisa terjadi? Apakah sebetulnya aku ... memiliki kaitan dengan Raja Gangika?
Mustahil. Bisa saja Miron yang dimaksud Ibu adalah orang lain.
Saat jariku meniti peta, pikiranku melayang memikirkan Ursa dan adiknya. Boleh jadi aku beruntung dipertemukan dengan mereka yang mengetahui sesuatu mengenai Raja Gangika. Aku yakin, selain asal-usul nama Miron, keberadaan Ursa bisa kujadikan sebagai sumber informasi lain yang lebih berguna, misalnya untuk membantuku hidup di luar sini. Melalui pemikiran ini aku memutuskan untuk memanfaatkan situasi ini baik-baik.
Ursa berbalik menuju meja yang dipenuhi dengan kertas-kertas dan tumpukan buku bersampul tipis dan kumal. Dia mengempaskan diri di sebuah sofa empuk di balik meja. Aku mengikutinya, duduk di kursi dari anyaman bambu yang lebih keras. Kami saling berhadap-hadapan dan dipisahkan oleh meja.
"Lalu kau ... tinggal di sini bersama adik perempuan," kataku. "Ke mana orangtuamu?"
"Ibuku seorang kepala medis di Istana."
"Jadi dia tinggal di Rawata?"
"Setahun sekali biasanya dia pulang untuk mengunjungi kami. Namun tahun ini dia belum mengunjungi karena katanya keadaan di Rawarta cukup sibuk. Di sisi lain, Raja Gangika mulai sakit-sakitan."
"Oh...," lirihku seraya menatap Ursa lebih dekat. Penerangan di perpustakaan ini memakai lampu kuning yang membuat warna mata hijaunya menjadi tersamarkan, seperti warna zaitun. Mendadak saja aku tersadar bahwa seumur hidupku, aku tak pernah bertemu dengan Kaum Putih yang memiliki warna mata selain hitam. Ini mendorongku untuk bertanya sesuatu.
"Ursa," kataku, sementara otakku mencari kata-kata agar aku tak terdengar terlalu bodoh karena menanyakan informasi macam-macam. "Matamu...."
"Ada apa?"
"Eh ... indah."
"Apa kau bilang?" Tiba-tiba wajahnya berubah risi.
"Maksudku... warna matamu indah," aku membalas agak panik. "Punya Alya juga unik―ada lingkaran keemasan di sekitar pupilnya. Mungkin ... mungkin karena kepalaku terbentur sangat keras, rasanya seperti pertama kali melihat warna mata seperti itu."
Ursa terdiam, kemudian ekspresi risinya langsung luntur, terganti dengan raut kasihan.
"Oh, ya, benar. Ayahku bermata hijau, dan ibuku bermata emas. Aku terlahir menyerupai Ayah, sementara Alya mendapatkan sebagian gen mata emas dari Ibu. Tapi kesaktian kami dominan mengikuti spektrum warna hijau."
Aku hampir berpaling terlalu cepat ketika mendengar kalimat terakhir Ursa. "Kesaktian?"
"Astaga, hal ini pun kau lupa. Sebagian besar dari Kaum Putih dilahirkan dengan kesaktian berbeda-beda. Warna biru pada iris mata menunjukkan keturunan murni prata―itu sebutan untuk para bangsawan yang memiliki hubungan dekat dengan keluarga Kerajaan. Keajaiban mereka ada pada otot tubuh. Mereka luar biasa kuat. Bisa menghancurkan beton dengan tinju kosong. Beberapa orang bermata biru yang kutahu biasanya mendapat tempat istimewa di bagian pertahanan negeri―Jenderal perang, vartin, sampai Penguasa negeri. Raja Gangika sendiri kan bermata biru."
Aku baru tahu bahwa Raja Gangika bermata biru. Selama ini Kaum Liar hanya bisa menatapnya sebagai patung monumen dari batu yang agak bulukan.
"Lalu bagaimana dengan warna mata hijau dan emas?" tanyaku.
"Mata hijau adalah mereka yang memiliki keahlian dengan senjata. Kami memiliki gerak motorik yang cepat dan fokus yang sempurna untuk menembak sasaran. Sementara warna emas adalah mereka yang memiliki kemampuan mengendalikan pikiran."
Aku bergidik membayangkannya. Jadi, rumor yang berkembang bahwa semua Kaum Putih memiliki kesaktian itu benar. Sraden di Kevra tak berbohong.
Barangkali aku tampak di ambang kegilaan, sebab Ursa menanyaiku, "Kau baik?"
"Berikan aku bukti."
Gadis itu mengerutkan kening. "Apa?"
"Kalau memang kau memiliki kesaktian, berikan aku bukti."
Pelan-pelan, Ursa menyugar rambut putihnya ke belakang sehingga aku bisa melihat dahinya yang bersih. Namun, yang paling menyita atensiku adalah matanya yang dibingkai alis tebal berwarna kelabu. Aku baru sadar tatapannya yang tajam sungguh mengintimidasi.
"Kau butuh bukti? Mengapa kau butuh bukti?"
"Mungkin itu bisa membantuku mengingat sesuatu."
Dari balik meja arsip, Ursa menatapku lama. Aku hampir tak melihat gerakannya ketika dia, mendadak saja―dalam sepersekian detik yang tak kusadari―melempar sesuatu dari atas meja ke dinding di belakangku. Terdengar suara krak keras, kemudian aku berpaling dan melihat sebuah pena dengan ujung yang terbenam pada tengah-tengah pilar kayu.
Aku terkesiap, tak mampu berkata-kata. "Ka-kau baru saja ...."
"Melempar pena." Ursa mengangguk. "Kau bilang perlu bukti."
"Kenapa―"
"Kenapa penanya tidak rusak? Itu karena saking cepatnya aku melempar."
Lalu Ursa mengambil secarik kertas di atas meja dan membolak-baliknya dengan pelan. "Benda yang terlihat rapuh bisa berubah menjadi alat bertarung yang luar biasa, tergantung seberapa cepat kau menggunakannya."
Dilanda keresahan, aku berusaha menegapkan punggung dan memasang tampang normal. Rasa gelisah di dadaku makin menjalar ke tengkuk. Kubayangkan Ursa menggunakan seluruh senjata yang digantung di dinding rumahnya dengan cepat dan tepat―badanku yang ringkih dan kemampuan koordinasiku yang nol besar pastilah menjadi sasaran empuk untuk dibantai.
"Apakah ... Alya dan seluruh penduduk di Bruma juga sama sepertimu?"
"Sebagian besar dari kami mampu memaksimalkan potensi kesaktian ini. Aku sendiri berlatih terus setiap hari. Beberapa penduduk mungkin kesaktiannya melemah karena mereka tidak begitu melatihnya. Kau tahu maksudku."
"Ya," kataku. "Jadi kesaktian itu bisa dilatih?"
"Tentu bisa. Semakin dilatih, akan semakin cepat dan akurat."
"Kalau begitu ... akan menjadi sehebat apa mereka?"
"Beberapa di antara kita memang ada yang terlahir sangat hebat sampai rasanya tidak bisa terkalahkan. Tapi pada akhirnya kita semua hanya manusia yang memiliki kelemahan. Kesaktian yang tidak dilatih akan melemah, tetapi bila terlalu banyak digunakan tanpa istirahat, tenaga akan cepat terkuras. Pada kondisi tertentu, seperti orang bermata biru dan emas, mereka menggunakan tenaga dalam lebih banyak daripada kami yang bermata hijau. Kalau terlalu memforsir tenaga, tentu saja bisa tewas mendadak."
"Lalu ... bagaimana denganku? Apa aku memiliki kesaktian?"
Sepertinya jawabanku memetik sesuatu dari pemahamannya. Dia lantas mengibaskan tangan di udara, "Tampaknya kau betul-betul harus belajar dari awal."
"Jangan-jangan ... kalau hilang ingatan artinya kesaktianku juga hilang, ya?"
"Bukan, bukan seperti itu," kata Ursa. "Kaum Putih yang memiliki kesaktian adalah mereka yang memiliki mata biru, emas, hijau, atau percampurannya. Beberapa di antara kita ada yang terlahir abnormal, yaitu memiliki mata hitam. Ini artinya, mereka tidak mewarisi kesaktian apa pun."
"Tidak mewarisi kesaktian ... apa pun?"
"Mereka disebut cacat atau abnormal. Dan itulah yang terjadi padamu."
Mendengar penjelasannya, entah mengapa hatiku diliputi rasa berat. Namun, beberapa detik selanjutnya, aku merasa tolol sendiri dengan sikapku. Mengapa pula aku merasa sedih? Sejak awal aku bukan Kaum Putih, bukan? Jadi, aku memikirkan jawaban pertanyaan ini selagi membayangkan para sraden di Kevra. Mereka semua memiliki iris berwarna hitam, serta hanya dipersenjatai pistol untuk membidik kepala kaum melarat tak berguna. Apakah ini artinya mereka sungguh-sungguh tak memiliki kekuatan?
Dan, kurasa Ursa nyaris bisa membaca pikiranku, sebab gadis itu langsung berkata, "Tahu tidak? Saat pertama kali melihatmu membuka mata, kupikir kau adalah sraden Kevra yang tersesat, sebab warna matamu sama seperti mereka."
"Semua sraden di Kevra sama sepertiku, ya? Bermata hitam dan berambut putih?"
"Ya. Andai itu sungguhan, sepertinya aku akan membencimu lebih dari ini."
"Kenapa?"
Ursa terdiam beberapa saat sambil mengetukkan jarinya di permukaan meja. "Kaum Putih yang tak memiliki kekuatan biasanya sengaja bergabung menjadi regu sraden yang ditempatkan di Kevra untuk mengawasi Kaum Liar. Dengan cara ini mereka meraup untung dalam dua hal; yang pertama, mereka menyelamatkan status sosialnya sebagai keturunan yang tak mewarisi bakat apa-apa menjadi golongan yang mendapat kuasa menggunakan senjata. Yang kedua, cara ini mereka gunakan untuk membentuk citra penguasa di mata para Kaum Liar."
Ursa menyimpulkan bagian terakhir dengan tenang, "Jadi, kau bisa bilang bahwa para sraden yang mendiami Kevra sebetulnya hanyalah orang-orang tanpa kekuatan yang licik, sebab mereka memanfaatkan situasi agar bisa menindas Kaum Liar dengan bebas."
Ujung-ujung jariku berkedut, mengingat wajah para sraden Kevra (terutama yang terlibat dalam pembunuhan Ibu dan Heera) membuatku muak. Berita ini seharusnya tak menyentil kemarahanku, karena sebelumnya aku telah berhasil menebak beberapa persen alasan mereka dipersenjatai pistol. Namun, kata-kata "orang-orang tanpa kekuatan yang licik" yang keluar dari mulut Ursa mengeraskan hatiku. Aku menatap padanya, setengah mati menyembunyikan ekspresi berangku. Belum sempat aku berkata apa pun, Ursa sudah menimpali,
"Ah, aku lupa, kau pasti tidak ingat tentang Kaum Liar. Jadi, Kaum Liar adalah―"
"Mengapa kau membenci para sraden?" potongku. "Bukankah kita semua berakar dari Kaum Putih yang sama?"
Aku menunggu dengan sabar. Pertanyaanku ini cukup sensitif, mengingat aku tak memiliki andil apa-apa untuk sekadar menggali keburukan Kaum Putih. Setidaknya, aku bisa tahu apakah Ursa berbeda dengan dugaanku, terutama atas fakta bahwa dia memiliki kecederungan menolak penindasan Kaum Liar. Namun, Ursa bisa saja tahu aku sengaja melakukannya hanya agar aku mengerti alasan kebenciannya. Dia mungkin bisa menemukan kejanggalan dalam caraku menilai tanggapannya.
"Tentu saja aku tidak akan membenci kaumku sendiri hanya untuk alasan seperti itu. Lagi pula, memangnya salah bila aku mengatakan mereka licik? Kita semua memiliki sifat buruk, bukan?"
"Kalau begitu, meskipun aku bukan bagian dari para sraden itu, apakah kau membenciku juga karena warna mataku hitam?"
"Coba pikir baik-baik." Lalu bibirnya yang kemerahan menyungging senyum meledek. "Kau bahkan sudah bersikap masam padaku sejak pertama kali membuka mata. Menurutmu, siapa yang tidak akan tersinggung bila diperlakukan seperti itu?"
Wajahku langsung terbakar malu.
"Maaf soal itu. Aku hanya ... terlalu terkejut. Aku tidak menyangka akan diselamatkan olehmu."
"Sudahlah, lupakan saja. Aku juga tidak mengharapkan imbalan darimu." Lalu Ursa berbalik ke rak dan melihat-lihat buku.
"Kalau begitu, boleh aku bertanya sesuatu?"
"Apa?"
"Apakah kau membela Kaum Liar?"
Tatapannya menyiratkan kecurigaan ketika dia bertanya; "Aneh. Sepertinya aku belum menjelaskan apa-apa tentang Kaum Liar. Memangnya kau tahu sesuatu tentang mereka?"
Aku tersentak, merasa terlucuti. Kucoba untuk tenang dan memasang tampang tidak tahu apa-apa. "Aku―maksudku ... hanya menebak. Tadi kau mengatakan sesuatu tentang penindasan Kaum Liar. Kupikir kau memiliki alasan untuk membela mereka."
"Biar bagaimanapun," kata Ursa, sembari melipat tangannya di depan dada. "Penindasan adalah sesuatu yang salah, tidak peduli kau melakukannya kepada siapa."
Aku memandang matanya yang seperti batu giok hijau dan menerka-nerka bagaimana wataknya yang sesungguhnya.
Bila Ursa menjadi orang selain Ibu yang membela Kaum Liar, apakah itu artinya ... aku bisa sedikit percaya padanya?[]
-oOo-
.
.
.
Jadi.... dimulailah perjalanan River menebak-nebak siapa Ursa 😌
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top