7. Miron
.
.
.
.
-oOo-
AKU terjungkal ke belakang tanpa bisa menahan jeritan terkejut. Si gadis buru-buru memegangiku. "Kau kenapa?"
Suaraku tidak keluar. Tubuhku gemetaran, sementara orang asing di cermin itu menampakkan ekspresi sama sepertiku. Rambutku berwarna putih keperakan, tampak agak gimbal dan kering di beberapa tempat. Aku menutup mata seolah yang kulihat itu adalah hantu, tetapi gadis itu menahannya. Dia menghalangi cermin dengan tubuhnya yang menghadapku, lalu jemarinya meremas bahuku, "Tenang dulu. Apa yang terjadi padamu?"
"Siapa dia?"
Saking paniknya, aku tak bisa mengendalikan kata-kata. Kengerian merobekku, sehingga aku menjambak rambut dengan keras. Ini bukan aku, bukan aku, bukan aku! Sementara kata-kata itu bergema dalam relung hatiku yang terasa asing, seolah bagian diriku yang lama telah disingkirkan ke suatu tempat. Rambutku tidak mungkin berubah. Apakah yang kulihat adalah tipuan cahaya? Aku mengintip dari pinggang si gadis, namun warna rambutku tetap sama. Kamar mandi ini sempit dan tak ada ventilasi yang cukup memaparkan sinar, jadi tak mungkin yang kulihat adalah kesalahan.
"Kau tidak ingat siapa dirimu?"
Aku terengah-engah, sebagian diriku kelelahan, sebagian lagi menyerah karena putus asa. Aku tidak tahu apa yang sebetulnya terjadi, jadi aku tak menjawab.
"Kalau tidak ingat apa-apa, mungkin pilihan terbaik adalah melapor ke kepala desa."
Mendengar kata kepala desa membuat perutku mual. Aku tak mau terseret masalah lebih dalam, jadi aku langsung menepis tegas. "Tidak, tolong, jangan laporkan aku."
"Tapi kau tidak ingat siapa dirimu, bagaimana kami bisa membantumu?"
"Jangan. Nanti aku akan menjelaskan semuanya ... tolong beri aku waktu."
Si gadis terdiam, memandangingku dengan lapisan curiga, tapi akhirnya dia menyerah. "Kau baik-baik saja?"
"Ya."
"Kalau begitu ayo kembali ke kamar. Tidak usah mandi dulu."
"Aku ingin mandi."
Si gadis memastikan keinginanku berkali-kali sampai akhirnya dia membuka keran. Uap mengepul keluar dari dalam bak. Aku berharap aku bisa berendam di dalamnya saat itu juga, membilas tubuh dan rambutku, memikirkan segala keanehan yang kualami dan menyusun rencana untuk membela diri. Namun, aku tetap menunggu gadis itu sampai dia pergi.
"Aku akan membuka pakaianmu," Dia berujar. Aku memandanginya lama, nyaris keheranan. Tahu-tahu, raut wajahnya berubah seakan dia salah bicara. "Bukannya bersikap tidak sopan. Maksudku, kalau kau butuh bantuan. Aku tahu lenganmu masih sakit karena luka di pundak."
"Tidak perlu," kataku sambil menghindari tatapannya. "Aku bisa sendiri."
"Kalau begitu aku akan menunggu di kamar, pastikan kau tidak menggosok bekas lukamu karena nanti jahitannya rusak."
Kemudian, tanpa menunggu jawabanku, dia pergi keluar.
Aku menunggu sampai pintu tertutup, lalu melepas seluruh pakaian dengan hati-hati. Kalung yang diberikan oleh ibuku kuletakkan di atas pakaian bekas. Kupandangi sebentar liontinnya yang berbentuk sayap, dan otakku langsung memutar mimpi-mimpi buruk yang kualami di gua. Merpati putih. Entah apa maksud Ibu mengatakan hal itu kepadaku. Mengapa dia memberiku kalung ini?
Penat dengan pikiran, aku beralih pada selapis kaus yang kukenakan di atas lukaku. Kaus ini lengket dengan bekas darah yang mengering. Hampir saja aku melupakan fakta bahwa noda itu mungkin tercampur dengan darah Heera.
Aku berendam di dalam bak, perlahan-lahan meregangkan otot-ototku yang nyeri, tetapi rasa lega yang kurasakan belum cukup menuntaskan rasa dukaku terhadap Heera dan Ibu. Seluruh kotoran dan keringat dari badanku berbaur bersama air rendaman, membentuk pola samar seperti mahkota bunga yang merekah. Rasanya seperti melepaskan bagian Heera dan Ibu yang melekat di diriku.
Kutundukkan kepala dan menggosok rambut sekuat mungkin. Saat aku berpaling menghadap kaca, warnanya tetap sama. Dalam keadaan basah begini justru lebih terang dan mencolok. Aku meninju permukaan air dengan kepalan tangan kiriku yang tidak sakit, lalu perasaan frustrasi dan kebingungan mencakarku dari dalam. Mengapa bisa terjadi seperti ini? Warna rambutku memang tidak semirip si gadis yang menolongku, tapi tetap saja terlalu kontras dan mencolok bila dibandingkan dengan warna hitamku yang dulu.
Kupegang pinggiran bak, setengah mati menahan ledakan kemarahan dan tanpa petunjuk yang mengimpit kewarasanku. Mau dipikir berapa kali pun, rasanya sungguh tak masuk akal bila warna rambutku tiba-tiba berubah. Bahkan jika dipikir-pikir, aku tak tahu sejak kapan rambutku berubah warna. Apakah sejak aku pingsan di dalam gudang? Apakah setelah Heera meninggal? Aku tak bisa mengenyahkan perasaan takut yang mengoyak diriku. Di sisi lain pertanyaan tentang kapan, ada satu pertanyaan paling mengerikan yang tak mau kuketahui jawabannya.
Siapa aku sebenarnya?
-oOo-
Semua kotoran yang melekat dari tubuhku rontok di bawah kaki, mengalir melalui ceruk sempit semen pada lantai dan masuk ke saluran pembuangan. Aku menghabiskan waktu cukup lama memakai pakaian bersih, terutama karena tak bisa memakai tangan kananku dengan luwes, sebab rasa sakit dari jahitan di dadaku menyebar ketika aku mengangkat lengan.
Saat mengelap rambut dengan handuk, aku tak bisa berhenti menatap pantulanku pada cermin di balik pintu. Kutarik napas dalam-dalam, menahannya untuk meredakan tekanan yang semakin kuat di dadaku. Rambut perak di kepalaku menjadikan sosokku kelihatan aneh dan asing. Baju yang kukenakan juga bukan khas Kaum Liar yang serupa kemeja dan celana tipis kaku, melainkan setelan lengkap berwarna putih, ada corak tenun dengan benang perak yang mengitari pola jahitannya. Kainnya tebal dan hangat, sungguh berlainan dengan adat kaum kami. Seolah bagian lama dariku telah dicopot paksa, ditambal dengan potongan baru yang asing dan tak kukenal. Aku tak mirip Ibu ataupun Heera.
Suara ketukan terdengar. Gadis bermata hijau bertanya dari balik pintu yang tertutup;
"Kau bisa memakai pakaian sendiri?"
Aku memandang penampilanku di cermin. Pakaian Kaum Putih dipenuhi tali yang tak kumengerti cara pasangnya, sehingga kubiarkan terurai begitu saja. Pakaiannya menjadi kendor dan bentuknya aneh di badanku. Tapi, aku tak mau menerima bantuan gadis ini. Jadi, tanpa mau repot-repot menjawabnya, kubuka pintu kamar mandi dan kulihat dia berdiri di dekat engsel. Tangannya bersedekap di dada.
"Sudah kuduga," katanya, memandangku dengan cara tidak menyenangkan. "Kau pasti tidak bisa memakainya karena tanganmu belum bisa digerakkan. Kemarilah, mendekat padaku."
Mengabaikan sikap penolakanku, dia menarikku, tanpa berkata-kata langsung memasang tali yang terhambur di pinggang dan membantuku memasangnya. Tangannya meraba dadaku. Aku hampir menepisnya, tapi dia memberiku tatapan tajam, "Berhenti menganggapku sebagai ancaman. Aku hanya mau memeriksa luka tembakmu." Dia berkata tegas.
Dengan terpaksa aku menurutinya.
Si gadis cekatan, tapi tindakannya cukup kasar. Mungkin, agak jengkel karena sikapku. Dia menarik tali yang mengikat celanaku dengan kuat, mengencangkan kerah di leherku sampai-sampai aku berpikir dia ingin mencekikku. Aku menahan diri untuk tak mengerang sakit.
"Sudah," katanya, lalu menarik bahuku. "Sekarang ayo makan. Alya sudah membuat makan malam."
Dia berbalik dan membiarkanku berjalan di belakangnya. Aku mengitari lorong rumahnya yang berlantai kayu. Rak-rak buku mengapit di kedua sisi lorong, berisi penuh dengan benda-benda―seperti tumpukan buku, papan kayu yang dibentuk dengan pola seperti wajah, pot-pot tanaman, serta patung berukuran kecil. Pada dinding di dekat pintu yang terbuka, ada tombak-tombak, panah, dan senapan-senapan yang digantung, yang membuat naluriku berbisik bahwa aku bisa memakai senjata ini bila mereka berbuat sesuatu padaku.
Kami masuk ke pintu tersebut, dan aku melihat ruangan makan bermandi cahaya senja di dalamnya. Ada seorang anak perempuan lain yang lebih muda―mungkin tiga tahun di atas Heera, sedang menyibukkan diri di dapur sempit yang berdekatan dengan tempat makan, dengan suara piring dan gelas berkelontangan. Anjing hitam yang tadi menjilati wajahku sedang makan dengan rakus di sudut ruangan. Selagi aku berdiri tak bergerak di ambang pintu, mereka menghentikan aktivitasnya dan melihatku.
"Kenapa diam saja? Sini duduk," kata si gadis ketus.
Anak perempuan yang sibuk dari dapur kini menghampiri kami sambil membawa satu baskom berisi potongan roti. Warna matanya hijau dengan lingkaran emas di sekelilingnya pupilnya. Dia menatapku dari atas sampai bawah.
"Dia tidak cocok pakai bajunya Ayah waktu masih muda dulu," katanya pada si gadis yang memasangkan taliku, kentara tak memedulikan tatapan tajamku. Dia tertawa terkikik seperti bocah nakal. "Omong-omong namaku Alya," katanya, lalu tangannya menunjuk gadis yang duduk di dekatku. "Ini kakakku, Ursa. Siapa nama Abang?"
"Alya, sepertinya dia tak ingat siapa dirinya," kata Ursa, sibuk memotong-motong daging di atas meja makan. Aroma yang menguar membuat perutku seperti diremas dari dalam, tapi aku menggenggam tangan kuat-kuat, menahan ususku yang rasanya hampir jatuh.
"Abang sungguh tidak ingat nama sendiri?" Tatapan Alya menyiratkan seperti dia menghadapi masalah yang tak terduga, dan aku mengingat bagaimana Ursa mengatakan bahwa dia mungkin bisa mengadukan keberadaanku pada kepala desa.
"Namaku River." Aku cepat-cepat menjawab.
"River?"
"River Shadil."
"Kukira kau tidak ingat apa-apa," kata Ursa, sementara dia mulai menuang roti pada setiap mangkuk orang-orang. Alya duduk di sampingku, melihatku dengan tatapan ingin tahu.
"Tadi dia berteriak di kamar mandi dan menanyakan siapa dirinya, jadi kupikir dia melupakan identitasnya." Ursa menambahkan.
"Bagaimana Abang bisa terdampar di gudang kami dengan luka seperti itu?" tanya Alya.
"Aku diserang oleh sekelompok perampok di hutan. Barang-barang berhargaku dirampas, dan aku mondar-mandir di hutan dengan perut kelaparan." Aku mengendalikan kebohongan ini dengan membuat suaraku terdengar cemas, namun tidak berkata terlalu cepat. Alya dan Ursa tampaknya percaya. "Lalu, aku menemukan gudang. Kupikir aku bisa menemukan sesuatu yang bisa dimakan di sana, tapi aku tidak ingat apa-apa lagi setelah masuk ke dalamnya."
"Oh, sudah lama kita tidak dengar kasus perampokan," kata Alya.
"Maaf karena sudah mengendap-ngendap masuk ke gudang."
"Kau kehabisan darah, dehidrasi, hipotermia, demam karena shock. Kami bahkan menemukan pecahan peluru di dadamu," lanjut Ursa, lalu menggambarkan ukuran peluru dengan jarinya, "Besarnya seperti kelereng. Kalau bergeser ke kanan sedikit saja, kau mungkin bisa langsung tewas. Syukurlah kau tidak berusaha mencabutnya sendiri."
"Aku memang punya rencana untuk mencabutnya sendiri."
"Benar, dan kalau bukan karena kami, kau tidak akan lolos dari percobaan mautmu itu."
Aku terdiam, merasa harga diriku terluka atas perkataan Ursa. Aku tidak mau hidup di bawah belas kasihan mereka.
"Kalau begitu, asal Abang dari mana?" tanya Alya.
"Aku ... tidak ingat," kataku hati-hati.
"Tapi kau ingat bagaimana bisa sampai kemari."
Aku kebingungan untuk menjawab. Tidak mungkin kukatakan bahwa aku adalah penduduk Kevra. Kubayangkan senjata-senjata yang digantung di luar ruangan ini, dan skenario melarikan diri yang payah muncul di dalam kepalaku. Kalau aku berkata jujur, kemungkinan aku tak akan selamat.
"Beberapa waktu sebelumnya, aku terbangun di tengah hutan sendirian dan tak ingat apa pun. Lalu saat mencari jalan keluar, aku malah bertemu dengan perampok," dustaku.
Ursa memandangku dengan tatapan curiga, dan aku mulai tegang.
"Kau serius? Bangun di tengah hutan sendirian? Jadi sebelum diserang perampok, kau sudah tidak ingat tentang siapa dirimu?"
"Aku tidak menuntut kalian untuk percaya, tapi memang itulah yang terjadi."
"Yah, ceritamu agaknya sulit buat dipercaya. Berapa lama sejak kau bangun di hutan sendirian?"
"Mungkin tiga hari," kataku, menjilat bibir, "Selama itu aku terus berjalan ke arah pegunungan, karena kukira aku bakal menemukan pemukiman di sana."
Ursa berdeham kecil, melihat kepada Alya, namun tak berkata apa-apa.
"Begini, katanya kau tidak ingat asalmu, tapi mengapa kau bisa mengingat namamu sendiri?"
Jantungku seperti tergelincir ke perut. Kucoba untuk tetap tenang.
"A-aku hanya mengingat namaku, tapi selebihnya lupa. Ada potongan memori yang kadang menghampiriku, tapi ... aku tidak bisa menyusunnya dengan benar, seolah urutannya melompat-lompat."
"Baik, jadi apa yang kau lihat?"
Di bawah meja, kakiku mengetuk lantai tak bisa diam. Aku harus menekan pahaku agar tak kelihatan gelisah. Orang ini detail sekali dalam menginterogasi. "Dari mimpi. Selama tidur di dalam hutan, aku sempat bemimpi bertemu seorang wanita. Dia memanggilku dengan nama River Shadil. Sepertinya dia ibuku―menyuruhku agar aku kembali ke Miron."
Saat aku mengatakannya, kedua orang itu terdiam, saling memandang satu sama lain. Aku baru sadar bahwa aku sudah berbicara terlalu banyak, dan mungkin saja kecerobohanku ini menyeretku pada malapetaka.
"Aku benar-benar tak tahu apa-apa," kataku, hasrat pembelaan dalam diriku dipenuhi oleh dorongan agar bisa menarik kepercayaan mereka. "Andai aku tahu sesuatu, aku juga tak akan kebingungan seperti ini."
Alya meletakkan sikunya di meja dan tak sengaja menyenggol sendok berbahan logam hingga hampir jatuh. Nyaris seketika, suasana yang dilumuri ketegangan ini menjadi pecah. Ursa buru-buru bersikap seolah dia baru saja melupakan hidangan besar di hadapannya. "Kurasa lebih baik kita makan dulu."
Baiklah, interogasinya selesai. Tanpa menunggu izin dari kedua orang asing ini, aku langsung menusuk daging dengan garpu dan menyantapnya dengan suapan besar. Rasanya ada dorongan untuk melahap rakus dengan sepuluh jari, tapi di tengah orang-orang asing ini, aku tidak ingin terlihat seperti babi yang tidak tahu cara makan dengan beradab. Walau begitu mulutku cepat penuh dengan makanan. Mereka mengira aku sangat kelaparan.
"Sisakan ruang di perutmu, nanti kau muntah," kata Ursa. Dia benar. Aku pernah menahan lapar selama di Kevra. Saat Ibu memasakkan sup yang berisi sayur-sayuran yang hampir busuk, aku tak bisa menahan diri untuk melahap sebanyak-banyaknya. Belum ada sepuluh menit ketika aku berlari ke kamar mandi rumah dan muntah di jamban.
Aku mengunyah lebih pelan, dan mulai bisa merasakan dengan jernih tentang suasana di sekitarku. Telingaku dipenuhi dengan suara kelontang peralatan makan. Tiba-tiba, semua kecanggungan ini berubah menjadi rasa malu yang membuncah.
Aku seharusnya tak berada di meja yang sama seperti mereka. Bahkan berbicara dengan Kaum Putih adalah hal terakhir yang ingin kulakukan. Segalanya―pertolongan mereka, pakaian bersih, serta masakan ini, malah makin mengguyurku dengan perasaan hina. Seolah aku ini laki-laki menyedihkan yang tak bisa hidup tanpa belas kasihan mereka.
Rasa masakan ini menjadi pahit di mulutku. Bukan karena efek demam, melainkan karena patah hati dan putus asa. Kenangan terakhirku bersama Ibu dan Heera adalah ketika kami sarapan dengan makanan hasil pembagian jatah.
Sekarang, sejauh apa pun kurentangkan tangan untuk menggapai masa lalu, mereka sudah tak ada lagi. Aku tak bisa memutar waktu.
Seketika itu juga, keberadaan mereka mengisi kepalaku. Aku merapatkan rahang, kukepalkan tangan hingga kuku-kukuku menghunjam kulitku. Jangan menangis di sini. Jangan.
"Kau baik-baik saja?" tanya Ursa. Aku mendongak dan menatap wajah si gadis yang tampak cemas. Aku pasti kelihatan rapuh. Aku tak mau tampak lemah di hadapan mereka.
"Tidak apa," kataku.
Orang sebaik apa pun selalu memliki cara untuk menyelinap masuk dalam diriku dan membusuk di sana. Ursa dan Alya adalah bagian dari kaum yang menewaskan keluargaku.
Mereka mungkin sama jahatnya dengan yang lain.
-oOo-
Setelah selesai makan, aku meletakkan piring kotor di bak cuci. Alya kembali ke kamar sambil membawa anjingnya yang bernama Tora. Saat berdiri di dekat Ursa, aku memperhatikan dapur lebih jelas. Dinding bata yang mengelilingi ruangan ini dilapisi cat putih yang sudah agak berkerak. Rak di atas meja batu penuh dengan toples-toples keripik, kaleng biskuit, mangkuk buah, dan bumbu dapur dalam wadah kecil-kecil. Aku tak pernah melihat segala makanan ditata bertumpuk dan berjejalan seperti ini, sehingga rasanya jariku gatal ingin mencicipi isi di dalam wadah.
Ursa menyuruhku mengambil sabun yang diletakkan di dekat bak berisi air. Saat aku menyerahkan botol sabun kepadanya, dia bertanya, "Jadi, kau tidak ingat apa pun selain nama, benar bukan? Tapi aku bisa menduga kalau kau berasal dari luar pemukiman ini."
Perutku agak mulas ketika mendengarnya, tapi aku berusaha tenang. "Mm, ya. Mungkin mulanya aku sedang dalam perjalanan pergi ke Miron. Tempat itu pasti menyimpan sesuatu."
Ursa menatapku lama. "River, katakan padaku," katanya sambil mencondongkan tubuh di dekatku. Aku nyaris mundur karena terkejut. "Bersumpahlah demi apa pun yang kau sembah. Apakah kau betul-betul tidak tahu Miron?"
"Aku sungguh tidak tahu soal Miron. Memangnya itu tempat apa?"
"Siapa nama ibumu?"
Aku menelan ludah gugup. "Aku tidak ingat. Aku sudah mengatakannya padamu."
"Katanya kau melihat ibumu dalam mimpi, kan?"
"Aku tidak yakin kalau dia ibuku. Dia seorang perempuan, berambut panjang dan disanggul di kepala. Itu saja."
Ursa tampak kecewa mendengar jawabanku. Aku berpikir apakah ada yang salah dari ucapanku, tapi aku malah bertanya hal lain. "Kau akan memberitahukan keberadaanku pada kepala desa?"
"Setelah dipikir-pikir, itu buang-buang waktu," jawabnya sembari mengelap piring basah. "Kami tidak punya aparat keamanan yang cukup kompeten untuk mengurus orang sepertimu. Barangkali sejak semula kau memang diserang, kemudian lupa ingatan. Tenang saja, dilihat dari kondisimu, sepertinya kau hanya lupa ingatan sementara."
Aku menumpukan tangan pada pinggiran bak. "Lalu kalian akan menampungku di sini?"
"Setelah menghabiskan dua jam untuk menjahit luka di dadamu, menampungmu yang tidur tak bergerak selama dua hari penuh, memberimu pakaian hangat dan makanan enak, apa kau pikir kami akan melepasmu untuk berkeliaran di hutan dengan kondisi lupa ingatan?"
Aku merapatkan bibir. Ursa hanya melihatku dengan mata hijaunya yang besar. Dalam siraman lampu, garis hidung dan rahangnya terlihat menawan. Aku terpana memikirkan betapa usia gadis ini tak berselang jauh dariku, sebab gerak-geriknya begitu meyakinkan.
"Baik, hanya sampai ingatanku kembali," kataku, masih ragu. Aku tak bisa berlama-lama di tempat ini. Bagaimana bila para sraden tahu kenyataan bahwa aku belum tewas dan mereka meneruskan pencarian sampai ke desa di kaki gunung?
"Ursa," kataku. Gadis itu menaikkan alis. Sepertinya dia terkejut ketika aku memanggil namanya. "Bisakah kau memberitahu di mana letak Miron? Sepertinya akan lebih baik bagiku bila aku pergi ke sana. Sebab aku yakin sekali dengan mimpiku. Itu pasti ada hubungannya dengan masa laluku, kan?"
Ursa menaruh piring terakhir pada wadah perkakas dari kayu, kemudian mengelap tangannya pada kain bersih.
"Ikuti aku," katanya. Dia bangkit berdiri dan keluar dari dapur. Aku mengikutinya.
Kami berhenti sejenak di dinding perbatasan lorong yang menyimpan berbagai macam senjata. Aku mulai berkeringat dingin, cemas kalau-kalau dia menyambar salah satu senapan dan langsung menembakku begitu tahu aku berasal dari Kevra.
Ursa berbalik, dengan ekspresi seolah ingin mengujiku, berkata, "Ini adalah senjata peninggalan keluargaku. Milik Alya adalah trisula yang paling kanan. Aku terampil memakai semua jenis senjata, tapi di antara semuanya, aku paling suka menggunakan busur."
Aku tak begitu paham arah pembicaraan Ursa. Mengapa dia memberitahuku soal ini?
Ursa yang sepertinya memahami kesulitan di wajahku, menjelaskan, "Nama perkampungan ini adalah Bruma. Sebagian besar penduduk di sini bekerja sebagai pembuat senjata, jadi kemampuan utama kami ada pada bidang persenjataan. Sekarang, untuk mengetahui siapa kau, terlebih dahulu adalah mengerti dari mana kau berasal, sebab setiap tempat memiliki cirikhas keahlian penduduk."
Ursa mengajakku pergi ke lorong selanjutnya, berderap menuruni undakan sempit. Semakin menjorok ke dalam, landasan makin gelap dan suram. Kami berhenti di sebuah pintu yang cat putihnya sudah pudar dan mengelupas di sana-sini. Tak ada tanda pengenalan apa-apa selain meninggalkan kesan ruang tak terpakai yang angker. Namun, Ursa bilang tempat ini adalah ruang membaca.
Ketika pintu dibuka, tampaklah kamar yang berantakan―buku-buku, dengan jumlah tak terbayangkan selama ini, bertumpuk di sudut ruangan, jelas tak muat diselipkan dalam bilik-bilik rak. Beberapa di antaranya setebal tiga kali lipat dari yang pernah kupegang, dengan sampul kulit beraneka warna. Aku menangkap beberapa judul yang mengundang penasaran, tapi perhatianku tak lantas berhenti sampai di situ. Ada karpet bundar berwarna merah di atas lantai kayu, barang-barang seperti stoples dan tumpukan kertas dibiarkan teronggok di meja persegi. Pada salah satu dinding, terdapat peta raksasa yang dipenuhi dengan jarum warna-warni. Seolah tersihir, kakiku melangkah menuju peta itu. Ursa berdiri di belakangku, ikut mengamati.
Ini pertama kalinya aku melihat sebuah peta, sehingga rasanya otakku begitu sulit menerima rancangan rumit ini. Ternyata ada banyak sekali tempat selain Kevra dan Rawata. Aku menyusurkan jariku pada permukaannya yang kasar. Tintanya terasa menonjol di bawah kulitku. Kuikuti garis-garis yang meliuk pada setiap ujung ukiran namanya. Jari telunjukku menunjuk Kevra. Pemukimanku digambarkan sebagai bidang sebesar koin yang dikelilingi hutan amat luas.
Saat Ursa mendekat padaku, aku buru-buru memindahkan jari dan berpura-pura menyusuri pola yang lain. Di dekat simbol segitiga, aku melihat Burma. Tempat ini cukup berjarak dari Kevra, tapi aku tak tahu sejauh apa jarak ini bila dikonversi dalam pengukuran nyata.
"Lihatlah, ini Bruma. Kau ada di sini sekarang," kata Ursa. Jarinya yang panjang berada tepat di sebelah jariku. Aku melihat kukunya yang terpotong rapi, jadi cepat-cepat kuturunkan jariku sebab kukuku sendiri rusak karena sering digerogoti. "Di sekitar Bruma tak ada pemukiman lain. Kemungkinan kau berasal dari wilayah yang agak jauh dari sini, yang letaknya beratus kilometer jauhnya. Mari kita lihat," dia menelusurkan jari pada pola garis titik-titik dan melewatkan beberapa simbol secara acak.
Saat jarinya berada di Kevra, Ursa tampak tak memedulikan wilayah itu dan terus pergi ke arah selatan, "Amarabu, tempat ini agak jauh dari sini. Sepertinya mustahil kalau kau jauh-jauh datang dari sana dengan berjalan kaki. Tapi ini adalah wilayah paling dekat dengan Bruma."
"Ya, mungkin saja." Aku melirik ke wilayah Kevra. Jarak tempat itu lebih pendek dari Amarabu. Namun, Ursa benar-benar percaya aku bukan dari Kevra karena rambutku.
"Tapi kau bisa saja berasal dari Kevra," kata Ursa tiba-tiba.
Perutku seperti disentak dari bawah seketika.
"Kau ingat Kevra? Itu adalah tempat di mana orang-orang Liar berasal. Ada beberapa unit sraden Swarga yang berjaga. Ini hanya dugaanku saja, tapi bisa saja kau adalah bagian dari sraden itu."
Aku terdiam, lebih memilih untuk tidak menjawab. Mata hijau Ursa seperti sumur yang mencoba menenggelamkanku. Dia menatap jauh ke dalam diriku, mencoba menggali informasi dari pengenalan fisik dan mencocokkan dengan asumsinya. "Tapi, badanmu terlalu kurus untuk menjadi sraden. Dari ceritamu yang diserang perampok, kelihatannya kau juga tidak tahu ilmu bela diri."
"Mungkin aku memang dari Amarabu."
"Ya, bisa jadi," katanya, lalu kembali berpaling pada peta di dinding. "Dari mana pun kau berasal, kita harus menunggu sampai kau mendapatkan kembali ingatanmu."
"Tadi aku bertanya padamu, di mana letak Miron?"
Ursa melihat padaku begitu lama. Jarinya melingkar-lingkar di permukaan peta. "River, tidak ada tempat yang bernama Miron."
"Mungkin itu bukan nama sebuah kota," kataku, lalu tiba-tiba mataku menangkap Rawata sebagai pulau yang diukir dengan tulisan paling besar dan tebal. Aku menunjuk bagian tengah peta. "Bisa saja Miron adalah nama sebuah wilayah kecil di Rawata, yang tidak ada di dalam peta."
"Miron bukan nama wilayah atau tempat," kata Ursa, lalu dia berbalik padaku sambil menyandarkan sisi kepalanya di permukaan peta.
"River, Miron adalah nama penguasa Kaum Putih."[]
-oOo-
.
.
.
Chapter ini panjang banget ya ges. Semoga nggak muak bacanya 😆
Jadi, gimana pendapatmu tentang Neng Ursa? Apa kali ini bakalan jadi teman, jodoh River, atau.... musuh dalam selimut?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top