6. Rambut Putih
AKU tidak ingat tentang masa kecilku, khususnya saat usiaku masih di bawah sembilan tahun. Bahkan, periode usia setelahnya memudar di labirin kepalaku seperti roti dan nasi yang menjamur, yang setiap bagiannya menyerpih menjadi sesuatu yang tidak bisa kugenggam, terlupakan.
Katanya, aku lahir sebagai anak yang kurang gizi. Berat badanku tidak normal, dan minimnya asupan nutrisi membuat tubuhku rentan penyakit. Keadaan buruk inilah yang membuatku mudah terserang sakit kepala. Aku tidak begitu paham dengan ilmu pengobatan, pun dengan segala macam diagnosis dan teorinya, jadi aku memercayai begitu saja kisah yang dituturkan Ibu.
Kemudian, tahun-tahun berlalu begitu saja. Kalau kau adalah penduduk Kevra, hari-harimu terseret maju begitu pelan dan menyakitkan. Kau tidak bisa menunggu air matang tanpa berharap monster-monster berhenti mencakar dinding perutmu, kau tidak bisa menanti hujan turun membasahi ladang tanpa cemas memikirkan atap-atap rumahmu yang bocor, kau tidak bisa tidur lelap tanpa kutu dan serangga yang membuat gatal kulitmu di malam hari. Masa lalu pahit yang kualami hampir tidak bisa kuingat, tetapi beban yang kurasakan tetap sama sakitnya seperti merayap di pelataran berduri.
"Miron," kata Ibu dalam mimpiku. Aku hanya terpaku menatapnya. Kali dia muncul lagi, dan memberitakan pesan yang sama. Miron? Miron itu apa?
Di bawah kursi yang didudukinya, kaki ibu seperti capit yang membengkok aneh. Ada gelap jelaga yang mengotori pakaian dan kulitnya, dan kedua tangannya yang menangkup sesuatu terulur kepadaku.
"Mereka membunuhnya," dia berkata.
Aku melongok ke dalam tangannya yang mekar terbuka, ada bangkai burung merpati putih yang satu sayapnya patah. Aku menatap Ibu. "Apa yang sebetulnya terjadi?"
"Merpati ini akan menemanimu. Menunjukkanmu jalan."
"Burung itu sudah mati," kataku.
"Pakai dia di lehermu. Jangan sampai ketahuan."
Aku mengernyitkan kening. Saat kutundukkan kepala, bangkai merpati itu sudah lenyap, digantikan dengan sebuah kalung sederhana dengan liontin berbentuk sayap merpati. Itu adalah perhiasan Ibu yang dijejalkan ke tanganku sesaat sebelum dia pergi.
Kutatap Ibu ketika dia berkata, "Jangan sampai ketahuan, River."
"Bu, apa yang sebetulnya terjadi?"
Ibu hanya menggeleng. Wajahnya pucat pasi dan gemetar. "Ibu tidak bisa menemanimu, tapi kau tahu, kaulah harapan Ibu."
Kemudian, bangkai burung itu tersapu bagai debu, dan Ibu lenyap dari pandanganku.
Saat berbalik ke belakang, aku langsung berhadapan dengan cermin yang berada di kamar mandi rumah. Matahari yang memancar lemah dari jendela menyinariku, sehingga aku bisa melihat betapa jangkung dan kurusnya diriku. Tulang-tulangku menonjol tidak sehat di balik kulit yang pucat, dan mataku cekung dan berkantung seperti orang sakit. Aku masih terhenyak menatap refleksi diriku sendiri ketika tahu-tahu suara Heera terdengar, dari belakangku.
"Dari sini, rambut Abang bersinar putih keperakan."
Aku berbalik, menatapnya yang sedang berdiri bersandar di tembok. Dia kelihatan baik-baik saja kecuali telapak kakinya yang kotor karena terlalu sering bermain di luar tanpa alas kaki. Aku menahan diri untuk memeluknya.
"Itu pasti uban, kan?" tanyaku.
Heera menggeleng sambil terkekeh. Tawa anak-anak yang kurindukan, yang ingin kudengar setiap harinya cuma untuk memastikan bahwa dia sehat dan aman.
"Tidak. Itu bukan uban," katanya, dan rahangku terkatup rapat. "Rambut Abang kan memang berwarna putih."
Lalu dia juga menghilang seperti Ibu.
-oOo-
Aku mendengar suara, tetapi tubuhku tak bisa digerakkan.
"Dia terluka, sepertinya luka tembak ...."
Hidungku menangkap aroma bunga hutan bercampur dengan bau terik matahari. Aku tidak bisa membuka mata, dan sekujur tubuhku berat dan nyeri. Sesaat aku merasa ingin melarikan diri ke dalam sumur gelap yang dalam, tempat aku menangisi kepergian Ibu dan Heera, tempat aku bisa meraih tubuh mereka dan memeluknya bagai kerangkeng tulang dan daging. Namun, siasat itu tersingkir oleh keadaan baru yang lebih membingungkan.
Seseorang berkata, "... Kakak bisa angkat dia? Coba pegang kakinya ...."
"Tidak bisa, dia terlalu besar. Bantu aku menopangnya di punggung." Suara wanita dewasa.
"Kita juga membutuhkan pisau untuk mengeluarkan pelurunya. Pisau panas."
Kemudian, aku merasakan tangan-tangan mengait di lenganku, menahan kepalaku. Seseorang bernapas di dekatku, bergumam hitungan―sebelum aku bisa menyadari apa yang terjadi, pada hitungan ketiga tubuhku diangkat.
Sontak, segalanya meledak menjadi gulungan rasa sakit di dadaku, begitu segar dan perih. Aku kehabisan napas dalam sekejap, mulutku mengeluarkan jeritan sumbang, tidak peduli betapa lemah aku terdengar. Mereka membawaku pergi, entah ke mana. Namun, aku tidak punya tenaga untuk melawan. Infeksi luka tembak mengoyak dadaku, memuntir daging yang meradang di dalamnya, membuatku gemetaran dan kehilangan kendali.
Secepat embusan angin, aku tergelincir lagi ke dalam relung jiwaku yang sepi dan sunyi.
-oOo-
Kesekian kalinya aku tersadar, pikiranku masih mengambang di alam kabut yang pekat.
Walau kesulitan menggerakkan tubuhku, kali ini mataku terbuka. Cahaya sedikit lebih redup, seolah pancarannya terhalang oleh sosok yang berdiri di hadapanku. Aku terdiam beberapa saat sebelum sesuatu, basah dan lengket, tahu-tahu menempel di pipiku. Menyapu seluruh wajahku dengan gerakan memutar. Rasanya kasar dan hangat, agak berbau tengik dan seperti selokan.
Terdengar suara mendengking lirih ketika aku memaksa diri untuk beringsut menyingkir.
"Tora." Sayup-sayup, terdengar suara perempuan.
Bersamaan kabut yang telah terangkat, kulihat seorang gadis menarik tali kekang seekor anjing hitam di dekatku. Rupanya makhluk inilah yang menjilati wajahku.
Di samping itu, segalanya kini tampak jelas. Aku berbaring di sebuah ranjang dari kayu, di atas kasur busa yang empuk dan nyaman, berbanding terbalik dengan tikar tipis dan berlubang yang biasanya kugunakan di rumah. Selimut menutupiku, sementara tanganku terlipat di perut. Nyeri menusuk dada ketika aku mencoba menggerakkannya.
"Tora, sana pergi. Minta makan pada Alya."
Gadis itu mendekati ranjang. Rambut putihnya yang tergerai di satu pundak berkilau keperakan ditempa nyala kuning dari lampu. Dia melihatku dengan tatapan nyaris datar, seolah tidak tersimpan simpati di dalamnya.
"Akhirnya kau sadar. Bagaimana perasaanmu?"
Sekonyong-konyong, perasaan sedih dan geram yang kusimpan atas ketamakan Kaum Putih meledak. Aku berkata tanpa segan, "Jangan mendekat."
"Tenanglah. Apa ada yang sakit?"
Aku mengerut, tidak memilih untuk menjawab. Nyala lentera rupanya mengaburkan warna matanya. Ketika dia berdiri lebih dekat, aku bisa melihat iris matanya berwarna hijau―sehijau lumut hutan. Amat kontras dengan kulit dan rambutnya yang pucat. Usianya juga masih muda, seperti sebaya denganku.
"Melihatmu yang tidak sopan begini, pasti sekarang kau baik-baik saja," katanya, sedangkan aku hanya memasang tampang waspada. "Adikku menemukanmu pingsan di gudang. Kami mengeluarkan peluru di dadamu, cukup dalam, tapi untung tidak kena bagian vital."
"Terima kasih." Aku tidak tahu mengapa harus mengucapkan terima kasih pada Kaum Putih. Walau nyawaku diselamatkan, segalanya tampak timpang dan keliru. Fakta bahwa mereka tidak membiarkanku tewas hanya membuatku paham satu hal; mereka pasti punya rencana yang lebih sadis untuk melumpuhkanku.
Memikirkannya membuatku bergidik.
"Kau tidur seperti orang mati selama dua hari. Aku sudah membilas badanmu dengan air, tapi kalau masih merasa tidak enak, kau bisa mandi sekarang."
Tanpa menunggu jawabanku, si gadis langsung beringsut ke lemari pakaian di sudut ruangan (yang memberiku hasil pengamatan lagi―kenyataan bahwa tempat ini mungkin sepuluh kali lebih baik dari rumahku karena perabotannya cukup lengkap, walau dindingnya juga terbuat dari batako), lalu mengeluarkan beberapa potong pakaian, di antaranya pakaian dalam dan kemeja luaran yang tebal. Dia kembali dan mengulurkannya padaku.
"Pakai ini," katanya. "Milik ayahku dulu."
Namun, aku tidak mengambilnya. Setelah hidup seperti anjing terkurung di Kevra, berada di bawah otoritas rezim Kaum Putih yang kejam, serta mengalami serangkaian kejadian menyakitkan di hutan, rasanya aku tidak diizinkan untuk memegang sesuatu yang bersih. Semua ini tipuan. Pasti ada ancaman lain yang bersembunyi di balik keindahan ini.
"Kalau begitu aku akan taruh pakaianmu di sini." Dia meletakkannya di samping perutku, "Tempat mandi ada di pintu pertama setelah kau keluar dari kamar ini. Airnya akan kusiapkan sekarang. Kalau kau menunggu terlalu lama, airnya akan dingin, dan itu bukan urusanku lagi."
Dia menatapku dengan kening berkerut.
"Hei, katakan sesuatu. Kau mendengarku, kan?"
Dia menyentuh pundakku, dan aku langsung berjengit karena kaget. Trauma secara emosional membuatku mudah merasa terancam. Si gadis makin menampakkan raut curiga, tapi kali ini ada kekhawatiran tersirat di wajahnya, "Dengar, aku tidak berbahaya. Aku tidak akan melukaimu, aku janji. Cobalah untuk turuti kata-kataku. Apa perutmu lapar? Mau makan dulu?" Dia berkata lebih sabar.
Mendengar kata makan membuat perutku menegang seperti dililit kabel. Sudah berhari-hari aku tidak makan. Namun, gadis ini benar. Urusan badan adalah sesuatu yang harus kutuntaskan terlebih dahulu. Aku merasa lengket dan tidak nyaman. Jadi kurasa, aku harus menyingkirkan kecurigaan ini dan menuruti kata-katanya, setidaknya aku akan memikirkan rencana selanjutnya di kamar mandi.
"Biarkan aku mandi."
Si gadis menghela napas. "Ayo, kuantar saja. Kau bisa berdiri?"
Dia membantuku turun dari ranjang, meski aku berusaha tidak terlalu bersentuhan dengannya.
Kamar mandi itu kecil, dengan lantai kayu yang retak dan berderak. Ruangan dilengkapi cermin besar setinggi badan yang terpasang di balik pintu, sehingga aku tidak bisa menghindari pantulan diriku saat merapat ke depan untuk memberi tempat si gadis yang menyiapkan air.
Jantungku tergelincir ke perut ketika melihat orang asing di cermin tersebut. Bukan, bukan karena dia yang menatapku dengan mata orang sekarat; besar, cekung, dan dikelilingi kantong mata yang bengkak dan menghitam, melainkan karena sesuatu yang berubah.
Rambutku berubah menjadi putih.[]
-oOo-
.
.
.
Kebayang nggak River rambut putih kek gimanaaa??? 😚😚😚
Menurut kalian siapakah cewek itu? Apakah akan jadi partner River, atau justru jadi musuh? 🙂
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top