50. Akhir Pertempuran

ADA bau darah dan debu yang tercium ketika Ursa membuka mata.

Rasa sakit di kepalanya memberinya jeda waktu untuk mengingat. Beberapa saat lalu, Rustin mencoba memperdaya pikirannya untuk bunuh diri dengan menusukkan anak panah ke leher, tetapi gagal, sebab River menerjangnya di detik-detik terakhir dan membuat mereka ditelan reruntuhan menara. Gadis itu menarik napas, terpilin antara kelegaan dan kesesakan―lega karena tak jadi tewas, dan sesak karena terjebak di reruntuhan. Pada kondisi lain, Ursa terhimpit tubuh River yang menimpanya. Dia segera menyadari bahwa kekasihnya sejak tadi tak bergerak. Kepala River terkulai melewati leher Ursa, dan gadis itu kesulitan merasakan napas River.

"River?" Ursa berhasil mencengkeram lengan River dan mengguncangnya.

"Aku baik-baik saja." Suara berat itu membuat Ursa lega. River mengangkat kepalanya pelan-pelan―diiringi rintihan menahan sakit―kemudian menghadap Ursa. Jarak ujung hidung mereka tidak sampai sejengkal, dan Ursa memperhatikan jejak darah dan debu yang melumuri wajah kekasihnya.

"Kau terluka?" Pertanyaan itu datang dari River.

Ursa menggeleng. Dia lebih mencemaskannya. Mata River terlihat lebih gelap di dalam sini. "Kau sendiri?"

"Sepertinya ada sedikit masalah," River mencoba bangun, namun punggungnya membentur sesuatu yang solid dan berat ketika dia mendorongnya ke atas. Rasa sakit menyengat bawah tubuhnya ketika dia berusaha menggeser pecahan beton dan serpihan batu. Sepertinya betisnya terjepit atau tersangkut akar belukar tajam. "Aku tidak bisa bergerak," katanya pada Ursa.

"Baik, jangan memaksakan diri." Ursa menyipitkan mata melihat wajah kesakitan River. Dia mungkin saja terluka dan berdarah, dan gerakan berlebihan hanya akan memperparah kondisinya. "Kita tunggu sebentar sambil mencari cara," sambung Ursa, kemudian mendongak dan berusaha mencari jalan keluar. Ada berkas sinar sangat redup yang menyusup di antara celah reruntuhan, tetapi mereka berdua sama-sama tak bisa menggapainya.

"Ursa," lirih River. Tatapan mereka kembali bertemu. "Aku kira aku akan kehilanganmu. Maaf, andai aku―seharusnya tak menabrak menara―kita tidak akan seperti ini."

"Kau menyelamatkanku, itulah yang terpenting," Ursa bisa melihat ekspresi River menjeritkan semacam kesedihan, dan dia tahu penyebabnya bukan hanya karena mereka terjebak di dalam sini. Ada fakta menyakitkan yang baru saja mereka dengar dan membuat segala rencana kacau balau. Ursa berpikir bahwa kematian Kegan sudah sepadan dengan kelicikan yang dia sembunyikan selama ini.

"Aku membuat kalian semua dalam bahaya," kata River, mendadak saja merasa takut bila teman-temannya menerima hukuman juga. "Kalian akan dituduh pengkhianat juga."

"Oh, kami semua tidak mau menjadi Miron kedua yang mengorbankan teman dan kekasih demi reputasi."

River terdiam memandang wajah Ursa, kemudian gadis itu menyungging senyum. Selang beberapa detik kemudian, mereka tertawa lirih bersama.

"Menurutmu, bagaimana keadaan di luar?" Ursa bertanya sembari mengintip melewati celah yang jauh. Dia tidak bisa melihat apa-apa selain kegelapan suram.

"Aku masih mendengar suara pertarungan," River memasang telinga baik-baik. Dilepaskan tangannya yang menjadi bantalan kepala Ursa dan menggapai sebongkah batu terdekat. Dengan sedikit usaha, dia menggesernya sedikit.

Beton yang ada di atas batu ikut bergeser, mengundang guncangan reruntuhan lain dan membuat mereka berdua semakin terhimpit. Ursa berpegangan pada River ketika pemuda itu melindungi mereka berdua dari gempa bumi kecil. Bagian bawah tubuh River tergencet semakin rapat, dan pemuda itu bisa membayangkan ada darah yang merembes terlalu banyak. Kepalanya mulai pusing dan berkabut, sementara ruang mereka semakin sempit dan sesak. River berusaha mengangkat tubuhnya sedikit agar dada Ursa tak sesak karena ditimpa dirinya. "Aku minta maaf," katanya menyesal. "Kita benar-benar tak bisa keluar dari sini."

"Kau masih bisa memakai kesaktianmu?"

"Mungkin bisa, tapi ... hanya tangan kiri yang bisa kurasakan." River menatap tangan kirinya yang berada di samping kepala Ursa. Anggota tubuhnya yang lain terasa nyaris mati rasa akibat terimpit beton. Dia tak bisa mengalirkan energi lebih banyak kecuali pada satu bagian yang masih sehat―tangan kirinya, yang merupakan ide buruk karena itu artinya dia harus mengorbankan Ursa. "Kalau aku memindahkan reruntuhan di dekat sini, aku tidak bisa melindungimu, dan kau akan cedera," lanjutnya.

"Tidak apa-apa," kata Ursa. "Cobalah lakukan."

"Tidak, tidak," geleng River, sedikit putus asa. "Aku tidak bisa menyalurkan energi di tanganku dan meledakkan tempat ini tanpa melukaimu."

"River, aku pasti bisa menahannya."

"Kau ingat batu-batu yang kuubah menjadi pasir, bukan?"

Jantung Ursa mencelos. Hening melanda di antara mereka berdua.

"Aku tidak mau mengorbankanmu lebih jauh dari ini," lanjut River dengan lemah. "Sudah cukup aku kehilangan ibu dan adikku."

Mulanya Ursa hanya menatapnya dengan pandangan tak terbaca. River tak tahu apakah itu artinya Ursa menganggap bahwa alasan pengorbanan itu kecil atau dia sedang berpikir ulang tentang rencana lain yang lebih tidak berbahaya. Sebelum dia mendapatkan jawabannya, River buru-buru menawarkan pilihan lain, "Ursa, kita tunggu saja. Sampai pertarungan ini usai, seseorang pasti mengeluarkan kita dari sini. Aku masih bisa menahannya sampai beberapa lama."

"Apa menurutmu mereka akan kalah?" tanya Ursa. River mengernyitkan kening, dan Ursa menjelaskan maksudnya, "Philene, Dumbo, dan juga Lukas."

River tak pernah meremehkan kemampuan teman-temannya. Saat mereka masih latihan di markas Aved, Philene beberapa kali membuat gempar seisi gimnasium karena dia melakukan pekerjaan sempurna dalam menembaki papan sasaran, sementara Dumbo disanjung memiliki bakat mirip Kaum Putih bermata biru karena dia sangat kuat. Sementara Lukas―tak perlu diragukan lagi―kemampuan bertarung jarak pendeknya nyaris di level yang sama dengan Kegan. Mereka semua adalah sraden yang sangat terampil, tetapi saat ini pun River meragukan kemenangan mereka karena puluhan sraden sisanya sedang mengeroyok bersamaan. Di antara para sraden itu mereka memiliki Rustin, Joda, dan Mavena, yang apabila kesaktiannya digabungkan sudah pasti melebihi level Kegan dan para Vartin.

"Bila mereka kalah," Ursa berkata lambat-lambat penuh kecemasan, "Aved mungkin akan membiarkan kita terkubur di sini."

"Itu tidak akan terjadi," kata River. "Ibumu tidak akan membiarkanmu mati."

Kalimat itu seperti menekan tombol dalam kepala Ursa sehingga gadis itu terpaku dengan mata bergetar. River bisa melihat ada air mata mulai menggenang di sana, siap ditumpahkan.

"Ibuku...," kata Ursa dalam jejak nada penuh rasa bersalah. "Tindakanku pasti membuatnya kebingungan. Bagaimana kalau Aved malah menangkap ibuku dan mengira kalau dia bersama kita?"

"Jangan berpikir seperti itu." River menangkup pipi Ursa dan menekannya lembut, menenangkan hatinya. Sejujurnya dia sendiri sadar bahwa dugaan Ursa bisa saja benar-benar terjadi. Mavena baru bergabung bersama Aved. Dia pasti menjadi sasaran empuk yang loyalitasnya layak dicurigai. Belum lagi, sepanjang waktu ini, River dan kawan-kawannya selalu mengekori Mavena dan mendengarkan apa kata wanita itu. Orang-orang Aved akan menganggap mereka sudah merencanakan pengkhianatan ini sejak dulu.

"Kawan-kawan kita punya banyak akal," kata River, membayangkan pertarungan yang tampaknya masih berlangsung di luar sana. Dia tak bisa melihat apa yang terjadi, tapi masih bisa menduga-duga. Oh, andai River ada di sana dan membantu teman-temannya....

"Percayalah, Ursa, mereka pasti bisa―"

Kata-kata River terhenti karena kepalanya mendadak disengat pening. Ursa menangkap keganjilan dari paras River yang pucat dan matanya yang berkedip menahan sakit. "Kau kenapa?"

"Tidak, aku ... hanya lelah."

Ursa tahu bahwa River tidak bisa menahan reruntuhan ini lebih lama lagi. Pilihannya hanya dua. Mereka terjebak sampai mati kelelahan atau keluar dengan tenaga River yang tersisa. Gadis itu menggeliat untuk membebaskan lengan satunya dari rengkuhan River, lalu menjulurkan tangan ke atas untuk mencari celah di antara bebatuan yang roboh.

Pada saat itulah Ursa melihat bahwa tangan kirinya berlumur darah.

Sambil menahan keterkejutan, Ursa mengusap darah yang masih basah itu pada reruntuhan yang dempet padanya, lalu menyadari sesuatu.

"River, kau terluka," suaranya terdengar seperti pernyataan penting alih-alih kecemasan.

"Ya, sepertinya ... kakiku terjepit," River membalas terbata, "Mungkin ada tulang yang patah atau ...."

"Bukan kaki. Perutmu terluka!" Ursa menelusupkan tangannya ke sisi tubuh River dan meraba di tempat yang sama. Sesuatu menyentuh jemarinya―seperti tongkat ramping yang ujungnya patah―sesuatu yang dia kenal dan mulai detik ini akan menjadi momok penyesalan yang memburunya dalam mimpi buruk. Ursa menekan benda itu pelan dan River mengeluarkan rintihan sumbang.

"A-aku tidak apa-apa, Ursa."

"Ini panahku," Ursa mencicit pedih. "River, ini panahku."

"Oh, ya? Kukira yang luka kakiku. Soalnya aku ... hampir tidak merasakan apa-apa." River mencoba tertawa untuk meyakinkan Ursa bahwa di atas semua luka ini dirinya baik-baik saja. Terjebak dan terimpit reruntuhan seperti ini―hampir sulit menentukan bagian mana dari tubuhnya yang terluka parah. Rasa sakit itu membaur di sekujur tubuhnya dan terkadang hilang seperti gelombang pasang dan surut, akan tetapi saat kekasihnya menyentuh panah itu, dia merasakan gulungan rasa sakit baru. Seolah-olah seseorang baru saja menambah irisan di perutnya.

Tidak, tidak, tidak. River tidak mau memikirkan lebih jauh tentang kondisinya, karena itu hanya akan membuatnya panik berlebihan.

Dan, kepanikan di saat-saat seperti ini bisa membunuh.

Pemuda itu berkedip sebentar untuk menjernihkan pandangannya. Pada saat itulah dia sadar bahwa Ursa sedang menatapnya lekat-lekat. River tak bisa menebaknya, akan tetapi raut gadis itu sebenarnya diselimuti berbagai macam perasaan―ketegangan, rasa bersalah, kemarahan, dan putus asa. Ursa berceletuk tepat sebelum River bertanya apa yang dia rasakan.

"River, kau harus keluar dari sini."

"Kita menunggu saja―"

"Sial. Kita berdua akan mati kalau menunggu terus!"

Tangan Ursa menangkup pipi River, menekannya lebih mantap. "Kau keluar sendiri. Pakai kekuatanmu."

Permintaan itu membuat wajah River menegang dengan kemarahan. "Kubilang aku tidak bisa mengorbankanmu."

"Harus ada yang dikorbankan atau kita berdua sama-sama mati!"

"Ursa―"

"River, kumohon," Ursa tak bisa menahan air matanya lagi. Dia terisak dan berbisik cemas, "Percayalah, kau jauh lebih berharga untuk hidup. Ada banyak yang harus kau sampaikan kepada orang-orang di luar sana."

River menggenggam tangan Ursa di pipinya dan menggeleng, "Jangan begini, tolong." Matanya semakin memanas dan sebelum dia menyadarinya, air mata mengalir di pipi River. Pemuda itu menekankan keningnya pada kening Ursa, berbisik penuh perasaan, "Hal yang paling kutakutkan di dunia ini adalah kehilangan dirimu. Bagaimana mungkin aku sanggup membunuhmu?"

Ursa terisak, penuh kepedihan. "Kau tidak membunuhku. Aku mati karena reruntuhan."

"Biar bagaimanapun aku akan menyelamatkanmu."

"Ini bukan saatnya bersikap heroik untuk menyelamatkan semua orang!" Ursa nyaris kehilangan kendali dan membentak. "Lukamu semakin parah. Kalau kita berdua mati, kita tidak bisa membantu kawan-kawan di atas sana, dan usaha kita selama ini sia-sia. Inilah satu-satunya kesempatan. Hanya kau yang bisa keluar dari sini."

River mengepalkan tangan dan menyumpah serapah dalam benaknya. Dia merasa terlalu marah. Bukan karena permohonannya dibantah oleh Ursa, melainkan karena dia tahu bahwa apa yang dikatakan Ursa benar dan dia tak memiliki pilihan lagi yang lebih baik. Eksekusinya pada Kegan seharusnya hanya melibatkan dirinya sendiri, karena hanya dengan cara itu dia dianggap sebagai pengkhianat tunggal tanpa membahayakan yang lain. Namun teman-temannya justru membantunya, dan kini Ursa benar. Apabila River tewas sekarang, semua orang yang diduga bekerjasama dengannya akan dianggap pendusta besar dan menjalani hukuman lebih parah.

"Lakukan sekarang, River," Ursa berkata lemah, memaksakan senyumnya yang dipenuhi air mata paling tulus. "Dengan cepat." Kemudian gadis itu menutup mata dan menunggu.

River membelai pipi Ursa, menatapnya sejenak. Melalui rasa takut dan penyesalan yang mulai meradang di hatinya, dia menunduk dan mencium kekasihnya untuk terakhir kali.

Ursa menyambut River, yang menekankan hidung dan menyurukkan wajah padanya, mengais apa pun yang bisa dibawa untuk kenangan masa depan tanpa dirinya. Setelah beberapa lama, gadis itu mulai merasakan sesuatu. Dia membayangkan tangan River yang terhampar di samping kepalanya mulai mengeluarkan gelombang panas, bergejolak dan menyala bagai api biru yang tumpah. Ursa meneteskan air mata dan menekan ciuman itu bertubi-tubi, siap menyambut kematiannya.

Kemudian, cahaya merekah.

Batu-batu dan serpihan beton bergeser, disusul suara gemeretak bangunan yang berguncang dan runtuh. Suara-suara berikutnya terdengar―keributan massa yang panik dan napas terengah-engah. Ada teriakan bersahut-sahutan seiring berkas cahaya yang lebih banyak membanjiri mereka, menusuk mata Ursa yang terpejam.

Kemudian ciuman itu terlepas.

Gadis itu membuka mata, menatap River di atasnya yang melihatnya dengan sorot terhenyak. Cahaya merekah itu bukan berasal dari kesaktian River yang meledak, melainkan dari bekas reruntuhan yang digali dari luar.

Ursa mendongak agak ke kiri dan melihat reruntuhan di dekatnya disingkirkan dengan terburu-buru, seolah ada sekelompok orang yang bergotong-royong mengangkatnya. Gemuruh beton dan batu yang dilempar ke tanah menimbulkan suara gedebuk melegakan. Ursa menghadap River, yang memberikan tatapan tegang yang sama. Siapakah itu?

Saat reruntuhan itu akhirnya menciptakan lubang di dekat mereka, hal pertama yang mereka lihat adalah wajah Dumbo yang menyeringai senang;

"Mereka ketemu!"[]

-oOo-

.

.


.


.


.


Nyengir kan lo?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top