49. Ajal Sang Raja

TIDAK lama setelah River dan rombongan tiba di tempat turnamen tahunan diadakan, mereka dikejutkan dengan gerombolan masif penduduk yang berjubelan di seantero tribun.

Sorakan gelisah dan bisik-bisik cemas penduduk mengudara seperti kabut tebal yang suram, meningkahi ketegangan yang sedang terjadi di arena perbukitan batu di bawahnya. Sementara itu, para sraden Aved menyebar di antara orang-orang yang dipaksa hadir untuk menonton, menodongkan senapan atau pedang ke muka-muka berlumur kemarahan. Beberapa terlihat ingin memberontak, tetapi rasa takut lebih banyak mengambil tempat.

"Mereka terlihat marah sekaligus malu," desis Philene seraya mendongak dan menatap melewati celah kasau di dinding atas, mengernyit pada wajah-wajah penduduk di atas tribun yang tak bisa berbuat apa-apa ketika disudutkan oleh para Kaum Liar bersenjata.

"Harga diri mereka pasti terinjak-injak sekarang." Dumbo melangkah menunduk melewati lorong-lorong gelap menuju arena pertarungan. Napasnya yang terengah-engah membaur bersama decit sepatu-sepatu yang bergerak cepat. "Kesaktian mereka tidak akan berguna bila disandingkan dengan angkatan bersenjata Kaum Liar kita."

Sementara itu, tanpa mendengarkan apa yang diperbincangkan teman-temannya, River memimpin di barisan depan sambil menyeret Raja yang kedua tangannya diikat seperti kriminal. Langkah pria itu terantuk-antuk dan terseret, sementara wajahnya pucat, berkeringat, dan berdarah di bawah lingkup remang cahaya yang menyusup dari ventilasi luar. Ekspresinya terpilin dengan berbagai emosi―kepasrahan, malu, dan jejak-jejak penyesalan yang meradang.

River mendorong Raja ke ambang pintu darurat yang dijaga sepasang sraden Aved bersenjata, dan kedua sraden itu langsung menampakkan raut kaku.

"Kegan sudah menunggu di arena," kata salah satu sraden, bersikap seolah-olah tatapan River tak membuatnya terbakar. "Kau datang terlalu lama dari perkiraan."

"Orang ini sempat kabur dan membuat kami kewalahan." River menyentak bahu Raja dan bersikap setenang mungkin. Tampaknya para sraden Aved tak menaruh curiga kepadanya, jadi dia melanjutkan peran dengan baik.

Kedua sraden itu saling berpandangan, kemudian mereka menyingkir untuk membiarkan River dan rombongannya lewat.

Saat River melewati ambang pintu, dia menahan napas. Tampaknya sisa-sisa pertarungan yang tadi melahirkan denyut ketegangan luar biasa di arena turnamen. Kabut tersingkap, menangkap semua hal yang ada di perbukitan berbatu tandus dan suram. Para sraden Aved serta para budak-budak Kerajaan yang berhasil diselamatkan rupanya telah berdiri mengelilingi pinggiran arena. Sebagian besar dari mereka terluka, berdiri goyah karena pincang, dan dibebat perban apa adanya. Wajah-wajah mereka tampak berpendar oleh keringat serta darah, dan sorot matanya menegaskan rasa sakit yang diterima selama bertahun-tahun tanpa pengadilan.

River bergidik, terpilin antara iba dan tidak terima ketika melangkah melewati barisan Kaum Liar yang putus asa.

Dia akhirnya berdiri menghadap Kegan yang sudah menunggunya di dekat menara tempat perebutan panji kelompok turnamen. Bendera Rawata yang biasanya tertancap di puncaknya telah dicabut dan diganti dengan bendera Aved yang bergambar setengah sayap burung. River menoleh ke belakang, mencari rombongannya tadi di antara barisan sraden Aved yang menunggu di pinggir Arena. Dia menemukan mereka di dekat pintu masuk―Ursa, Philene, Dumbo, dan Lukas. Di dekat mereka juga ada Mavena dan para pelayannya masih hidup.

Mereka semua memperhatikan River dengan sorot tak terbaca, akan tetapi ada satu yang memperhatikannya dengan sorot lain. Apakah itu kesedihan yang dilihat River dalam mata Ursa? Ketakutan? Kecemasan?

Atau harapan?

"Kau lama, bocah muda," kata Kegan dengan suara serak dan datar. River kembali menoleh pada Kegan.

Penampilan Kegan lumayan kacau. Kepangan pada rambutnya kini terburai dan terlapisi debu. Codet di wajahnya juga bertambah, tetapi dia masih berdiri tegap dan waspada. Matanya menyala lebih hijau di bawah terik yang menyengat―menjeritkan potensi ingin membunuh dan membakar habis semua Kerajaan. River mati-matian berpura-pura abai tentang kecemasan yang dideranya.

Tatapan Kegan berpaling pada sang Raja yang diikat di dekatnya, lalu seketika ekspresinya berubah, seolah-olah ada kepuasan yang terpancar dari matanya.

"Dia membuat sedikit masalah," River menunjuk Raja, tetapi diam-diam merasakan kembali debur kemarahan yang membanjiri perutnya saat menatap Kegan. Bagaimana mungkin orang ini telah berhasil menipunya dan membuatnya percaya bahwa semua ide balas dendam ini adalah milik Garos? Bahwa kelahirannya adalah sebuah ketidaksengajaan yang dijadikan alasan untuk membalas dendam? Bahwa ketidaktahuannya diperdaya sedemikian rupa untuk membuatnya tidak punya pilihan selain memercayakan nasibnya pada Kegan?

Hanya dengan berpikir pertanyaan-pertanyaan itu, River merasakan napasnya dirampas dari paru-parunya akibat terbakar amarah. Detik berikutnya yang dia tahu, kesaktiannya mencari celah untuk meletup keluar. River merasakan desakan kemurkaan ini, tetapi dia berusaha menahannya dengan mengatupkan rahangnya kuat-kuat. Tidak boleh, tidak boleh.

Dia tidak boleh gegabah.

Sementara itu, Kegan yang tak menaruh perhatian pada perubahan ekspresi River, mendongak menghadap para penonton di tribun dan berseru keras;

"LIHAT INI!" suaranya meraung di seantero arena pertarungan, sekonyong-konyong membuat semua orang tergugup diam. Kegan menarik bahu River dan memamerkan anak itu di hadapan khalayak ramai. "RAJA YANG KALIAN HORMATI SELAMA INI ADALAH PENJAHAT KEJI YANG MEMBUANG PUTRANYA SENDIRI!"

Kegaduhan segera timbul selepas kalimat itu diutarakan Kegan. River mendongak dan menatap satu per satu wajah yang bisa ditangkapnya. Beberapa di antara mereka tampak kebingungan, terkejut, dan yang lainnya mulai berhenti memberontak untuk mendengarkan dengan fokus.

Kegan menunggu hingga suasana hening, lalu melanjutkan, "DIA MELAKUKAN HUBUNGAN TERLARANG DENGAN SEORANG BUDAK DAN BERUSAHA MENGHAPUS JEJAKNYA!"

Teriakan para penduduk lebih gaduh lagi daripada tadi. River merasakan napasnya mulai tak terkendali ketika Kegan melancarkan cerita-cerita dustanya. Dia berpaling dan melihat ekspresi Kegan yang menyeringai keji, tampak puas dan senang saat mendapatkan reaksi yang diharapkan. Di sisi lain, di bawah cengkeraman para sraden Aved, Raja memberontak dan berusaha berteriak, "Bohong! Pria itu bohong!" tapi suaranya kalah oleh sorakan amarah para penduduk yang mulai menaruh rasa benci kepadanya. River menyapu pandang seluruh arena pertarungan untuk mencari seseorang, kemudian dia menemukan keluarga Raja―Permaisuri beserta putra tunggalnya, diikat dan dikekang sedemikian rupa di pinggiran arena. Mereka tampak tak berdaya, terutama Areka, sang Pangeran, yang berbaring kaku dengan mulut terbuka dan mata berkaca-kaca. Mendadak saja River bisa menebak kalau sraden Aved telah menyuntik mereka dengan cairan yang melumpuhkan otot, seperti dirinya dulu.

"HARI INI, KELOMPOK AVED AKAN MELAKSANAKAN HUKUMAN YANG SEPADAN ATAS SELURUH KESALAHAN YANG TELAH DILAKUKAN RAJA DENGAN SENGAJA." Sontak saja seluruh orang menggila dengan keputusan itu. Di tengah teriakan lantang dan gaduh para penduduk, Kegan mengangkat satu tangannya ke atas untuk menghentikan sorakan.

Setelah informasi penting yang dibawanya, semua orang kini menganggap bahwa tindakan Kegan mungkin layak menggantikan kepatuhan abadi mereka terhadap Raja. Kegan bersuara lagi setelah keheningan, dengan nada suara yang dibuat lembut bagai menarik simpati, "Sedih untuk mengatakan bahwa kita semua, walaupun dilimpahi kesaktian, adalah makhluk tak berdaya yang hanya bisa tunduk pada orang yang salah. Tapi kita tak pernah berhenti untuk berubah. Akan selalu ada pihak yang berusaha keluar dari lumpur jebakan ini dan mendorong kita semua ke perubahan. Selalu ada cara untuk bangkit dan melawan, dan kini ... Aved-lah yang berhasil melampaui dan membongkar kebusukan-kebusukan Raja. Kami bekerja keras selama hampir dua puluh tahun untuk mengungkap daftar pelanggaran sejumlah lebih dari apa yang kalian bayangkan bisa dilakukan oleh para petinggi licik ini. Seperti yang kalian lihat, Aved adalah gabungan dari Kaum Liar dan Kaum Putih yang berpikir jernih dan terbuka. Tidak ada kesenjangan ataupun perselisihan di antara kami. Tidak ada perebutan kekuasaan ataupun segala bentuk tindak kejahatan yang digunakan untuk menyiksa dan menindas. Hanya karena tidak memiliki kesaktian, bukan berarti lebih rendah dari yang lain. Aved menghargai perbedaan, dan akan membawa evolusi baru kepada kalian semua!"

Kegan menarik napas, menyela keheningan yang tercipta di antara seluruh penduduk. Matahari tak lagi meninggi. Cahayanya yang keemasan terpapar pada lingkup sempit arena pertandingan tempat River berdiri dan membisu. Matanya yang biru menyala ketika dia menatap ke arah kerumunan yang mulai tenang.

Kegan melanjutkan, namun kali ini sambil memegang pundak River, "Aved akan membereskan seluruh kekacauan ini sampai bersih. Dan untuk membalas perbuatan Raja yang tak termaafkan, kami memberikan wewenang khusus kepada putranya, yang kini berdiri di hadapan kalian semua, untuk memberikan hukuman terbaik kepada pelaku tunggal yang secara menjijikkan membuat aturan lalu melanggarnya sendiri."

River bisa merasakan otot-otot tangannya menegang ketika dia melihat sebagian penduduk menunjukkan tanda-tanda persetujuan yang kentara. Khalayak penonton mulai ramai lagi dan menyuarakan dengung dukungan. Sementara jari-jari Kegan yang menekan pundak River menguat, membuatnya menoleh.

"River," suara Kegan terdengar redam. Tatapannya berkilat-kilat penuh penantian, "Sekarang adalah giliranmu. Kau bisa memilih mau mengeksekusinya dengan cara apa pun. Senapan, pedang, atau dengan kesaktianmu sendiri. Tapi kusarankan, untuk mengambil dukungan dan kepercayaan masyarakat, kau lebih baik menghabisinya dengan opsi ketiga."

River berpaling pada Raja yang sudah diseret ke menara dan diikat erat pada akar-akar yang merambati dindingnya. Jarak mereka tak terlalu jauh untuk melakukan penghukuman. Pemuda itu mengira Raja akan menyumpah serapah kepada Kegan yang telah berhasil menumbangkan seluruh kepercayaan penduduk, akan tetapi Raja sama sekali tidak memasang wajah dendam. Bahkan dengan kondisi badan yang memburuk, pria itu justru menatap pada Permaisuri dan putranya yang sedang diikat tak berdaya di pinggir. Sorot matanya penuh permintaan maaf, dan pada pipinya mengalir air mata. Ini akan menjadi pembunuhan yang menyedihkan bagi keluarganya.

Kegan melepas pegangan tangannya dari bahu River, kemudian mundur pelan-pelan untuk menyaksikan proses penghukuman. Sementara pemuda itu secara tenang mendekati Raja. Dia berdiri di hadapannya sambil memperhatikan wajahnya.

River mungkin sudah berdiri seperti itu selama beberapa menit tanpa melakukan apa-apa. Orang-orang di atas menunggunya dengan gelisah, tetapi tidak ada yang berani mengusiknya, bahkan Kegan ataupun petinggi Aved yang lainnya. Barangkali mereka memberinya waktu lebih lama untuk berpikir sejenak tentang ketidakadilan yang diterimanya, agar eksekusi itu menjadi momen puncak untuk melampiaskan seluruh dendam yang selama ini dibiarkan menumpuk.

Kematian Raja mungkin sepadan dengan seluruh tindak semena-menanya yang selama ini disembunyikan dari publik, akan tetapi, apa harga yang harus dibayar Kegan atas kebohongannya yang telah menyakiti kepercayaannya selama ini? Wajah ibunya menangis diam-diam. Adiknya merengek kelaparan. Pelukannya kepada Ursa dan bisikan persetujuannya yang mengatakan bahwa River akan menjadi wajah revolusi baru untuk Rawata. Apakah River memang menginginkannya atau karena tidak ada jalan lain? Dan setelah Raja tewas, apakah dia tetap akan membiarkan biang keladi sesungguhnya berkeliaran dan menyuruh-nyuruhnya seperti boneka?

Pada saat itu, Raja berpaling pada River. Matanya yang biru tampak berkabut dengan lapisan air mata, akan tetapi dia menorehkan senyum lemah yang tulus, mirip senyum lemah seseorang yang dia kenal. Ibunya.

"River," suara Raja lemah dan pelan. "Kau tidak layak untuk menjadi alat musuh untuk membalas dendam. Kau ... selalu memiliki pilihan untuk membalas siapa saja yang melukaimu."

Raja benar.

Alih-alih menghukum Raja, River pelan-pelan berputar ke belakang dan menghadap Kegan. Ekspresinya sekeras batu, menatap mencalang pada Kegan seolah dia menuntut keadilan. Semua orang di tribun terkejut dengan tindakannya, tapi mereka semua juga penasaran.

"Ada apa, River?" Kegan bertanya sambil masih mempertahankan seringainya. Tampak tak memiliki petunjuk apa-apa. "Kenapa kau tidak segera menghabisinya?"

Semua penonton terdiam mendengarkan. Kesunyian menyelubungi tempat itu seperti kabut tak kasat mata. Di antara keheningan, River berkata cukup keras;

"Selama ini, kupikir Garos adalah pria yang pantas kusyukuri kematiannya karena dialah yang mengirimku ke Kevra. Tapi ternyata semua ide gila ini adalah milikmu."

Suara itu mengirimkan denyut ketegangan di arena. Seringai Kegan menghilang, digantikan kernyitan dahi yang cukup dalam. Mulutnya terbuka hendak membantah, namun River buru-buru menyelanya, "Kaulah yang menelantarkan keluargaku di Kevra, dan membuatku kehilangan delapan belas tahun yang berharga hanya untuk membenci kehidupanku sendiri, lalu menerima cerita yang keliru untuk kupercaya. Sejak awal aku sudah terlalu percaya padamu dan berkorban banyak, Kegan. Tetapi kau tidak mengatakan cerita yang asli padaku, bahkan kepada para sraden Aved dan para penduduk di sini. Kau menyembunyikan kenyataan bahwa Garos ... adalah ayahku yang sebenarnya."

Seluruh orang bergemuruh ribut, termasuk para sraden Aved yang berdiri di pinggiran Arena. Kegan mengernyit dengan muka berang, berdesis pada River yang menatapnya tanpa rasa takut, "Dari mana kau mendapat informasi seperti itu, Bocah?"

River tak membalas apa pun, akan tetapi tatapan mata Kegan bergeser pada Raja yang berdiri lemah di belakangnya. Sontak dia tahu jawabannya.

"Sial," Kegan berdesis murka.

Rahang Kegan terkatup rapat sementara wajahnya terbakar merah. Sesuatu mengguncang kesabaran dalam dirinya dan hal yang dia ingat selanjutnya adalah berderap maju. "Kau menghalangi jalanku, bedebah!" Kegan mendorong River keras-keras hingga pemuda itu terjungkal selangkah ke belakang. Sambil menghunus pedang dari sabuknya, Kegan menghampiri Raja dan berdesis tanpa ampun; "Biar aku yang membunuh pria tua ini."

Lalu tangan Kegan terangkat. Dan, sebelum senjata itu ditebaskan ke kepala Raja, sesuatu menghentikannya.

Darah menetes ke tanah. Satu demi satu.

Kemudian, aliran darah mengucur dari luka yang terbuka.

Kegan menunduk. Perutnya tertembus pedang.

Saat dia membuka mulut, segumpal darah muncrat keluar dari mulutnya, "River."

"Aku tidak bisa membiarkanmu hidup." River berdiri di belakangnya, bernapas terengah. Kedua tangannya menggenggam gagang pedang yang tertancap di punggung Kegan dengan mantap. "Kau juga harus membayar kematian Ibu dan adikku karena telah menelantarkan kami." Lalu pedang dicabut, diiringi sentakan napas Kegan.

Rasa sakit menelan Kegan. Mulutnya megap-megap menarik sisa napas, dan tubuhnya membungkuk rendah sebelum jatuh berguling ke tanah.

Kematian itu memberi dering peringatan baru di kepala River. Seluruh orang di arena sekonyong-konyong bergemuruh ribut. Para sraden berlari mengelilinginya, lalu terdengar teriakan lantang dari Rustin; "APA YANG KAU LAKUKAN?"

River memutuskan eksekusi itu di saat-saat terakhir, ketika dia terbayang kembali wajah ibu dan adiknya di saat-saat terakhir. Hari-harinya di Kevra yang terlantar, ditindas, dicekik oleh radang penyakit dan kelaparan. Tujuannya kabur saat itu adalah untuk mencari pembalasan yang sepadan bagi orang yang mengurungnya di Kevra, dan terlepas dari kekejian Raja yang mengabaikan Kaum Liar, dia lebih membenci Kegan karena telah menipu dan memberinya pilihan menyakitkan untuk dijadikan alat pembalasan tunggal.

Raja yang masih terikat di dinding menara, memperhatikan jasad Kegan dengan sorot terkejut dan mata memerah. Kemudian dia tertawa lirih, tetapi tawa itu terdengar seperti tangisan bercampur lolongan. Di saat yang sama, Rustin menuding River dan meraung tanpa ampun; "DIA ADALAH PENGKHIANAT!" lalu mengomando semua sraden Aved untuk menyerang River.

Kemudian, seluruh pasukan berlari menyerbu diiringi bunyi dencing dan berkelontang. Para penonton semakin menggila dengan kepanikan bercampur kebingungan. Para pasukan Aved yang tak mengetahui alasan River, berlomba-lomba menerjangnya sambil menodongkan senjata-senjatanya, berteriak dan melolong bagai binatang buas. Mereka telah dibutakan oleh perintah mutlak dan tak memiliki waktu untuk mencerna situasi.

Di tengah riuh penghabisan, River tahu nyawanya terancam, tetapi kali ini dia sama sekali tak takut. Kematian sejak dulu telah menunggu-nunggu untuk menyergapnya di saat yang tepat, dan ketika dendamnya telah terbalaskan, dia tak punya apa pun yang tersisa untuk dipertahankan.

Maka pemuda itu berdiri tegap menghadapi nasibnya.

Dia melihat seorang sraden Aved menghampirinya lebih cepat daripada yang lain. Pedang di tangannya terangkat ke udara. River menatap wajah sraden itu untuk terakhir kali. Usianya masih muda―mungkin empat atau lima belas. Dia tak mengenal wajah si bocah sraden itu, akan tetapi sorot kegarangan dan rasa terkhianati pada matanya yang memerah membuat River tahu untuk alasan apa dia pantas dibunuh.

Namun, sebelum bilah pedang itu menebas dada River, sebatang anak panah meluncur dari kejauhan dan melesak dalam-dalam pada leher si sraden.

River terperanjat dalam diam ketika sraden itu roboh ke tanah sambil menggelepar. Dia berpaling untuk melihat siapa yang melempar anak panah, lalu menemukan Ursa berdiri tak jauh darinya sambil menggenggam busur. Ketegangan melumuri ekspresi gadis itu, tetapi lebih banyak perasaan cemas. River belum sempat membuka mulutnya ketika Ursa menjerit memperingatkan; "DI SAMPINGMU!"

Teriakan itu sontak menyadarkan alarm bahaya di kepala River. Pemuda itu merundukkan tubuh tepat ketika sebuah pedang melayang di atas posisi kepalanya tadi berdiri.

Pedang itu rupanya milik salah seorang petinggi Aved―Joda―yang menatapnya dengan sorot kegarangan anjing liar. Perban di separuh wajahnya masih terpasang, tetapi luka di baliknya sudah terbuka lagi, membuat wajahnya tertutup lapisan merah yang mengerikan. Dia menerjang River kedua kalinya, tetapi pemuda itu lebih gesit untuk luput dari tebasan pedangnya.

Mulai dikuasai kepanikan, River terjungkal dan setengah berlutut. Mendadak saja kerah tuniknya ditarik dari belakang dengan kekuatan besar, membuatnya berdiri tegak.

Terdengar suara Philene yang berdesis; "Aku tidak akan membiarkanmu berperang sendiri, Kawan." Kemudian pria itu mendorong River dan turun tangan sendiri untuk menyerang Joda dengan lembing yang dibawanya. River memegang pedangnya dengan goyah, menyapu pandang dengan sorot kebingungan berlapis-lapis. Rupanya dia baru sadar dirinya berdiri di lingkaran kecil. Semua kawan-kawannya berdiri mengelilingnya dan menghadapi gelombang pasukan yang siap menyerang―Philene, Ursa, Dumbo, dan juga Lukas.

Untuk satu detik, River menyesali keputusannya untuk mati. Dia lupa bahwa dia masih memiliki teman-temannya.

"Di sebelah kirimu!" Suara Dumbo menyelanya. River memutar pergelangan tangannya dan menusukkan pedangnya pada seorang sraden yang mendekat. Dia maju ke depan, membungkuk, lalu menghantam tanah di bawah dengan tinjunya. Kesaktiannya meledak tak disangka-sangka. Nyaris seketika, volume besar udara terempas keras, kekuatan yang besar mengguncang bumi di bawah kaki mereka, membuat beberapa sraden terdorong mundur dan jatuh bergulingan di tanah.

Akan tetapi, sekumpulan sraden di jajaran belakang masih cakap bertempur. Suara senapan ditembakkan. Panah melesat bagai parabola yang membelah langit. Gerombolan River berlari cepat menghindari lesatan senjata dan berputar ke menara.

Seolah dalam gerakan lambat, River menoleh untuk melihat sekilas wajah Raja yang menatapnya dengan sorot pasrah, lalu―

Sebagian panah dyang ditembakkan para sraden terbenam dalam dada Raja. Terdengar teriakan pilu seorang wanita dan gegap lolongan para penonton. Penguasa itu akhirnya menemui ajalnya, tetapi River tak sempat memperhatikannya lebih cermat karena gelombang sraden mengejarnya dari belakang. Tidak ada waktu untuk kabur menyelamatkan diri. River kembali berputar dan menerjang sekelompok sraden dengan pedangnya. Dia mengeluarkan pisau dari sakunya dan melempar pada sebagian yang lain. Daging tertikam, darah bermuncratan. River bertempur seperti binatang buas, menerjang maju layaknya kuda pacu yang sudah dikerangkeng lama. Philene dan Dumbo menghantamkan perisai bajanya ke wajah para sraden sekaligus menghalau kami dalam tembakan beruntun, sementara Ursa berdiri lebih ke pinggir, di dekat jalinan sulur dan belukar raksasa, berperan sebagai pembunuh rahasia yang bekerja di balik bayangan. Busurnya menembaki para sraden yang tak menaruh perhatian sedikit pun padanya.

Rustin rupanya berdiri tak jauh dari Ursa. Mata emasnya bersinar di balik temaram tempat teduh. Dia menatap Ursa dengan konsentrasi, lalu sesuatu ... seperti menyihir gadis itu.

"Ha―aagh!"

Tubuh Ursa mendadak saja bergetar kaku. Nadi-nadi kehijauan di balik kulitnya yang pucat tampak menonjol seolah dia berusaha melawan kontrol pikiran dari Rustin. Ursa menjatuhkan busurnya, menyisakan satu anak panahnya dengan ujung yang tajam menghadap ke leher. Tangannya perlahan bergerak ke atas.

Gadis itu berusaha berteriak, tetapi suaranya tertelan oleh jeritan dan suara kelontang perang yang terjadi. Matanya jelalatan, mencari pertolongan, tetapi kepalanya secara kaku mendongak kencang sehingga kulit lehernya terpapar telanjang. Kematian terbayang di depan mata. Rustin menyeringai menatap Ursa yang bernapas tersengal-sengal. Air mata melelehi pipinya, dan raut putus asa terbayang di wajahnya.

Dan, ketika ujung anak panah itu hampir menusuk lehernya, River mendadak saja menerjang Ursa dan mendorong gadis itu ke belakang. Tangan pemuda itu terjulur, menghantam menara. River mengerahkan seluruh kesaktiannya untuk menciptakan momentum yang luar biasa besar.

Menara itu lantas berguncang. Udara di sekitar mereka bergejolak. Serpihan batu dan semen runtuh ke bawah, kemudian bayangan di atas mereka menggelap.

Menara itu roboh dan menelan tubuh River dan Ursa di bawahnya.[]

-oOo-

.


.


.


.



Met mayaaamm

Hari ini aku update sampai tamat. Langsung scroll biar keseruannya nggak terputus yak

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top