47. Gugurnya Kekasih
RUANG rapat malam itu pengap oleh berita misi kelompok Aved yang ingin merevolusi sistem ketatanegaraan dengan cara yang dianggap adil dan sepadan untuk seluruh kaum.
Gelora antusias menghinggapi wajah sebagian anggota Aved, termasuk ayah Annalise―Eradine―yang tampak gagah duduk di kursi pembicara. Tepat di sebelahnya, seorang pemuda bertubuh pendek dan agak gempal sedang menatap sekeliling ruangan dengan mata hitam mencalang. Eradine memberitahu ke seluruh orang bahwa pemuda tersebut adalah objek ekperimen dari ramuan peluruh kekuatan yang sedang dikembangkan Aved.
"Penelitian yang lebih lanjut memberi laporan bahwa ramuan ini tidak menimbulkan efek samping," kata Eradine sementara semua orang mendengarkan.
Saat dia menanti tanggapan, seorang anggota Dewan mengangkat tangannya dan bertanya, dengan nada malas seolah siap menghadapi omong kosong, "Jadi dulunya dia adalah Kaum Putih bermata hijau?"
"Ya, dan sekarang iris matanya berubah menjadi hitam," jawab Eradine, "Kami masih mencari cara agar ramuan itu mencapai tingkat perubahan yang setara. Pada beberapa percobaan, ada relawan objek kami yang rambutnya berubah warna, tapi tidak dengan matanya, atau ada juga yang rambut dan warna mata berubah hitam sepenuhnya. Meski terkesan tidak seimbang, efek akhir yang dihasilkan tetaplah sama. Tidak ada tanda-tanda kesaktian yang muncul. Semua relawan kami telah menjadi manusia normal seutuhnya."
Terdengar gumam kecil dari salah satu kursi rapat, "Manusia normal. Seolah-olah kita semua yang ada di sini bukan orang normal."
Bibir Annalise berkedut mendengar pernyataan itu. Miron tak sengaja menangkap gerak-geriknya. Dia melihat ada separuh gurat kecemasan melumuri ekspresi Annalise, tetapi gadis itu tampaknya lebih senang membungkam perasaan negatifnya dengan pikiran bijak untuk merasa netral.
"Lalu kenapa kalian hanya membawa satu orang objek eksperimen? Ke mana yang lainnya? Jangan-jangan mereka tewas?" anggota Dewan bertanya lagi.
"Tidak. Kami sengaja tidak membawa mereka karena dikhawatirkan terjadi salah paham," kata Eradine. "Di istana ini tidak boleh membawa orang yang berpenampilan mirip kaum Budak. Walaupun mereka bukan budak, dan walaupun kami bisa menyangkalnya dengan bukti riset yang memadai, kami memilih menjaga kebijakan itu dengan seluruh penghormatan. Setidaknya untuk saat ini."
"Anda yakin kesaktian mereka akan hilang selamanya? Bagaimana bila sewaktu-waktu muncul lagi?"
"Sejujurnya, memang ada kecenderungan kesaktian itu tidak hilang sepenuhnya dan hanya memasuki fase dormansi, atau tertidur. Seolah-olah dia akan meledak kembali sewaktu-waktu. Biasanya ini disebabkan perawatan eksternal yang kurang sempurna, terburu-buru, atau dikendalikan faktor internal sang penerima ramuan itu sendiri. Bisa jadi tubuhnya terlalu lemah, mengalami kecacatan, atau faktor genetis yang tidak bisa dijelaskan secara ilmiah. Namun tidak perlu khawatir. Adanya kegagalan seperti ini lebih banyak dihasilkan akibat faktor eksternal. Kami juga sudah mempertimbangkan serangkaian pencegahan yang minim risiko."
"Kelihatannya akan ada banyak kontroversi di kalangan masyarakat," kata sang anggota Dewan. Sedetik kemudian opininya tersebut disahuti gumaman persetujuan dari yang lain.
Namun belum sempat Eradine membalas, Raja Ravael, yang sejak tadi berwajah tanpa ekspresi, mendadak saja berdiri. Kasak-kusuk seketika lenyap. Semua orang di dalam ruangan membisu mendengarkan.
"Eradine, adipatiku yang paling kuhormati," kata Raja sementara dia menatap mata Eradine yang bersinar emas bagai mahkota. Gelagatnya terlihat ramah dan berwibawa, "Aku menghormati keinginan kelompokmu untuk membuat negeri ini menjadi lebih baik lagi. Akan tetapi," nada suaranya mendadak menurun, lalu kalimat selanjutnya menjeritkan tekanan; "Bukankah ramuan tersebut terasa seperti hukuman yang diberikan kepada masyarakat dengan dalih pembebasan dan kesetaraan kaum?"
"Yang Mulia, maksud saya―"
Raja memotong tanpa ampun, "Mungkin kelompokmu terlalu sembrono melampiaskan kesalahan pada Kaum Putih atas pembengkakan angka kriminal yang terjadi beberapa dekade terakhir. Namun pernahkan kau memberi perhatian pada kejayaan macam apa yang telah berhasil kita bangun atas bantuan kesaktian Kaum Putih?"
Eradine menunduk dan terdiam lama, "Yang Mulia, kesaktian supernatural kita hanya memberi dampak lebih besar pada kriminalitas, dibandingkan kontribusi nyata pada perkembangan teknologi dan akademis. Masyarakat lebih banyak menyumbang laporan kekerasan dan penipuan, terutama setelah tersiar kabar bahwa banyak dari anggota Berwajib yang mengaku pikirannya dikendalikan sepenuhnya oleh penjahat bermata emas., sehingga mereka tak bisa membawa para penjahat ke ranah hukum untuk diperiksa. Walaupun hukuman kita sangat ketat, tetapi tak sedikit kaum kita yang merasa takut tentang itu. Mereka justru semakin pintar mengancam dan mencari kesempatan."
Jawaban dari Eradine semakin menegaskan cebikan masam di bibir Raja.
"Apakah legalitas pembentukan Aved beserta izin penelitian tentang ramuan yang kalian kembangkan sudah pernah mendapat peneguhan hukum dari Dewan?"
Eradine kelihatan tekejut, disusul dengan gumam rendah para pengikut rapat yang mulai gelisah sendiri di kursinya. Mengapa terkesan seolah Raja memutar pembicaraan?
"Eradine," kata Raja, "Anda tahu bahwa organisasi Aved sejatinya tidak memiliki izin untuk berdiri, karenanya seluruh kegiatannya bisa dikategorikan ilegal."
"Yang Mulia, mohon maafkan saya atas kelancangan ini. Alasan kami belum mengajukan izin mendirikannya adalah karena selama ini saya melakukan dinas selama tiga tahun di luar wilayah perbatasan. Digempur oleh banyaknya tugas pengawasan dan pemeriksaan, membuat saya tak sempat melayangkan laporan penyelenggaraan organisasi, tetapi―"
"Tetapi kau bisa mengelola serangkaian eksperimen rumit, bahkan meminta untuk dikirim berkas catatan kependudukan Kaum Liar di wilayah perbatasan, padahal pemeriksaan daftar nama itu tidak masuk bagian pekerjaanmu," Raja memotong, sontak membuat Annalise mendongak, menampakkan ekspresi terkejutnya. Semua orang mulai berbisik lebih keras. Suasana ruang rapat berubah panas seiring Raja mendedah habis rahasianya. "Eradine, kita tidak memerlukan orang pintar untuk menilai situasi yang kau sampaikan demi membela diri. Semuanya teramat jelas dan bisa dilacak. Tiga tahun pengabdianmu di wilayah perbatasan telah membuka gerbang kecurigaan yang paling fatal dan celaka. Aku telah menyelidiki semua laporan, rekaman, dan data jelajahmu selama pergi bertugas. Kau mengambil berkas rahasia kependudukan Kaum Liar dan berkunjung ke rumah-rumah tempat mereka dipekerjakan. Kira-kira," Raja merendahkan nada suaranya dan menatap Eradine dengan sorot yang dipenuhi lapisan kecurigaan negatif, "Untuk apa kau melakukannya?"
Ruang rapat seketika gaduh. Beberapa anggota Aved yang memakai lencana sayap burung di kerahnya mulai menunjukkan tanda-tanda ketakutan. Sudah jelas pelacakan sembunyi-sembunyi yang dilakukan Raja adalah berita yang akurat sekaligus mengejutkan.
"Tuan Eradine," kata salah seorang anggota rapat yang menengahi gelombang keributan, "Di dalam proposal itu tidak ada laporan perintah untuk mendatangi rumah-rumah di mana Kaum Liar dipekerjakan. Apakah ini merupakan salah satu propaganda rahasia yang kalian rencanakan? Apakah kalian, jangan-jangan, telah menjalin kesepakatan dengan Kaum Liar agar mereka bersedia berpura-pura menjadi objek penelitian, untuk menipu kami semua?"
Annalise langsung mendorong kursinya dengan suara nyaring dan berdiri membelah gegap berisik orang-orang.
"Yang Mulia," kata Annalise dengan suara yang dijaga tegas. Miron mendongak melihat Annalise berdiri, separuh kagum separuh cemas, "Kami mendatangi rumah-rumah tempat para Kaum Liar dipekerjakan untuk menanyakan bagaimana kondisi mereka di sana, sebab kami mengetahui adanya berita kriminalitas yang masuk dan mengancam nyawa mereka. Sama sekali tidak ada hubungannya dengan berita menjadikan mereka objek penelitian palsu. Yang Mulia bisa menyidak langsung ruang riset kami, memeriksa semua data dan laporan yang ada untuk membuktikan bahwa kami tidak berbohong mengenai ramuan itu."
Namun tampaknya Raja tidak berminat untuk membahas soal ramuan. Pria itu malah menyinggung hal lain, "Dan untuk alasan apa kalian menanyakan kondisi para Kaum Liar? Kalian tidak memiliki wewenang untuk memeriksa."
Annalise menjawab, "Ada banyak sekali laporan bahwa budak-budak ini mengalami siksaan sampai gila dan terpaksa dibuang di rumah sakit mental, yang sejauh sepemahaman saya, keberadaan mereka di rumah sakit mental sampai saat ini pun juga tidak jelas. Intinya tidak ada yang tahu bagaimana nasib mereka. Saya sudah memohon bahkan mendatangi sendiri kantor Layanan untuk menindak tegas laporan korban agar setidaknya mereka datang dan memeriksa, tetapi mereka semua selalu sibuk beralasan."
"Lalu Anda melakukannya sendiri, padahal tidak ada izin dari lembaga yang bersangkutan?"
"Untuk sebuah tujuan kemanusiaan, tindakan seperti itu dibenarkan."
Semua orang sepertinya setuju bahwa kata-kata Annalise sangat kontroversi. Eradine mengusap sekitar mulutnya yang dipenuhi janggut halus, kentara menyembunyikan kegelisahan.
"Kami juga menemukan hal mengejutkan di Lembaga Pelayanan," Annalise berkata dengan mantap, seolah kali ini dia tak menerima bantahan dari siapa pun, "Anak-anak Kaum Liar yang berusia delapan sampai sembilan tahun dijual secara ilegal dan sembunyi-sembunyi, padahal menurut tata peraturan Janji Keterikatan, mereka harusnya mendapat bimbingan dan pelatihan sampai usia mereka cukup untuk dilepas bekerja. Saya sendiri tidak tahu di mana anak-anak ini dipekerjakan secara ilegal, tetapi saya punya buktinya. Saya mendengar percakapan―"
"Annalise," Eradine memotong. Kebiasaan. Salah satu kelemahan Annalise adalah tidak bisa mengatur mulutnya untuk diam. Kalau mereka mengungkap lebih banyak, Rawata akan melihat hal ini sebagai sebuah pelanggaran berlapis yang berujung pemberontakan.
"Saya tidak bisa diam melihat kekacauan ini!" Annalise tidak menghiraukan teguran ayahnya dan berkata dengan mata berkaca-kaca, "Peradaban kita telah berubah menjadi lahan subur bagi para pengacau dan penindas. Bila dibiarkan lebih lama lagi, korban yang berjatuhan tidak hanya dari kalangan Kaum Liar, melainkan kaum kita sendiri bisa terpecah belah. Lalu ke mana lagi kami bisa berlindung bila Dewan saja memperlakukan orang tak bersalah seperti anjing? Sudah terlalu banyak orang yang dikucilkan dan diabaikan!"
Miron mengerut di bangku. Mendadak saja kata-kata Lara terngiang kembali di benaknya; Terkucilkan, diabaikan, hancur luar dalam, dan tak mendapat kasih sayang yang seharusnya? Tahukah kau sudah berapa tahun aku disingkirkan dan tak dianggap ada?
Kata-kata Annalise sontak membuat Raja mengerucutkan bibi seolah dia tersinggung dengan ucapaanannya. Eradine bangkit berdiri dan membentak, "ANNALISE, TUTUP MULUTMU!"
Namun Raja mengulurkan tangan untuk mencegah Eradine menegur putrinya, "Tunggu dulu," kata Raja, sementara dia berdiri dari kursi dan menghampiri Annalise perlahan.
Semua orang di dalam ruangan menahan napas seolah mereka semua menanti-nanti yang terburuk. Sementara Annalise berdiri tegap dan memaksa dagunya naik, walaupun sorot matanya diturunkan ke bawah―hanya melirik dagu Raja yang tampak berkerut.
"Annalise." Suara Raja menyiratkan setitik rasa tak senang. Dia menunduk memandang wajah Annalise yang pucat seperti menahan rasa takut. "Kau ini sungguh gadis yang pintar. Namun tahukah kau bahwa kepintaran yang berlebihan hanya akan mengacaukan otak manusia?"
Saat Annalise tak membalas, Raja meneruskan, "Kuperhatikan, kau keliru memahami sejarah negeri ini. Kaum Liar sedang menebus kesalahannya di masa lalu. Para leluhur kita sepakat untuk menghukum mereka dengan cara yang dianggap adil dan sepadan bagi apa yang telah coba mereka lakukan kepada kita dahulu. Mereka adalah borok utama yang menyulut peperangan, penipu licik yang memaksakan keinginan supaya diterima di peradaban padahal mereka sama sekali tak menyumbang apa-apa untuk negeri ini. Janji Keterikatan yang dicantumkan di akta kelahiran setiap bayi yang baru lahir adalah pengampunan paling baik dari para leluhur kita, Annalise. Lebih baik dibandingkan mereka dibantai hidup-hidup sampai musnah semua anak cucunya."
Baik Annalise maupun Eradine tidak ada yang menanggapi kata-kata Raja. Semua orang di dalam ruangan tahu bagaimana keputusan berikutnya; sudah pasti kebijakan Aved ditolak mentah-mentah. Miron yang mengetahui hal itu diam-diam mengusap jemarinya dengan perasaan kalut. Dia menatap Annalise yang terdiam, kemudian Raja berpaling menghadap khalayak rapat.
"Sebelum aku memutuskan jawabannya, aku ingin tahu pendapat kalian. Adakah di sini, selain anggota Aved, yang memiliki atau hendak menyatakan pembelaan atau dukungannya kepada Eradine dan putrinya yang terhormat?"
Seisi ruangan terdiam. Tatapan mata Annalise terpaku pada Miron. Eskpresinya seperti menanti sesuatu.
Namun, Miron tak melakukan apa-apa.
Raja berkata lagi, "Kalau begitu, aku, sang Kepala Dewan sekaligus Raja yang menguasai negeri ini, memutuskan untuk menolak ajakan Aved untuk melakukan penghapusan kesaktian secara masal dan penyetaraan di antara Kaum Putih dan Kaum Liar. Dengan ini rapat telah selesai."
-oOo-
Ruangan itu dikelilingi berbagai tapestri yang menggantung di dinding dan langit-langit. Miron bersandar di dekat jendela yang tertutup kelambu berat bercorak ukiran emas, sementara Annalise berdiri di seberangnya, menghadap pemandangan di jendela yang terbuka lebar. Di luar sana, kebun bunga memberikan lukisan magis yang indah―warna-warni seperti mimpi, jauh berbeda dengan keruntuhan situasi yang kini dialami Aved.
"Annalise," kata Miron. "Setelah ini apa yang akan kau lakukan?"
"Besok kami akan pulang ke kampung halaman."
"Tidakkah kau berharap tinggal di sini lebih lama?"
"Ada banyak hal yang harus kukerjakan."
"Kau masih mau menyelidiki Kantor Layanan dan merawat para budak?"
Kata-kata Miron membuat Annalise beputar menghadapnya. Wajah gadis itu keras, seperti menahan emosi yang membuncah.
"Urusanku bukan lagi menjadi urusanmu," kata Annalise. Nada suaranya yang terbiasa ramah kini terganti dengan keketusan yang dingin. Miron terpaku sebentar, sadar bahwa kata-katanya keliru.
"Maaf, aku tidak bermaksud menyinggungmu," kata Miron, kemudian pemuda itu menghampiri Annalise dan menyentuh pundaknya dengan lembut, "Rapat itu memang tidak membawa hasil yang baik, tetapi setidaknya kelompok kalian masih dihormati."
"Mengapa kau tidak mengatakannya?"
Miron tercekat dengan pertanyaannya. "Apa?"
Ada sirat kekecewaan pada iris matanya yang bersinar keemasan. "Miron, pagi tadi kau bilang akan melakukan sesuatu untuk meyakinkan Raja."
"A, itu ...." Miron melepas sentuhannya pada pundak Annalise. Napasnya seolah melompat dari tenggorokan. "Aku ... minta maaf."
Hanya itu yang sanggup Miron katakan. Dia tak berani mengungkap betapa pengecutnya dirinya untuk melayangkan keberatan pada Raja, hanya karena konsekuensi-konsekuensi yang akan dihadapinya sebagai pewaris penguasa berikutnya. Di sisi lain, ketakutan Miron pada Lara semakin membengkak. Pemuda itu tak bisa membayangkan bagaimana jadinya bila kesaktian semua umat manusia dihilangkan. Lara mungkin akan melakukan hal yang jauh lebih kejam padanya sebagai bentuk perayaan atas binasanya Kaum Putih.
"Sudahlah, yang terjadi biarkan berlalu." Annalise berkata lirih. Gadis itu tak sembunyi-sembunyi memasang tampang kesedihannya. Satu tangan diangkat ke perutnya dan mencengkeram gaunnya di sana, seolah-olah dia berjuang memantapkan diri.
Sementara itu, ada sesuatu yang meruyak hati Miron dan membuat perasaannya ikut pedih. Lantas dia menarik Annalise ke dalam pelukan dan mengusap punggungnya pelan.
"Miron," kata Annalise di ceruk lehernya, beberapa saat kemudian, "Ikutlah bersamaku."
Permohonan itu diceletukkan dengan lirih, tetapi Miron bisa mendengar nada putus asa di dalamnya. Dia merasa dadanya dijatuhi batu berat yang menyesakkan napas. Tidak bisa. Miron memyelipkan jemarinya pada rambut Annalise yang jatuh di bahu, menyisirnya dengan frustrasi yang ditahan-tahan. "Annalise, ini sulit," kata Miron, memeluknya lebih erat. "Aku tidak bisa melakukannya."
Annalise terdiam lama, kemudian berujar sengsara, "Aku tahu. Maafkan atas kekonyolanku."
"Aku berjanji akan mengunjungimu tiap beberapa bulan sekali."
"Ya, kau ... harus mengunjungiku. Kau sahabatku."
"Maafkan aku."
Kemudian gadis itu menarik diri dan mendongak menatap sang Pangeran. Tangannya terjulur mengusap wajah Miron, membelai garis rahang dan pipinya. Dia mendekatkan diri dan berjinjit ketika mencium bibir Miron dengan lembut.
Perpisahan ini membasuh sisa-sisa kepedihan yang dimulai ketika Annalise menyatakan niatnya untuk pergi. Matanya perih karena menahan air mata.
Lalu Annalise melepas ciumannya dan berkata khidmat di telinga Miron, "Tidak ada yang perlu dimaafkan."
Tidak ada.
Miron berpisah dengan Annalise setelah ucapan itu. Dia tersenyum lemah sembari menatap punggung sang puan menjauh dari lorong Istana. Malam itu, sembari melangkah masuk ke dalam kamar, Miron berharap akan memimpikan Annalise tentang khayalan masa depannya yang terasa menggelitik dan menyenangkan, atau setidaknya dia bisa melihat senyumnya yang cantik bagai bunga, ditumpahkan padanya seperti hamparan sinar di senja hari.
Namun, mimpinya tak pernah datang, bahkan Miron yakin dia tak pernah benar-benar tidur malam itu, sebab sebelum tengah malam datang, dia mendengar kabar darurat dari seorang abdi Istana yang melapor kepadanya;
"Semua anggota Aved, termasuk Annalise, akan dieksekusi saat ini juga karena dianggap sebagai pemberontak."[]
-oOo-
.
.
.
.
.
Lanjut ges, aku update doubleee
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top