45. Cinta Sepihak
Kerajaan Rawata,
20 tahun lalu
.
.
.
.
BUKU itu berwarna hijau cerah, hampir sama dengan warna tunik yang dikenakan Gangika Miron, dan terasa ganjil karena dia juga melihat lambang kepala singa melapisi sampul depannya, diukir di bawah sebuah lambang sayap burung seolah menegaskan adanya afiliasi dari kedua belah pihak. Rasanya keliru bila dia menganggap bahwa tindakan penempatan kedua emblem ini sudah mencapai kesepakatan.
"Jadi, ini buku yang kau maksud?" Suara Miron terdengar goyah. Sedikit ragu, tetapi dia tak repot-repot menutupinya. Pemuda itu membuka-buka halamannya dengan canggung, mengerutkan alis ketika matanya menyapu deretan huruf di dalamnya. Buku ini membahas metode-metode pengobatan yang kelihatannya sukar dilakukan. Atau mungkin terlalu mustahil? Miron mengerucutkan bibir ketika membaca barisan kalimat di dalam buku yang menyiratkan pembodohan ilmu pengetahuan―menyegel kesaktian para Kaum Putih―seorang budak pun bisa tahu kalau ini upaya penipuan.
"Kelompok kami bernama Aved. Kau bisa melihat simbol kami di sampulnya." Jawaban itu datang dari mulut gadis cantik yang duduk di hadapan Miron. Dia bermata emas, cenderung terlalu aktif dan menggebu untuk orang seusianya, lalu senyumnya penuh antusias, menjeritkan tanda-tanda darurat etika. Biasanya orang yang selalu cengar-cengir dan menatap semuanya dengan pandangan haus informasi tidak terlalu pintar dan serius. Barangkali buku ini adalah jawaban tidak langsung yang menuntut Miron untuk tidak jatuh percaya begitu saja.
"Annalise, bila aku tidak salah mengingat," kata Miron, dalam nada yang halus dan hati-hati, "rapat persetujuan itu masih akan diadakan nanti malam, yang artinya pihak Dewan saat ini belum menyepakati tujuan kelompokmu .... apa tadi namanya? Aved?"
"Ya, Aved. Apa ada masalah?"
"Caramu menempatkan lambang Rawata di bawah lambang organisasimu, bila aku boleh mengatakannya secara singkat, adalah bentuk pelecehan ringan terhadap Kerajaan." Saat gadis yang bernama Annalise hendak membuka mulut, Miron buru-buru melanjutkan, "Rawata memiliki aturan penulisan dan tata letak lambang. Harus selalu dijahit di bagian paling atas, tidak boleh seperti ini." Dia menunjuk lambang kepala singa yang dijahit di bawah lambang Aved.
Annalise tertawa ringan. Aku kira soal apa.
"Oh, yakinlah, ini tidak menjadi masalah, Miron," kata Annalise, kemudian mengambil buku itu dari tangan Miron. "Lagi pula kau salah kalau protes padaku. Buku ini kan bukan aku yang buat. Tapi, aku pasti akan memberitahu ayahku kalau ada sesuatu yang perlu dibenahi sebelum rapat nanti malam. Kami tidak mau Raja murka hanya karena peletakan lambang yang keliru." Kata terakhir yang dilempar Annalise terdengar dingin dan menyindir. Miron merasakannya, tetapi dia memilih untuk bersikap tenang.
"Yah, terserahlah," kata Miron. "Tapi kesannya seolah-olah kelompok kalian mau menentang Dewan."
"Kami tentu tidak akan menentang setiap keputusan dari Dewa. Tapi kami punya kesempatan besar untuk meyakinkan Dewan bahwa rencana ini hebat. Bagaimana menurutmu? Kau sudah membaca proposal dari kami, kan?"
"Yah, ayahku―Raja Ravael―memberiku kesempatan untuk memeriksa proposal kalian," kata Miron. Pemuda itu menghindari tatapan Annalise dan sibuk sendiri melihat pelitur kayu pada meja perpustakaan yang berdiri di hadapan mereka. Tiga hari lalu, Annalise, sahabat masa kecilnya yang selama ini bermukim di Rawata Utara, datang bersama rombongannya dan secara resmi meminta izin untuk mengajukan sebuah program revolusi untuk masyarakat Putih. Ayah Annalise sendiri merupakan Shraden Kepercayaan Raja Ravael―ayahanda Miron―yang ditugasi menjadi kepala tingkat satu Dewan di bidang Pengaturan dan Pengendalian Kesaktian Kaum Putih. Usulnya yang dijelaskan secara rinci pada proposal penegakan rencana membuat alis semua petinggi Dewan lainnya mengerut ragu, tak terkecuali Raja Ravael. Dan, Miron, pemuda tanggung yang sedang menjalankan masa pra-tugasnya sebelum dirinya dinobatkan sebagai Raja Agung negeri ini, kehilangan kata-kata saat membaca keseluruhan isi proposal.
"Jadi, kelompok kalian―Aved―berencana untuk melenyapkan kesaktian seluruh Kaum Putih, demi menciptakan hukum penyetaraan antar kaum," kata Miron ketika mengulang kembali judul proposal yang telah dibacanya kemarin. "Kalian pikir memusnahkan anugerah terbesar Kaum Putih menjadi rencana bagus untuk menciptakan lingkungan yang lebih terkendali?"
"Benar sekali," kata Annalise, kemudian dia mencondongkan tubuh hingga dadanya membentur tepian meja. Gadis itu berbisik penuh antusias kepada Miron, "Kau bisa bayangkan kalau semua orang di negeri ini kehilangan kesaktiannya. Angka kejahatan yang dilakukan kriminal akan menurun. Kita tidak akan lagi menerima laporan penggunaan kesaktian yang semena-mena. Dewan juga tidak akan kerepotan menghukum para oknum yang semakin hari semakin gencar menunjukkan kepongahannya."
"Kalian mau menghilangkan kesaktian mereka dengan praktik sihir ini?" Miron menunjuk buku bersampul hijau yang digeletakkan di meja.
"Itu bukan sihir. Itu ilmu pengobatan mutakhir!"
"Apa sudah ada buktinya? Apa ilmu ini sudah dipraktikkan dan benar-benar berhasil?"
"Eksperimennya sudah dilakukan, tentu saja," katanya, sontak membuat Miron menaikkan satu alisnya dengan penasaran. "Miron, ayahku sudah melakukan riset ini selama belasan tahun. Dia berhasil menemukan cara aman untuk menyegel kesaktian supernatural dan membuat kita menjadi manusia normal. Ada seseorang yang datang bersama kami dan dia akan melaporkan keberhasilannya di rapat nanti malam."
Saat Miron masih belum menjawabnya, Annalise melanjutkan, "Tidakkah kau merindukan kenormalan yang telah diicip leluhur kita ratusan tahun sebelum kejadian maha bencana? Pikirkan ini; dunia sebelum maha bencana terkendali dengan sangat baik dan stabil. Teknologi melaju pesat karena para manusia yang tidak memiliki kesaktian berlomba-lomba membuat inovasi untuk meringankan pekerjaan. Tidak seperti negeri kita yang sekarang. Angka kejahatan setiap tahun semakin meningkat―pembunuhan, penipuan, penghasutan, dan kekerasan―semua orang hidup dengan semena-mena karena mereka menggantungkan hidup pada kesaktian mereka. Kita tidak bisa terus-terusan berada di fase ini, Miron. Kita perlu menidurkan kesaktian ini demi mencapai kemakmuran yang lebih pesat."
"Dunia kita sudah canggih."
"Tidak secanggih dulu, sebelum kejadian maha bencana membumihanguskan seluruh wilayah dan mendorong budaya kita kembali ke titik kebodohan. Bisa dibilang, sekarang negeri kita merangkak sangat lambat menuju masa pencerahan yang sudah pernah kita icip ratusan tahun sebelum ini."
"Tapi sekarang kita sudah memiliki hukum untuk membatasi penggunaan kesaktian," Miron tak mau kalah. Dia merasa sedikit tertantang ketika melihat sorot mata Annalise yang berapi-api ketika menjelaskan ambisinya.
"Dan dari mana kalian yakin mereka sudah menggunakan kesaktian secara wajar? Tidak ada hukum yang akan mengejar dan mengintaimu di rumah atau gang-gang terpencil yang sepi. Sampai detik ini, laporan dari masyarakat yang menyaksikan kejahatan sembunyi-sembunyi yang dilakukan para kriminal masih membludak. Pihak Berwajib kita kesulitan menanganinya, terutama karena mayoritas dari mereka bukanlah orang yang memiliki kesaktian. Kau pikir, dengan memberi mereka senjata sudah bisa menaklukkan para kriminal sakti yang berbuat ulah? Para sraden kita dihina dan dicemooh oleh masyarakat karena mereka tidak memiliki kesaktian. Ini konsepsi yang seharusnya tidak terjadi di negeri kita."
"Ini pembicaraan yang rumit," kata Miron, yang merasa malu karena tersudutkan dengan jawaban Annalise. Seolah-olah dia menjadi tempat sampah yang dilempari makian dan protes akibat kasus kejahatan di penjuru negeri yang tak terkendali. Ini sungguh memalukan. Dirinya adalah seorang putra Raja yang akan menggantikan kepala pemerintahan di negeri ini. Bagaimana bisa Miron membiarkan dirinya disindir secara tajam oleh gadis yang kedudukannya di Dewan bukanlah siapa-siapa? Kalau dia sama kejinya dengan ayahnya, dia mungkin sudah mengancam Annalise untuk menutup mulut. Kalau saja.
Miron memejamkan mata sambil mengurut kulit di tengah alisnya dengan jari telunjuknya. Pemuda itu mengambil napas untuk menenangkan emosinya. Usul yang diberikan oleh kelompok Aved sungguh di luar dugaan. Kesaktian para Kaum Putih adalah simbol keberdayaan dan kemakmuran mereka. Mana mungkin hilangnya kesaktian membuat dunianya menjadi semakin maju? Apa yang diocehkan Annalise barangkali hanyalah dongeng masa lampau yang dikisahkan para leluhur hanya untuk menakut-nakuti generasi di depannya.
Saat Miron tengah berpikir, dia membuka matanya dan tak sengaja melihat Annalise yang menampakkan ekspresi menanti-nanti jawaban―tampak setengah berharap dan setengah kecewa. Miron tahu Annalise sangat yakin bahwa dirinya akan mendukung semua impiannya, terutama karena mereka berdua sudah bersahabat lama dan ... andai Annalise tahu, Miron pun pernah menaruh perasaan padanya. Akan tetapi, gadis itu perlu memahami bahwa tidak semua usul bisa dianggap sebagai ide yang cemerlang. Dan Miron, meskipun sampai detik ini masih memikirkan Annalise, bukanlah pemuda penuh cinta yang lemah dengan wanita. Dia tidak gampang menerima perubahan, terutama bila itu menyangkut permasalahan negerinya sendiri.
Oh, Annalise. Annalise-ku yang manis. Miron membenak prihatin. Setelah hampir tiga tahun hilang kontak, kini Annalise telah berubah menjadi gadis mengerikan yang penuh pemikiran-pemikiran kontradiktif. Semua pembicaraannya selalu mengarah pada hal-hal yang secara praktis menyinggung tatanan politik negerinya―pelenyapan kesaktian, penyetaraan kaum, pembebasan kampung budak Kevra, dan hal-hal yang kedengarannya jauh lebih mengerikan daripada masalah yang dialami negerinya saat ini. Bagaimana Annalise bisa berubah sedemikian buruk?
Itu semua bukan hal yang disukai Miron. Pemuda itu selalu ketakutan saat membayangkan ke mana perginya Annalise yang naif dan lemah lembut seperti dulu.
"Itu adalah rencana yang indah," kata Annalise, bangkit dari rasa sedihnya. Gadis itu mengulas senyum lebar yang entah bagaimana membuat hati Miron kembali berdesir, seolah ingatan masa lalunya memanggil-manggilnya lagi. "Maksudku, semua orang ... setara. Tidak ada lagi perbudakan, pembunuhan, dan penyelewengan terhadap kesaktian. Kurasa itu... bagus. Iya, kan?"
Alih-alih menentang Annalise dan membuat gadis itu lebih terpukul dengan penolakannya, Miron berkata lembut dan penuh senyum, "Kita serahkan ini pada keputusan Raja pada rapat nanti malam, bagaimana?"
Senyum Annalise hampir luntur, tetapi gadis itu mempertahankannya, "Aku berharap kau bisa meyakinkan ayahmu, Miron. Sebab kau adalah calon penguasa negeri ini."
Tidak mungkin meyakinkan ayahku dengan ide gila ini. "Ya, pasti akan kucoba," Miron membalas cepat, lalu dia mengulas senyum lebar untuk membuat perasaan Annalise lebih tenang. Biar bagaimanapun, Annalise adalah sahabatnya. Dan sikap terbaik yang bisa diberikannya sekarang adalah berpura-pura netral. "Ayahmu adalah Shraden kepercayaan Raja, Annalise. Dia pasti bisa mengambil hati penguasa negeri ini."
"Aku harap begitu, dan nantinya aku akan... oh, halo, Kegan!" Annalise mendadak saja nyengir sumringah saat dia melihat sosok bugar seorang pemuda yang berdiri tak jauh dari meja mereka berdua. Miron ikut berpaling tepat ketika Kegan menoleh kepadanya.
"Oh, sepertinya di sini ada pembicaraan serius. Tahu begitu aku tidak kemari," kata Kegan sambil mengulas senyum lebarnya. Kegan yang muda tampak jauh lebih bugar dan tampan, terutama tanpa bekas-bekas luka yang mengisi wajahnya. Gigi-giginya yang berderet rapi tampak putih cemerlang, kontras dengan warna kulitnya yang terbakar kecokelatan karena terlalu lama berada di bawah lapangan terik. Kegan merupakan putra seorang Vartin yang tinggal di istana kecil, yang dipersiapkan menjadi seorang Haram untuk dikirim ke titik-titik Pengawasan dan Penjelajahan. Kadang kala dia mengunjungi Istana utama untuk menemui ayahnya demi urusan-urusan yang tak diketahui Miron. Keberadaannya yang cenderung mondar-mandir di sekitar perpustakaan membuat Miron sedikit canggung, pasalnya mereka berdua jarang sekali berbicara kecuali untuk bertegur sapa.
"Pangeran, maafkan kelancanganku," kata Kegan kepada Miron. Dia menunduk sebentar dan hendak berbalik pergi, tetapi Miron buru-buru membalasnya.
"Oh, tidak apa-apa, Kegan. Aku sudah selesai dengan Annalise." Miron tersenyum kecil demi kesopanan. Dia tidak masalah bila Kegan datang, malah sepertinya dia bersyukur karena pembicaraan menyulitkan dengan Annalise telah terhenti. Sebab sejak tadi hatinya gundah karena Annalise terus-terusan mengoceh soal ambisinya yang berbahaya. "Annalise sepertinya senang bertemu denganmu. Kalian mengobrolah di sini. Aku pergi dulu." Lalu dengan sekali entakan, Miron bangkit dari kursinya dan pamit undur diri dari mereka berdua. Kegan melayangkan penghormatan untuk mengantar kepergian Miron.
Lalu di meja perpustakaan itu, hanya tersisa Kegan dan Annalise. Keduanya saling menatap tanpa bicara. Nyaris tidak ada suara kecuali tapak langkah kaki Miron yang berangsur menghilang ditelan kekosongan ruangan. Saat terdengar bunyi terakhir pintu perpustakaan yang ditutup, ekspresi senyum Annalise pelan-pelan luntur.
Kegan yang melihatnya langsung mengerutkan kening.
"Bagaimana hasilnya?" tanya Kegan penuh tuntutan.
"Aku tidak tahu apakah dia akan membantu kita," kata Annalise mendadak. Gadis itu mendesau lelah dan mempersilakan pemuda itu agar duduk di hadapannya. "Dia ternyata lebih keras kepala dari dugaanku."
"Kau tidak bicara apa-apa soal aku, kan?" Kegan bertanya agak mendesak. "Rupanya aku muncul di waktu yang salah."
"Tidak, aku tidak berbicara tentangmu. Miron masih belum tahu kalau Aved...." Annalise berpaling ke sisi kiri dan kanannya, memastikan keadaan masih terjaga dengan baik, "... kalau Aved diam-diam sudah merekrut tokoh-tokoh penting dari Dewan, termasuk kau dan ayahmu. Pada kejadian penting seperti ini, kita memang seharusnya bersiap-siap kalau nantinya sesuatu terjadi pada ayahku yang mengaku sebagai ketua Aved."
"Menurutmu apa yang mungkin terjadi?" tanya Kegan, yang kini merendahkan suaranya sampai terdengar berbisik. "Kalau sampai proposal Aved ditolak, apakah Raja akan menganggap ayahmu sebagai pengkhianat negeri?"
Untuk sejenak, ekspresi Annalise mengeras. Gadis itu diam-diam mengepalkan tangan di bawah meja.
"Mungkin, iya, tapi ayahku sudah mempersiapkan diri untuk itu. Dia tidak takut mati, kau pasti tahu itu," katanya berusaha tenang. "Lagi pula, kalaupun ayahku mengalami insiden buruk, Aved masih tetap akan berdiri bersama aku dan yang lainnya. Ketua sesungguhnya juga masih aman bersembunyi."
"Annalise," kata Kegan dengan khawatir. "Kalau ayahmu dihukum, kemungkinan besar para putra dan putrinya juga menerima hukuman yang sama."
"Tidak akan," kata Annalise, kemudian dia tersenyum lebar sampai kedua matanya ikut melengkung ceria. "Miron tidak akan setuju bila aku ikut dilibatkan dalam hukuman itu."
"Kau ini percaya diri sekali, ya?"
Pipi Annalise tiba-tiba merona merah jambu.
Kegan yang melihat hal itu mendadak terdiam. Cengirannya sebelum ini perlahan luntur, tergantikan dengan segaris tipis yang meneriakkan raut misterius tanpa ekspresi. Annalise tidak pernah tahu bahwa kedua pipinya yang memerah membuat jantung Kegan seperti disengat tawon dan roboh ke dasar perut.
Suara Kegan terdengar hati-hati dan pelan, "Kau ... menyukainya?"
"Siapa?"
"Gangika Miron, si penguasa cilik itu. Kau menyukainya?"
Annalise adalah tipe gadis yang ekspresif. Dia tak pernah menutup-nutupi perasaannya atau mencoba memasang raut ambigu yang membuat semua orang mempertanyakan kebenarannya. Kali ini, Kegan kira Annalise akan langung meledeknya atau menyangkal dugaan itu. Namun, gadis itu justru nyengir sambil menatapnya lekat-lekat. Diam-diam Annalise mengusap cincin batu giok yang dipakainya di jari telunjuk―sekadar kebiasaannya setiap kali ada rasa kikuk yang meradang.
Lalu dia membalas lirih, "Memang kau percaya di dunia ini ada seorang laki-laki dan perempuan yang bersahabat lama tanpa menyimpan perasaan cinta?"[]
-oOo-
.
.
.
.
Semoga nggak bingung dengan namanya ya. Gangika Miron di sini adalah sang Raja, orang yang dikira sebagai bapaknya River di chapter sebelumnya. Ini adalah masa lalu Gangika sebelum River lahir.
Annalise... itu adalah teman masa kecil Gangika.
Dan Kegan, ya tahu sendirilah siapa awkwkwkwkwk
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top