41. Kebenaran Kegan
ENTAH apa yang tersirat pada mata biru es Raja yang menatapku malam itu, tapi sesuatu dalam dadaku mereguk, bergetar oleh semacam perasaan sedih yang lebih besar, seolah-olah aku baru saja menyaksikan apa yang seharusnya tak kulihat. Apakah yang berkilat di sana adalah air mata?
"Kau mirip seseorang yang aku kenal di masa lalu."
Satu kalimat membuat perasaanku goyah. Kemarahan. Kepedihan. Rasa tidak percaya bahwa orang yang ada di hadapanku ini adalah penjahat mengerikan yang menyiksa keluargaku beserta hampir empat ribu masyarakat Liar demi kepuasan dirinya. Rasanya aku hampir melepaskan sumbat di tenggorokanku agar bisa meludahkan protes untuknya. Mengapa dia meninggalkanku saat kecil? Mengapa dia mengurung ibuku di penjara? Mengapa dia ingin membunuhku? Mengapa dia mempertahankan kebijakan perbudakan itu?
"Apa maksud Yang Mulia?" aku berusaha menahan suaraku agar tak pecah karena kebanjiran emosi. "Siapa orang yang mirip saya?"
"Dia orang yang sangat kusayang," kata Raja, lalu menarik senyum lemah di bibirnya. "Sebenarnya, kalian berdua sungguh mirip."
"Apakah orang itu masih di sini? Maksudnya, orang yang mirip saya."
Diamnya Raja tiba-tiba membuatku sadar sesuatu. Aku menjadi sedikit malu karena merasa tidak tahu diri, "Mohon maaf atas kelancangan saya."
Namun Raja malah berceletuk, "Dia mungkin ada di tempat yang jauh. Yang jelas sampai saat ini aku sangat merindukannya." Kemudian tangan kanan Raja merambat pada sarung pistol di balik jubahnya. Jemari telunjuknya mengenakan sebuah cincin dengan batu berwarna biru kobalt yang terang. Mataku menangkap sebuah simbol yang―entah apakah ini tipuan cahaya dari lampu balkon atau sesuatu yang lain―mirip ukiran sayap Aved.
Aku masih mencermati batu cincin itu ketika Raja tersentak kecil karena menatap sesuatu di belakangku. Senyumnya hilang, digantikan dengan tarikan bibir simetris yang datar dan kaku.
Praktis aku berputar dan melihat Mavena, yang mengenakan gaun serba hitam, muncul dari ambang pintu balkon yang sama. Ekspresi tenangnya meruntuhkan suasana tegang beberapa detik lalu.
Wanita itu membungkuk di hadapan Raja. "Yang Mulia, saya tidak tahu Anda ada di sini." Mavena kemudian memandangku, "Tadinya saya ingin berbicara sebentar dengan Tuan Jwarte, tapi ... untuk saat ini saya akan undur diri saja."
Raja berdeham. "Tidak apa-apa. Aku sudah mau kembali." Namun saat Raja hendak melangkah pergi, dia menyempatkan diri bertanya, "Rupanya kau mengenal pemuda ini?"
"Ya, Dein dekat dengan keluarga saya, terutama putri saya."
Raja melirikku sejenak, namun tidak berkata apa-apa lagi. Dia hanya melangkah keluar dari balkon dan kembali ke ruang Singgasana.
Sementara itu, Mavena menghampiriku, berdiri di tempat Raja tadinya berada. Sambil menanti punggung Raja menghilang dari pandangan kami, dia menangkupkan satu tangannya pada birai pagar balkon dan mengetuk-ngetukkan telunjuknya di sana.
"Apa Raja akan mencari tahu soal Dein Jwarte yang sebenarnya?" tanyaku setelah kami terdiam beberapa lama.
"Mungkin saja," kata Mavena. "Tapi untuk saat ini tidak usah khawatir. Kita hanya punya waktu kurang dari sepuluh jam sampai semuanya terlaksana. Tidak akan ada cukup waktu untuk menyelidiki."
"Mengapa yakin sekali?"
"Karena sekarang hanya keyakinanlah yang kita punya," Mavena berkata dengan nada pelan dan berat. Aku menatap mata emasnya yang berkilat di bawah saduran cahaya lampu yang berkedip hikmat. Ketegasan dan kepongahan yang biasanya menyertai di sana sekarang tergerus dengan kesenduan yang tak pernah kulihat sebelumnya.
"Kau sudah mengambil langkah duluan rupanya," dia lanjut berkata. "Setahuku Kegan tak memerintahkanmu untuk berbicara dengannya."
"Aku di sini terus dari tadi, kemudian Raja datang dan mengajakku mengobrol."
Mavena terdiam lama seolah menungguku bicara yang sebenarnya.
"Aku tidak mengada-ada," tambahku. "Raja memang datang ke sini. Dia bilang aku harus lebih banyak menikmati pestanya. Sepertinya dia pikir aku melarikan diri karena tidak suka dengan acara ini."
"Dia biasanya tidak seramah itu dengan orang lain."
"Mungkin kita hanya tidak pernah melihat sisi yang itu saja."
Mavena terlihat merapatkan rahangnya seraya menatapku dengan aneh. Aku menghela napas dan mengubah topik, "Apa ada sesuatu yang mau Anda bicarakan?"
"Aku hanya ingin memastikan," Mavena berbisik, "Apa kau sudah memahami rencana besok pagi?"
Besok pagi dimulai dengan rencana menghadiri upacara penobatan. Saat penobatan selesai, semua tamu undangan akan berkumpul di balairung Rawata untuk disuguhi pertunjukan hiburan. Penyerangan awal kami akan bermula di dapur istana kecil, tempat para budak bekerja. Para prajurit Aved yang terlatih akan merebut senjata para sraden pengawas dan memancing semua pasukan yang berjaga di kawasan pertunjukan. Pada saat itu, selagi komplotan kami menyerang dari beberapa titik Kerajaan, Mavena dan Kegan akan mengacaukan situasi. Aku bersama kawan-kawan akan melawan para Vartin dan menangkap Raja beserta keluarganya. Kedengarannya tidak mudah, tetapi untuk saat ini aku sama sekali tak menyimpan sebiji pun rasa takut.
"Ya, tentu. Aku bukan bocah yang perlu diingatkan kembali," kataku pada Mavena.
Mavena tampak tidak tersinggung selepas aku mengatakan hal itu. Dia hanya mendengkuskan napas dan kembali merapatkan rahang, "Aku hanya takut kau akan mengacaukan situasi. Semenjak datang ke Rawata, kau kelihatan terlalu bersenang-senang dengan gerombolan berandalan bajak laut itu."
Rupanya sikapku selama ini sudah kelewatan. Aku merasa perlu minta maaf pada Mavena, tapi mulutku malah mengatakan hal lain, "Aku tidak akan lari dari tanggung jawabku."
Kemudian percakapan terhenti sejenak. Kami sama-sama menatap pekarangan di bawah yang jauh lebih sunyi dibandingkan apa yang terjadi di atas sini. Mavena kemudian berceletuk, "Dein, kalau sesuatu terjadi padaku besok, aku ingin kau menjaga Ursa untukku."
Aku terpaku sejenak untuk mencerna kata-katanya, dan hampir tak memiliki jawaban menyenangkan untuk menghibur hatinya. Permohonan Mavena tidak berat, tapi ironisnya terdengar menyedihkan dan hampa. Setelah sekian bulan kami hidup bersama, rasanya baru pertama kali ini aku menyaksikan sosok Mavena sebagai seorang ibu yang menyayangi putrinya.
"Dia kehilangan sosok ayah sejak usianya masih sepuluh tahun," kata Mavena, tanpa repot-repot menanti jawabanku. Suaranya tenang dan dalam seperti aliran sungai yang dingin. "Dan aku tak tega melihatnya tinggal di sini bersama kenangan dari ayahnya yang sudah mati. Jadi saat ulang tahunnya yang kesebelas, aku memboyong Ursa dan Alya kembali ke kampung halamanku di Bruma. Harapanku saat itu adalah ... aku ingin mereka tumbuh sebagai gadis normal yang nantinya menikah dengan seorang laki-laki sederhana, bukannya ikut perang dan membahayakan nyawa seperti ini. Tapi...."
"Tapi semuanya harus terjadi semenjak aku datang."
Mavena menatapku lamat-lamat. "Sebetulnya, itu bukan kesalahanmu."
Angin malam menyapu kulitku, membuatku sedikit menggigil. Aku menangkupkan tangan di depan dada dan berusaha keras agar terdengar tak menyedihkan. "Sulit untuk mengatakan bahwa ini bukan kesalahanku. Paling tidak ... kemunculanku di rumah Ursa saat itu adalah pemicunya."
"Kalaupun kau tidak muncul, suatu saat Ursa juga akan menyusulku kemari."
Kumiringkan kepala dan menatap Mavena dengan pandangan tidak percaya.
"Dein, putriku memiliki darah pejuang seperti ayahnya," Mavena menyungging senyum bersekongkol padaku, "dan juga darah pemberontak seperti ibunya."
Ekspresinya membuatku nyaris tertawa, "Aku semestinya tahu hal itu."
"Ya, jadi itu bukan salahmu."
Wanita itu lantas mendongak menatap puncak pepohonan yang berayun karena tiupan angin, kemudian dia berpaling lagi padaku sambil menerakan permohonannya, "Jadi, kau belum menjawab permintaanku tadi. Aku ingin kau menjaga Ursa bila sesuatu terjadi padaku."
"Aku sudah jelas akan menjaganya. Dia adalah wanita yang kucintai."
"Sebaiknya kau jadikan itu sebagai sumpahmu."
"Aku bersumpah dengan seluruh hidupku."
Mavena menatapku. Matanya keemasan, seperti mahkota Raja, seperti perhiasan-perhiasan yang dikenakan oleh jemari lembut para wanita di lantai dansa, bahkan dalam cahaya redup ini. "Kau tidak terlalu gegabah mengatakannya, kan?"
"Aku sungguh-sungguh. Dan aku mengatakannya bukan karena aku takut pada Anda."
Ujung bibir Mavena tertarik ke atas sedikit, dan dia kelihatan lebih rileks. Wanita itu menjauh dari pinggir balkon sambil tersenyum lebih lebar. Jenis senyum yang tak pernah kulihat sebelumnya dari orang yang terkenal pelit berbicara dan sinis. "Baiklah," katanya, mengangguk kecil. Dia pergi ke balkon sembari melontarkan kalimat yang mengakhiri obrolan;
"Setelah segalanya usai, kita akan membicarakan rencana pernikahanmu dengan putriku."
-oOo-
Pesta selesai tak lama setelah Mavena pergi dari balkon malam itu. Semua tamu berduyun kembali ke ruangan masing-masing sambil bergandengan tangan dengan pasangannya. Aku mencari Ursa dan menemukannya masih berusaha mengobrol dan menggali informasi dari orang-orang tak dikenal, lalu kuajak dia kembali walaupun wajahnya meneriakkan keengganan.
"Kau mendapat sesuatu?" tanyanya saat kami menyusuri koridor lenggang menuju ruang istirahat. Aku memperhatikan cara jalannya yang tergesa dan matanya yang sedikit jelalatan, seolah dia ingin segera sampai ke ruangan dan menyusun konspirasi dari seluruh hal yang telah digalinya tadi.
"Hanya sedikit dari Rena," kataku apa adanya.
Ursa mendesau. "Seharusnya aku mengajak bicara orang lebih banyak."
"Tidak, berhenti dulu."
Aku menahan lengan Ursa, menariknya agar berhenti melangkah sejenak. Dia melihatku dengan kebingungan, tetapi aku mengabaikan pandangannya dan beralih menyelipkan rambutnya yang berantakan ke balik telinga. "Apa kau tidak sadar bicara dengan orang lain dengan dandanan seperti ini?"
"Pasti karena dansa tadi."
Kami saling menatap seperti itu sejenak, satu tangan saling tertaut di sisi tubuh. Dia kelihatan lelah namun masih bersemangat, dan hatiku merasa prihatin sekaligus tersanjung atas semua upayanya.
Kutahan diri untuk membocorkan apa saja yang kudengar selama pesta sampai kami tiba di ruangan sendiri. Ursa membuka pintu, lalu mendorongku masuk. Semua orang rupanya sudah kembali ke sini, termasuk Philene, Dumbo dan Hathen. Mereka tidak pergi ke kamar seperti yang seharusnya mereka lakukan untuk tidur, melainkan duduk merosot di sofa sambil bertelanjang dada melepas lelah. Ketiganya mendongak saat melihat kami di ambang pintu.
Hathen menyahut agak sengit, "Pesta yang menyenangkan, ya, buat kalian berdua?"
Ursa tak menghiraukannya. Dia menarik tanganku dan mengajakku ke kamar tidurnya. Aku mendengar siulan-siulan ledekan dari belakang, lalu suara Hathen menyahut lagi tanpa tahu malu, "Segala hal bisa terjadi dalam waktu semalam," yang diikuti dengan hujanan tawa dari yang lain.
Ursa menutup pintunya, lalu langsung berbalik padaku sambil menatap dongkol, "Mau tahu apa pendapatku? Mereka sama sekali belum siap untuk bertarung. Biar kutebak, Hathen menjadi yang pertama mati konyol besok pagi."
"Mereka melakukannya untuk menutupi gundah di hati."
"Tidak. Laki-laki berengsek seperti mereka tak pernah serius. Seharusnya sejak awal aku tak usah repot-repot mengajak ketiganya kemari."
Tanpa berusaha mendebatnya, aku mengikuti Ursa ke cermin rias dan membantunya melepaskan perhiasan yang menempel di kepalanya. Gadis itu tak protes apa-apa dan membiarkan jemariku terselip di rambut peraknya yang berkilauan. Aku sesekali menatap wajahnya dari refleksi cermin, yang masih tampak menawan walaupun ada gurat lelah pada caranya merapatkan bibir. Satu per satu, kutaruh perhiasan mutiara pada telapak tangannya yang terbuka. Dia menungguku membuka semua simpul dan kepang, kemudian berkata dengan nada kecewa, "Terus terang saja, aku tidak mendapatkan hasil yang baik walaupun sudah mengajak mengobrol banyak orang."
"Tidak apa-apa, Ursa."
"Mungkin ini semua tidak ada artinya. Kita tidak bisa memahami maksud Lukas."
"Kalau begitu kita lupakan saja apa kata Lukas."
Dari refleksi cermin, Ursa mengerutkan alis. Dia langsung berputar dari hadapan cermin dan mendongak menatapku. "Kau mau menyerah begitu saja?"
"Bukan begitu. Fokus kita justru akan terpecah bila menyelidiki banyak hal sekaligus. Kurasa kita hanya perlu memikirkan bagaimana perang terjadi esok hari. Aku yakin kebenaran pasti terungkap."
"Mengapa kau begitu yakin?"
Aku menelan ludah sebelum mengatakannya, "Karena itulah yang selalu dikatakan ibuku di dalam mimpi."
Ursa tampak berpikir-pikir, dan aku melanjutkan mengenangnya, "Dulu aku bermimpi hal yang sama terus menerus. Di dalam mimpi itu aku melihat ibuku memperlihatkan seekor burung merpati yang sayapnya patah. Dia menatapku sambil mengatakan bahwa kebenaran akan terungkap."
"Kau sungguh-sungguh bermimpi soal itu?"
Aku menatap mata hijaunya yang berkilat-kilat. "Ya."
"Apa itu artinya ... kau sudah tahu Aved sejak lama?"
Perkataan Ursa membuatku bingung. Namun saat aku melonggarkan pikiran untuk meresapi maksudnya, sesuatu menghantam kesadaranku. "Burung yang sayapnya patah," mulutku menggumam dengan sendirinya.
"Ibumu tahu Aved."
Kemudian aku menunduk, tak sengaja melihat lengan Ursa yang terjulur di sisi tubuhnya. Pada jemarinya yang lentik, terpaut cincin perak kecil yang mengingatkanku pada sesuatu.
"Ursa," kataku, pelan-pelan merasakan darah dalam nadiku berdesir ketika mengatakannya. "Apakah menurutmu Raja juga tahu mengenai Aved?"
Wajahnya mengernyit. "Menurut Kegan, nama kelompok kita masih dirahasiakan dari orang-orang Dewan. Kita akan mengekspos diri besok pagi."
"Aku melihat cincin dengan lambang yang mirip seperti Aved ada di jari tangan Raja."
"Apa?"
"Cincin. Dengan lambang sayap burung. Aku tidak tahu mengapa Raja mengenakannya, tetapi tampaknya terlalu ganjil bila dia tak tahu apa-apa tentang Aved."
Ursa tengadahkan dagunya padaku. Sorot mata lelahnya pelan-pelan berbinar terkejut.
"Tidak mungkin," kata Ursa. "Raja tidak mungkin membelot dari kekuasaannya sendiri."
Aku mengamati Ursa dengan ekspresi kecewa yang besar, lalu berkata pelan;
"Kecuali bila sejak awal Kegan membohongi kita semua."[]
-oOo-
.
.
.
.
HAYOOO APAAN YANG LAGI DISEMBUNYIKAN KEGAN??? 😭😭
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top