40. Mirip Seseorang

SELAGI para tamu masih berdansa, aku mengajak Ursa untuk merapat ke meja-meja makanan dan mencicipi jamuannya. Gadis itu tampak lebih rileks dibandingkan tadi, tetapi dia masih tak banyak berkata-kata seperti saat pertama kami datang kemari. Aku menawarinya minuman dalam gelas-gelas anggur yang cantik, Ursa menerimanya walau terkesan enggan.

Kucoba mengembalikan semangat Ursa dengan mengulik kembali misi kami berdua. "Ayo kita mulai menggali informasi. Ada berapa orang yang kau kenal di ruangan ini?"

"Tidak banyak, tapi ada satu yang kukenal," katanya sembari wajahnya berpaling pada sepasang muda-mudi yang berdiri tak jauh dari kami. Mereka sedang mengobrol sambil memegang gelas anggur juga. "Yang laki-laki namanya Wilan. Saat masih kecil, dia pernah berkunjung ke rumah ibuku dan mengajakku bermain. Kita bisa menanyainya."

"Oh, teman masa kecilmu?" Aku menaikkan alis, sontak merasa terganggu atas fakta itu. Ursa mengernyit, dan aku melanjutkan, "Tahu tidak? Kau tidak pernah sekalipun menceritakan dengan siapa kau dekat waktu masih kecil."

"Memangnya itu perlu?"

"Aku menceritakan segalanya padamu."

"Tapi masa kecilku tidak penting. Aku tidak pernah lagi bertemu atau berbicara dengan Wilan."

"Rasanya aneh karena hanya aku saja yang tidak begitu mengenalmu."

"Dein, kalau kau masih seperti ini―"

"Aku tahu, aku minta maaf," buru-buru kuberi cengiran samar untuk menandakan bahwa aku baik-baik saja.

Namun sikapku pasti membuatnya dongkol, sebab dia langsung bertanya, "Jadi kita mau menanyainya atau tidak?"

"Bagaimana kalau kita berdua mengobrol masing-masing? Aku dengan Wilan, kau dengan yang gadis."

"Di saat-saat seperti ini, semestinya kita bertukar pasangan."

Aku mengerutkan kening atas jawaban itu. "Apa maksudnya?"

"Kita bertukar pasangan. Kau mengajak yang gadis untuk berdansa, dan Wilan akan mengajakku juga."

"Kau pikir aku mau membiarkanmu berdansa dengan Wilan?"

Ursa memutar bola matanya, lalu menarik lenganku agar dia bisa berdesis marah, "Dein, pikiranmu sungguh kekanakan. Ayolah, kita tidak sedang bersenang-senang di sini. Aku kenal Wilan lebih dari kau. Pria itu sombong setengah mati dan dia tidak akan suka melihat dirinya mengobrol bersama orang sepertimu, percayalah."

Sebetulnya aku ingin bertanya apakah aku masih terlihat seperti orang rendahan sampai-sampai Wilan tidak mau bicara denganku, tetapi aku memilih menuruti saja apa kata Ursa.

Saat kami menghampiri Wilan dan pasangannya, aku merasakan sesuatu berdesir di perutku seperti secangkir kecemasan yang hendak tumpah. Bila dipikir-pikir, ini pertama kalinya aku membuka obrolan dengan orang baru sehingga rasanya pendekatan ini terasa tidak nyaman.

Wilan, parasnya, bisa kubilang sungguh rupawan. Dia memiliki mata emas dan rambut perak yang pekat dan bergelombang. Garis rahangnya setegas dan segarang Kegan, tetapi caranya tersenyum melunakkan sisi maskulinnya―dia lebih mirip penggoda yang sombong dan narsis. Omong-omong jubah putihnya terjuntai dalam lipatan-lipatan mewah di seputar tubuhnya, jelas penampilan dan wajah yang dia miliki adalah gaya tarik utama yang dijunjung.

Entah bagaimana, aku memikirkan kembali gagasanku untuk bertukar pasangan.

Sementara itu, pasangan Wilan yang berdiri di sisinya adalah seorang gadis cantik bermata biru yang mengenakan gaun senada dengan Wilan. Tampaknya mereka sudah merencankan untuk menjadi pasangan perta dansa jauh-jauh hari sebelumnya.

"Wilan, senang bertemu denganmu," Ursa berusaha menyapa terlebih dahulu. Untuk sejenak, pemuda itu terpaku menatap Ursa, seperti seekor kambing yang diserang sihir akibat melihat parasnya. Beberapa saat kemudian dia berkedip sadar.

"Oh. Kau ini ...."

"Ursa. Putri Mavena."

"Ursa! Teman kecilku!" Suara Wilan terdengar lebih ceria. Dia praktis mengabaikan pasangannya sendiri dan beralih menghadap Ursa sepenuhnya. "Aku tak menyangka kau akan datang kemari juga. Sudah sepuluh tahun!"

"Ya, setelah tahu bahwa Raja mengadakan acara besar ini, aku sangat bergairah untuk kembali ke Rawata."

"Kau sungguh ... berbeda dibandingkan saat masih kecil. Ke mana bocah pemarah yang dulu kukenal?"

"Kita semua berubah seiring waktu, Wilan." Ursa tiba-tiba menarikku, "Nah, perkenalkan, perkenalkan, ini Dein Jwarte."

"Oh, senang bertemu denganmu, Tuan Dein," sapa Wilan sembari menjabat tanganku. Tatapan dari iris emasnya sekonyong-konyong mengirimkan listrik statis yang merambat di dasar perutku sehingga membuatku merinding. Aku kenal sensasi menggelitik ini, karena dulu Mavena sering sengaja melumpuhkanku setiap kali aku berlatih mengendalikan kekuatan. Barangkali, ini adalah cara Wilan untuk berkenalan dengan orang lain. Caranya tersenyum menunjukkan kesan tidak mau direndahkan.

"Aku Wilan Breises, dan ini pasanganku, Rena Kilisia," dia berkata dengan nada tenang.

Aku menjabat tangan Rena. Gadis itu tersenyum lebar sambil menatapku.

"Tuan Wilan, kalau Anda tidak keberatan, bolehkah aku mengajak Nona Rena berdansa?" Permintaanku disambut tersipu oleh Rena. Sementara Wilan tampaknya tidak begitu peduli dengan pasangannya sendiri. Sejak tadi pandangannya hanya terpaku pada Ursa.

"Ya, tentu saja. Silakan nikmati waktu kalian," katanya sambil nyengir lebar, dan tanpa menoleh pada kami, dia langsung menjauh dari Rena, lalu mengajak Ursa ke lantai dansa.

Berusaha tak memikirkan kehendak untuk membatalkan rencana ini, aku juga mengulurkan tangan kepada Rena, lalu kami berdua melangkah kembali ke lantai dansa. Gadis itu tersenyum terus sepanjang waktu dan kelihatan seperti menungguku mengajaknya bicara duluan. Saat kami berayun dan berputar untuk kedua kalinya, aku langsung melemparinya pertanyaan.

"Nona Rena, apakah Rawata mengundangmu langsung kemari?"

"Ya. Ayahku seorang Vartin." Dalam hati aku merasa sedikit tegang, tetapi Rena keburu memastikan hal lain, "Namamu Dein, kan? Apa kau Vartin juga? Aku tak pernah melihatmu di sekitar sini sebelumnya. Selama ini kau tinggal di mana?"

"Bukan. Aku hanya seorang shraden kerajaan yang baru pulang dari misi bertugas di wilayah barat."

Rena mengangkat alisnya, tampak terkesan. Dia menautkan lebih erat jemarinya pada genggamanku, dan kami berayun lebih santai di bawah gemerlap lampu lantai dansa. "Aku melihat bakat pejuang di matamu," pujinya.

"Terima kasih."

Lalu dia melanjutkan, "Kau datang bersama gadis bernama Ursa, ya?"

"Ya, aku sudah kenal Nona Ursa sejak tiba di Rawata. Keluarganya sangat baik padaku, jadi di acara kali ini pun aku datang bersama mereka."

"Ke mana ayah dan ibumu?"

"Mereka tinggal di Taran, wilayah pertambangan di pulau seberang laut."

Tanpa sengaja aku melihat Ursa sedang berdansa dengan Wilan tak jauh dariku. Mereka saling tersenyum dan kelihatan seperti mengobrolkan sesuatu yang menyenangkan. "Nona Rena," kataku, berusaha mengubah topik, "Apa selama ini Nona tinggal di Rawata?"

"Ya. Aku masih mengikuti kelas bangsawan di sini. Tahun depan aku akan dikirim ke sebuah akademi untuk belajar etiket tingkat lanjut."

"Kalau begitu ... Nona pasti mengetahui lebih dalam tentang apa yang terjadi di sini."

Sesaat kemudian, kening Rena mengerut sedikit, jadi aku buru-buru menambahkan dengan nada bersekongkol, "Begini, sebetulnya aku sangat berdedikasi untuk naik pangkat menjadi seorang Vartin. Dan seorang Vartin harus mengetahui seluk beluk Kerajaan demi memberikan pengabdian yang maksimal. Kupikir, kalau aku bisa mengetahui apa yang terjadi di istana ini ... informasi apa pun itu ... aku akan sangat senang dan terbantu. Ini berarti aku satu langkah lebih dekat untuk mengabdi."

Rena menyungging senyum terheran-heran. "Rupanya kau lebih ambisius dari yang kuduga."

"Menjadi pahlawan adalah cita-citaku."

"Sayangnya aku tidak tahu banyak. Ayahku sendiri menyimpan banyak rahasia tentang apa yang dia tangani di sini," kata Rena, sementara kami berayun dan berputar mengelilingi lantai dansa, menyebar di antara para tamu yang lain. Irama musik berubah sedikit lebih cepat, menjadi campuran antara ketukan ritmis dan petikan dawai yang riang, seperti cuitan burung.

"Tapi kau tentu lebih banyak mendengar," kataku.

"Apa yang mau kau ketahui?"

"Siapa orang-orang yang paling berpengaruh di sini?"

Rena menatapku lurus-lurus. Kemudian, iris mata birunya mengerling pada barisan petinggi di panggung singgasana. "Keluarga Raja punya kuasa paling besar terhadap orang-orang yang bekerja di sini. Tapi kalau kau mau tahu siapa yang paling dekat dengan Raja, jawabannya adalah para Vartin, termasuk ayahku. Dia yang berdiri di barisan tengah belakang, memakai jubah hijau botol."

Aku melihat sosok seorang Vartin pria berdiri dengan anggun di dekat meja jamuan, tidak jauh dari panggung singgasana. Wajahnya mirip Rena, tetapi versi lebih tua, kaku, dan tidak menyenangkan.

"Ayahmu dekat dengan Raja?"

"Karena ayahku masih terhitung saudara dekat dengan Raja. Masa kecil ayahku dihabiskan bersamanya. Jadi mereka sebetulnya lebih dekat dari yang terlihat selama ini."

Tak sengaja kupalingkan wajahku ke sisi kiri, dan kulihat Ursa sudah berdansa di dekatku. Dia juga sempat melihat ke arahku, tapi kemudian membuang wajah.

Aku mengangguk kecil, kembali pada Rena. "Sedekat apa mereka?"

"Raja sering meminta nasihat kepada ayahku. Belakangan ini mereka sepertinya juga lebih dekat dari biasanya." Rena mencondongkan tubuh di dekatku dan berbisik pelan, "Terkadang aku melihat mereka membicarakan sesuatu yang kelihatannya penting."

Tubuh kami berputar dan berayun seiring irama musik menjadi lebih cepat. Pada ketukan tertentu, orang-orang di sekitar kami saling memisahkan diri, kemudian berbalik saling memunggungi dan bertukar pasangan dansa dengan orang lain. Pada putaran ketukan pertama, aku kelewatan. Rena terkekeh kecil; "Lambat!" ledeknya. Tapi di putaran ketukan kedua, gadis itu langsung menyentak tanganku dan mendorongku pergi dari sisinya.

Aku berhasil mengikuti tempo musik dan bersusah payah belajar gerakan baru. Segera saja kuraih tangan seorang gadis lain―bermata hijau dan bergaun biru. Dia adalah pasangan Philene, yang sekarang memandangi wajahku dengan senyum antusias. "Halo!" sapanya dengan riang dan sedikit terengah.

"Hai, senang bertemu denganmu, mm ...."

"Harlin."

"Nona Harlin. Namaku Dein."

"Halo, Tuan Dein. Kau sedikit kaku rupanya," Dia melirik langkah kakiku yang kikuk dan patah-patah.

"Maaf, aku tidak biasa ... dansa ini membingungkan."

Harlin tersenyum, tetapi beruntungnya dia bisa memaklumi kesalahanku. Kami berdansa mengitari lantai selama beberapa langkah. Pergantian ketukan selanjutnya datang lebih cepat.

"Sampai jumpa, Tampan," kata Harlin, lalu dia memisahkan diri dariku seraya mengedipkan satu matanya. Aku diserang kebingungan―tak sempat membalas ucapannya―dan hanya bisa berputar-putar di tempat tanpa kejelasan. Selang beberapa saat kemudian, seseorang meraih tanganku dan menarikku untuk berdansa bersamanya.

"Ursa," aku melega melihat gadisku di sini.

"Kau kelihatan seperti bocah tolol," dia berdesis heran.

"Apa semua pesta dansa selalu seperti ini?"

"Siapa yang tadi bilang kalau dirinya pembelajar cepat?"

Aku membuang napas dan berusaha menguasai situasi. Kepalaku berpaling ke kanan, dan kulihat Rena sedang kembali berdansa dengan Wilan, tak jauh dari kami. "Aku sudah mendapatkan sedikit informasi. Tapi ini sangat kurang," bisikku pada Ursa, tetapi gadis itu malah mengerang kecil.

"Aku sulit menggali informasi dari Wilan. Pria itu hanya benar-benar peduli dengan dirinya sendiri."

"Sepertinya perbincangan kalian berdua seru."

"Dia hanya sibuk pamer tentang bisnisnya."

Ketukan pergantian pasangan kembali datang. Kami bersama-sama mengangguk lalu berputar membelakangi satu sama lain. Saat itu, kulihat Rena hendak berpegangan tangan dengan seorang pria asing, tetapi aku buru-buru melompat dan menyambar tangannya lebih dulu sehingga gadis itu terkejut dengan kehadiranku.

"Dein!" Dia tersenyum lebar. "Senang bertemu denganmu lagi!"

"Tentang pembicaraan antara Raja dan ayahmu," kataku cepat, sementara langkah kami beradu menyusul irama musik, "Aku juga ingin dekat dengan Raja. Apa kau tahu cara untuk mengambil hatinya?"

"Oh, hanya orang-orang tertentu yang tahu seluk beluk Raja sesungguhnya. Dia cukup tertutup selama beberapa belas tahun terakhir," kata Rena, memasang tampang sedih. "Tapi kata Ayah, Raja sebenarnya adalah orang baik. Hanya saja selama ini dia selalu disalahpahami oleh orang-orang."

Aku mengerutkan kening. "Kenapa begitu?"

"Kau sepertinya tidak percaya dengan kata-kataku."

"Aku? Oh," aku cepat-cepat tertawa sumringah. "Ya, terus terang aku terkejut. Kukira selama ini Raja sulit didekati."

"Kau hanya belum mengenalnya," kata Rena. Kemudian kata-katanya disela oleh suara alunan dawai alat musik yang mengalun terlalu panjang, lalu berhenti dan meninggalkan dengung halus yang jernih. Semua orang lantas berdiri terpaku, seperti teredam oleh sebuah kode untuk berhenti. Mereka saling menatap dengan pasangannya. Tangan kami secara utuh berpisah. Rena mendongak menatapku. Kali ini, aku bisa melihat titik-titik keringat membasahi lehernya yang bersemu kemerahan. Senyum terukir di wajahnya yang terbasuh lelah.

"Dansa yang bagus," pujinya. Selepas kalimat itu, kulihat semua pria menggiring pasangannya kembali ke tepi. Aku mengulurkan tangan di hadapan Rena dan melakukan hal yang sama.

Pesta dansa telah usai. Jamuan makan malam menjadi bintang tamu selanjutnya. Saat semua tamu undangan beserta keluarga Kerajaan mulai sibuk mencicipi makanan apa pun di atas meja, aku memutuskan mengasingkan diri ke salah satu balkon yang terbuka. Rupanya sejak tadi tempat ini sangat sepi. Hanya ada angin malam yang berembus menyapu dahan-dahan dari puncak pohon tertinggi. Aku melihat dedaunan gelap yang terimbas sinar keemasan dari lampu halaman, yang mengangguk-angguk seirama dersik gelombang angin. Sekonyong-konyong kubayangkan bagaimana rasanya menjadi sehelai daun yang tumbuh besar di tempat megah seperti ini.

Di belakangku, gemuruh musik masih mengalun, namun kali ini adalah irama lembut dan bening yang biasanya digunakan mengiringi para tamu untuk mengobrol ringan. Untuk sejenak, aku kepikiran untuk mencari Ursa, tetapi kata-kata terakhir yang diucapkan Rena tadi menyisakanku dengan sebuah tanda tanya besar, sampai-sampai memaku langkahku untuk pergi.

"Apakah pesta ini tak menarik buatmu?" Suara itu jernih dan dingin.

Kepalaku tersentak kaget. Aku sedang berdiri menumpukan setengah bobot tubuhku ke pagar balkon, kedua lengan terlipat di atas birai, sementara satu kakiku terjulur menapak ceruk lubang pada pagar. Sejak tadi pemikiranku diisi dengan pertanyaan dan skenario asumsi dari jawaban Rena. Benakku buyar tatkala aku menatap seseorang yang berdiri tak jauh dariku.

Raja Gangika menatap burung-burung yang tidur di atas kasau yang dibangun di atas menara-menara pohon. Dia tampak jangkung dan agak kurus. Pundaknya tegap dan bulat, sedangkan medali-medali menyesaki dadanya yang tipis. Dari jarak sedekat ini, kulitnya bersinar kekuningan. Aku terdiam dan tak mampu berkata-kata, hanya meliriknya dan menilainya.

"Iya, kan?" Raja berpaling padaku, lalu kulihat tatapan matanya yang tajam dan cemerlang seperti burung. Caranya merapatkan bibir mengingatkanku dengan cara Ibu membungkam semua kata-katanya saat sedang dilanda marah. "Apa kau berpikir pesta ini kurang meriah?"

Seharusnya aku memberinya salam yang benar. Barangkali membungkuk, berlutut, atau mengucapkan sepatah dua patah pujian penghormatan. Namun, responsku terlalu bodoh dan canggung karena aku dilanda keterkejutan. Anehnya pria tua ini sama sekali tak terganggu atas ketidaksopananku.

"Tidak, menurut saya ... pesta ini menyenangkan," aku berkata pelan. Tatapanku tak bisa lepas dari wajahnya. Aku mungkin sudah lupa caranya bernapas dengan benar, karena sekarang jantungku berdebar oleh entah perasaan apa yang menyelimutinya. Apakah ini kemarahan? Apakah ini letupan antusias? Apakah ini segenggam kesedihan yang memeras jantung?

"Kalau begitu, nikmatilah," katanya, lalu tersenyum samar. "Pesta yang seperti ini tidak akan ada setiap hari. Kita sendiri tak tahu akan hidup di dunia ini sampai kapan."

Nada bicaranya lebih terdengar seperti keluhan daripada nasihat. Aku mengawasi sikapnya―caranya berdiri tegak. Satu tangannya tersampir lurus di sisi tubuhnya―terlampau kaku seolah di masa mudanya dia terbiasa mengokang senapan atau menghunus pedang, sementara wajahnya didongakkan sedikit dengan bibir terkatup dan rahang mengeras. Dia mirip seperti Vartin veteran yang tampak kaku dan selalu waspada.

Sesuatu dari dasar perutku seperti mencakar keluar. Aku bisa melakukannya sekarang. Bila misi utama kami adalah membunuh Raja, bukankah sekarang saat yang tepat?

Ketika aku sedang berdiskusi dengan diri sendiri, Raja berkata pelan, "Siapa namamu?"

Aku menahan napas ketika menjawabnya, "Dein Jwarte."

"Jwarte. Kalau tidak salah itu...."

"Shraden kerajaan."

"Oh, ya, aku baru ingat." Dia tidak ingat. Kata-katanya hanya sekadar mampir di mulut. Raja sedikit membusungkan dada dan kembali berpaling menatap langit malam yang gulita. Selama sejenak, aku menimbang-nimbang untuk melakukan sesuatu―bertanya untuk mencari informasi yang benar demi menjalani misi dari Lukas, atau mungkin memastikan kata-kata terakhir Rena. Namun, lidahku terlalu kelu, dan benakku tak bisa diajak berpikir. Aku kehilangan kata-kata lantaran dikuasai ketegangan yang meradang cepat.

"Kau mirip seseorang," kata Raja. Aku harus memasang telingaku baik-baik karena gemuruh musik yang mengalun membuat konsentrasiku sedikit goyah.

"Maaf, Yang Mulia?"

"Kau mirip seseorang," ulang Raja, kemudian berpaling menatapku. Pada saat itu aku memaksa diriku berkedip dua kali untuk memastikan apa yang kulihat. Apakah yang berkilat di matanya adalah air mata?

"Kau mirip seseorang yang aku kenal di masa lalu."[]

-oOo-


.


.


.



Menurut kalian Raja Gangika baik nggak sih? 😌

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top