4. Pelarian Pertama
-oOo-
SEJAUH ini pelarian diri kami terbilang aman. Setidaknya sampai kami tiba di perbatasan hutan yang dikelilingi pagar kawat menjulang. Tinggi pagarnya dua kali lipat tinggiku, dan ujung-ujung kawat pada puncak kelihatan tajam dan berkilau oleh cahaya yang menimpa, mengingatkanku pada kuku-kuku monster yang pernah kubaca di buku dongeng.
Aku dan Heera berdiri di perbatasan yang paling jauh dari pemukiman para sraden, tersembunyi di balik semak-semak dekat ladang kering yang sudah melewati masa panen. Untuk saat ini, kami tidak ketahuan, tapi aku tidak bisa menjamin apa yang terjadi beberapa jam mendatang.
"Bagaimana caranya pergi ke dalam hutan?" Heera bertanya saat aku berjongkok di bawah. Jari-jariku menghunus tanah, mulai menggali.
"Kita masuk lewat lubang," kataku tergesa-gesa. Karena kurang gizi, tubuh kami cukup kurus, jadi menggali lubang di bawah jaring pagar adalah cara termudah agar kami bisa menyusup ke dalam hutan. Heera, yang lebih pintar daripada anak seusianya, tanpa kusuruh, mulai ikut menangkup tanah dengan kedua tangannya.
Di samping rasa cemas karena pelarian ini terhitung amat mendadak dan tanpa persiapan, saat berlari kemari, kami membawa sedikit dari jatah makanan yang dimasukkan ke dalam kantong-kantong baju. Entah semua ini akan bertahan sampai kapan, tetapi urusan perut hanyalah bagian kecil dari masalah utama yang akan kami hadapi. Sambil menggali aku menatap rimbun hutan di balik kawat. Dahan-dahan pohon cokelat tua saling melilit, tertimbun oleh daun dan semak hijau yang lebat. Nyaris seketika, rasa nyeri dan cemas menyerang pertahananku begitu telak. Apa yang akan kami temui di dalam sana? Sampai kapan kami harus terus lari dan menjauh? Tidak ada yang bisa menjawab jeritanku.
Aku terus menggali sampai tanganku membentur sesuatu yang keras.
Rupanya, yang kusentuh adalah teralis besi dari dasar pagar. Heera terengah, tengadah kepadaku sambil meringis senang.
"Ayo kita teruskan," kataku, lalu kami menggali lagi dengan penuh semangat. Setengah lenganku gelap oleh tanah, ujung-ujung jariku perih karena goresan kerikil serta kotoran yang menumpuk di kuku. Lubang dengan diameter yang cukup lebar akhirnya terbentuk. Kami secara bergantian menyelinap masuk ke lubang dan muncul di sisi lain pagar.
Setelah menjejak pelataran hutan yang suram, aku berpaling dan melihat pemandangan perkampungan kami untuk terakhir kalinya. Hamparan kampung Kevra yang kumuh nyaris tampak seperti gambar yang akan segera dirobek dalam ingatanku. Cahaya perak akibat kabut memantul di ladang, menyinari atap-atap pemukiman yang berwarna merah bata. Terbayang jasad Ibu yang kutinggal di rumah, terbujur lemah dan sendiri. Aku merasakan hatiku diremas oleh penyesalan dan penderitaan, tapi semua itu kini menjadi kabur oleh keinginan untuk pergi dan dilupakan.
Aku menggandeng tangan Heera, dengan terburu-buru menyeretnya menyingkir dari tempat itu.
-oOo-
Di dalam hutan rupanya jauh lebih bising dari yang mulanya kubayangkan.
Ada kicau burung yang bersahut-sahutan, desau angin menembus lorong-lorong dahan yang saling memilin dan bersentuhan, beberapa ujungnya menggaruk semak seperti jari-jari panjang dan tajam. Heera berjalan tertatih-tatih di sampingku. Aku menggendongnya di punggung ketika dia sudah tidak kuat menempuh perjalanan panjang, yang rutenya begitu random dan monoton, hanya dilingkupi oleh semak pepohononan dan tanah kasar yang penuh daun mati serta ranting.
"Ini semua gara-gara aku." Heera menangis, berkata lirih dengan nada minta maaf, kepalanya bersandar di leherku yang lembab oleh keringat. Aku berusaha tak menjawabnya, bukan karena marah, tetapi karena seluruh tubuhku lelah dan kepalaku berdenyut-denyut.
"Ibu dan Abang pasti membenciku."
"Heera, kalau aku membencimu, kau sudah kuserahkan pada gerombolan sraden itu," kataku sambil terengah-engah.
"Apa yang akan kita lakukan tanpa Ibu?"
"Kita masih bisa hidup walau Ibu sudah meninggal." Kalimat ini menghantamku lebih keras daripada apa yang kualami sebelumnya. Beberapa jam yang lalu, kata meninggal hanya serupa seperti berita yang harus kuterima, tapi sekarang berita itu bergabung bersama fakta kelam yang menghunusku lebih jauh, membuat darahku menggelegak. Ketiadaan Ibu baru terasa selepas kami benar-benar berpisah. Dia memudar dalam jangkauanku, dan seiring waktu berlalu, ingatan tentang Ibu akan mengerut bagai debu tak tersentuh dalam laci memoriku.
Aku menahan diri untuk tidak menangis.
"Aku belum mengucapkan selamat tinggal," kata Heera, terisak-isak, "Tidak hanya pada Ibu, tapi pada Alin dan Aris."
"Setidaknya kita tahu bahwa teman-teman kita di Kevra baik-baik saja."
Kini keberadaan teman-temanku terasa lebih berharga daripada sebelumnya. Rupanya memang benar, kau tidak akan pernah merasa kehilangan sampai merasakan sendiri arti kehilangan. Tidak ada salam perpisahan, dan kami akan menyingkir. Bahkan, ketika tertangkap pun, tidak ada harapan untuk kembali ke Kevra. Kini aku mulai merindukan cara berjalan Aris yang pincang, lesung pipit Alin, dan suara Ibu.
Pada akhirnya, kakiku tidak kuat lagi. Aku menumpukan sebagian bobot tubuh pada batang pohon yang besar, kemudian merosot ke tanah gembur di bawah. Heera dalam gendonganku ikut roboh, tapi kelelahan di wajahnya tersamar oleh sorot kecemasannya padaku.
"Abang lelah?" tanyanya. Aku melihat dari belakang bahunya, hanya ada pohon, semak, dan batang-batang kayu yang kokoh. Seketika hatiku bertanya-tanya apakah para sraden sudah setengah jalan mengejar kami atau justru mereka sudah siaga menembak di balik semak-semak yang rimbun, dan memikirkan hal itu membuatku semakin takut.
"Tidak apa-apa," kataku sambil menatap wajah cekung Heera yang kurang makan, dalam hati merasa remuk dan marah. Andai aku terlahir dengan tubuh sehat, perjalanan ini mungkin bukan apa-apa, mungkin aku sudah berlari cukup jauh sampai sulit ditemukan. Namun, sedari tadi kepalaku sakit bukan main, bahkan tiap helai rambut yang menempel di kulit kepalaku terasa seperti ditarik-tarik. Aku tidak punya obat untuk meredakan rasa sakit, jadi aku hanya membiasakan diri dengan siksaan ini.
Heera merogoh sebungkus biskuit dalam kantong bajunya, lalu menyodorkannya padaku, "Makan," katanya sambil hendak membuka bungkusnya, tapi aku melarangnya.
"Aku tidak lapar, cuma lelah saja. Kita harus hemat, Heera."
Anak itu dengan enggan menjejalkan lagi biskuitnya ke dalam kantong. Kami tidak punya cukup persediaan untuk perjalanan yang tanpa arah ini. Benar, tanpa arah. Memikirkan tentang tujuan membuat perutku mulas.
Aku tengadah memandang pegunungan di kaki cakrawala. Kemungkinan besar di lereng gunung ada pemukiman penduduk yang bisa menampung kami, walau sepertinya tidak mungkin mereka mau bermurah hati untuk menolong. Sebab setelah masa perang saudara pecah, kaum kami terbagi rata menjadi dua kubu yang saling bertentangan. Kaum Putih yang tinggal di luar Kevra menganggap Kaum Liar seperti kami adalah bibit penyakit yang harus dibasmi.
Tapi bila dipikir-pikir, aku mungkin bisa bertahan di tengah belantara hutan, mencari tempat berteduh lalu memulai kehidupan baru bersama Heera dengan berburu binatang dan mencari kayu bakar. Pertanyaannya, aku tidak pernah tahu kapan para sraden akan menyadari hilangnya kami di Kevra dan memulai pencarian menyeluruh dengan menganggap kami sebagai buronan.
Hutan ini tidak aman. Jalan satu-satunya adalah menuju pegunungan itu.
"Heera, kau bisa berjalan sendiri?"
Adikku mengangguk.
"Ayo kita lanjutkan perjalanan."
"Abang tidak papa? Kalau masih capek, tidur saja sebentar. Biar aku yang berjaga."
"Jangan. Kita harus cari tempat yang lebih layak untuk sembunyi."
Pada sore harinya, kami telah berjalan cukup lama sampai rute yang dipenuhi rimbunan hutan itu terbuka dan menampakkan aliran sungai. Sesekali kami harus menahan nyeri di kaki saat harus berjuang melewati batu-batu licin serta arus deras. Cahaya di sini terlalu terang sehingga keberadaan kami pasti begitu jelas. Jadi, kami berjalan merunduk di tepian sungai yang dinaungi akar pohon menjuntai.
Selang beberapa saat, terdengar keresak dedaunan yang diinjak dari belakang kami.
Aku tahu ada bahaya yang muncul ketika suara langkah kaki mendekati kami. Benar saja, tidak ada cukup waktu untuk kabur tatkala aku melihat sosok sraden, dalam setelan seragam abu-abunya yang militeristis, muncul dari balik pepohonan besar. Jarinya mengait ritsleting pada sabuk celananya, kemungkinan besar baru saja buang air.
Tatapannya langsung memaku pada kami, dan untuk sesaat tidak ada kata-kata yang keluar selain sentakan keterkejutan. Pistolnya masih aman berada di sabuk belakang celananya, tapi kami bisa saja langsung ditembak di tempat bila bergerak tiba-tiba.
Dia menyeringai.
"Tenyata buronannya ada di sini." Dari wajahnya yang terimbas cahaya senja, tatapannya tampak puas dan keji.
Heera bersembunyi di belakangku, tangannya meremas kain pada celanaku begitu erat.
Kami terjebak. Di belakang adalah sungai yang airnya deras, dan di depan ada sraden. Hanya ada satu jalan, yaitu mengikuti hilir sungai ke arah barat. Maka, aku mundur perlahan sambil sesekali menyerongkan badan dengan samar, berharap dia tidak menyadarinya.
"Anak kecil dan abangnya yang kabur dari Kevra," katanya sambil bergerak maju, berniat menyudutkan. "Kukira saat Komandan menyuruh kami untuk mencari buronan di hutan adalah ide konyol, tapi bisa-bisanya kalian benar-benar menyusup masuk kemari."
Dia menyarungkan tangannya pada celana. Kupikir hendak mengambil pistol, tetapi rupanya itu adalah alat komunikasi. Dia mendekatkan ujung perangkat yang terbuka pada mulutnya.
"Aku sudah menemukan buronannya. Satu bocah, satu remaja," katanya sambil matanya tidak lepas menatap kami seperti ikan yang tertangkap di dalam tong. Lalu, dari perangkatnya terdengar dengung mekanis mesin seperti radar yang rusak, dan hanya dalam beberapa detik saja, semak-semak berduri dan ilalang yang rimbun di hadapan kami terbuka.
Kemunculan mereka bagai parade algojo kematian―dua orang sraden menaiki kuda. Salah seorang di antaranya tidak memakai helm sehingga rambut peraknya berkilau di tengah kabut sore hari. Begitu dekat dengan kami sehingga ketika mereka turun dari kuda, aku bisa merasakan gedebuk kakinya yang mendarat pelan. Aku nyaris berpikir, bila sejak tadi mereka berkeliaran di dekat sini, mengapa suara mereka tak terdengar sama sekali? Rupanya, berada di sungai yang deras menulikan pendengaranku.
Napasku mulai tidak teratur, dan denyut jantungku seakan pindah ke telinga. Aku mencengkeram sisi kepala Heera dan bisa merasakan tubuh anak itu bergetar di tanganku.
"Kami diperintahkan Komandan untuk membawa kalian ke balai desa," Seorang sraden yang menaiki kuda, yang tidak memakai helm dan rambutnya bersinar bagai sutra perak, mengumumkan, "tapi bila kalian berbuat situasi di luar kendali, Komandan memerintahkan kami untuk membunuh di tempat. Masuk ke hutan yang jelas-jelas dilarang, adalah jenis pembangkangan yang memerlukan hukuman setara kematian. Bersiaplah."
Kemudian dia menyarungkan tangannya ke belakang dan mengambil pistol. Saat itu, aku hanya memerlukan waktu beberapa detik untuk bergerak.
Moncong pistolnya diarahkan pada Heera, dan sebelum jarinya bergerak pada kunci pelatuk, reaksiku lebih cepat daripada teriakanku.
Aku menyambar Heera dan membawanya lari menuju hilir. Kelompok sraden itu rupanya tak memperkirakan tindakanku sehingga mereka telat bergerak. Satu tembakan dilepas ke udara, tapi aku berhasil menghindari peluru dengan berlari zig zag. Beberapa kali aku nyaris terpeleset, betisku tergores ilalang dan batu-batuan tajam, dan semua rasa sakit itu tersamarkan oleh adrenalin yang membuncah. Heera memeluk leherku erat-erat. Aku menangkupkan satu tanganku pada kepala belakangnya.
Kami berlari, dan tembakan terus mengikuti di belakang. Mereka menunggangi kuda sehingga derap suaranya yang menginjak bumi begitu membahana dan mengancam. Dari kejauhan, aku dapat melihat tebing yang terbuka. Hilir sungai bermuara pada tanggul curam di bawah kami. Mereka sudah amat dekat, hanya beberapa meter saja.
Tindakan bodohku dimulai dari sini. Dengan panik aku berbalik badan demi mencari rute baru untuk melarikan diri, dan tepat saat itulah tembakan mereka dilepaskan.
Kali ini, peluru menembus punggung Heera.[]
-oOo-
.
.
.
Auwwhh astaga... enggak kebayang aku kalau jadi River 😞
Apakah Heera selamat? Tebak ges
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top