39. Momentum Akhir

PADA siang harinya, kami semua berkumpul di kebun untuk menghadiri acara makan siang. Kerajaan telah menyulap kebunnya menjadi area prasmanan mewah yang dilatari suara musik dan dekorasi indah. Ada beberapa paviliun kecil dengan meja-meja makan yang dibangun di beberapa titik kebun, yang langsung terisi dengan tamu-tamu undangan―kebanyakan adalah para keluarga kecil yang membawa anak-anaknya yang remaja, yang kelihatan sama bergairahnya satu sama lain.

Rombongan kami duduk di barisan meja bersama Kegan, Joda, dan beberapa tamu lain, di depan bertumpuk-tumpuk makanan yang menggiurkan. Daging ternak panggang masih berputar di atas api panggangan. Piring-piring menampung buah-buahan dan kacang-kacangan yang nikmat. Berbagai jenis keju, roti, sayuran, manisan yang tak terhitung banyaknya, serta anggur, susu, dan minuman alkohol yang disajikan dalam botol-botol yang terendam batu es.

Betapa ironisnya. Makanan sebanyak ini bisa didapatkan begitu saja di jamuan Kerajaan, sementara rakyat melarat di Kevra sangat sulit mencicipi bahkan bila itu hanya setangkup roti.

Aku menarik napas dalam-dalam dan mencoba makan sambil menyingkirkan perasaan kalut itu, tetapi sulit. Di sekitar kami, tampak beberapa bocah bangsawan berlarian di halaman dengan girang, bahkan ada segelintir yang sengaja membuang-buang makanan dengan melemparinya ke teman. Wajah-wajah mereka sungguh sehat dan bersih. Dan, mendadak saja aku teringat anak-anak di Kevra yang dekil dan bertubuh kurus. Mata yang ukurannya besar tampak cekung di tulang pipi yang menojol. Bibir-bibir kering dan tangan berkuku kotor yang menggaruk tanah untuk mencari biji-bijian atau cacing untuk dimasak. Usia mereka sama, tapi nasib sama sekali berbeda. Kekontrasan ini membuat kesedihanku bergejolak.

"Jadi, Raja tidak ikut makan bersama kita?" tanyaku.

Kegan yang duduk di hadapanku menjawab seraya memotong-motong daging di piringnya. "Tidak, dia selalu makan di ruangan khusus bersama keluarganya. Kenapa menanyakan itu?"

"Aku hanya penasaran," kataku, lalu kusambung dengan nada lebih pelan, "Ingin melihat lebih dekat bagaimana tampang penyiksa itu."

Kegan langsung menegakkan kepala, menoleh ke kiri dan kanan seolah memeriksa apakah ada orang yang tadi mendengar. Beruntung tampaknya semua orang sibuk dengan makanannya. Lantas aku cepat-cepat berkata, "Maaf."

"Simpan itu untuk nanti," kata Kegan dengan sengit, kemudian lanjut melahap dagingnya. Sekilas aku merasa bodoh sekali sudah mengutarakan kalimat itu, tetapi rasa marah di dasar hatiku terlanjur meluap-luap. Pada akhirnya, sepanjang acara makan siang aku hanya duduk diam sambil menatap tak minat halaman yang ramai dengan tawa para tamu dan musik-musik yang digaungkan. Mavena, Kegan, dan Joda lebih banyak mengobrol basa-basi dengan orang asing di sekitar mereka.

Setelah menghadiri acara makan siang di halaman, semua orang kembali ke kamar masing-masing untuk bersiap-siap. Aku dan kawan-kawan memisahkan diri dari para orang dewasa dan kembali ke ruangan kami, mencoba melakukan apa pun untuk mengisi waktu sebelum acara. Ursa sejak awal sudah masuk ke kamarnya sendiri dan menutup pintu rapat-rapat, kelihatan tak mau diganggu―bahkan baru kusadari sejak pagi tadi dia lebih banyak diam. Sementara aku, Philene, dan kawan-kawan menguasai sofa ruangan sambil memakan beberapa manisan sisa jamuan yang diam-diam kami selundupkan ke dalam kantong pakaian. Kami mengobrol cukup lama, mengomentari dan menertawai apa pun yang dirasa aneh untuk dinikmati orang kampung seperti kami.

Kemeriahan pesta mulai terasa bagai awan yang bergelayut rendah di atas kepala orang-orang. Udara lembab Rawata sore itu serasa menyala-nyala dengan antisipasi, dan ketika kegelapan menyelimuti bagai tirai raksasa, pesta itu seperti mendadak ditumpahkan dari langit.

Setelah satu per satu dari kami membersihkan diri, aku membantu Dumbo mengencangkan tali-tali pada pakaiannya karena tangannya terlalu pendek untuk mengikat sendiri di belakang pinggang. Sementara Hathen, dengan seragam pestanya yang merupakan hasil susah payah diikat dengan sabuk untuk menutupi ukurannya yang kebesaran, kelihatan canggung dan malu tiap kali berpapasan dengan cermin. Berbeda sekali dengan Philene yang sejak tadi bolak-balik mematut penampilannya sendiri di hadapan cermin sambil tak berhenti cengar-cengir.

"Hei, sepertinya setelah ini kau harus benar-benar diet," komentar Hathen pada Dumbo yang tampak kesusahan berjalan dengan seragam pestanya yang militeristis.

"Sepertinya aku enggak usah datang saja ke pesta itu." Pantulan wajah Dumbo dari cermin terlihat lesu dan tidak minat. "Ini bakal sia-sia, tahu enggak? Paling-paling aku hanya akan duduk sendirian sambil menghabiskan makanan di sudut. Enggak akan ada yang mau berdansa dengan orang mengerikan sepertiku."

"Ajak saja Kegan buat berdansa. Kalian pasti sama-sama sendirian di sana," kata Hathen, lalu kalimat berikutnya diutarakan lebih lirih, "Besoknya bakal muncul berita menggemparkan tentang pasangan raksasa abad ini."

"Ayolah, ini kan pesta besar. Nikmati saja apa yang kalian temukan di sana―makanan, perempuan, mabuk-mabukan!" Philene berbalik dan menatap kami dengan cengiran khasnya. Semangatnya entah bagaimana menular. Dan berkat dirinya, aku agaknya menjadi lebih semangat daripada tadi pagi. "Kemewahan di sini enggak akan kita dapatkan di mana pun. Apa aku benar?"

"Benar," kata Hathen, kemudian dia menunduk mengamati pakaiannya sendiri. "Kurasa aku bisa mengajak seorang gadis pelayan untuk berdansa."

"Itu enggak akan terjadi," sahut Dumbo.

"Ajak dia pergi ke suatu tempat, jauh dari pesta. Kalian bisa mengobrol panjang lebar sampai matahari terbit keesokan harinya," komentar Philene, yang langsung disoraki Dumbo. Kami semua tertawa, terbawa dengan suasana meriah. Hathen memutuskan dengan yakin, "Ayo kita naik ke ruang singgasana sekarang."

Aku menyentak tali di pinggang Dumbo, kemudian menepuk pundaknya dengan mantap. Anak itu berdiri, lalu berputar padaku, "Dein, kau bahkan belum berdandan!"

"Eh, ya," kuusap tunik putih polos yang kukenakan seraya menatap mereka semua. "Tadi aku mandi paling terakhir, dan harus membantumu berpakaian. Kalian pergi saja duluan."

"Kita bakal menunggumu," kata Philene.

"Kubilang tidak usah," sahutku. "Aku janji akan cepat. Berangkatlah duluan."

"Jangan salahkan aku kalau makanannya habis," kata Dumbo, sementara dia bersama rombongan akhirnya pergi keluar dari pintu kamar. Aku mengenakan kemeja formal dengan cepat, kemudian melapisinya dengan seragam luaran yang diberikan Mavena. Saat hendak mengancing pakaian, suara ketukan di pintu kamarku terdengar. Kubuka pintu dengan cepat. Ursa tiba-tiba saja menggeloyor masuk ke dalam.

Malam ini dia mengenakan gaun hijau pirus yang jatuh licin di kakinya, yang berkilau bagai indung mutiara di bawah hamparan cahaya lampu. Sementara rambut peraknya yang panjang disanggul dan dililit dengan pita hijau, cocok berpadu dengan riasan wajahnya. Gadis pemburu yang membawa busur dan panah itu telah lenyap, terganti dengan sosok anggun yang membuatku tak bisa berhenti menatap.

Benakku baru tersadar dari sihir ketika Ursa tahu-tahu saja berputar ke belakang dan mendorong punggungku supaya aku menghadap cermin. Jemarinya merambat naik membetulkan kerahku, menepuk-nepuknya dari debu, "Kau kelihatan menarik sekali malam ini," katanya.

"Ursa," dengkusku, geli dengan kalimat pertamanya, "seharusnya aku memujimu duluan."

"Tak perlu. Aku tahu rupaku lebih baik," katanya seraya tertawa tipis. Saat Ursa beringsut ke depan dan hendak membantu melilitkan sabuk, aku memegang tangannya sehingga dia berhenti sejenak. Kami saling berpandangan, dan aku tersenyum.

"Kau cantik," kataku. "Mirip kupu-kupu."

"Yang rapuh dan mudah hancur dengan sekali injakan," gumamnya.

"Kalau begitu biarkan aku yang melindungimu," lalu kuturunkan wajah dan langsung mengecup bibir Ursa, dengan lembut dan penuh perhatian, seolah itu adalah satu-satunya cara untuk meyakinkannya bahwa aku menyukai dandanannya malam ini. Ursa menyusupkan jemarinya pada rambutku, meraba pipi dan rahangku dengan lembut. Darahku berdesir dan terbakar bersamanya. Aku merasa lebih hidup saat ini daripada hidup yang kurasakan sebelumnya.

"Tunggu, Dein―"

Entakan suaranya terdengar lirih dan merajuk. Ciumanku merambat. Kuhirup lehernya yang menguarkan aroma bunga yang memabukkan. Dengan tekanan pelan, kuusap tulang selangkanya, merambat turun melewati lengan dan pinggangnya. Ursa seperti menahan diri, jadi kudorong pinggulnya supaya dia lebih menempel padaku. Lalu sebelum kewarasanku meledak menjadi aksi sembrono yang memalukan, gadis itu tiba-tiba saja menyodok perutku dengan sikunya. Aku membungkuk menghadap lantai seraya memegangi perutku yang sakit.

"Belajarlah mengendalikan diri," kata Ursa dengan napas terengah-engah. Dia menangkupkan tangannya pada kedua sisi kepalaku, berkata dongkol, "Apa yang sebenarnya terjadi padamu?"

"A, aku...." mulutku hanya megap-megap tanpa suara. Rasa sesal semakin meradang. Aku menjadi canggung dan malu sehingga hanya bisa bergumam lirih, "Aku minta maaf."

"Semua laki-laki sama saja." Kemudian Ursa berbalik pergi, tetapi aku cepat-cepat mencekal tangannya hingga dia berputar lagi padaku. Pada saat itu aku bisa melihat betapa merah wajah Ursa, entah karena malu atau karena terlalu marah.

"Aku benar-benar minta maaf. Aku ... aku tak kuasa melihatmu secantik ini, lalu ...."

"Lalu kau ingin berbuat lebih jauh? Di sini? Di waktu seperti ini?"

"Tidak, maksudku ... kita bisa melakukannya belakangan, tapi itu kalau kau mau ...."

"Pusatkan pikiranmu―sialan. Kita sudah di ujung perjalanan!" Ursa berkata marah. Dia melihatku dengan mata berkilat-kilat marah, lalu suara selanjutnya berubah menjadi bisikan, "Besok sesuatu yang besar akan terjadi. Kejadian yang mungkin akan mengubah negeri ini selamanya. Dan, kita adalah pelaku utamanya. Kita akan kehilangan banyak orang. Aku mungkin kehilangan ibuku, dan bisa saja saat terakhir kali kita pergi dari Bruma, itu adalah terakhir kalinya aku bertemu Alya dan juga anjing peliharaannku. Kita mungkin ... kita mungkin tidak akan ada lagi di sini lagi. Jadi, berhentilah bermain-main, berhenti mabuk di pagi hari. Berhentilah tertawa dan bersikap seolah pesta ini memengaruhimu!"

Kata-kata Ursa terdengar terguncang dan tertekan. Aku menatap ekspresinya yang menahan tangis, kemudian segera kutarik dirinya dalam pelukan minta maaf.

Di antara kesunyian ruangan, selama beberapa lama, hanya terdengar deru napas kami yang berat dan pelan. Lantas perlahan aku teringat malam di mana Ursa menangis padaku, tentang ciumannya yang putus asa seolah dia tak memiliki tali untuk berpegangan, tentang keresahaan yang menghantuinya setiap malam sehingga membuatnya tak bisa tidur. Tidak akan ada penyesalan. Tidak akan ada. Itu adalah kata-katanya yang menyadarkan sisi kekanakanku untuk berbuat apa yang benar. Kata-katanya yang menjadi cambuk paksaan untuknya supaya dia berdiri tegar melawan semuanya, sementara sebetulnya dia hanyalah seekor kupu-kupu rapuh yang sayapnya patah.

Pada saat itu aku sadar, Ursa sudah menanggung beban ini sendirian. Dia adalah satu-satunya yang tak pernah siap dengan situasi ini.

"Ursa, aku betul-betul minta maaf," kataku, memeluknya lebih erat. "Astaga, aku pasti sudah mengabaikan banyak hal selama ini. Aku pasti membuatmu sedih."

Gadis itu menarik diri dari pelukanku. Eskpresinya lebih memancarkan ketegaran daripada kesedihan. "Jangan mengacaukan semua ini."

"Tidak akan. Aku janji."

"Tidak ingat tujuanmu kemari? Bukankah Lukas memberitahumu sesuatu?"

Sontak saja aku teringat dengan pesannya padaku sebelum meninggalkan markas Aved. "Ya, aku ... aku masih ingat."

"Kalau kau mau sedikit serius, kau masih punya waktu sampai malam ini."

Aku terdiam sejenak, berpikir-pikir. "Menurutmu apa kita tak usah ikut pesta dansa? Kita bisa mencari petunjuk tentang apa yang diberitahukan Lukas."

"Tidak, kita tidak akan mendapatkan apa-apa," kata Ursa, sementara dia langsung menarikku keluar dari pintu kamar. "Cari informasi apa pun dari orang-orang yang menghadiri pesta dansa malam ini. Bersikaplah layaknya seorang bangsawan yang sedikit penasaran dengan rumor yang beredar. Dan, aku mohon," Ursa berbalik padaku. Dia mencekal kerahku dan menatapku lurus-lurus, "Kali ini, jangan mengacaukan apa pun. Kendalikan dirimu dan fokus dengan misimu."

Aku mengangguk mantap, merasakan debur keyakinan yang menggelora dalam tubuhku. Kemudian, kuulurkan tanganku untuk menggapai jemari Ursa. Gadis itu menyambutnya. Tangannya terselip ke lenganku, lalu kami berjalan beriringan menuju pintu ganda besar yang menuju luar.

Sejenak aku sulit bernapas. Rasanya seperti sedang menyongsong kematianku sendiri, tetapi aku menahan diri dan terus melangkah sambil menggandeng Ursa. Beberapa tamu undangan yang datang bersama dengan kami berduyun-duyun naik ke tangga marmer, menyusuri koridor berhiaskan emas yang dindingnya penuh barisan lukisan. Ke mana pun melangkah, aku melihat marmer dan emas, lampu-lampu kandelir gemerlapan, lantai kayu mengilap bermotif geometris rumit. Semua kemewahan ini tampak indah, tetapi membuat lelah.

Saat melewati ambang raksasa ruang singgasana, aku mendongak menatap ruangan menjulang setinggi tiga lantai. Karpet merah terhampar sepanjang ruangan sampai ke panggung tempat para bangsawan dan pejabat berkumpul. Semua tamu undangan berjalan agak merapat ke tepi dan mengobrol dengan suara rendah satu sama lain. Sementara itu, atensiku langsung mendarat pada ujung ruangan, tempat Raja dan keluarganya duduk.

Inilah jarak terdekat aku bertemu Raja Gangika.

Kerut-kerut penuaan membuatnya tampak seperti pria bungkuk berusia enam puluhan. Walaupun tatapannya nyalang dan tajam, dia sebetulnya terlihat lebih lelah alih-alih antusias. Raja mengenakan seragam militer lengkap, menyandang sepucuk pistol di pinggangnya, duduk dengan tegak namun tak minat dengan semua pesta ini. Di sampingnya, ada Permaisuri, yang walaupun sedikit keriput, tetapi tampangnya terlihat sangat rupawan dan dingin. Di samping kanan Raja, ada seorang pemuda yang kelihatannya masih berusia lima belas atau enam belas tahun. Wajahnya tampan, terkesan mirip sang Permaisuri, tetapi terlihat tidak seserius Raja dan istrinya. Dia nyaris tampak seperti bocah tengil yang diseret hadir di sana dan dipaksa tersenyum untuk menunjukkan kebijakan.

Sementara itu, di bagian belakang panggung, aku menatap barisan Vartin yang empat di antaranya adalah pria jangkung bermata biru dan hijau, berseragam identik, sementara satu yang lain adalah wanita bermata emas. Mereka semua lebih mirip seperti boneka besi pajangan dibandingkan manusia. Hanya menyiratkan rasa dingin dan ketidakpedulian yang elegan.

Aku dan Ursa merapat ke bagian sisi ruangan yang dipenuhi meja-meja dengan taplak sutra bordiran cantik yang penuh makanan. Beberapa pelayan mondar-mandir menawarkan minuman berwarna merah jambu kepada para tamu. Namun saking tegangnya, aku tak sanggup memasukkan sesuatu ke perut. Demi meredakan gejala cemas ini, kuambil napas dalam-dalam dan menyapu ruangan dengan pelan. Kutemukan Philene sedang mengobrol bersama seorang gadis cantik bergaun biru, sementara agak jauh darinya, ada Dumbo dan Hathen yang duduk menyingkir dari kerumunan dan berusaha sembunyi-sembunyi memakan jamuan.

Setelah beberapa lama, musik berganti ke irama instrumen yang lebih santai. Raja tiba-tiba berdiri dari singgasananya, kemudian mengulurkan tangan ke Permaisuri untuk mengajaknya berdansa. Semua tamu undangan berbaris di tepi, tersenyum dengan sopan, ketika melihat Raja berputar-putar bersama Permaisuri. Jemari mereka bertautan, sejajar dengan langkah kaki yang berayun mengetuk lantai dengan anggun. Rupanya setelah dilihat-lihat, gerakan dansanya mudah diikuti. Di pertengahan musik, putranya―belakangan aku baru ingat kalau namanya Areka―ikut bangkit. Dia pergi ke tepi ruangan dan mengajak salah seorang gadis untuk turun ke lantai dansa dan bergabung bersama Raja dan Permaisuri.

Setelah beberapa lama, pasangan-pasangan lain dari para tamu akhirnya mulai bergabung, setengah menutupi keluarga Raja. Aku melihat Philene bahkan berhasil mengajak teman mengobrolnya untuk turun ke lantai dansa. Semua orang berdansa dengan serempak mengikuti irama musik, yang bila dilihat dari atas pasti tampak seperti formasi menakjubkan yang menggetarkan hati. Aku menelan ludah gugup, kemudian Ursa memegang tanganku.

"Kurasa ... sebaiknya kita mencari orang untuk ditanyai sesuatu?"

"Menurutmu ini saat yang tepat?" tanyaku balik. Ursa hanya menatapku tanpa berbicara, tetapi aku melihat sorot matanya yang tampak kebingungan. Aku tahu ada kecemasan lain yang hinggap dalam benaknya semenjak kami keluar dari kamar, dan aku tahu semestinya sekarang aku melakukan sesuatu untuk mencari informasi. Namun, pesta dansa ini sedikit terlalu menggangguku. Ada bisikan dalam kepalaku yang menginginkanku untuk bergabung bersama puluhan pasangan lainnya.

"Kau mau berdansa denganku?" tanyaku pada Ursa.

"Apa?"

"Lihatlah, semua orang berdansa dan tampak menikmati suasananya. Kalau kita datang ke salah satu dari mereka dan bertanya-tanya soal misi, kitalah yang akan dicap aneh dan rentan dicurigai."

"Tapi...."

"Kita akan mencari tahu nanti," kataku, lalu kuulurkan tangan pada Ursa, meyakinkannya. "Tapi untuk saat ini, kita harus membaur bersama yang lain."

Ursa sepertinya tak punya pilihan. Sejenak dia memandang ke dalam kedua mataku, seperti sedang menebak-nebak bisakah dia menolak ajakan tadi. Kemudian, sungguh mengherankan .... Ursa menerima uluran tanganku. Kami melangkah ke lantai dansa, mengambil posisi sedikit ke tengah. Di bawah lampu-lampu dan kandelir gemerlap yang menggantung bagai bintang, aku menautkan jemari kiriku pada jemari kanan Ursa, sementara satu tanganku yang bebas kudaratkan pada pinggangnya. Kami lantas menari mengikuti irama musiknya yang mengalun lembut.

"Sejak kapan kau bisa berdansa?" tanya Ursa. Wajahnya begitu dekat denganku sehingga aku bisa mencium aroma parfumnya yang enak.

"Aku ini pembelajar cepat," kataku, lalu tersenyum. Ursa masih tampak tegang seolah-olah pemikirannya tak sepenuhnya ada di sini, jadi tangan kiriku yang bebas kugunakan untuk mendorong punggung Ursa agar lebih merapat padaku. Gadis itu tersentak kecil. Matanya melotot padaku menuntut penjelasan, tetapi aku berbisik lirih padanya, "Hanya saat ini, Ursa. Hanya saat ini saja."

"Hanya ... apa?"

"Mari kita anggap ini sebagai malam terakhir yang indah. Kau dan aku."

Ursa berayun pelan di dekatku. Matanya menatapku, dan ekspresinya seperti tampak sedih dan merenung. Aku berusaha menyungging senyum untuk menenangkan hatinya.

"Nikmatilah, seperti ini saja," pintaku.

Lalu aku menangkap mata Ursa yang berkaca-kaca. Gadis itu menarik napas, dan detik berikutnya tubuhnya terasa lebih rileks. Aku mendekatkan diri padanya, jauh lebih rapat dibandingkan pasangan tamu yang lain. Kutundukkan kepalaku dan membiarkan dahi kami saling menyentuh.

Di tengah musik yang mengalun merdu, berbaur di antara keluarga Raja yang esok hari akan menjadi sasaran pembunuhan kami, aku merasa ada yang berdesir secara tersembunyi di hatiku, seperti lapisan beku es yang menyelimuti mahkota bunga yang hendak rontok. Entah apakah ini perasaan nyaman atau justru takut.[]

-oOo-

.


.


.


.



.



Jangan nangis ya kalau cerita ini berubah jadi angst

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top