38. Dua Dunia
SAAT masuk ke dalam istana, rambut-rambut halus di lenganku berdiri. Aku dihinggapi oleh perasaan yang sama ketika melewati gerbang melengkung Kerajaan tadi, perasaan bahwa kami tengah melalui batas antara dua dunia.
Istana Rawata dikelilingi dinding-dinding marmer gelap dan pilar-pilar berpola rumit yang disepuh warna hitam dan emas. Saat melewatinya, aku secara refleks menyentuh permukaan pilar. Ukiran di permukaannya begitu halus, sejuk, bertahtakan permata yang akan berkilauan ketika diterpa sinar lampu.
Sekelompok pelayan Putih bermata hitam yang berpakaian merah delima menanti para tamu undangan di dasar undakan tangga. Mereka mengantar kami melalui lobi dan kemudian memasuki pintu ganda lain, menuju ruangan lapang yang dibangun terbuka layaknya taman raksasa persegi enam. Di sepanjang lintasan lantai marmer, terjepit di antara pepohonan dan semak yang dibentuk sedemikian rupa dengan elok, ada ruangan-ruangan luas yang dibangun untuk kamar para tamu undangan. Salah seorang pelayan berbalik pada kami ketika kami sampai di hadapan sebuah pintu ganda yang lebih kecil.
"Ini kamar rombongan Anda," katanya seraya mempersilakan Mavena yang berada di barisan depan. Kami mengikuti Mavena ke dalam sebuah flat berkamar tiga yang cukup bila dijejali delapan sampai sepuluh orang sebesar Dumbo. Di dalamnya dihiasi oleh sofa dan meja panjang, kamar mandi, dan dapur kecil. Pelayan tersebut bertanya apakah ada sesuatu yang bisa mereka disiapkan lagi, dan sebelum Dumbo bisa menjawab daftar makan malam besar yang dia inginkan, Mavena keburu menolaknya.
Sebelum pelayan keluar dari kamar, dia memberikan sebuah pamflet kepada Mavena. Aku melihat simbol Rawata berupa kepala singa pada sampulnya yang tebal dan berwarna emas. Setelah pelayan itu undur diri dan menutup pintu, Mavena berbalik kepada kami semua―lima anak muda yang tampak kikuk dan kehabisan kata-kata ketika memasuki wilayah Istana yang begitu megah dan gagah.
"Karena ini sudah malam, kurasa aktivitas terbaik yang kita lakukan sekarang adalah tidur. Kita akan bangun besok subuh, lebih cepat daripada semua tamu undangan lain, dan...." Mavena mendongak dan menyapu ruangan sebentar, seolah sedang memindai sesuatu. "Hal selanjutnya dibicarakan nanti. Tunggu perintahku."
Ursa tiba-tiba menunjuk pamflet yang dipegang Mavena, "Itu apa?"
"Rangkaian acaranya," kata Mavena, kemudian dia membuka pamflet itu melalui ikatan pitanya yang berwarna merah dan membaca sejenak. "Kita akan menghadiri pesta dansa dan makan malam esok hari. Kemudian lusanya, acara penobatan Raja baru, dilanjutkan pentas hiburan dari beberapa atraksi yang dipilih, lalu acara ...."
Mavena menghentikan kalimatnya, melirik kami dari sampul depan pamflet dengan pandangan bersekongkol, lalu berbisik lirih, "Sepertinya kita semua tahu bahwa tidak akan ada acara selanjutnya."
"Di sana ada dapur. Lakukan apa yang kalian suka, asalkan jangan menimbulkan bencana, oh dasar kaum udik." Kemudian tanpa menunggu tanggapan kami, Mavena menggeluyur pergi ke pintu kamar pertama dan langsung menjeblaknya menutup dengan keras.
Kami semua saling berpandangan heran. Aku barpaling dan berkata pada Ursa, "Ini pertama kalinya aku mendengar ibumu memaki kami semua."
"Percayalah, sebetulnya dia tidak begitu suka dengan kalian sejak awal bertemu. Kalian pemuda jorok, rakus, dan tidak bisa diatur. Bahkan Ibu melihat Hathen mencuri salah satu bola kristal yang dipajang di ruang tamu."
"Hathen!" Philene melirik Hathen terkejut. "Kau ini, sudah berapa kali kubilang padamu? Kalau mau mencuri, curilah barang yang lebih berharga!"
Selagi Hathen membalas dengan kedikan bahu masa bodoh, Ursa mengembuskan napas seolah merasa lelah, "Kalau begitu aku juga mau ke kamar. Kalian mau tetap di sini?"
"Pesta bujangan," kata Dumbo.
"Pesta terakhir sebelum semuanya meledak," sahut Philene.
"Menggelikan," Ursa mendengkus sinis. "Kalau begitu berpestalah sesuka kalian dan ingat, jangan berbicara dengan suara keras. Kadang kala obrolan kalian terdengar seperti gerombolan perempuan yang bergosip."
Tanpa menunggu bantahan kami, Gadis itu memasuki ruangan satunya yang ada di sebelah kamar Mavena. Suara pintu dijeblak lagi, kali ini lebih keras.
Philene yang berdiri di sampingku mendesah berat, "Astaga. Kamarnya tinggal satu. Jadi kalian, tiga lelaki jorok, dan aku, si satu-satunya yang berkarisma, akan tidur bersama lagi?"
"Ini lebih baik daripada tidur sekamar dengan nyonya galak yang bisa memanipulasi pikiranmu hanya dengan tatapan matanya, atau tidur bersama gadis muda yang bisa menggorok lehermu sekali dia marah," Kekehan tawa Hathen menyusul setelahnya. Anak itu memungut ketel emas dari atas konter dapur mini dan menawarkan, "Karena para wanita sudah tidur, menurutku ini waktu kita untuk minum sesuatu. Ada yang mau alkohol?"
"Mereka menyediakan alkohol?" Philene terperanjat semangat.
"Enggak. Cuma teh herbal dan kopi."
Philene mengerang, tetapi dia dan Dumbo tetap kompak menyahut setuju. Dan karena aku merasa belum mengantuk, aku bergabung bersama mereka.
Kami duduk di sebuah lajur sofa yang berhadapan langsung dengan pemandangan labirin taman bunga mini di balik jendela, yang tampak bersinar indah di bawah kegelapan malam. Dumbo datang dari dapur dan menuang cangkir-cangkir kami dengan teh herbal. Hathen juga datang sambil membawa stoples berisi permen kunyah dan beberapa cokelat batangan. "Bayangkan, kerajaan luar biasa megah tapi makanannya cuma begini. Antara pelit atau tidak tahu caranya menjamu tamu," keluhnya sementara dia menjejalkan tangannya ke dalam stoples dan meraup segenggam besar permen kristal Rawata yang warna-warni.
"Omong-omong," Dumbo berceletuk setelah dia selesai menuang cangkir terakhir dan mendaratkan bokong dengan kasar di sofa hingga bunyi lesakannya terdengar nyaring, "Kalian lihat para pelayan dan sraden di sini, kan? Semuanya bermata hitam. Mereka rupanya kaum tanggung seperti aku dan Hathen."
"Oh, ya, tentu saja. Di mana-mana kita tak diharapkan, tapi di Kerajaan, kita ternyata cukup dibutuhkan," kata Hathen.
"Terus saja bilang begitu sampai kalian tahu liciknya di mana." Philene mengangkat satu kakinya ke atas meja seraya sibuk mengulum cokelat.
"Di mana liciknya?" aku bertanya.
"Ini politik, tahu enggak?" kata Philene dengan suara yang lebih lirih. "Kerajaan sengaja merekrut para Kaum Putih yang enggak memiliki kekuatan karena mereka menghindari potensi pembelotan yang mungkin terjadi di masa depan. Dengan kebijakan Raja yang terlalu otoriter, keji, dan egois, akan ada banyak masa yang protes, termasuk para sradennya. Bayangkan kalau seribu sraden Rawata punya kekuatan mengendalikan pikiran seperti Mavena. Enggak perlu repot-repot mengumpulkan pasukan Aved, Rawata akan hancur dalam sekejap karena solidaritas seluruh sradennya," Philene menjelaskan dengan santai sambil mengayunkan kakinya yang telanjang dan berdebu di atas meja. Kami semua manggut-manggut paham.
"Makanya, ada banyak Kaum Putih seperti Dumbo dan Hathen yang ingin bekerja di Kerajaan. Di saat masyarakat sulit menerima keadaan mereka, Kerajaan malah memperlakukan mereka seolah mereka adalah komoditas yang berharga. Orang-orang seperti kalian," Philene menunjuk Dumbo dan Hathen dengan jari kelingkingnya yang mencuat dari pegangan cangkir, "adalah masyarakat yang melihat ini sebagai kebaikan alih-alih politik licik pemerintah."
"Wow," kata Dumbo. "Kau hebat, Bos. Dari mana tahu hal seperti itu? Beberapa bulan terakhir yang kutahu, isi otakmu hanya ambisi agar diterima di laboratorium pengobatan resmi dan cara-cara konyol buat mendekati Ursa. Mengapa sekarang bisa berubah?"
"Cara mendekati Ursa?" Aku memicing sinis.
Philene langsung menyahut sambil menghalau tangannya di depan mukaku. "Hei, tenang, tenang, Bung. Itu cerita lama, oke? Sebelum aku tahu kalau Ursa adalah gadis berbahaya yang bisa mencolok matamu sebelum kau menyadarinya. Siapa juga yang mau membahayakan nyawa sendiri di hadapan orang itu?"
"Bos belum bercerita ke dia kalau dulu sempat merayu Ursa saat masih di rumah Mavena? Tidak ingat tentang pakaian atasan yang sengaja dilepas buat memamerkan otot perutmu?"
Aku menjatuhkan rahang mendengar pengakuan Dumbo dan bertanya penuh selidik pada Philene, "Tujuanmu melakukan itu buat merayu Ursa?"
Philene hanya mengibaskan tangan di udara, "Hei, sudahlah. Aku memang mengakui kalau dulunya sikapku agak berengsek, tapi―"
"Sekarang lebih berengsek," potongku.
Philene mengerang, "Jangan memotongku, Riv―maksudku, Dein. Dengarkan. Itu aku yang dulu. Sekarang aku sudah berubah, setidaknya sekarang jadi lebih pintar dan hati-hati, oke? Kegan mengajariku banyak hal semenjak kita di tinggal di markas."
"Kegan, orang itu," kataku. "Kau jangan terlalu percaya padanya."
"Dia orang hebat!" Philene menyahut seolah tidak terima aku mengatai Kegan. Suara berikutnya berdesis yakin, "Dia sosok yang kupuja. Dia mengetahui banyak seluk beluk pemerintahan yang enggak kita tahu selama ini. Dia adalah kunci dari kotak Pandora negeri ini. Oase di tengah padang pasir. Harta karun di tengah belantara yang mengancam...."
"Kenapa kau bilang Kegan enggak bisa dipercaya?" Hathen tahu-tahu memotong Philene.
Aku, yang baru sadar telah keceplosan, pada akhirnya membalas asal, "Dia ... dia terlalu menyebalkan. Dia mengatur segalanya."
Semua orang otomatis terdiam. Kemudian Philene membalas, "Itu enggak menjawab pertanyaan tentang alasan mengapa dia enggak layak dipercaya."
Sejenak aku merasa tersudutkan dengan jawabannya, akan tetapi pemuda itu langsung membalas hal lain seolah-olah klaim kalau dirinya yang sekarang lebih pintar ternyata tak berarti apa-apa, "Ah, masa bodoh. Omong-omong tehnya kepahitan. Kau memasukkan apa ke dalamnya?" Dumbo yang ditanyai hal itu langsung mengernyit mengiyakan, "Ya, rasanya enggak enak. Aku enggak menyangka jamuan Kerajaan bisa begini buruknya...."
Sekejap kemudian, diskusi serius itu melonggar menjadi malam panjang yang penuh pembicaraan sepele tentang obrolan ini-itu. Setelah kami puas mengomentari kecacatan makanan di dapur mungil para tamu undangan, Philene akhirnya mengumumkan bahwa dia dan Medea telah resmi menjadi sepasang kekasih semenjak keduanya memutuskan berteman lebih dekat di hari sebelum festival ulang tahun Rawata.
"Dia memuji otot perutku terlihat rupawan, lalu kami bertukar cerita tentang masa kecil. Saat itu Medea terlihat cantik di bawah sinar matahari. Kalian bisa bayangkan kulitnya yang kecokelatan bersinar keemasan dan ...." matanya memandang patahan cokelat di jepitan jarinya dengan tatapan sayu. Hal bodoh yang kulihat selanjutnya adalah Philene menciumi cokelat di tangannya dengan nafsu seolah itu adalah wajah Medea.
Sementara itu, setelah pura-pura memasang tampang mau muntah, Dumbo gantian mengaku bahwa dia tertarik pada Ines, perempuan Aved yang punya tanda-tanda alami sebagai penjahat kelas kakap bahkan bila dia tak mengikir gigi-giginya menjadi predator laut. Hathen mengerang terkejut, "Dumbo, astaga, di antara semua perempuan di dunia ini, kenapa kau harus memilih orang itu, sih? Lihat giginya saja aku kepengin kabur!"
"Dia cerdas, tahu enggak?" Dumbo menyapu pandang pada kami semua yang mengerutkan kening karena tidak habis pikir. "Dia Kaum Liar tercerdas yang pernah kutemui. Bahkan Kaum Putih yang bersekolah sejak kecil bisa saja kalah dengannya. Bagaimana menceritakannya, ya? Saat mengobrol bersamanya di lobi markas, Ines menjelaskan padaku tentang teori-teori alam semesta yang ajaib. Dia menceritakan padaku bagaimana dunia ini dulunya terbentuk dari gumpalan aneh yang misterius, yang meledak dan memadat menjadi sebuah materi... molekul yang menyusunnya, bertransformasi menjadi tanah, air, udara, lalu...."
"Hentikan ocehan sial itu," Philene mengutuk. "Kita enggak sedang mengadakan kelas belajar di sini. Bikin suasana jelek saja."
"Pokoknya dia membuka pikiranku tentang ilmu pengetahuan alam. Menurutku itu keren, yeah. Gadis cerdas selalu lebih menarik dan seksi."
"Seksi apanya? Muka kalian bisa sama-sama bikin anak kecil menangis," Philene menimpali, lalu menatapku sambil memasang tampang ketakutan, "Bisa dibayangkan bagaimana kalau mereka berdua menikah dan punya anak? Mungkin bakalan jadi persilangan antara babon dan piranha."
"Keterlaluan sekali!" Dumbo melempar bantal untuk menyasar wajah Philene, tetapi pria itu berhasil lolos dengan mudah. Kami semua tertawa karena itu pertama kalinya melihat wajah Dumbo memerah seperti habis mabuk, "Tahu enggak?" Philene membalas di sela tawa. "Entah apa yang merasukiku, tapi kalau pemerintah tahu siapa perempuan yang kutaksir, aku bakal habis ditempat."
"Masa bodoh dengan pemerintah, masa bodoh dengan peraturan, masa bodoh dengan semua acaranya," Hathen menyahut, kemudian dia mengangkat cangkir tehnya tinggi-tinggi dan mengajak kami untuk bersulang;
"Ayo kita rayakan detik-detik terakhir sebelum para keparat itu musnah."
-oOo-
Keesokannya datang begitu cepat bagai kelebatan mimpi di siang bolong.
Aku membuka mata dengan punggung miring di atas karpet, sementara kakiku mendarat di bokong Philene yang berbaring telungkup di atas sofa. Dengkur para lelaki terdengar kacau dan bersahut-sahutan seolah mereka sedang adu suara siapa yang paling sumbang. Ketika aku mendudukkan diri dengan ogah-ogahan, aku melihat kaki seseorang yang mengenakan kaus kaki sedang berdiri di dekatku.
Kepalaku tengadah dan aku menatap Ursa yang sedang bersedekap sambil menunduk ke bawah, membalas tatapanku.
"Memang benar. Kalian semua sama kacaunya seperti kawanan bajak laut mabuk," ledeknya.
"Kami tidak mabuk," kataku, terhuyung berdiri sambil memegangi lengan sofa. Ruang tengah kamar tamu ini berantakan seperti kapal pecah―ketel teh dan botol-botol anggur berguling, isinya tumpah ruah membasahi taplak dan karpet. Stoples berisi permen dan cokelat-cokelat yang masih tersisa dibiarkan terbuka, mengundang barisan semut yang datang. Sementara bantal-bantal terlempar, karpet kusut dan terlipat. Aku bahkan tidak tahu bagaimana kami semua bertelanjang dada dan membiarkan pakaiannya teronggok begitu saja di lantai.
Philene yang tidur tanpa pakaian atasan menggumam entah apa, kemudian dia berguling dan kembali pulas di sofa. Sementara Dumbo, yang tidur di karpet yang sama denganku, mendengkur dengan suara seperti babi tersedak. Kepala Hathen bersandar di lengannya yang terbuka bagai sayap, mirip seperti itik hitam yang kehilangan induk dan mengendus-ngendus ketiaknya untuk mencari makanan.
Ursa menatapku dengan pandangan geli. "Pesta semalam pasti seru."
"Hanya acara minum teh sederhana sampai Hathen menemukan botol anggur di dapur."
"Berhentilah bertingkah kampungan sebentar saja," kata Ursa sambil berjinjit lalu merapikan rambutku yang berantakan. "Ibu pagi ini sudah pergi sambil marah-marah karena melihat kalian tidur dengan kondisi kacau seperti pemabuk."
"Maaf. Kebiasaan lama sulit dihilangkan."
Aku menyambar cangkir teh entah milik siapa dan menenggak isinya dengan sekali tegukan. Ursa menunjuk sebuah koper besar di karpet. Kemarin aku yakin sekali tak ada koper itu. "Pakaianmu untuk pesta nanti. Ibu sudah menyiapkannya."
"Pakaian? Di pesta nanti kita tak berpakaian seperti ini?" Aku menunjuk tunik biasa yang kukenakan.
"Tidak. Kau harus berdandan lebih rapi karena akan bertemu keluarga Raja."
Aku terdiam sejenak, mencerna kalimat itu. Sementara Ursa langsung mengusap lenganku seraya berkata, "Pesta dansa, Dein. Semua orang akan saling berpasangan dan berdansa di ruang singgasana. Ini seperti perayaan paling mewah kedua dari penobatan mahkota Raja. Semua orang akan berpenampilan sempurna dan hebat."
"Oh, kedengarannya ... melelahkan," kataku sungguh-sungguh. Memikirkan harus bersikap seperti bangsawan setiap waktu membuat perutku berdenyar mulas.
Ursa menatapku lama, kemudian dia menyungging senyum. "Ayo kita lihat pakaiannya."
Selepas aku membuka kopernya, Ursa menarik sebuah setelan seragam militer berwarna merah, jas dan celana hitam, yang dipenuhi medali dan pita emas, beserta tali-tali rumit di bagian pinggang dan lengannya. Aku mengerutkan kening sebentar karena tak pernah tahu cara memasang model seperti ini. "Nanti akan kubantu berpakaian," kata Ursa. Sepertinya dia menangkap raut tegangku, lalu bertanya, "Kau merasa cemas?"
"Sejujurnya, iya," kataku. "Aku kira pesta dansa ini hanya semacam ... orang-orang yang berkumpul dan menari bersama, mengobrol, merokok dan minum-minum sampai teler...."
Ursa terkekeh kecil. "Jadi, itu yang mereka lakukan di Kevra?"
Aku menatapnya lurus-lurus. "Semacam itu."
"Liar sekali."
"Mengerikan."
"Ceritakan lebih banyak," Ursa mengatakan hal itu selagi dia berputar dan pergi ke dapur, menyiapkan minuman untuk kami berdua.
Selagi mengikutinya di belakang, aku bercerita panjang lebar tentang kampungku, "Di Kevra kami mengadakan pesta biasanya untuk merayakan masa panen atau ulang tahun kadipaten. Kepala Dewan membuat satu atau dua lomba tidak menarik bertema kekerasan yang diikuti beberapa warga, seperti contohnya lomba bertarung tanpa senjata, entah itu melawan sesama rakyat sipil atau sraden."
Ursa yang baru memanaskan ketel di atas kompor berpaling padaku, wajahnya terheran-heran, "Lomba bertarung? Mereka mengadakan itu untuk hiburan?"
"Ya. Banyak yang ikut karena ada hadiahnya. Memang tidak besar, tapi cukup untuk menyambung hidup kami beberapa bulan ke depan. Biasanya berupa sekarung beras dan makanan kaleng, bahkan bila beruntung bisa mendapat binatang ternak seperti seekor kalkun dan anak domba―tapi hadiah yang itu sangat jarang. Di malam harinya, para sraden dan Dewan akan melangsungkan pesta minum-minum sampai teler dan memaksa kami para rakyat jelata untuk memberi pertunjukan seru. Apa saja. Banyak yang melakukan hal nekat demi menarik perhatian para dewan dan sraden agar mereka memberikan uang tak seberapa atau makanan."
"Seperti apa contohnya?"
Aku berpikir sebentar sembari menatap Ursa menuang beberapa sendok bubuk cokelat ke dalam cangkir, lalu mengucurkan air panas ke dalamnya.
"Ada yang menari telanjang, melakukan akrobat, atau terang-terangan melakukan aksi mencelakai diri. Dulu sahabatku yang bernama Aris pernah melakukan atraksi memasukkan jarum ke telinga. Dia memang berhasil membawa pulang sekantung kecil beras dan beberapa makanan kaleng, tapi besoknya dia langsung demam karena infeksi luka di telinganya."
"Oh, ya ampun. Apa dia baik-baik saja?"
"Dia baik-baik saja, yeah, tingkahnya yang itu memang berbahaya."
Ursa menyodorkan secangkir cokelat hangat di atas tatakan mungil, kemudian kami menyesap minuman itu sambil berdiri di konter dapur mungil yang terang, dibanjiri cahaya pagi yang masuk melalui jendela-jendela ruangan. Gadis itu berceletuk, "Lalu kau menari telanjang?"
"Tidak!" aku mendengkus, nyaris terpeleset ke lantai saking lucunya. "Ini sedikit konyol, tapi dulu ... saat masih enam belas tahun, aku pernah ditantang oleh salah seorang sraden untuk saling adu siapa yang mabuk paling cepat di antara aku dan dirinya. Aku melakukannya bukan atas pikir panjang. Para sraden menjanjikan memberiku uang dan makanan, jadi itu tawaran bagus. Singkat cerita, kami minum bergantian, satu gelas demi satu gelas. Besoknya aku sudah terbangun di kamar sendiri dengan kepala mau pecah dan muntah seharian penuh. Pakaian atasanku sudah hilang entah ke mana, dan sekujur tubuhku penuh coretan spidol―makian-makian kasar dan gambar-gambar kotor...."
Ursa terdiam lama mendengar ceritaku. Ekspresinya entah sejak kapan berubah seolah dia sangat terkejut sehingga tak mampu berkata-kata. Jadi, aku membesarkan hatinya, "Banyak juga penduduk yang bernasib sama denganku. Sudah merupakan keberuntungan besar kalau aku tidak digerayangi mereka ketika mabuk."
"Mana kau tahu? Kau kan teler!"
"Tapi aku ingat sebagian, kok. Aku ingat ... mereka mau mencekokiku minum lebih banyak, lalu ibuku datang ke balai desa. Dia menangis dan marah-marah ... melempari para sraden dengan sesuatu. Mereka hanya tertawa seolah itu tindakan tak berguna, tapi akhirnya aku diseret pulang ke rumah dan ...." Kata-kataku menghilang di akhir seolah baru sadar dengan apa yang kubicarakan.
Pengalaman itu sebetulnya sangat kelam. Saking kelamnya, aku ingat janjiku sendiri bahwa aku harus melupakan betapa sembrononya tingkahku saat itu, dan menyingkirkan bayang-bayang depresi Ibu yang semakin akut setelah dia memarahiku dan mengancamku untuk tidak ikut pesta-pesta sialan itu lagi. Sekarang, karena tidak sengaja menceritakan pengalaman aib itu pada Ursa, aku merasa payah, celaka, dan bodoh.
"Ursa, tahu tidak?" kataku dengan raut menyesal. "Sepertinya kemarin aku benar-benar mabuk bersama teman-teman. Aku bahkan memberitahumu cerita yang seharusnya tak kuceritakan."
Ursa memegang pergelangan tanganku yang terhampar di sisi tubuh, meremasnya kuat tapi dengan tekanan lembut.
"Tenang saja. Kita akan memperbaiki semuanya," lalu dia berjinjit dan mengecup pipiku dengan singkat.
Tatapan matanya terpaut padaku ketika Ursa meninggalkanku di dapur pagi itu.[]
-oOo-
.
.
.
.
.
Ya ampun huhu aku kasian sama mereka berdua 😭
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top