37. Kunjungan

SEPANJANG malam sampai keesokan paginya, aku tak bisa istirahat dengan tenang akibat mendengar perkataan Lukas mengenai Kegan. Dia memperingatiku sesuatu mengenai "cerita sesungguhnya" yang tak kupahami. Apabila Lukas tak mengada-ada, lantas mengapa selama ini Kegan tidak memberitahuku kenyataan sebenarnya? Apakah dia menyimpan rahasia lain tentang Raja? Ataukah rencana lain tentang misi peperangan?

Selepas bangun dari tempat tidur dengan perasaan kacau, aku memaksa diri pergi ke ruang makan. Tempat ini menjadi sepi lantaran sebagian besar anggota Kaum Liar telah dibawa menuju Rawata. Aku menemukan Ursa sedang memakan menu sarapannya sendirian di salah satu lajur meja. Kuhampiri gadis itu dan duduk di sisinya.

"Kau kelihatan tidak baik-baik saja," kata Ursa begitu aku mengempaskan diri di kursi bersama nampan makan berisi kentang rebus dan kacang-kacangan. "Tidurmu nyenyak?"

"Tidak terlalu," kataku. "Banyak yang kupikirkan."

"Termasuk merasa gelisah karena mau pergi ke Rawata?"

"Ya ... itu salah satunya."

Aku terdiam sejenak sambil memandangi menu sarapan dengan perasaan hampa. Lidahku tidak nafsu mengulum makanan, jadi aku hanya menyendok seperempat demi seperempat seraya menimbang-nimbang apakah perkataan Lukas kemarin bisa kuperbincangkan dengan Ursa. Kuputuskan memberitahunya karena dia adalah orang yang paling kupercaya.

"Ursa," kataku dengan suara lirih. Aku memeriksa ruang makan sejenak dan memastikan bahwa tidak ada orang selain kami berdua. "Begini, ada sesuatu yang mau kudiskusikan."

"Ya, aku juga punya berita penting untukmu," kata Ursa mendadak.

Aku menyipitkan mata, "Berita penting? Baiklah, kau duluan."

Ursa menghalau satu tangannya di udara seolah memintaku untuk menunggu, sementara dirinya menyuap sendok terakhir dan memakannya dengan lahap. Setelah menelan makanannya, dia berkata, "Maaf. Semalam aku hampir tidak tidur, dan pagi ini perutku lapar sekali sehingga aku memutuskan makan dulu sebelum pergi ke kamarmu."

Aku mengusap sisa makanan di ujung bibirnya dengan ibu jariku, membuatnya terdiam sejenak. "Mengapa kau sampai tidak tidur semalaman?"

"Aku mencari tahu sesuatu," kata Ursa, yang menahan tanganku di bibirnya. Jemari kami terbelit di udara selama beberapa saat sebelum akhirnya saling melepas dengan canggung. Dia menutupi kerikuhan ini dengan nada serius, "River, sepertinya aku mendapat jawaban mengapa dulu rambut dan matamu berwarna hitam."

"Benarkah?"

"Ya, ayo ikut aku," kemudian Ursa menarik tanganku dan kami pergi dari ruang makan. Ini masih sangat pagi sehingga belum ada orang yang berkeliaran. Ursa mengajakku ke perpustakaan yang terletak di dekat tangga menuju gimnasium. Dia mendorongku masuk ke dalam dan menutup pintunya pelan-pelan.

"Di sini, aku menemukan sesuatu," katanya, lalu berjalan melewatiku dan menghambur ke dalam rak-rak buku yang ditata berjajar. Ketika menginjakkan kaki di sana, perpustakaan Aved memiliki kesan bagai sebuah ruangan magis. Langit-langitnya tinggi, tampak megah disepuh lukisan cat minyak dengan warna-warna merah dan biru. Sementara jendela-jendela tinggi melengkung, berwarna gelap, berbaris indah di antara dinding-dinding batu yang berwarna kuning keemasan. Ada sebuah lajur sofa di sudut ruangan dan meja yang dipenuhi tumpukan buku, cangkir teh, dan selimut.

"Kau tidur di sini semalam?" tanyaku pada Ursa.

"Ya, begitulah." Ursa menghampiri meja dan mengambil sebuah buku tebal bersampul kulit berwarna hijau pekarangan dari tumpukan paling atas. Dia memperlihatkan buku itu padaku. "Buku ini kutemukan di kardus bilik paling bawah, tersembunyi di antara koran dan majalah bekas yang sepertinya mau didaur ulang."

Aku membaca judul yang diukir menggunakan tinta emas. "Ini adalah panduan ilmu tubuh dan pengobatan."

Ursa mengangguk, "Di dalamnya ada banyak informasi yang selama ini menjadi kontroversi di bidang pengobatan karena dianggap sebagai sihir dan hasutan. Aku tak tahu bagaimana mereka memilikinya, tetapi seharusnya buku ini menjadi salah satu yang dimusnahkan, sebab saat aku berkunjung di perpustakaan kota beberapa minggu lalu, tak ada buku seperti ini di sana."

Ursa mengajakku duduk di sofa dan membuka lembaran buku yang telah menguning itu. "Lihatlah. Di dalamnya ada sebuah jawaban yang mengejutkan."

Dia menunjukkan padaku sebuah pembahasan di halaman dua ratus sekian, yang telah ditandainya dengan pita buku. Di sana tertulis penjelasan padat mengenai kuncian kesaktian―itu adalah sebuah ilmu medis kuno untuk menyegel kesaktian seseorang supaya menjadi manusia tanpa kekuatan. Efeknya beragam. Selain dapat mengubah warna rambut dan mata menjadi mirip Kaum Liar, pengobatan ini juga bisa membuat seseorang menjadi kehilangan ingatan.

Aku masih membaca setengah paragrafnya dengan ternganga ketika Ursa menjelaskan padaku, "Kau ingat kata Philene? Dia pernah bilang pada kita ... ilmu medis itu sangat luas dan masih penuh rahasia. Bahkan pada batas-batas tertentu, orang-orang yang ahli pengobatan bisa disangka sebagai penyihir karena mereka dapat melakukan segala hal yang kelihatannya mustahil."

"Ya, jadi ini...."

"Philene benar. Dulunya memang ada seseorang yang sengaja mengunci kesaktianmu."

Aku mengernyit mendengar pernyataan itu. Namun, rasa penasaranku sekarang memantul-mantul kuat. Kubaca hampir dua lembar penuh tentang penjelasan di buku dan mendapati sebuah kenyataan penting mengenai rahasia di balik penyamaranku. "Penyegelan ini mulanya digunakan untuk menghindari efek mematikan dari kesaktian yang tak bisa dikontrol," kataku komat-kamit membaca barisan kalimat pada tiap halamannya, "tetapi setelah bertahun-tahun praktiknya berjalan, ilmu ini disalahgunakan sebagai cara untuk menghukum Kaum Putih yang membangkang."

Aku berpaling pada Ursa dengan tatapan terpana sekaligus heran. Gadis itu berkata yakin memberitahuku, "Karena itulah, River, Dewan memblokir semua akses yang berhubungan dengan medis kuno ini, sebab mereka takut kesaktian para kaumnya akan musnah apabila ilmu ini dibaca oleh sebagian golongan pengkhianat."

"Aved memilikinya," kataku.

"Mereka kan pengkhianat negara. Sudah jelas mereka punya maksud dengan menyimpan buku kontroversi ini."

"Jadi inilah alasan mengapa kau sama sekali tak mendapatkan infonya di perpustakaan pusat kota, sebab Dewan seharusnya sudah membuang buku ini."

"Ya, dan sekarang kita tahu, kesaktianmu memang sengaja disegel agar kau menjadi Kaum Liar seutuhnya. Pertanyaannya, siapa yang kira-kira melakukan hal ini padamu?" Ursa membuka-buka halaman di bukunya dan membaca dengan cepat. "Pasti hanya kalangan tertentu yang bisa mempraktikannya. Di sini tertulis ... mereka menyuruh pasiennya secara rutin meminum sebuah ramuan campuran yang bahannya didapat dari berbagai titik berbeda di belahan bumi, yang melalui proses rumit dan berlapis-lapis dalam pembuatannya. Ini sudah jelas. Tidak sembarang orang yang tahu cara melakukannya."

"Dan tidak semua orang memiliki akses untuk mendapatkan bahannya."

Kening Ursa mengernyit, menatapku kebingungan. "Maksudmu?"

Aku bertanya hal lain yang lebih mencurigakan, "Ursa, kau bilang buku ini ditemukan di kardus berisi koran dan majalah bekas?"

Ursa mengangguk ragu. "Yah, tapi ... apa hubungannya ...."

Belum selesai Ursa melengkapi kalimatnya, pintu perpustakaan tiba-tiba didorong terbuka dari luar. Aku cepat-cepat menyambar buku itu dari tangan Ursa dan memasukkannya ke balik pakaian. Tepat beberapa saat berikutnya, Kegan muncul dari barisan rak buku dan melihat kami berdua yang berdiri berhadapan di sudut ruangan.

"Oh," kata Kegan, sementara kedua tangannya dilipat di depan dada, "Kalian pasangan kedua yang kepergok menggunakan perpustakaan ini untuk tempat berkencan."

"Kami tidak berkencan," kata Ursa, dan aku membuang napas. Kegan melihat tumpukan buku di atas meja dan bertanya dengan nada menyelidik. "Kalau begitu itu apa? Selimut, cangkir teh, dan buku-buku. Kalian tidur di sini semalaman, kan?"

"Terserahlah, kau bisa bepikir macam-macam tentang kami kalau itu memang membuatmu senang," kataku yang merasa jengkel. Aku menarik tangan Ursa dan setengah menyeretnya pergi dari tempat itu. Ketika menyusuri koridor yang lenggang, Ursa menyentak tanganku sehingga aku berhenti.

"Kenapa kau malah menyembunyikan bukunya?" tanyanya dengan sorot terheran-heran. "Kita bisa bertanya pada Kegan tentang kebenaran buku itu."

"Ursa, apa kau tidak merasa aneh? Kalau buku ini disimpan di perpustakaan Aved, di bawah kuasa Kegan yang seorang pemimpin, berarti sejak awal Kegan semestinya tahu jawaban atas permasalahanku. Tapi selama ini dia bilang dia tidak tahu mengapa rambut dan mataku menghitam. Dia selalu bilang bahwa dia akan mencari jawabannya, tapi sudah berminggu-minggu sejak kata-kata itu tak diwujudkan dan malah terlupakan oleh kita. Itu artinya apa?"

Ursa terdiam sejenak. Ekpresinya yang semula berkerut-kerut tegang kini melonggar, seolah dia baru paham apa maksudku. "Itu artinya, Kegan memang sengaja tidak memberitahu kita soal ini?"

Aku menatapnya dengan yakin.

"Bagaimana kau bisa menebaknya?" Ursa bertanya.

"Itu karena ... kemarin Lukas memperingatiku, katanya selama ini Kegan tidak jujur."

"Apa? Dia bilang seperti itu?"

"Ya, dan mungkin sekarang kita sudah menemukan satu potongan teka-tekinya. Buku ini." Aku menunjuk tonjolan keras sampul buku yang kusimpan di balik pakaian, "Kau bilang kau mendapatkan buku ini di kardus berisi majalah dan koran bekas, iya, kan? Kemungkinan besar Keganlah yang sengaja menyembunyikannya. Dan, selalu ada alasan mengapa dia tak mau kita menemukannya."

"River, astaga," Ursa menyugar rambutnya ke belakang, menatapku dengan mata menyipit, "Kira-kira mengapa dia menyembunyikan sesuatu dari kita?"

"Entahlah, tapi kata Lukas, ini bukan sesuatu yang mengancam keselamatanku. Lukas bilang ... ini masalah kepercayaan. Cerita sesungguhnya."

Ursa terdiam dengan tatapan prihatin dan cemas, lalu aku kembali mencekal lengannya dengan erat, "Kau tidak perlu khawatir. Besok siang, saat kita berangkat ke Rawata, aku akan mencari tahu jawabannya. Di sana pasti ada sesuatu yang bisa menjadi petunjuk. Lukas juga memberitahuku soal ini."

"Mengapa Lukas tahu?" Ursa bertanya menuntut. "Apa kau juga tidak merasa aneh? Mengapa Lukas tiba-tiba memberitahumu soal ini? Kalau Kegan menyembunyikan sesuatu dari kita, mengapa dia tak menyembunyikan juga dari Lukas?"

"Lukas mengatakannya padaku diam-diam. Dia pasti juga mengambil risiko besar atas tindakannya kemarin."

Mata Ursa bergerak gelisah. Tangannya merambat menyentuh pergelanganku, meremasnya dengan perlahan, "Hati-hati River. Kalau Lukas mengambil risiko, bisa jadi kau juga akan menanggung akibatnya. Aku akan membantumu mencari informasi. Kita saling berbagi petunjuk, bagaimana?"

"Ya, aku setuju," kemudian kutelusuri pipi Ursa dengan jemariku dan berkata tulus di hadapannya, "Terima kasih, Ursa. Kau ... kau adalah satu-satunya yang kupercaya di sini."

-oOo-

Keesokan harinya datang dengan cepat. Kami semua, termasuk rombongan Philene dan anggota tinggi Aved―Kegan, Mavena, Rustin, dan satu anggota tertua yang namanya tidak kuhafal, pergi dari markas besar dan menaiki kendaraan pribadi menuju Rawata. Perjalanan ini menghabiskan waktu sekitar setengah hari. Aku berada di dalam kargo truk bersama Ursa dan kawan-kawan. Sampai setengah perjalanan, tak ada di antara kami yang memulai pembicaraan.

Dialog pertama datangnya dari Dumbo; "Hei, ini agak aneh. Apa ... kalian semua takut?"

Hathen yang duduk bersila di dekat pintu berkata lirih, "Sedikit."

"Aku enggak menyangka akhirnya kita sampai di titik ini," kata Dumbo, terdengar ragu. "Maksudku, bukan berarti aku pesimis. Rencana dari Kegan memang baik, tapi ada hal-hal yang mungkin terjadi di luar kendali. Bagaimana kalau ... kalau ...."

"Bagaimana kalau Aved dikalahkan dan kita semua mati?" Hathen berkata dengan nada berat.

Philene mengusap hidungnya yang memerah karena udara dingin, lalu berkata, "Kita semua meninggalkan keluarga dan kampung halaman kita demi sesuatu yang lebih baik lagi."

Hathen berbisik lirih, "Kalau kita gagal ...."

"Kemungkinannya kecil," kata Ursa, yang membuat semua dari kami berpaling menghadapnya. Gadis itu sedikit mendongak dan menatap kami dengan sorot keyakinan. "Aku bilang, kemungkinan kita gagal lebih kecil. Ibuku dan aku sudah memperhitungkan soal ini. Rencana menyusup dan menyerang dari segala penjuru Kerajaan sudah sangat baik, kendati kita memang tidak bisa menghitung seberapa besar kerusakan, termasuk korban nyawa yang ditanggung. Tapi, bisa tidak sih, hentikan kekhawatiran kalian semua? Sejak awal ibuku sudah bebas memberikan pilihan kepada kalian untuk bergabung atau tidak. Jangan memperparah kondisi saat ini dengan pikiran-pikiran muram seperti itu."

Nada naik dalam suara Ursa membuat semua orang terdiam. Philene menarik napas dan membuangnya dengan satu pelepasan panjang. "Ursa benar. Ini adalah pilihan kita, kan?"

"Ya, aku memilih ikut kalian karena aku takut kelaparan di luar sana," kata Hathen, yang dibalas decakan kesal dari Dumbo dan Philene. Sejurus kemudian Hathen tertawa, "Aku bercanda, Kawan. Aku ikut pemberontakan ini karena aku enggak tahu apa lagi yang bisa kulakukan selain mendaftar menjadi pahlawan pemberontak yang namanya bakal dikenal sejarah."

"Bisa dibilang, ini aksi yang terbentuk dari kepasrahan dan kenekatan," tambah Philene, lalu kami semua tenggelam dalam tawa kecil yang menipu kegelisahan di dalam dada.

Pada sore harinya, ketika matahari mulai larut dalam bayang-bayang penghujung senja, truk Mavena telah sampai di kawasan Istana. Dari pemandangan melalui celah pada dinding kargo, kami melewati sebuah jembatan lebar yang melintang di atas kanal tempat perahu-perahu kecil mengangguk-angguk di air. Panji-panji Rawata dikibarkan di setiap sudut jalan, dan keramaian kendaraan yang berlalu lalang mulai terlihat. Rupanya semua tamu undangan juga mulai berdatangan. Aku mendengar gumam ribut dan derum kendaraan yang berjalan bersisian melewati jembatan, masuk ke sebuah lingkungan yang serba hijau dan subur, tempat di mana taman Kerajaan berdiri sempurna. Lampu-lampu halaman mulai dinyalakan dan gemerlap indah keemasan mulai menyelubungi jalan setapak berkerikil.

Kami melewati sebuah gerbang yang terbuat dari emas tempa dan berhiaskan simbol Kerajaan berupa kepala singa. Para sraden bersetelan hitam sudah berbaris di sisi lain gerbang. Mereka semua adalah kaum tanggung seperti Dumbo dan Hathen, hanya saja wajahnya telah diatur sedemikian rupa untuk senantiasa memasang raut kecut dan keji. Ini mengingatkanku pada kekejaman sraden Putih yang menjaga Kevra. Mereka semua membawa sepucuk senapan di pundak.

Truk Mavena berhenti di tengah-tengah jalan.

"Kita akan melalui pemeriksaan," kata Ursa, lalu melihat kami semua dengan bergantian. "Ingat dialog kalian?"

"Ingat, tenang saja."

Tepat setelah Dumbo mengatakan hal itu, pintu kargo dibuka dari luar. Sepasang sraden mencocokkan jumlah kami dengan selembar kertas undangan yang dibawanya. Salah seorang di antara mereka berkata, "Enam orang tamu undangan. Kami tidak diberitahu kalau dua di antaranya adalah kaum tanggung." Tatapan matanya mengerling sinis pada Dumbo dan Hathen.

"Kami sraden kepercayaan yang dibawa Nyonya Mavena."

"Sraden kepercayaan?" Seorang nyaris tertawa meledek. "Seperti di sini kekurangan sraden saja."

"Coba saja bertarung dengan kami. Dua puluh anggota seperti kalian bakalan kalah dalam sekali serangan, hanya dari anak ini saja." Hathen mendadak menunjuk Dumbo yang langsung melotot kaget. Mavena menyuruh kami agar tidak banyak berkomentar demi menghindari percakapan yang tidak penting, dan Hathen sudah mematahkan perintah itu.

Kami semua membeku di dalam kargo bus, menanti-nanti hal buruk apa yang bakal terjadi. Namun, para sraden itu entah bagaimana malah menyerahkan kembali surat undangannya pada Hathen. Wajah mereka terlihat jengkel dengan kata-katanya barusan. "Nikmati pestanya, Tuan-Tuan." Kemudian pintunya didorong menutup dari luar.

Saat truk kembali berjalan, Philene cepat-cepat menggeplak kepala Hathen, "Mulut busukmu itu enggak bisa diam, ya?"

"Maaf, habisnya mereka yang mulai duluan."

Kami berusaha tak memikirkan hal itu dan kembali melihat jalanan dari celah. Truk Mavena semakin dalam memasuki wilayah Kerajaan. Dalam barisan panjang kendaraan, kami berduyun dibawa maju melewati labirin pagar tanaman, yang tersepuh oleh sinar emas dan bunga-bunga mawar besar yang melingkari tiang lampu. Dan, entah dari mana asalnya, aku merasa takut, lebih takut dibandingkan saat Turnamen Rawata membawaku kemari. Barangkali ini karena pertama kalinya kami memasuki wilayah bagian depan Istana Agung.

Ketika truk akhirnya berhenti, kami keluar dari dalam kendaraan dan menyaksikan sebuah bangunan paling megah yang pernah kulihat sepanjang hidupku. Tingginya jauh melampaui patung air mancur yang dibangun di tengah-tengah lahan lapang persegi enam. Bangunan istananya didominasi warna hitam dan emas, dengan bagian depan teras yang dijejali tanaman segar merambat dan patung-patung yang berdiri simetris. Pintu ganda besar terbuka lebar. Dari dalamnya, beberapa tamu undangan masuk dan sepertinya diantar langsung ke kamar masing-masing. Aku merasakan kakiku sedikit kaku untuk melangkah, seperti dipaku di tanah. Bulu kudukku merinding ketika mataku melihat isi di dalam Istana, secara cemas membayangkan bahwa nantinya tempat ini akan menjadi lautan darah dan kuburan masal dari banyaknya orang yang gugur.[] 

-oOo-


.



.



.



.



Bentar lagi cerita ini tamat. Persiapkan dirimuuuu~ 🤤

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top