34. Rencana Kudeta

TATAPAN Kegan menyisir para anggota yang duduk melingkari meja rapat. Suaranya menggelegar ketika berkata, "Sebelum kita memulainya, izinkan aku mengenalkan kepada kalian semua, dialah River Shadil, orang yang kemarin aku ceritakan. Anak yang kita cari-cari selama ini, Wajah Revolusi yang bersembunyi di antara masyarakat Liar, serta Sang Terpilih yang akan turun ke pemberontakan dan melaksanakan tugasnya untuk membunuh Raja."

Semua orang berpaling menatapku, dan aku merasakan sentruman aneh di dasar perut yang membuat tubuhku diliputi gelisah dan takut. Tapi aku pura-pura menatap dengan berani.

"Jadi inilah si River yang dinanti-nanti itu."

Seorang pria jangkung bermata emas yang duduk di dekat Joda bertanya penuh selidik. Kumis dan cambangnya yang dibentuk dan dipangkas rapi memekikkan ketegasan dan keteraturan. Belakangan aku baru tahu kalau namanya Rustin. "Kau terlihat sangat muda."

"Usianya delapan belas tahun," kata Kegan. "Tapi dia sebetulnya lebih kuat dari kelihatannya. Ingatlah, kita dulu tidak berharap banyak pada anak yang sejak belasan tahun tinggal di lubang tikus, bukan?"

"Kau bisa baca tulis?" tanya Rustin tak memedulikan Kegan.

Seorang anggota dari Kaum Liar yang duduk tak jauh dariku bergumam ketus, "Ayolah, memangnya itu penting?"

"Ibuku mengajariku baca tulis," kataku. Saat aku bersuara, semua orang membisu dan menatap. Aku berdeham dan melanjutkan dengan nada yang kujaga tenang, "Sejak kecil, aku dan adikku belajar banyak hal dari buku-buku yang disimpan Ibu di balik tegel batu."

Rustin membalas sinis, "Kau tahu siapa yang akan kauhadapi nantinya, kan? Jangankan membunuh Raja. Apa kau sendiri yakin bisa ikut berperang?"

"Aku cukup yakin."

"Belum ada tiga bulan kau tiba di sini, kan? Sebagian besar masa hidupmu bahkan dihabiskan di Kevra. Menurut laporan, mata birumu itu juga baru-baru ini muncul, dan kau tidak bisa mengontrolnya dengan benar serta harus selalu membutuhkan pemicu. Bagaimana bisa kita memercayakan perang itu untukmu? Aku meragukan kekuatanmu, Nak."

Berkat kata-kata Rustin yang bernada meremehkan, ruangan seketika berubah menjadi tegang. Aku merasakan semua pasang mata memandangku seakan mereka menunggu-nunggu tanggapan meyakinkan.

Jarum jam bergulir dan berdetak. Ada rasa malu dan tidak terima yang berkobar di dadaku.

"Aku bisa bertarung," jawabku yang sama sekali tidak terdengar meyakinkan, tapi aku betul-betul merasa tidak nyaman karena lebih dari selusin orang duduk di sini dan memelototiku.

Rustin tiba-tiba berdiri dari kursinya dan menghampiriku.

"Bisa kau berdiri?"

"Apa?"

"Berdirilah." Lalu aku berdiri mematuhinya.

Mendadak saja Rustin meninju perutku dengan keras. Seluruh udara dalam paru-paruku tersembur keluar dari mulut. Bersamaan dengan semua orang yang terhenyak atas aksi tiba-tiba ini, aku membungkuk sejenak untuk meredakan nyeri, tapi kemudian berdiri tegak lagi.

"Nah, aku sudah memberimu pemicu," Rutin mengayunkan tangan di depan muka seolah ingin mengajakku bertarung, "Ayo balas aku di sini. Buktikan padaku bila kau memang punya kesaktian."

"Rustin, ini konyol," Kegan membalas tak habis pikir.

"Diamlah," sahut Rustin kasar, "Walaupun anak ini memang orang yang kita cari-cari sejak dulu, kita tetap tidak boleh memercayakan perang pada orang yang hati dan fisiknya lemah. Nah, ayo lawan aku, Nak. Apa kau takut, huh?"

"Anda yakin? Kalau kena, tulang-tulang Anda bisa patah dan hancur."

"Ha. Jangan ragukan aku." Mata hijau Rustin berkilat-kilat meremehkan, "Kita lihat seberapa hebat kau bisa mematahkan satu dua tulangku."

"Tapi aku sungguh-sungguh ...."

"Rustin, sudahi saja ini. River, kau lebih baik duduk," Kegan memerintah dari kursi seberang.

"Kau kelihatan seperti idiot bila tidak membalas apa-apa," desis Rustin padaku. Seringai yang culas. Pandangan meledek.

Ekpsresi Rustin tampak sangat merendahkan. Sementara itu, semua anggota yang lain terus menatapku, kelihatan sama bosan dan tak terkesannya. Akhirnya, alih-alih mematahkan tulang Rustin yang hanya akan memicu penyesalan tak bergunanya, aku menghunuskan tinjuku ke permukaan meja rapat yang luas ini. Suara krak keras, bersamaan dengan dengking terkejut orang-orang membahana di ruangan. Mula-mula meja retak menjadi dua bagian besar, kemudian patahannya turun dan membuat meja menjadi miring ke kiri. Keretak patah itu terdengar sampai ke bawah. Ketika kulihat, rupanya lantainya ikut retak dan pecah.

"Aku tidak memerlukan pemicu untuk mengeluarkan kesaktianku," kataku pada Rustin. "Dan yang kupakai barusan tidak ada seperempat dari yang sanggup kukeluarkan sepenuhnya."

"O-ho," Kegan yang berada tak jauh dari tempat kami tertawa sambil menepuk tangannya. "Rustin, Rustin, kalau barusan River menggunakan kekuatan itu untuk melawanmu, tulangmu tidak hanya patah, tapi organmu juga bisa pecah!"

Selain Kegan, semua anggota lain memiliki respons berbeda-beda atas hal ni. Beberapa memang tampak terpana, tapi lebih banyak yang merasa resah. Rustin mulanya terpaku lama sambil tak berhenti memelototi meja yang retak menjadi dua, seakan-akan dia sedang membayangkan dirinya adalah meja.

Setelah aku kembali duduk, Kegan melanjutkan, "Baik, saudara-saudaraku, tenang saja, kita bisa membuat meja yang baru. Sekarang mari lanjut ke agenda utama."

Kegan mengambil koran yang diselipkan di balik mantelnya dan melemparnya ke atas meja. Sontak, semua perhatian kembali terkuras padanya. "Kalian lihat berita hari ini? Rawata nyaris padam dari berita mengenai penculikan para budak. Memang masih ada segelintir surat kabar yang membicarakan pergerakan-pergerakan Aved yang mencurigakan, tetapi kuyakin itu tidak sampai menguras atensi Dewan. Pada akhirnya, mereka lebih bergairah dalam mempersiapkan serangkaian acara besar yang tak bermutu."

Joda menimpali, "Lalu kapan kita akan mulai penyerangan?"

"Pada saat penobatan Raja yang baru," kata Kegan. "Bisa dibilang, pergerakan kita selanjutnya sangat drastis dan berisiko. Semua Vartin pasti ada di ruangan yang sama. Kemampuan satu orang dari mereka bisa disamakan dengan lima regu sraden unggulan. Kita bisa kehilangan banyak anggota bila langsung meledak di tengah-tengah acara."

Rustin berkata, "Kita akan cari cara agar bisa menyeimbangkan lawan." Dia menatap sederetan bangku yang berisi para Kaum Liar, lalu melanjutkan dengan nada berat, "Selama ini, seluruh anggota terbaik Aved adalah para Kaum Liar. Kita tidak bisa menyelundupkan mereka ke ruangan penobatan karena perbedaan mereka akan terlihat menonjol. Kita mengalami kesusahan di sini."

"Apakah ada cara supaya Kaum Liar bisa diselundupkan ke Istana?"

"Berpura-pura menjadi budak?" Mavena menimpali.

"Tidak ada cara lain," Kegan berkata. "Ada yang harus menyamar menjadi sraden pengawas. Saat penobatan dimulai, para budak harus berlari ke sayap kerajaan bagian barat."

"Aku kenal dengan Kepala Pelayan di Kerajaan, bisa kuatur untuk menyelundupkan mereka semua," sahut Mavena, yang mendapat anggukan lega dari Kegan. "Saat acara perayaan besar, biasanya para budak Kerajaan berkumpul di kandang para ternak untuk menjagal hewan-hewan. Beberapa ada yang menetap di kebun dan dapur."

"Tidak buruk, setidaknya kita bisa latihan menebas kepala binatang sebelum menebas kepala manusia sungguhan," Ines berkomentar.

"Perayaan Penobatan kali ini akan dihadiri oleh seluruh penduduk dan media," kata Kegan sementara dia menepuk-nepuk permukaan koran. Kemudian suaranya berubah menjadi desisan rendah penuh sekongkol, "Kurasa ... kita bisa membuat sedikit pertunjukan untuk mereka."

"Pertunjukan apa?" Rustin bertanya.

Kegan memandang kami semua. Seiring ucapannya terlontar, tatapannya yang semula datar perlahan berubah menjadi seringai keji yang mengerikan.

-oOo-

"Dia menyuruhku untuk membunuh Raja di hadapan para anak dan istrinya," semburku penuh kekhawatiran pada Ursa, yang duduk di tepi kasurku dengan tampang merenung. Aku mondar-mandir di dalam kamar yang sempit dan tak henti memikirkan perbuatan macam apa yang akan kulakukan setelah ini. "Ursa," kataku, kembali menatapnya. "Kau tahu yang lebih buruk lagi? Kegan akan menunjukkan eksekusi matinya di hadapan seluruh negeri!"

"River," Ursa berdiri, memegang kedua lenganku dan menatapku lurus-lurus, "Kau harus berhenti merasa cemas. Kurasa ini tidak seburuk kelihatannya. Maksudku ... eksekusi itu memang harus ada."

"Aku tidak bisa melakukannya di hadapan anak dan istrinya." Aku menepis tangan Ursa dan berbalik memegang bahunya, "Kau mungkin tidak tahu, tapi aku melihat sendiri tewasnya ibu dan adikku yang disebabkan oleh sraden Putih. Aku tidak bisa membayangkan hal yang sama terjadi pada anak dan istri Raja. Sekalipun mereka adalah orang jahat, tapi rasanya ini ...." Aku memejamkan mata, "Ini salah. Ini salah, Ursa."

Ursa mendorongku hingga aku merapat di tembok. Dia memegang kedua tanganku dan meremasnya, "Kau sudah menyatakan keberatanmu pada Kegan?"

"Ya, tapi dia kelihatan tidak peduli."

"Jadi, jawab dengan jujur. Apakah ini membuatmu tidak ingin membunuh Raja?"

Aku mengernyit pada Ursa, "Kalau di hadapan keluarganya―"

"Apa bedanya, River?" Ursa memotong dengan cepat. Tatapannya yang tajam membuatku gelisah. "Apa bedanya membunuh Kegan di hadapan keluarganya dan tidak? Pada akhirnya dia akan mati."

Aku merasa dibebani kemarahan dan rasa tidak puas yang meluap-luap. "Kau tidak tahu perasaanku. Kau tidak tahu penyesalan sebesar apa yang akan aku rasakan bila aku benar-benar melakukannya."

"Aku tahu. Aku hanya ingin kau berpikir realistis!"

Ursa terengah-engah. Wajahnya tersepuh rona merah, tampak sangat marah dan kesal. Aku bisa melihat retihan api obor terefleksi pada matanya yang berkaca-kaca. "River, ini adalah bagian dari kesepakatan kita sejak awal. Kau menyetujui membunuh Raja, artinya kau sepakat dengan kematiannya dan tidak lagi peduli pada apa yang terjadi padanya, termasuk keluarganya. Aku tahu kau memiliki hati yang lembut, tapi di titik ini semuanya tak berarti lagi." Ursa menyentuh dadaku dan kami saling bertatapan lama. Selanjutnya nada suaranya melirih, "Kau tidak harus memikirkan penyesalan. Yang harus kau pikirkan sekarang adalah nasib ratusan bahkan ribuan budak yang selama ini terkungkung dalam kebengisan Kaum Putih. Hanya itu."

Aku termenung lama, dan Ursa melanjutkan, "Sebelum bergabung bersama kita, Kalana adalah budak yang mendapat perlakuan yang sangat keji. Setiap harinya dia dikurung di sebuah penjara kecil dengan leher dan tangan dirantai. Tuannya menyuntiknya dengan semacam cairan untuk merusak rahim, lalu dia―" Ursa menahan napas dan memejamkan mata, "―harus melayani kebejatan orang itu. Itulah sebabnya mengapa dia tak bisa berhenti was-was dan badannya selalu gemetaran."

Rasanya ada sesuatu yang mengganjal tenggorokanku. Aku berusaha menelan ludah, tetapi susah. Berita ini terlalu mengejutkan hingga membuat napasku tercekat.

"Dan Kalana pasti bukanlah satu-satunya yang mendapat perlakuan seperti itu. Kau sudah tahu bahwa ada banyak budak di luar sana yang tewas dan tak mendapat keadilan."

"Aku tahu."

"Jadi, bisakah kau memikirkan nasib mereka? Saat ini, hanya itu yang terpenting."

Ursa tengadah, dan aku bisa melihat wajahnya yang seakan memohon. Dulu saat pertama kali tiba kemari, dia menatapku dengan ekspresinya yang ketus dan berbahaya, tetapi kali ini Ursa kelihatan lembut dan tak berdaya, seakan-akan dia memasrahkan diri jatuh ke tepi tebing yang curam dan dalam. Kami adalah dua jiwa yang memutuskan ikut berperang dan menyerahkan hidup pada takdir kematian. Barangkali ini adalah hari terakhir kami sebelum segalanya usai.

Aku menggenggam tangannya, lalu menariknya ke pelukan. Kusandarkan daguku pada pundaknya yang hangat.

"Maafkan aku."

Ursa menekan tubuhku pelan ke pintu, dan dia menarik diri. Kami bertatapan sejenak sebelum aku akhirnya menurunkan wajah dan menciumnya tepat di bibir.

Rasanya aku tak ingat mengapa dulu aku sangat membenci Ursa. Dan sekarang aku tak peduli. Ursa mengalungkan lengannya di leherku, sementara aku menyusupkan jemariku di rambutnya dan menariknya mendekat. Menciumnya lama di bibir.

Ursa melepaskan pagutannya sebentar dan berbisik di mulutku dengan lirih, "Tidak akan ada penyesalan, River. Tidak ada."[]

-oOo-

.

.

.


.


.


.


.


.


Panas dingin lihat River sama Ursa 🐒

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top