32. Sumber Keresahan

SENGATAN tajam menusuk kepala ketika aku membuka mata.

"Jangan bergerak, atau peluru ini akan melubangi kepalamu."

Suara itu berdesis rendah dan penuh nada benci. Aku berpaling ke samping dan melihat Ines sudah berdiri di sisi kursi tempat aku dirantai. Di ujung lengannya yang terentang, ada sepucuk pistol laras pendek yang moncongnya diarahkan ke pelipisku.

Aku menarik napas dengan pelan, bersyukur karena denyut jantungku sudah tidak sekacau tadi. Kabar yang lebih baik, jemariku yang terikat di belakang sandaran kursi dapat kugerakkan. Mereka tidak jadi membunuhku―barangkali juga telah memberiku obat penawar racun. Sebab ketika aku membuka mulut dan membuat suara, lidahku tidak sekelu tadi.

"Aku ... bukan musuh," kataku. Lega karena terdengar jelas.

"Lian bilang kau tinggal bersama sepupunya," kata Ines tiba-tiba.

Lian? Aku mengernyitkan kening ketika mendengar nama asing itu.

Kemudian, seakan belum cukup membuatku bingung, pintu berjeruji besi yang ada di hadapanku mendadak ditarik terbuka dari luar. Kegan masuk ke tempat aku disekap ditemani seorang gadis dari Kaum Liar―usianya mungkin sebelas atau dua belas―yang memandangiku dengan raut cemas bercampur takut. Gerak-geriknya lambat dan murung.

"Kau harus berterima kasih pada Lian karena telah menyelamatkanmu sebelum kau dikeroyok sampai tewas," Ines menunjuk gadis yang baru masuk dengan dagunya. Aku termangu sebentar, lalu teringat, bahwa sebelum berakhir tersekap di sini, seseorang memohon kepada kerumunan Kaum Liar agar aku tak dibunuh. Rupanya gadis bernama Lian inilah yang menyelamatkanku dari pembantaian itu.

"Lian," kata Ines seraya memandangiku dengan tajam, "Katakan lagi tentang kesaksianmu. Apakah benar pria ini adalah salah satu anggota pemberontakan yang tinggal bersama saudarimu?"

"Ya," Lian terdengar yakin tapi ketakutan. Aku melihat tangannya yang dikepalkan di kedua sisi tubuhnya, seolah berusaha mengumpulkan kepingan keberanian. "Saudariku yang bernama Kalana memberitahu soal itu saat dia mengirimkan pesan kepadaku lewat seekor burung. Dua bulan lalu, ada sekelompok orang yang datang ke rumah majikannya. Satu di antaranya adalah pemuda bermata biru, dua yang lain adalah Kaum Putih yang memiliki mata hitam, dan dua sisanya bermata hijau―anak gadis majikannya sendiri dan satu laki-laki yang punya senyum lebar. Mereka semua tergabung dalam suatu kelompok yang berencana menyulut pemberontakan di Kerajaan."

Tak perlu waktu lama bagiku untuk mengingat nama Kalana. Dia adalah salah satu pelayan di rumah Mavena, yang sejak dulu menarik rasa penasaranku karena pelayan itu terlalu penakut dan canggung.

"Bagaimana kau bisa tahu kalau orang bermata biru yang dimaksud saudarimu adalah pria ini?" Kegan bertanya seraya menusuk dadaku dengan jarinya.

Lian menatapku sejenak, kemudian membalas, "Karena aku pernah bertemu dengan orang ini sebelumnya."

"Apa maksudmu?"

Ya, apa maksudnya? Aku menatap Lian dan tak mendapat tanda-tanda pengenalan darinya. Apakah kami pernah bertemu sebelumnya?

"Kami pernah bertemu," Lian berkata sambil menatapku, "di dalam gang―saat aku pergi ke suatu tempat. Seorang teman perempuanmu menabrakku dan membuatku terjatuh di dekat kontainer sampah. Kalian mungkin tidak mengingatku, tetapi aku tidak bisa melupakan wajah kalian semua―gerombolan yang kelihatannya datang dari tempat jauh ... dua mata hijau, satu orang bertubuh sangat besar dan punya mata segelap jelaga. Aku mengenalimu dari sana―si mata biru satu-satunya. Saudariku juga menyebutkan ciri-ciri yang sama persis dengan apa yang kulihat, jadi sudah pasti kelompok pemberontak yang dia maksud adalah kau dan teman-temanmu."

Aku ingat. Rupanya benar, Lian adalah Kaum Liar pertama yang kutemui saat pertama kalinya aku menginjakkan kaki di negeri ini; si bocah yang mengompol dan kabur terbirit-birit.

"Benarkah itu?" Ines menghadap kembali padaku. Tanpa aba-aba, dia menjambak rambutku sehingga membuatku mendongak, lalu berdesis di antara rahangnya yang mengatup, "Benarkah kalau kau pernah bertemu Lian?" Gigi-gigi Ines bertaring tajam seperti ikan.

"Ya―benar." Tenggorokanku sakit. "A-aku bertemu dengannya ... di hari saat gerombolanku datang kemari ...."

Mata hijau Kegan yang keji seperti menggali kejujuran dari wajahku, "Baiklah, Dein. Sepertinya aku bisa menghubungkan benang merahnya. Ternyata kelompok pemberontak yang dimaksud Lian adalah kalian―orang-orang yang berada di sisi Mavena. Bodoh sekali karena aku sama sekali tidak curiga ketika melihat kalian semua duduk bersama di arena Turnamen, padahal satu dua kali aku mendapati kalian bertanya hal konyol, seolah-olah kalian ini orang baru yang tak tahu apa-apa. Dua mata hijau―Ursa dan Philene, dua Kaum Putih bermata hitam―Dumbo dan si ceking pendek yang aku lupa siapa namanya. Lalu kau ... Dein Jwarte. Sudah jelas identitasmu itu palsu, kan? Kau memakai nama orang lain untuk menutupi jati dirimu yang asli."

"Benar," kataku lemah. Seluruh tubuhku terasa berat dan sakit. Walaupun aku bisa mengatakan sesuatu, tetapi aku belum bisa mengordinasikan gerakanku dengan benar.

"Lian," kata Ines, sontak membuat Lian terkejut hampir melompat, "Kembalilah ke ruang makan. Kau akan kami panggil lagi untuk membahas soal saudarimu."

"Baik," Kemudian Lian berputar dan pergi ke balik jeruji.

Kegan kembali padaku, "Jadi, kau dan gerombolanmu bekerjasama dengan Mavena?"

Aku mengangguk.

"Apa yang kalian lakukan di sana?"

"Kami menyusun rencana ... dan latihan setiap hari," kataku, terengah. "Mavena bilang sejak dulu dia menanti kabar dari kelompok pemberontak yang sering menyebar simbol dan pesan rahasia setiap kali melakukan aksi menculik para budak ... kami pergi ke Turnamen karena Mavena pikir tempat itu adalah sasaran beikutnya yang kalian tuju, tetapi sampai turnamen selesai, tidak ada tanda-tanda apa pun...."

Kegan mendadak saja menyungging tawa menyeramkan di wajahnya yang bercodet, "Hebat sekali," katanya dengan nada terpana, "Ternyata selama ini Mavena ada di pihakku. Sejak dulu dia kelihatan seperti perempuan kolot yang tak peduli apa pun yang terjadi di sekitarnya."

"Bisa tolong lepaskan aku?" Aku memohon.

"Tunggu dulu," Kegan menahan tangan Ines yang sudah terulur ke belakang kursi, "Sebelum melepaskanmu, aku perlu tahu identitasmu dahulu. Katakan padaku, siapa namamu sebenarnya? Apa keluargamu tahu bahwa kau membelot pemerintah?"

"Namaku River," kataku.

Untuk sejenak, Kegan seakan terperenyak. Dia menanyakan namaku sekali lagi, dan aku menjawab untuk meyakinkannya bahwa apa yang dia dengar tidak salah.

"Kau seorang shraden?"

"Bukan. Aku berasal dari Kevra."

Perlahan, ada ekspresi aneh yang bersemayam di tatapan Kegan, seolah dia tidak terkejut mendengar jawabanku tapi di satu waktu merasa ... puas?

"Kau sungguh-sungguh Kaum Liar?" Ines tiba-tiba bertanya menuntut. "Bagaimana bisa? Apa dandananmu ini palsu? Apa rambut dan mata ini palsu?" Orang itu menjepit dua pipiku dengan jarinya dan memiringkan wajahku ke samping. "Biar kucolok matamu untuk membuktikannya!"

Ketika Ines hendak menusuk, Kegan mencekal pergelangan tangannya tepat waktu.

"Tunggu," kata Kegan, ekspresinya yang semula meledek kini terbungkus dengan keseriusan, "Ternyata kau orangnya. Kenapa kau baru muncul sekarang, hah? Ke mana saja kau selama ini? Orang-orang suruhan kami sudah terjun ke berbagai penjuru daerah untuk mencarimu."

"Ceritanya panjang," kataku. "Jadi kalian adalah kompolotan Garos?"

"Ya, dia adalah ketua sebelum aku menggantikannya. Dialah otak dari seluruh pemberontakan ini."

"Dia hanya sipir penjara," kataku.

"Itu namanya penyamaran, Nak," kata Kegan sambil menyeringai menakutkan. Dia berpaling pada Ines, "Kirimkan surat pada Mavena. Bilang padanya bahwa River bersama kita."

Ines langsung berlari ke balik jeruji, meninggalkan kami berdua. Kegan menyelipkan tangannya di belakang sandaran kursi dan memotong tali yang mengikat tanganku dengan erat, dan aku hanya memegangi lenganku sambil meringis kesakitan.

"Sekarang kau aman, bocah."

-oOo-

Pada penghujung malam, efek racun itu telah habis sepenuhnya. Aku sedang duduk di tepi kasur sebuah kamar markas kelompok pemberontak Kegan, dan mempelajari semua hal yang kutemukan di ruangan sempit ini.

Pada satu sisi dinding batanya, ada lampu minyak yang menerangi sebuah meja kecil dan beberapa buku yang ditumpuk. Di tumpukan paling atas, tergeletak sebuah pin sebesar koin. Untuk sekilas pin itu mirip dengan kalung pemberian Ibu, tetapi rupanya ada perbedaan di beberapa bagian. Ukiran logam pin ini berbentuk sayap burung dengan bagian kiri yang patah, sementara bagian kanannya terentang lebar. Di lingkaran atas pin ada sebuah frasa yang diukir memakai tinta emas, dan terbaca; "Seperti burung, kebenaran akan terbang bebas mengarungi lautan."

Tidak seperti kalung ibuku, yang tanpa tulisan apa pun. Pin itu kuletakkan kembali di atas meja, sementara kalung Ibu kukeluarkan dari balik pakaianku. Aku mengamati keduanya dan bertanya-tanya mengapa dua benda ini memiliki kemiripan.

Pada saat itu, suara ketukan di pintu kamarku terdengar.

Kegan muncul dari balik ambang, menatapku dengan sorot ketusnya seperti biasa. "Tubuhmu sudah pulih sepenuhnya?"

"Mau mengetesnya untuk cari tahu?" Aku mengepalkan tangan dan memasang wajah sedatar mungkin.

Kegan mendengkus, "Tidak perlu, dasar bocah. Kemarilah, ayo kita makan malam."

Kemudian aku mengikuti Kegan pergi ke sebuah ruang makan yang berada di persimpangan lorong markas. Di perjalanan, sinar dari lampu minyak di sepanjang dinding terpapar pada Kegan, hingga aku bisa melihat sesuatu yang berkilat-kilat menyembul dari balik pakaiannya. Aku menyipitkan mata memperhatikan pin yang sama dengan yang kutemukan di dalam kamar.

"Benda apa itu?" tanyaku. "Aku melihatnya juga di kamar."

Kegan melihat pin yang menyembul keluar dari balik pakaiannya, lalu menyelipkan kembali pinnya agar tak terlalu kelihatan, "Ini lambang kelompok kami. Kelompok kami bernama Aved―pembawa pesan."

"Aved?"

Kegan menoleh sekilas padaku. "Kenapa?"

"Aku juga punya yang mirip seperti itu, tapi tidak sama." Lalu kukeluarkan kalung dari leherku dan kutunjukkan kepada Kegan. Pria itu berhenti melangkah untuk melihat liontin pemberian Ibu. Keningnya mengernyit, seakan dia tahu sesuatu. "

"Ya. Ini lambang Aved yang dulu. Tidak mengejutkan kalau kau memiliki ini juga. Apa ini milik ibumu?"

"Benar. Kenapa kau bisa tahu?"

"Hanya menebak." Lalu Kegan berputar dan meneruskan langkah. Rasanya ada sesuatu yang dia tahan-tahan, tetapi aku memilih untuk tidak terlalu menggubrisnya.

"Mengapa namanya Aved?" tanyaku.

"Kau lihat di sini ada simbol sayap burung," kata Kegan sambil menujuk pinnya di tempat tadi. "Sejak awal kelompok dibangun, kami melakukan pemberontakan dengan sembunyi-sembunyi. Orang-orang yang mengerti gerakan ini menerima dan menyebarkan pesan lewat burung. Itulah cara kami berbagi informasi. Dewan yang berdinas di bagian perhubungan dan jaringan telekomunikasi beberapa bulan belakangan mulai gencar menyadap perangkat komunikasi masyarakat untuk mengendus pembelotan."

Aku mengangguk, "Mavena juga menggunakan burung. Kami punya satu yang bernama Sibel."

"Di sini kami punya banyak burung. Kandangnya ada di menara paling atas. Anak-anak Kaum Liar yang melatih dan mengurus mereka setiap hari." Kemudian Kegan tiba-tiba berhenti melangkah. Dia berputar menghadapku dan berkata lirih, "Dengar, River," katanya. "Aku tahu aku seharusnya mengatakan hal ini jauh-jauh hari, tapi ... kami minta maaf karena kau dilibatkan tiba-tiba dalam pemberontakan ini."

"Tidak ada yang pernah memberitahuku sebelumnya, bahkan ibuku sendiri," kataku. "Ketua kalian yang bernama Garos itu adalah orang berengsek yang seenaknya menceburkanku ke dalam situasi ini."

"Aku tahu, dia memang berengsek," Kegan tertawa segan. "Sepuluh tahun lalu, Garos tiba-tiba datang ke markas dan memberitahukan apa yang telah dia lakukan kepada dua tawanan penjara itu. Kami semua terkejut dengan tindakannya, tapi tidak bisa melakukan apa-apa. Dia bilang akan menjemputmu saat usiamu sudah cukup besar untuk menerima semua ini, tetapi sraden Rawata keburu menangkap dan membunuhnya. Di saat kami ingin menjemputmu, muncul berita kalau kau diduga kabur dari Kevra. Kami semua kebingungan dan kacau ... entah harus mencari dengan cara apa. Syukurlah kau bertemu keluarga Mavena dan mengantarmu sampai ke titik ini. Kurasa ini takdir. Kau memang ditakdirkan menjadi Sang Terpilih."

"Kelihatannya aku memang tidak punya pilhan apa-apa," kataku. "Pada titik ini aku bahkan masih belum percaya bahwa aku akan melakukannya."

"Percayakan saja nasibmu pada kami. Percayalah pada kami, terutama padaku. Garos memang berbuat kejam kepadamu, dan aku pun tak punya pilihan lain. Tujuanku sejak dulu memang ingin membalas dendam pada orang-orang yang menyiksa Kaum Liar. Aku kasihan padamu karena menjadi anak yang terpojokkan, tapi apabila aku adalah kau, aku akan melakukan keputusan ini tanpa ragu."

Aku merasa mual mendengarnya, jadi kualihkan ke topik lain, "Apakah Mavena akan datang menjemputku?"

"Besok rombongan Mavena akan tiba kemari. Tapi kau tidak bisa langsung pulang, sebab setibanya Mavena kemari, kita akan melangsungkan rapat untuk membahas kudeta," kata Kegan, sejurus kemudian melanjutkan, "Semua orang yang ada di markas ini sekarang tahu siapa kau."

"Apakah mereka membenciku?" tanyaku. Aku teringat tentang salah satu alasan ketakutanku ketika memutuskan diri menjadi Wajah Revolusi. Aku takut semua orang membenciku karena aku adalah latar belakang pemberontakan ini, walaupun sejatinya sebetulnya ini adalah ide terkutuk Garos yang menculikku dan sengaja memasukkanku ke Kevra.

Kegan berpaling padaku saat kami memasuki sebuah ruangan di ujung markas. Suaranya berat dan datar ketika membalas pertanyaanku;

"Mereka tidak membencimu. Mereka menantikanmu."

Kemudian aku melihat sebuah ruangan yang dipenuhi orang dan peralatan yang berdenting. Meja-meja dan kursi digabung menjadi satu area makan yang luas. Saat kami memasuki ruangan, para Kaum Liar yang ada di dalam berdiri. Mereka bertepuk tangan, berteriak, dan saling mengentakkan kaki. Dentuman keributan ini mencapai jantungku, sehingga aku harus menormalkan napas untuk menerima situasi ini.

Sungguh ajaib. Beberapa saat lalu mereka hendak membunuhku. Sekarang mereka menyambutku.

Kegan menyuruhku mencari kursi kosong dan membaur bersama para Kaum Liar yang lain. Berada di antara kaumku yang dulu seharusnya membuatku lega, akan tetapi ketika membayangkan seberapa bencinya mereka terhadap kaum bermata biru, atau bagaimana kejamnya mereka saat hendak membunuhku, kelegaan itu luntur, terganti dengan gejolak resah yang memelintir perut.

Aku tak begitu memahami jenis perasaan apa yang kualami sekarang―apakah seharusnya aku merasa senang ... atau justru tersingkirkan?[]

-oOo-

.

.

.

.

Hehe bingung deh mau nulis note apa. Yaudah deh, selamat menikmati 🤣

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top