30. Penculikan Budak
"ALASAN yang membuat Tim Utara begitu nekat melawan tim Dewan adalah karena mereka terpikat dengan hadiahnya."
"Setiap tahun hadiahnya emas, kan? Itu memang cukup menggiurkan, tapi kalau harus melawan tim Dewan yang jago...."
"Bukan, Nak. Tahun ini jauh lebih menggiurkan," potong Kegan. "Lima puluh budak dari Kevra telah dipilih untuk menjadi hadiah Turnamen."
"Lima puluh budak?" tanpa sadar aku membalas dengan nada tak terima. Kegan melihatku dengan raut terkejut.
"Kenapa? Itu hadiah yang hebat sekali, kan? Lima puluh budak," ulangnya, lalu nyengir menghadap kami dan mulai mengoceh, "Akhir-akhir ini, harga budak semakin mahal karena adanya peristiwa―kau tahulah―yang menyasar para budak di rumah bangsawan dan pabrik-pabrik pekerja. Para pemegang bisnis merugi banyak karena budak mereka hilang tanpa jejak. Tapi kali ini hadiah Turnamen tidak diduga-duga. Kabarnya, budak yang dipilih adalah mereka yang masih muda―usia sembilan sampai tiga belas tahun―dengan fisik yang sehat dan ketahanan yang sudah dilatih oleh Lembaga Pelayanan. Rasanya seperti menanam investasi jangka panjang. Siapa yang tidak mau hadiah menggiurkan itu?"
Ocehan Kegan tentang memperlakukan Kaum Liar bagai barang membuatku muak. Diam-diam aku menahan diri dari upaya untuk meremukkan hidungnya.
Dumbo yang sedari tadi diam, membalas Kegan, "Jadi, orang-orang yang bertarung di bawah sana memperebutkan lima puluh budak itu?"
Kegan mengangguk sambil memasang tampang seolah Dumbo baru saja bicara konyol. Kurasa semestinya kami berhati-hati menanyai Kegan, sebab dia berpihak pada turnamen ini.
Kemudian, suara lonceng pertama bergema di seantero stadium. Dari kabin paling atas, seseorang berdiri dari bilik singgasananya―Raja Gangika. Rupanya dia memberi sambutan tentang turnamen tahun ini. Tidak banyak yang dia katakan, hanya beberapa kalimat tentang kehormatan bisa mengadakan acara tahunan lagi. Di penampilannya yang sekarang terlihat seperti akar pohon kisut, sepertinya Raja sudah melakukan hal paling melelahkan dengan hanya berdiri sambil mengoceh.
Sesuatu yang lain, yang berkobar di dasar perutku, membuat pikiranku abai dengan seluruh kata-kata sambutannya. Aku justru memikirkan ... betapa mudahnya menyingkirkan Raja bila kondisinya tua dan rapuh. Namun, pada suatu titik, benakku terbentur oleh keanehan. Apakah Raja Gangika betul-betul lemah, sampai Mavena sendiri memerlukan aku untuk menumbangkannya? Apakah Raja Gangika betul-betul ringkih sampai pasukan pemberontak rahasia dibentuk untuk melaksanakan kudeta itu? Ketika aku memikirkan alasannya, mataku merayap pada deretan orang super mengerikan yang berdiri di belakang Raja. Saat itu aku mendapatkan jawabannya.
Barangkali orang-orang yang bekerja bersama Raja―para Vartin, si senjata berjalan, dan putra sialannya (entah mengapa aku menjadi benci juga dengan Areka), adalah tameng hidup yang selama ini melindungi Raja. Jadi sebetulnya, kelompok Mavena dan kelompok pemberontak bukan hanya bertujuan membunuh Raja, melainkan untuk melumpuhkan pertahanan yang ada di sekelilingnya.
Saat aku sibuk menilai-nilai kesaktian para Vartin, lonceng kedua digaungkan. Katanya ini adalah tanda dimulainya turnamen. Aku menatap layar yang menampilkan gambar seluruh pemain Tim Dewan yang memasang helm besi di kepalanya, sementara Tim Utara langsung berpencar ke setiap sudut bukit terjal. Mereka mengambil posisi untuk menyerang dan bertahan.
Tidak seperti Tim Utara, Tim Dewan begitu percaya diri untuk langsung menuju ke puncak menara. Enam orang dari tim tersebut membentuk formasi lingkaran yang berfungsi sebagai tameng untuk melindungi satu-satunya anggota yang berada di tengah. Mereka kemudian berlari kencang membelah bukit terjal ke arah tengah.
"Oh-ho, langkah yang cukup impresif. Kali ini sepertinya mereka ingin langsung mengakhiri permainan―sudah tentu, hadiah lima puluh budak memang sangat menggiurkan sampai-sampai bisa menghentikan kebiasaan Tim yang suka mengundur-undur kemenangan," komentar Kegan sambil bertepuk tangan di dekatku. Dia melayangkan pujian itu kepada Tim Dewan yang berhasil memikat hati penonton di detik pertama mereka maju. Semua orang pun berteriak sama terpananya, bersorak-sorak dengan kata-kata; "Maju terus!" dan "Jangan beri mereka kesempatan!" tetapi beberapa penonton justru ada yang kelihatan menjambak rambutnya atau membanting barang-barang di sekitarnya karena kesal.
Aku mengernyitkan kening, lalu berbisik pada Ursa, "Mengapa ada orang yang kelihatan kesal? Apakah mereka mendukung Tim Utara?" Sulit dipercaya bila masih ada yang mendukung Tim Utara, padahal mereka kelihatan lemah dan tak tahu caranya berstrategi.
"Setiap tahun, tim yang sejak awal sudah kelihatan kuat, akan sengaja mengundur-undur waktu untuk merebut panji di menara karena mereka ingin menyuguhkan penampilan seru di hadapan penonton. Ini artinya mereka berniat menyiksa tim lawan secara perlahan dan mempermainkan mereka sampai lawannya ada di titik kelelahan ekstrem. Tapi kali ini ... kau tadi dengar komentar Kegan ... karena hadiahnya sangat menggiurkan, sebagian dari mereka tampaknya tak ada yang mau repot-repot mengundur waktu lagi. Tentu saja beberapa penonton tidak terima karena ini artinya turnamen akan selesai lebih cepat. Padahal untuk kemari, di antara mereka ada banyak orang-orang yang berasal dari tempat yang jauh."
"Apakah di sini semua orang begitu menyenangi budak?"
"Keberadaan mereka bisa jadi lebih berharga dari uang atau emas," kata Ursa.
Mendengar kalimat itu, benakku penuh dengan kemarahan dan rasa tragis, tak habis pikir dengan budaya masyarakat Rawata yang memperebutkan budak sama seperti benda. Aku berpaling menyapu stadion, memperhatikan Kegan, memperhatikan seluruh raut penonton yang berdiri seraya bersorak. Otot-otot di wajah mereka mengeras, tatapan berkabut penuh nafsu dan antusiasme. Sambil duduk tegang, rasanya harga diriku seperti ikut terinjak-injak.
Berusaha melupakan kemarahan itu sejenak, aku menatap arena. Tim Dewan mulai menembaki Tim Utara yang berlari berpencar. Serbuan panah dan senapan berdesing di udara dan melebur bersama teriakan para penonton. Namun, lawan mereka cukup gesit menghindari tembakan dengan cara berlari zig-zag, berguling, memanjat atau melompat. Komentar yang dilayangkan pengamat turnamen juga membuat segalanya lebih parah dan mengerikan. Aku bisa mendengar suara seorang pria tua menggelegar dari pengeras suara, melucuti apa pun dari aksi para pemain; "... mereka menembaki .... peluru itu hampir mengenai kepalanya, nyaris saja!... oh, dia menghindar tepat waktu, hampir saja kena tusuk!"
Philene yang duduk di dekatku mengepalkan tangan sambil berkomentar tak sabar, "Tim Utara rupanya cukup gesit buat menghindar. Tapi kenapa mereka malah terus berlari dan bersembunyi? Kenapa enggak ada yang melawan Tim Dewan? Mereka kan membawa senjata!"
"Karena itu percuma," balas Kegan. "Tim Dewan membentuk barisan rapat yang bergerak dalam satu arah. Di samping pola tembakan yang acak dan bertubi-tubi, pertahanan mereka ketika membentuk formasi lingkaran akan lebih kuat, apalagi dengan pakaian besinya. Kecil kemungkinan tembakan Tim Utara dapat mengenai bagian yang tak tertutup besi. Sementara senjata yang dibawanya hanyalah busur dari kayu yang mudah terpelanting. Kesimpulannya, untuk apa repot-repot melemparkan tembakan kalau tidak akan kena?"
"Jadi karena alasan itu Tim Utara memilih lari dan sembunyi?"
"Kemungkinan begitu."
"Dasar Tim Utara bodoh!" Philene semakin mengutuk. "Untuk apa maju kalau begitu?"
"Bukankah ini artinya mereka sudah mengaku kalah sejak awal?" tanyaku.
"Anak muda," kata Kegan kepada kami. "Coba pikirkan ini. Tujuh anggota Tim Dewan bergabung menjadi satu lingkaran utuh. Dalam strategi perang, ini adalah metode berisiko tinggi. Kumpulkan mereka di satu tempat supaya tim lawan tidak perlu membuang-buang amunisi."
"Tapi mereka tidak berani menembak Tim Dewan karena pertahannya kuat!" Philene membalas dengan dikuasai antusiasme karena marah.
Kegan menggeleng pelan sambil menatap layar yang menampilkan tembakan bertubi-tubi dari tim Dewan, "Menurut kalian, apa yang paling berbahaya dari formasi Tim Dewan?"
Philene masih berpikir, tapi aku segera membalas, "Senjatanya."
Kegan menatapku, dan aku melanjutkan, "Lima orang dari tim Dewan adalah kaum bermata hijau. Mereka tidak akan bisa―atau setidaknya akan kesulitan, bila melakukan pertarungan jarak jauh tanpa senjata."
"Jadi kalau kau menjadi lawan mereka, apa yang akan kaulakukan?"
"Menyingkirkan senjata mereka terlebih dahulu."
Kegan menyungging seringai, "Nah, mereka membawa tali, ingat? Itu pasti bagian dari strategi."
Setelah Kegan mengatakan hal itu, dua orang anggota dari Tim Utara, yang berada di titik yang berseberangan, menghadap gerombolan Tim Dewan dan langsung melemparkan empat panah sekaligus dari busurnya. Para penonton terkejut dengan aksi mendadak ini. Total delapan panah melambung di udara lebih tinggi dari arah tembakan Tim Dewan, lalu Philene berteriak, "Enggak bisa! Mereka bakalan mudah menghalau panah dari kayu itu!" sementara Kegan menyela kalem, "Hanya pancingan, anak-anak. Jangan takut."
Pancingan!
Sisa anggota dari Tim Utara menghambur maju dan melempar sesuatu dari pundaknya. Tali itu bahkan jauh lebih panjang dan elastis dari kelihatannya, seperti cambuk yang lentur dan kuat. Prosesnya begitu cepat―semua senjata yang dipegang Tim Dewan terbelit, terpelanting, dan dalam sekejap berpindah tangan ke lawan. Suasana nyaris hening selama beberapa waktu, tetapi ketika semuanya sadar apa yang terjadi, penonton di seantero stadium bersorak jauh lebih meriah.
Kegan berpaling pada gerombolanku yang duduk di belakang, "Lihat, kan? Tim Dewan terlalu dibutakan dengan target. Mereka berbondong-bondong menembakkan senjata karena berpikir cara keroyokan seperti itu akan berhasil mengenai setidaknya satu di antara musuh. Mereka tidak memprediksi apa yang telah disiapkan untuk melawan mereka."
Kegan benar. Tim Dewan hanya fokus menembak dalam arah tegak lurus. Tim Utara yang berhasil melihat celahnya, melambungkan busur dalam jumlah banyak sekaligus. Tindakan tiba-tiba ini membuat Tim Dewan secara terkejut berbondong melindungi bagian atas dan membuat formasi mereka tidak seimbang. Namun, kelalaian itu membuat segalanya hancur. Senjata mereka berhasil dicuri. Kendati mereka telah sampai ke menara, tak ada yang bisa digunakan untuk melawan atau memperlambat gerak musuh.
Beberapa anggota Tim Dewan tumbang saat menaiki menara―seseorang dari Tim Utara menembakkan panah dan menusuk tangan para pemain sehingga mereka berjatuhan seperti buah-buah yang tercerabut dari pohon (penonton menjerit, berteriak, dan memekik ketakutan pada segala jenis pertumpahan darah yang terjadi). Dua orang bermata biru dari Tim Dewan melempari batu-batuan besar ke arah lawan. Cara ini rupanya efektif untuk mengalahkan satu dua orang dari Tim Utara. Namun, mereka hanya punya dua pasang mata biru, yang artinya, mereka tidak bisa menguasai seluruh wilayah.
"Lihatlah, sekarang tim Utara yang unggul," Kegan menunjuk arena sebelah ujung timur yang menyorot menara. Dua orang dari Tim Utara memanjat ke puncak menara memakai tali yang disematkan lewat busur. Dengan cara ini, pergerakan mereka dua kali lipat lebih cepat.
Hanya dalam waktu beberapa menit, seseorang dari Tim Utara berhasil merangkak naik ke menara tertinggi dan langsung mencabut panji bendera Rawata. Semua penonton semakin ribut. Dengung dan sorak-sorai kemenangan digaungkan, kelopak bunga dan pita-pita dilempar, serta gong dibunyikan sebagai tanda berakhirnya turnamen.
"Hebat," kata Ursa dengan wajah memerah, barangkali karena antusias, "Pertunjukan yang disuguhkan Tim Dewan tadi memang hebat, tapi sebetulnya itu hanya upaya tergesa-gesa karena mereka ingin segera memenangkan turnamen."
"Masalah sebenarnya ada di sikap mereka," sahut Mavena, yang sejak tadi terdiam dan tak memberi komentar apa-apa mengenai pertandingan. "Inilah yang terjadi kalau kau meremehkan lawan."
Selagi semua orang menggaungkan lagu nasional dan merayakan berakhirnya turnamen, semua tim yang tersisa merapat ke pagar arena bawah. Kamera menyorot beberapa pemain, baik yang terluka ataupun yang masih bugar, seolah memberikan kesempatan bagi para penonton untuk mengomentari apa pun yang bisa dilihat dari penampilannya. Lima orang dari Tim Dewan duduk di atas tandu dan sudah mencopot pakaian pelindungnya. Sementara Tim Utara ... secara ajaib tak ada yang terluka, atau setidaknya mereka semua berdiri gagah tanpa dikerubungi tim medis Kerajaan. Bahkan pakaian mereka masih melekat rapat hingga menutup kepala.
Sedetik kemudian, kamera menyorot dua orang bersetelan resmi yang mendampingi masing-masing tim. Seorang wanita jangkung dan bertubuh besar berdiri mewakili Tim Dewan. Semua yang ada pada tubuh wanita itu bisa dikatakan subur, sampai ke otot lengan dan kakinya. Tatapan dari iris matanya yang berwarna biru memekikkan ancaman dan kekuasaan. "Pedra Ellis," kata Ursa. "Dia ketua yang membawahi Tim Dewan. Di majalah nasional tahun lalu, Pedra ada di peringkat teratas sebagai wanita paling berpengaruh di Rawata. Dia memiliki empat puluh pabrik pasokan makanan yang tersebar di seantero wilayah Barat."
Tepat saat kalimat itu usai, aku berpaling menatap sosok laki-laki kerdil dan kurus yang berdiri mendampingi Tim Utara. Matanya berwarna emas seperti Mavena, dan wajahnya mengingatkanku dengan Kegan―penuh luka codet, bahkan lebih banyak dari Kegan. Bentuk hidungnya juga tak simetris, seperti pernah patah. "Dan dia bernama Joda ... sesuatu. Mantan haram yang sudah pensiun. Setelah mendirikan pabrik tekstil, dia mengungsi di wilayah Timur dan tak terdengar lagi desas-desusnya."
"Joda, orang itu," kata Kegan dengan jemari menggosok dagu, rautnya seperti menilai sesuatu, "Beruntung sekali timnya menang ... lima puluh budak menjadi hadiah ...."
"Mereka sungguh hebat, ya," Philene berkata seraya menatap ke arah layar. "Tim Utara. Aku baru kali ini melihat pertandingan di mana musuhnya pura-pura lemah di hadapan lawan."
"Aku juga penasaran siapa mereka," timpalku, menatap sebaris pemain Tim Utara yang berdiri bagai patung di dekat pagar arena. Satu per satu dari mereka kemudian memasuki tenda, dan aku melanjutkan, "Di saat lawannya mempersiapkan senjata dengan maksimal, mereka malah muncul seperti orang yang tidak memiliki apa-apa."
"Kurasa itu strateginya," sahut Dumbo, "Mereka sengaja membawa busur dari kayu untuk membuat penonton berpikir mereka lemah. Siapa sangka bahwa mereka punya tujuan mencuri senjata lawan dan membalikkan keadaan di saat akhir?"
"Mungkin begitu," Hathen sepakat. "Kalau yang seperti itu menjadi bagian dari kelompok kita, pasti rencana kita sukses." Philene yang mendengar kalimat itu meluncur dari mulut Hathen langsung menginjak kakinya keras-keras sambil memberi pandangan melotot. Hathen baru sadar bahwa omongannya berpotensi menimbulkan kecurigaan, jadi dia menerima injakan itu dengan terpaksa sambil diam-diam mengusap kakinya. Aku melirik Kegan dan Mavena, tapi syukurlah, mereka sepertinya tak mendengarnya.
"Dasar ember bocor," Dumbo menggumam kecil di dekatku. "Seharusnya dia yang turun ke arena dan dibantai oleh Tim Dewan."
"Ya? Nanti kau nangis kalau dia kenapa-napa," kataku. Dumbo berdecak jengkel lalu mengusak puncak kepalaku.
Selepas pengumuman kemenangan, Raja Gangika memberi pidato perpisahan, kemudian semua orang mulai menyanyikan lagu kebangsaan, diikuti tribun yang melonggar karena penonton mulai pergi meninggalkan stadion. Kami berjalan ke bawah menuruni undakan tangga yang sempit. Saat aku berpaling ke belakang, aku baru sadar bahwa sejak tadi tak melihat Kegan.
"Ke mana Kegan?" tanyaku pada siapa pun yang ada di dekatku.
"Entah," Ursa membalas, lalu ikut celingukan, "Dia memang seperti setan bayangan yang tiba-tiba hilang. Omong-omong di sini gerah sekali ... kita harus cepat keluar dan berteduh di suatu tempat...."
Lalu aku memikirkan apa yang direncanakan Mavena pada malam sebelum Turnamen. Katanya kemungkinan besar hari ini kami akan bertemu dengan tim pemberontak yang selama ini beraksi sembunyi-sembunyi untuk menculik para budak. Entah bagaimana, aku pun memiliki firasat bahwa para budak yang menjadi hadiah turnamen akan menjadi sasaran berikutnya. Aku ingin membagikan pendapat itu pada Ursa, tetapi tentu saja bukan sekarang. Jadi, seraya menunggu-nunggu waktu yang tepat untuk bicara, aku mengikuti rombongan menuju pagar dan keluar melewati hutan.
Di penghujung perjalanan menuju arena parkir, Mavena yang berdiri tak jauh dari posisiku mulai menampakkan raut gelisah. Dia menyuruh kami untuk menunggu di dalam truk sementara dirinya pergi ke suatu tempat. Kargo belakang rupanya lebih sejuk dan nyaman, jadi kami berlima dengan patuh menunggu di sana, seraya memandangi bayangan pengunjung yang berkelebat di luar.
Saat itu, Dumbo berceletuk, "Hei, bukannya ini saatnya kita melihat-lihat situasi?"
Philene menyahuti, "Ya, Mavena bilang tujuan kita datang ke Turnamen ini untuk mempelajari apa yang bisa dipelajari, kan? Aku ingin mencoba masuk ke lapangan utama Kerajaan. Sepertinya gerbangnya dibuka saat kita lewat tadi."
"Jangan seenaknya membuat rencana," Ursa menegur. "Ibuku selalu tahu kapan waktu yang tepat untuk melakukan itu. Tunggulah sebentar."
"Tapi aku kebelet kencing," Hathen tahu-tahu mengeluh sambil mengempit kakinya. Dari rautnya, sepertinya dia tak bercanda. "Sudah dari tadi―sial. Beritahu saja di mana kamar mandinya, aku bakal lekas pergi."
"Tidak, tunggu sebentar lagi! Bisa gawat kalau kau pergi begitu saja!" Ursa menolak mentah-mentah. Sejak tadi Hathen memang selalu berpotensi membuat masalah, jadi anak ini tak bisa dibiarkan melakukan semuanya seenaknya.
"Terus gimana? Memang kalian mau aku ngompol di sini?" Hathen memasang tampang jengkel setengah mati, sementara Dumbo jelalatan di sekitar kargo untuk mencari sesuatu sambil menggumam, "Ya ... di sini enggak ada botol ... sepertinya kau memang harus menahannya..."
"Ah, berengsek! Aku enggak bisa! Ini sudah diujung!"
"Pipis saja di dekat sini. Banyak semak-semak," Philene mengusulkan.
"Dasar sinting! Banyak orang-orang yang lewat! Bagaimana kalau ada sraden pengawas yang melihat dan mereka malah meringkusku?"
Sementara Hathen sudah panik dan membuat berisik seantero kargo, aku mengusulkan, "Biar kuantar Hathen ke toilet terdekat. Aku bisa mengawasinya."
Semuanya lantas setuju. Ursa memberitahu toilet yang terletak jauh di belakang arena parkir. Lalu aku turun dari truk bersama Hathen dan mengikutinya menuju sebuah bangunan semen yang terletak di dekat pintu belakang. Kawasan ini begitu sepi dan cukup jauh dari bising penonton. Aku bahkan tak melihat siapa-siapa di sini kecuali kami berdua. Hanya ada dua truk yang terparkir tak jauh dari toilet. Keduanya memiliki kargo besar berpintu besi yang sepertinya muat untuk dua puluh orang.
Hathen masuk ke bilik kamar kecil dan menyelesaikan urusannya, sementara aku menunggu di balik dinding yang menyorot langsung ke bagian belakang truk tersebut.
Beberapa saat kemudian, terdengar bunyi berderap sekumpulan orang dan gumam obrolan yang tak jelas. Dari arah hutan yang terbuka, aku melihat gerombolan pemain Tim Utara datang menghampiri truk, didampingi oleh Joda, sang ketua yang berbadan kerdil. Di belakangnya, aku menelan ludah gugup karena apa yang kulihat membuat cairan dalam perutku menggelegak.
Para tawanan budak yang dihadiahkan untuk turnamen. Tangan mereka diikat dan ditautkan ke badan orang di depannya, sementara mata mereka ditutupi semacam kain hitam. Semuanya berjalan lambat-lambat dalam barisan seraya dituntun oleh beberapa Tim Utara.
Entah bagaimana, aku merasa ini bukan situasi yang tepat untuk menampakkan diri. Jadi aku sedikit merapat di balik tembok dan berharap Hathen tak keluar dari bilik kamar mandi sampai kawanan anggota turnamen itu pergi. Ketika kuintip dari posisiku, semua anggota Tim Utara kelihatan angkuh dan mengerikan. Mereka bahkan masih membawa senjata dan memakai pakaian lengkap yang melapisi seluruh tubuh.
Seseorang dari truk kemudian keluar. Dia membuka pintu kargo truk bagian belakang dan menuntun para budak untuk segera masuk. Mereka dibagi menjadi dua kelompok yang mengisi masing-masing truk. Aku memperhatikan dengan gugup dan jantung berdebar-debar. Bagaimana bila aku menghambur ke sana dan menyelamatkan para budak? Sepertinya itu hal mudah, apalagi kesaktianku sudah cukup terlatih. Aku bisa memukul dan melempar mereka. Hanya saja, keinginan ini terpaksa kutahan karena ada Tim Utara yang tampaknya menjadi halangan paling berat, terutama karena mereka semua membawa senjata. Tidak mungkin menjudi nasib dengan melawannya.
Ketika semua budak masuk ke dalam dua kargo truk, masing-masing anggota Tim Utara juga menyusul masuk ke kabin depan. Saat menaiki undakan, salah satu di antara mereka akhirnya membuka penutup kepala. Dan, apa yang kulihat selanjutnya membuatku tersentak.
Dia adalah seorang gadis berambut hitam.
Aku membeku saking terkejutnya. Apa maksud semua ini? Apakah semua anggota Tim Utara adalah Kaum Liar? Itukah alasan mengapa sejak awal mereka enggan mencopot penutup kepalanya? Saat aku masih memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi, suara keriat pintu dari dalam bilik toilet terdengar. Hathen pasti sudah selesai, dan aku ingin segera membagi hal ini kepadanya.
Ketika aku berputar, yang kulihat bukanlah Hathen.
Melainkan Kegan.
"Oh, Kegan," kataku nyaris kehabisan napas karena terkejut untuk kali kedua. Apa yang akan terjadi kalau Kegan melihat apa yang kuintip barusan? Dia bisa saja membekuk Tim Utara dan melaporkan pada sraden di luar sana. Sial. Bisa jadi Tim Utara adalah kelompok yang dicari-cari Mavena.
Berusaha agar tak terlihat mencurigakan, aku berpaling sebentar melihat keadaan di dalam truk yang sudah tertutup rapat. Semua orang telah masuk ke dalam. Lalu saat aku berpaling menatap Kegan lagi, otakku dilanda kebingungan dan kepanikan. Apa yang harus aku katakan?
"Aku baru saja pipis." Kata-kata bodoh.
Ekspresi Kegan mengeras dan suram. Mata birunya berkilat-kilat, dan otot-otot pada wajahnya berkedut tegang. Ada apa dengannya? Saat aku mengangkat mulut untuk bertanya apa yang terjadi, segalanya berlangsung bagai kilat. Kegan menghantam sisi kepalaku dengan tinjunya, dan aku terbanting jatuh membentur dinding semen.
Pada batas akhir kesadaranku, kata terakhir yang kudengar dari Kegan membuatku mual;
"Orang bermata biru sepertimu pantas mati, bedebah."[]
-oOo-
.
.
.
Hiyaaaa~ bang riveeerr 😭😭
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top