28. Turnamen dan Sekutu

"MAAF, aku ... seharusnya tidak lancang datang kemari."

Kalana menyembur minta maaf seraya membetulkan mangkuk ramuan di atas nampan dengan panik, sementara Ursa cepat-cepat menyingkir dari sisiku.

"Setelah ini, makanlah sesuatu untuk memulihkan tenaga," dia berkata seraya menatapku. Aku menangkap rona merah jambu tersepuh di pipinya sebelum Ursa berbalik, beringsut melewati Kalana, lalu keluar dari kebun. Barangkali rona yang sama juga tampak di pipiku, sebab wajahku terasa menghangat beberapa tingkat setelah Kalana datang kemari dan memergoki kami.

Kalana memperhatikan punggung Ursa sampai dia menghilang dari pintu, kemudian berputar menghadapku lagi. "Kau bisa menghukumku apa pun."

"Tidak perlu. Mengapa kau ini berlebihan?"

Kalana mengulurkan padaku semangkuk ramuan yang dibawanya, dan aku meneguknya dengan cepat seperti biasa. Ketika kutaruh kembali di nampan, dia masih tak bergerak seolah menantiku untuk memerintah.

"Apa aku akan dihukum?" tanyanya dengan nada panik.

"Memang kau pernah dihukum di rumah ini?"

Kalana menggeleng tanpa repot-repot menatapku. Dia tahu aku tak akan melakukan perbuatan yang kelewatan.

Sudah lebih dari satu bulan aku melihat Kalana di sini, tetapi dia masih sama seperti pertama kali kami berjumpa; kaku dan nyaris ketakutan. Sikapnya mengingatkanku pada ikan yang tertangkap di tong, yang kehilangan harapan dan hanya dapat pasrah menanti seseorang melakukan sesuatu yang buruk terhadapnya. Aku selalu bertanya-tanya mengapa dia bersikap berbeda daripada Medea dan Aris.

"Kalana, apa selama ini kau baik-baik saja?"

Pertanyaanku mendadak saja membuat Kalana tersentak. Gadis itu mendongak dan ekspresinya berubah seperti orang yang tak menyangka ditanyai seperti itu.

"Ya, tentu," dia membalas kecil. Sesaat kupikir dia akan pamit pergi, tetapi Kalana bertanya padaku. "Mengapa kau menanyaiku hal ini?"

"Tidak apa-apa, aku hanya penasaran," suaraku memelan di akhir, tak begitu mengerti ke mana akan membawa percakapan ini. Ada begitu banyak pertanyaan yang merangsek di dalam benak, tapi aku tahu aku tak punya cukup kuasa untuk ikut campur masalah. Ursa bilang Kalana adalah anggota baru. Artinya, sebelum ini, dia ikut bersama orang lain. Pusat Pelayanan tidak mungkin menampung kaum Liar sampai usianya dewasa. Dan, dilihat dari betapa enggan dan takutnya Kalana saat berbaur dengan kami, jelas ada sebuah peristiwa buruk yang dialaminya sebelum dia kemari.

"Kau kelihatan lebih cemas daripada pelayan yang lain. Aku hanya berpikir ... apakah kau terlalu takut berada di sini?" aku bertanya kecil.

"Oh, soal itu...." Pandangan Kalana turun. Dia melihat lantai di bawah kakiku seolah di situlah dia mencari jawaban yang kocar-kacir. "Aku ... hanya perlu pembiasaan saja. Berada di sini berbeda dengan tempatku dulu."

"Apa yang terjadi di tempatmu yang dulu?"

Kalana menatapku dan belah bibirnya terbuka. Ada getar tak kentara yang muncul di sana. Gadis itu membalas pelan, "Tidak ada," nadanya seperti kecewa. "Tidak terjadi apa-apa."

Lalu dia menunduk sopan dan pergi keluar.

Sudah jelas Kalana menyembunyikan sesuatu.

-oOo-

Tombak melayang di udara dan menghunus lempeng besi yang terjauh.

Di dalam gimnasium yang hanya diisi oleh kami berempat, Philene dan Hathen bersorak heboh membahana. Aku bertepuk tangan, lalu kami bertiga menghujani Dumbo dengan tinjuan karena dia berhasil melakukannya lagi.

Dumbo menyungging senyum canggung yang menampakkan ekspresi malu bercampur bangga. "Lumayan. Latihan dua bulan ini bikin aku semakin kuat."

Singkatnya, kami semua memang berubah, baik dari segi fisik maupun kekuatan. Dua bulan lalu Hathen kelihatan seperti gembel kurang makan yang tak terurus, tetapi sekarang dia terlihat manusiawi dengan pakaian layak dan wajah yang bersih dari brewok dan coreng moreng debu. Latihannya memang tidak membawa hasil yang pesat seperti yang kami lakukan, tetapi dia tidak mudah kehilangan semangat. Dumbo, meskipun badannya kelihatan menggembung dua kali lipat dari biasanya, tetapi dia justru lebih awas dan cekatan ketika menerima pelajaran. Sementara Philene, yang sekarang jauh lebih gesit dan kuat, menunjukkan tanda-tanda kecongkakan paling norak sebagai hasil mengembangkan kesaktiannya. Dia mulai percaya diri keluyuran di gimnasium tanpa baju atasan (bahkan itulah yang sekarang dia lakukan juga) demi memamerkan otot-otot perutnya yang terbentuk. Dari perbuatan konyolnya ini, tidak satu dua kali aku menangkap basah Medea dan Kalana sedang memelototinya sambil menelan ludah. Sepertinya Philene melakukan hal itu karena alasan mencari perhatian pada para perempuan.

"River," Philene berpaling padaku, lalu tanpa aba-aba langsung meninju lengan atasku dengan kuat. Biasanya aku akan goyah seperti lidi yang disentil, tetapi kali ini aku hanya bergeming.

"Ha? Apa-apaan ini?" terdengar nada terkejutan tidak suka setelah dia meninju lenganku. "Sini lihat ototmu!" Dengan heboh, Philene tiba-tiba menghambur dan memaksaku untuk membuka pakaian. Aku menghalaunya dengan ogah-ogahan, tapi Philene terus memaksa, "Hei, ayolah, cuma ada para lelaki di sini. Aku cuma mau lihat sebentar!"

"Hentikan, jangan sentuh―"

"Hehe, kau merasa sudah kuat, ya? Ayo, tunjukkan pada kami!"

Aku mendorongnya supaya menjauh, tetapi Hathen ikut-ikutan berbaur di antara kami dan memaksaku membuka kancing pakaian. Mendadak saja aku merasa malu dan terpojokkan.

"Apa yang kalian lakukan, sih? Mengapa nafsu sekali mau melihat badanku?"

"Tahu tidak," Hathen berseru di tengah usahanya melepas bajuku. Sorot matanya berapi-api seperti diliputi raut pengharapan. "Sebetulnya sejak dulu kami curiga padamu. Mengapa kau enggak pernah menampakkan kesaktian penghancur itu lagi? Yang kau lakukan di gimnasium ini cuma mencicipi senjata-senjata dengan random! Padahal ...."

"... kegesitanmu kalah jauh dibandingkan aku," Philene menambahkan.

Dumbo juga memelotiku dengan raut meledek, "... dan tembakanmu juga seringnya meleset."

"Jadi, apa yang sebetulnya kau sembunyikan dari kami? Kesaktianmu ini sebetulnya berkembang atau enggak, hah? Jawabannya pasti ada di badanmu. Entah mengapa akhir-akhir ini rasanya ototmu makin keras ...."

Lalu, Philene menyelipkan jemarinya di antara kedua lenganku yang sedang berusaha menutupi dadaku, dan―dengan kekuatan yang tak disangka-sangka―langsung merenggut kain pakaianku dan menariknya kuat sekali sehingga menimbulkan suara robekan yang kencang.

"Sial," Philene menarik diri, terhuyung mundur beberapa langkah. "Apa-apaan itu?"

"Berengsek," Hathen memaki dengan suara tertegun. "Sejak kapan otot badanmu terbentuk seperti ini?"

Aku cepat-cepat menarik pakaianku yang robek supaya menutup dada, tapi tidak membantu apa-apa. Philene telah menariknya dengan keras hingga tuniknya terkoyak dan jatuh dengan loyo di pinggangku. Sekonyong-konyong aku merasa malu setengah mati. Wajahku pasti terbakar lebih merah dari Philene. Mereka semua memang minta dihajar. Apa lebih baik kutendang saja muka mereka sekarang?

Dumbo mencengkeram bahuku dengan keras, membuatku berjengit dan mendongak ke arahnya. "Kau selama ini latihan lebih keras daripada kami, ya? Kapan kau latihan diam-diam, hah? Di waktu malam, saat kami semua tidur?"

"Tidak ... aku...."

"Jangan mengelak. Sudah jelas itu bukan badan orang yang kerjaannya hanya rebahan."

"Aku latihan, tapi―"

"Iya, kan? Kami sudah tahu, kau pasti tidak akan mau memperlihatkannya pada kami!" Hathen merutuk dengan nada iri dan jengkel. "Oh, sialan. Coba lihat badannya! Mirip papan cucian di rumahku dulu!"

Kata-kata Hathen barusan terhenti karena suara pintu dari seberang ruangan terbuka. Ursa dan Mavena masuk menemui kami. Sontak saja, keributan yang semula terjadi di sini melebur menjadi suasana yang dingin dan membekukan. Langkah sepasang ibu dan anak itu berhenti di tengah-tengah ruangan. Tatapan menyorot pada kami berempat.

"Ada apa ini?" Alis Ursa mengernyit bingung. "Pertunjukan telanjang?"

Wajahku terasa dua kali lipat lebih panas. Sialan!

Seumur hidupku, Ursa tak pernah melihatku telanjang. Atau, mungkin pernah, saat aku ditemukan terkapar karena luka tembak. Tapi keadaan sekarang sekarang dan dulu begitu lain. Selepas kejadian Kalana yang memergoki kami hampir berciuman, aku nyaris tidak pernah berani menatap Ursa.

Bagaimana mungkin dia melihatku dalam keadaan begini?

"Kami baru saja mengetes kekuatan otot satu sama lain," Philene berkata cepat. Sekarang dia sudah mengenakan pakaiannya kembali, tapi kancing-kancingnya salah masuk lubang sehingga dandanannya membuat orang-orang salah paham.

"Mengecek kekuatan otot dengan telanjang?" Ursa mengerut tidak percaya. Tatapannya mendarat padaku sebentar sebelum dia melanjutkan, "Mengapa pakaiannya harus dirobek?"

"Ini urusan laki-laki," Dumbo tiba-tiba berlagak kalem. "Percayalah, enggak ada kekerasan di sini. Kami cuma mau memastikan sesuatu pada River."

"Benar, sepertinya ada yang latihan diam-diam." Nada suara Philene terdengar dongkol dan menyebalkan.

"Sebetulnya, mau aku latihan diam-diam atau tidak, itu tidak ada urusannya dengan kalian," aku membalas sedikit marah.

Hathen menyahuti kecil, "Oke, tapi setidaknya kau bisa mengajak kami."

Aku sudah hendak menjawab pendapat bodoh itu, tetapi Ursa mendadak memotong, "Sudahlah, hentikan bersikap kekanakan seperti ini. Memangnya kalian umur berapa? Lima tahun?"

Tidak ada di antara kami yang menjawabnya karena kami pun setuju dengan ucapan itu. Sontak saja, ruangan tersihir menjadi sehening hutan di malam hari. Gerombolan Philene dan aku berdiri tak bergerak seraya memandangi Ursa. Di belakangnya, Mavena justru kelihatan tetap anggun dan kalem seperti burung yang mengintai di atas ranting, tetapi sudut bibirnya tertarik ke atas sehingga dia tampak seperti sedang tersenyum meledek.

"Kami kemari karena mau memberitahu sesuatu," kata Ursa, mencairkan suasana.

"Rencana baru?" Philene menebak.

"Bukan. Sebenarnya tidak ada hubungannya dengan rencana," koreksi Ursa. Dia berputar sedikit untuk menghadap ibunya, kemudian, "Ini tentang turnamen tahunan di Kerajaan. Aku mau mengajak kalian ke sana."

"Turnamen?" Dumbo membeo.

Mavena mengambil alih penjelasan, "Kalian pasti tahu, setiap tahunnya, Kerajaan mengadakan turnamen bagi siapa pun yang mau terjun ke dalam pertandingan melawan musuhnya. Ini hanya acara tahunan yang biasa diadakan sebelum menyambut hari pewarisan takhta Raja baru. Walaupun begitu, suasananya akan sangat meriah, sebab Raja Gangika beserta seluruh anggota Dewan Kerajaan akan datang menonton di sana."

"Apa kita bakal memulai perang saat turnamen itu terjadi?" Dumbo bertanya.

"Tidak, waktunya terlalu mepet, dan masih banyak yang harus kita persiapkan," kata Mavena. "Tapi aku tetap ingin kalian ikut menonton turnamen ini untuk mengetahui situasi di Kerajaan. Apakah ada yang sebelumnya pernah pergi ke Rawata?"

"Aku pernah, saat masih kecil," Philene membalas. "Waktu itu aku ikut menonton turnamen juga."

"Baguslah. Turnamen kali ini akan lebih meriah lagi, sebab reaksi masyarakat terhadap penguasa berikutnya sangat besar. Mereka telah menunggu-nunggu Pangeran Areka untuk mengisi posisi Raja berikutnya."

"Kalau Areka yang mengisi posisi Raja, apakah perbudakan Kaum Liar masih berjalan?"

Mavena menatapku yang telah melontarkan pertanyaan itu. Senyumnya semakin kelihatan seperti sedang meledekku. "Perbudakan itu sudah dilakukan lebih dari seratus tahun yang lalu, River. Tentu saja masih akan tetap terjadi bila tidak ada orang waras yang mau merebut pemerintahan."

Hathen terkekeh kecil, "Kelihatannya simpati publik terhadap Raja Gangika mulai turun. Apa mereka sudah bosan dipimpin oleh Raja Gangika?"

"Hati-hati dengan mulutmu," kata Mavena. "Kau beruntung mengatakan hal sensitif seperti itu di rumah ini. Tapi saat sudah keluar nanti, jangan biarkan orang di sebelahmu mendengar hinaan seperti itu."

"Apa yang akan terjadi?" tanyaku.

"Kalau kalian cukup apes, orang yang mendengarnya akan melaporkan berita itu pada aparat setempat dan kalian akan diseret ke gedung pengadilan. Penghinaan terhadap penguasa Rawata digolongkan sebagai kesalahan terberat dalam undang-undang. Sraden tidak akan membeda-bedakan siapa biang keladinya, bahkan bila itu adalah Kaum Putih sendiri."

"Sepertinya hukum sangat ketat di luar dugaanku," aku menambahkan dengan gelisah.

"Inilah yang disebut rezim diktatorial," sahut Mavena, "Raja mengontrol segala regulasi di Rawata dan seluruh kadipaten yang dibawahinya. Mereka bahkan mengawasi dengan ketat sistem informasi dan perangkat komunikasi, dari media pemberitaan, buku-buku pelajaran, dan portal-portal jaringan terhadap negara-negara di luar sana. Tidak ada alasan untuk melonggarkan kewaspadaan kita dan menyebut Raja sebagai ulat bermasalah. Kalau ketahuan, bukan hanya kita yang akan diperiksa, tapi juga keluarga dan teman-teman di sekitar."

Bulu kudukku berdiri setelah mendengar penjelasan suram itu keluar dari mulut Mavena. Sekarang, ide pemberontakan itu terdengar lebih sulit lagi. Bisakah kami melawan seluruh perangkat negara yang seakan tidak bisa ditembus?

Philene tampaknya memiliki kekhawatiran yang sama denganku, sebab dia bergumam di dekatku dengan suara berbisik, "Bukan maksudku menghina misi kita, tapi sekarang apa yang kita lakukan kelihatan seperti gerombolan anak sekolahan yang berusaha melabrak lembaga pendidikan pusat."

"Aku mendengarnya," Mavena mendadak berkata. Philene tersentak kaget sampai hampir melompat di sampingku.

Namun, bukannya tersinggung, Mavena justru menanggapi dengan kalem, "Misi ini memang terdengar konyol, tapi jangan menganggapnya sebagai permainan. Percayakah kalian, di antara banyaknya anggota Dewan yang bertekuk lutut di bawah hidung Raja, ada beberapa yang sebetulnya sangat membenci Raja sehingga mau berbuat apa pun demi menjatuhkannya? Mari kita sebut mereka pembelot. Kalian tidak akan pernah menyangka bahwa upaya pemberontakan yang pembelot lakukan bisa sangat halus dan tak tercium, mengingat kekuasaan dan uang mereka di negeri ini juga cukup berpengaruh untuk menutup bekas. Ini hanyalah masalah waktu sebelum mereka semua menampakkan diri dan menjadi sekutu kita." Aku menduga Mavena sedang membicarakan soal sekutu yang saat itu pernah Ursa beritahu padaku―kelompok penculik.

"Jadi, bisakah Anda memberitahu kami kapan tepatnya perang itu akan dimulai?" Dumbo bertanya pada Mavena, kelihatan tidak sabar. "Apa kita harus menunggu para pembelot itu untuk menampakkan diri dulu baru kita bisa bergerak?"

"Tidak, tentu saja. Kalau kita saling menunggu, tidak akan ada yang terjadi," kata Mavena. "Siapa pun yang mengendus duluan pergerakannya, dia yang harus mencari sumbernya. Aku sudah menyebar beberapa petunjuk dan juga mendapat sinyal dari mereka. Perkiraanku, pada saat turnamen nanti diadakan, mereka akan muncul lagi ke permukaan. Hal yang sama juga akan dilakukan oleh kita."

"Jadi itukah tujuan lain kita datang ke turnamen? Untuk bertemu dengan sekutu kita yang baru?"

Sinar mata Mavena berkilat-kilat penuh ketekatan ketika dia menatapku.[]

-oOo-

.

.

.

.

Yeaaay bentar lagi scene turnamen~

Saat-saat yang paling kutunggu-tunggu 😃

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top