27. Kendali Kesaktian

KAMI berkumpul keesokannya di sebuah gimnasium luas yang dibangun di bawah tanah rumah Mavena. Tempat ini serupa area tertutup yang dipenuhi papan target dan beberapa senjata yang dipajang di dalam kabinet―busur dan panah, tombak dan pedang, pisau dan kapak, senapan laras panjang, serta tongkat-tongkat pemukul bergerigi. Sekonyong-konyong aku seperti tiba di tempat yang seharusnya tak kupijak. Namun, Mavena tak memberi kami waktu untuk terpana. Dia segera menyuruh kami memilih senjata apa pun yang menarik minat.

"Ambil senapan ini." Ursa menjejalkan sepucuk senapan di tanganku. Benda ini nyaris jatuh dari rangkulanku karena saking beratnya. "Meskipun kau dikaruniai kesaktian untuk melemparkan pukulan, kau tetap butuh senjata untuk memenangkan pertempuran jarak jauh. Beberapa waktu lalu kau sudah kuajari bagaimana menggunakan busur, kali ini kau harus bisa menembak sesuai target," dia menjelaskan.

"Baik, apakah itu targetnya?" Aku menunjuk deretan papan yang diletakkan di jarak yang begitu jauh. Papan-papan itu dibentuk serupa tubuh manusia dan memiliki lapisan cat berwarna merah pada bagian-bagian tertentu, seperti leher, kepala, dan dada. Kata Ursa, cat itu menunjukkan di mana aku bisa memberi kematian fatal.

"Mm-hm, jangan buru-buru menembak. Kemarikan sebentar, kau harus menarik tuas di sini untuk ...," kemudian Ursa menjelaskan padaku bagaimana menarik kokang senjata, membuka magasin peluru, dan menekan pelatuk untuk menembak. Aku sedang memperhatikan dengan sungguh-sungguh ketika suara berisik mulai terdengar. Mataku menerawang penjuru ruangan dan menemukan gerombolan Philene telah mendapatkan pelajarannya sendiri. Masing-masing dari mereka ditemani oleh para pelayan.

"Jadi, mereka bisa memegang senjata?" tanyaku pada Ursa. Dia berhenti menetak peluru dan mendongak padaku.

"Siapa?"

"Para pelayan."

Ursa berpaling pada Medea, yang berdiri paling dekat dengan kami. Gadis itu sedang mengajari Philene cara memakai senapan yang lebih kecil.

"Ya, ibuku bilang semua orang yang ada di sini, termasuk para pelayan yang berasal dari Kaum Liar, harus mampu memegang senjata untuk melindungi diri. Kita tidak akan tahu kapan musuh akan datang."

"Mereka tidak dianggap sebagai budak di sini?"

"Tentu saja, mereka bagian dari keluarga."

"Apa kalian akan memperlakukan semua Kaum Liar dengan cara yang sama?"

"Maksudmu, memberi mereka tempat tinggal yang nyaman dan pengetahuan tentang senjata?"

"Ya!"

Ursa menggeleng kecil. "Andai kami bisa."

"Apa halangannya?"

"Banyak sekali, River," kata Ursa, lalu mendorong senapan itu di dadaku. "Membeli seorang budak dari Pusat Kepelayanan bukan harga yang murah. Selain karena kami belum memiliki jumlah orang yang memadai, kami juga harus bergerak dengan sangat rahasia dan hati-hati. Salah langkah sedikit, persembunyian kami akan terbongkar. Dan, nyawa taruhannya."

Aku memastikan peluru sudah terkunci dengan baik, kemudian kuangkat senjata sejajar dengan lengan dan kaki, kuarahkan pada papan tembak di kejauhan sana. "Ada berapa orang yang kini menjadi kaki tangan ibumu?"

"Belum banyak, tapi kami pasti akan menemukan sekutu yang dicari-cari itu."

"Sekutu yang dicari-cari?" aku berpaling sedikit memandangnya.

"Kau sudah tahu ini. Aku bicara tentang kelompok yang selama ini menculik para budak di Rawata. Komplotannya Garos."

Oh.

Pernyataan Ursa membawaku pada momen saat kami baru tiba di Rawata. Philene mengatakan padaku bahwa akhir-akhir ini ada banyak budak yang tiba-tiba hilang tanpa jejak. Kini aku bisa menghubungkan tali misterinya. Kelompok penculik itu adalah sekutu penting yang dibicarakan Mavena.

Saat aku hendak membuka mulut untuk bicara, mendadak saja, desing peluru yang memekakkan telinga telah meledak. Telingaku berdenging karena suaranya begitu nyaring. Setelah sembuh dari suara yang keras, aku mendongak. Dari kejauhan, papan tembakan telah koyak. Peluru menembusnya di bagian dada. Aku segera berputar untuk melihat siapa di antara gerombolan Philene yang telah berhasil menembakkannya.

"Hathen," kata Ursa, lalu mendengkus kecil.

Hathen berdiri di seberang ruangan dengan tangan dan kaki gemetaran. Di sampingnya, ada Amar yang sedang membetulkan postur berdirinya. Sontak saja, setelah tembakan pertama, semua orang di sekeliling kami bertepuk tangan. Dumbo menyahut dengan keras; "Tembak bokong mereka dengan senapanmu, Hathen!" yang diikuti dengan tawa membahana Philene.

"Orang itu hebat juga," ujar Ursa. "Tidak banyak orang sanggup mengenai target pada tembakan pertama."

"Mungkin kebetulan," kataku pendek. Aku masih mengingat betapa kurang ajarnya Hathen saat menghina Ursa, sehingga rasa terpanaku kalah dengan kemarahanku padanya.

"Atau bisa saja dia sebetulnya menyimpan bibit mata hijau," kata Ursa. "Seperti yang pernah kubilang, mata hijau adalah indikasi adanya bakat genetik. Para kaum yang memiliki mata berwarna gelap bukan berarti tidak memiliki kemampuan. Biar bagaimanapun, kemampuan selalu bisa diasah, ini hanya soal mereka bisa bersabar lebih lama atau tidak."

"Seperti yang terjadi pada para pelayan?" tanyaku. "Berapa lama hingga mereka sanggup memegang senjata?"

Ursa terkekeh. "Oh, kata ibuku, butuh waktu berminggu-minggu sebelum mereka berani menyentuh pistol, berbulan-bulan sampai mereka terbiasa menekan pelatuk, dan bertahun-tahun sampai mereka bisa menyentuh target. Medea adalah yang paling terampil di antara ketiganya. Kalana, sementara itu ... dia baru tiba di tempat ini hanya beberapa bulan saja. Belum begitu terbiasa dengan kami," lalu Ursa berjinjit dan berkata, "Lihat target di depan sana. Mulailah menembak."

Kemudian aku melakukan sesuai perintah Ursa. Dari lima tembakan, tiga di antaranya menyentuh target, tapi tak ada yang berhasil menembus titik vital. Philene, sementara itu, cukup jago memegang pistol. Hampir semua tembakan tepat sasaran, dan aku bahkan nyaris melihat kilatan cahaya hijau berpendar di matanya ketika dia melepas peluru. Hathen memerlukan waktu sedikit lebih lama dan hanya satu peluru yang menyentuh target. Tampaknya memang benar, tembakan pertama tadi hanya beruntung saja. Sementara Dumbo, yang sudah kewalahan memegang pistol, beralih mengayunkan kapak dan melempar tombak. Lemparannya sangat bagus dan kuat hingga membuat semua orang di dalam gimnasium terpana. Kekuatannya ketika mengayunkan senjata mampu membuat sasaran retak dan hancur berkeping-keping.

"Omong-omong kau harus latihan untuk mengontrol tenaga dalam juga," kata Ursa. "Kesaktianmu tidak boleh meledak di sembarang tempat."

"Bagaimana cara melatihnya?"

"Kita akan berlatih setelah latihan fisik ini selesai."

Lalu setelah dua jam lebih berkutat dengan senjata-senjata baru dan mulai menguasainya, aku keluar duluan dari gimnasium dan pergi mengikuti Ursa. Perjalanan kami sampai di sebuah area kebun bawah tanah tempat Mavena membudidayakan beberapa tanaman obat-obatan. Setelah mataku terbiasa dengan cahaya yang melingkupi tempat ini, satu-satunya yang terpikir di benakku adalah keindahan. Kebun ini dibuat mirip seperti labirin kaca yang berliku. Pada tiap bilik kaca, diisi oleh bunga dan tanaman rambat serta sekelompok dedaunan dengan bentuk dan warna yang rumit. Kami menyusuri beberapa bilik kaca yang dilabeli nama dan fungsi tanaman serta prosedur perawatannya.

"Philene pasti senang dengan semua ini," kataku. "Dia seorang ambisius dalam bidang ramuan."

"Cepat atau lambat ibuku akan memberinya akses kemari juga."

Selama berjam-jam, aku menghabiskan waktu di ruangan ini dengan bermeditasi. Ursa mengajariku teknik pernapasan dan berbagai pose-pose menyakitkan yang konon katanya bisa membantuku menjaga fokus. Dia memberiku bermangkuk-mangkuk ramuan untuk diminum dan menjelaskan padaku tentang latihan-latihan fisik dasar yang harus kutempuh. Kegiatan ini berlangsung sama pada keesokan harinya. Lagi dan lagi. Aku bangun dari tempat tidur, menuju gimnasium dan berlatih bersama gerombolan yang lain, berlatih fisik dengan berlari menyusuri lahan luas, naik turun tangga, melompat dan memanjat. Pada hari-hari pertama, rasanya kewarasan dalam kepalaku ikut terkuras. Aku mulai mengira ide ini sungguh absurd, sebab mau sebanyak apa pun latihan yang kujalani, aku tetap tidak bisa mengontrol kapan kesaktianku harus datang dan pergi.

Ini akan gagal, kataku yakin pada diri sendiri.

Di waktu-waktu latihan, Ursa mendorong kesaktianku agar muncul di waktu yang tepat saat aku membutuhkannya, tapi kesaktian itu justru tertidur. Sebaliknya, ketika Ursa menghujaniku dengan kegiatan ekstrem yang membuat tubuhku tertekan dan lelah, kesaktianku mudah sekali keluar pada kondisi-kondisi begini, dan semuanya tak bisa kukendalikan. Rangkaian kemunculannya selalu sama. Mula-mula aku akan mengalami sakit kepala hebat dan ujung-ujung jariku menyala-nyala bagai percikan api, lalu mendadak seperti ada kemarahan yang mendorongku untuk menghancurkan tempat ini. Setiap kali kesaktianku nyaris meledak, Mavena selalu mengambil alih situasi. Wanita itu akan membereskannya dengan melumpuhkan otot-ototku, dan ujung-ujungnya aku terbangun di lantai dengan sekujur tubuh kaku dan ngilu.

"Ini akan gagal," kataku pada Ursa. Kali ini begitu lantang dan penuh keyakinan. Aku mulai kehilangan kepercayaan diri, membuatku terlalu sering mengutuk apa yang kumiliki. Perjuangan ini tidak ada artinya. Aku ini hanya pemuda lemah yang menghabiskan waktu melatih apa yang sebetulnya tak kumiliki.

"Kami akan terus berusaha," kata Ursa, yang artinya adalah latihan lebih banyak.

"Barangkali sebetulnya aku dibuang di Kevra karena aku adalah anak gagal," kataku putus asa.

"Maksudmu apa?"

"Mereka tahu aku tak akan bisa mengendalikan kesaktian, jadi mereka menyamarkan identitasku dan menyembunyikanku di Kevra. Siapa tahu sebetulnya Raja Gangika tahu bahwa di masa depan aku hanya akan menjadi penghancur tak berguna yang berbahaya, jadinya dia berusaha membunuhku sebelum terlam―"

Plak! Ursa menampar pipiku dengan keras.

Aku memegangi pipiku dan memandang Ursa dengan raut terguncang.

"Kelemahan dan ketidakpercayaan dirimu inilah yang membuatmu tidak bisa berkembang. Lari naik turun tangga sepuluh kali. Aku akan menghitung waktu dari sini."

-oOo-

Hari-hariku meradang dengan cepat. Kupikir selamanya usaha mereka tak akan berarti apa-apa, namun semua ini mendadak saja berubah pada bulan kedua aku tinggal di sana.

Di suatu hari, di tengah renungan dan meditasi dengan diri sendiri, Ursa menyerukan namaku dengan amat pelan. Aku membuka mata, lalu melihat pancaran sinar biru yang begitu terang menyala di telapak tanganku. Jantungku bertalu-talu, dan napasku terengah saking terkejut dan terpananya. Namun, Ursa menyuruhku untuk mengontrol napas dan mengendalikan diri.

Dia menjejalkan sebuah batu besar dengan hati-hati di atas telapak tanganku.

"Hancurkan," bisiknya.

Kugenggam batu itu, dan aku bisa merasakan denyut tenaga yang begitu besar mendorongnya begitu kuat. Batu itu bergetar, lalu meledak, bukan menjadi kepingan-kepingan kerikil tajam, melainkan terburai menjadi pasir.

Asap membumbung dari ledakan singkat yang terjadi. Setelah segalanya sirna, aku dan Ursa saling berpandangan dengan mulut terbuka.

Dia memberiku batu kedua, ketiga, dan menyuruhku melakukan hal yang sama. Semua batu itu hancur di bawah genggamanku dalam wujud serpihan pasir halus. Begitu aneh dan menakjubkan. Ursa menyentuh pasir itu dan membeku selama beberapa lama. Pada sepersekian menit yang mendebarkan, dia menyuruhku menidurkan kesaktian itu lagi.

Sambil bernapas pelan, kucoba untuk memusatkan konsentrasi. Sontak, denyut kekuatan itu perlahan mereda bagai air panas yang menetes-netes dari punggungku. Kemudian, aku merasa sedikit lelah dan pening, tetapi ketika kutundukkan kepala, tanganku sudah tak menyala terang lagi.

"Batunya berubah menjadi pasir," kata Ursa dengan suara bergetar. "Kau tidak tahu sebesar apa kekuatan yang tersimpan di dalam tubuhmu."

"Apakah berubah menjadi pasir adalah hal yang buruk?"

"Itu menandakan besarnya tenaga dalam yang kau punya. Tekanan yang kau berikan pastilah sangat besar sehingga batu ini tergilas menjadi pasir halus," dia berkata dengan raut yang tak terbaca. Apakah itu paras kelegaan, ketakutan, atau gelisah? "River, serangkaian latihan ini juga membuka seluruh tenaga dalam yang selama ini terkunci dalam dirimu. Ini bukan berita baik. Semakin besar kesaktianmu, semakin mudah kau terperdaya oleh ego, dan akan semakin mudah bagimu untuk mengizinkan kekuatan itu terpakai. Kau harus lebih berhati-hati ... tenaga dalammu begitu besar ... kalau kau terus-menerus bergantung padanya, kau tak akan sadar kalau tenagamu betul-betul terkuras ...."

"Apa itu artinya...."

"Kau bisa tewas mendadak."

Terselip keheningan di antara kami. Ursa menatap mataku lekat-lekat, dan perasaanku seketika campur aduk, antara ingin kecewa atau senang. Akhirnya, aku berceletuk demi meluruhkan suasana, "Yang penting akhirnya aku bisa mengendalikannya."

"Kau sudah berusaha maksimal sampai menjadi sehebat ini."

"Pengajaranmu berhasil. Kaulah yang lebih hebat."

Suara Ursa memunculkan riak gelombang kecil di perutku, mendorong secercah hasrat untuk tumbuh dan mengakar. Saat itu, cahaya dari luar bersinar melewati ambang jendela, mengecup paras Ursa yang berada di hadapanku. Aku memperhatikan sorot mata gadis itu bersinar terang bagai batu giok hijau. Pandanganku merambatt turun pada ujung hidungnya, bergeser pada garis rahangnya yang menawan, lalu pada bibirnya yang merekah merah. Ursa pun telah berhenti menyeka wajahku. Kami lantas saling menatap, seolah dari sana ada pesan rahasia yang harus disampaikan.

Perlahan-lahan, aku mendekatkan wajahku padanya.

Dan, tepat saat aku hampir menyentuh bibirnya, suara denting perkakas logam yang jatuh mengejutkan kami. Aku memalingkan muka dan melihat Kalana berdiri di dekat pintu kebun sambil membawa nampan. Rautnya terbakar merah karena menangkap basah kami.[]

-oOo-

.

.

.

.

.


Yuhuuuuu romance-nya makin intens yaa di chapter2 ini~

Mari nantikan gebrakan apa lagi yang bakalan dialami River 🤣

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top