26. Pertengkaran Kecil

PELAYAN di rumah Mavena ada tiga, yaitu Aris, Medea, dan Kalana. Kami bertemu semuanya di meja makan pada saat melangsungkan makan malam. Mereka menyajikan makanan enak yang tak pernah kusantap sebelumnya―daging panggang dengan saus madu, kacang-kacangan yang dimasak dengan dedaunan herba, sup dari sumsum tulang, dan beberapa makanan pendamping manis seperti puding dan kue. Bila di rumah Ursa aku hanya mendapatkan asupan protein dari daging dan ikan, di rumah Mavena aku mendapatkan asupan nutrisi yang lengkap.

Philene mengoceh tiada henti tentang rempah-rempah herba sebagai bumbu masakan serta khasiatnya untuk kesehatan, yang menurut perkiraanku dia lakukan karena ingin membuat Mavena terkesan. Sementara itu, Dumbo dan Hathen tak banyak bicara karena mulut mereka selalu sibuk mengunyah. Ketiga pelayan tampaknya sudah terbiasa mondar-mandir di ruang makan sambil menuang piring-piring yang kosong.

Aku hendak menyuapkan satu sendok sup krim yang kental ke dalam mulut ketika suara di dekatku bicara pelan, "Mau tambah supnya?"

Kalana berdiri sambil menenteng satu poci kecil berisi sup panas. Dia adalah pelayan yang paling tua di di rumah ini. Usianya mungkin di penghujung dua puluhan. Berkulit putih pucat, wajahnya berbintik, dan ekspresinya sedikit lebih canggung dan kaku dari dua pelayan lainnya. Saat aku menyetujui untuk tambah makanan, kulihat dengan jelas, pada buku-buku jemari Kalana yang menuangkan sup ke dalam mangkuk, ada sisa luka lecet dan lebam yang sudah menghitam.

Tatapanku tak sengaja bersinggungan dengannya, tetapi wanita itu langsung menurunkan pandangannya. Dia cepat-cepat menyingkir dariku selepas menuang sup.

"Semuanya," kata Mavena di bangku paling ujung, mendadak memecahkan situasi kaku di antara kami. Aku mendongak dan menatap Ibu Ursa, kali ini dalam setelan bordiran berwarna hitam dan kerah rimpel yang menutup pangkal lehernya, seperti biasanya tampak anggun dan mengintimidasi. "Setelah pembicaraan kita tadi siang, aku ingin kita semua memulai latihan mulai besok pagi. Ada sebuah gimnasium olahraga yang kubangun di bawah tanah. Penuh senjata mematikan. Kuharap kalian bisa cerdas dan bijak dalam memakainya."

Terselip hening yang lama selepas Mavena mengatakan hal itu.

Gerombolan Philene telah diberitahu segalanya tentang wacana kami untuk menembus pertahanan Kerajaan Rawata, jadi sekarang, sepertinya mereka menghadapi kegelisahan yang sama seperti yang kurasakan. Berbeda dariku, bagi Philene dan kawan-kawannya, senjata adalah sahabat baik untuk merampok, meskipun selama ini mereka memakainya hanya untuk pajangan atau gertakan. Namun biar bagaimanapun, senjata yang akan kami pakai besok dimaksudkan untuk melawan musuh di masa depan, yang artinya, akan ada darah betulan yang tumpah.

Sekarang aku bisa melihat raut wajah Philene berubah kaku. Dumbo berhenti makan dengan rakus dan mulai mengunyah dengan pelan, sementara Hathen celingak-celinguk melihat aku dan Philene bergantian.

"Mm, apakah besok kami harus bertarung satu sama lain?" Hathen mengeluarkan suara lirih dan cemas, seolah dia ketakutan untuk bertanya pada Mavena. "Maksudku, kalau aku disuruh bertarung melawan Dumbo, sudah jelas aku bakalan gepeng kena injak kakinya."

"Tentu saja kalian tahu apa yang aku maksud dengan latihan," Mavena membalas dengan nada mencibir. Wanita itu mengerling ke arah Ursa dan melanjutkan, "Ursa dan pelayan yang lain akan mengawasi jalannya latihan besok. Tidak ada yang disebut terlemah dan terkuat, bahkan bila kalian memiliki mata sehitam arang atau sebiru samudra dan sehijau batu permata. Semua orang wajib memiliki kemampuan untuk melindungi diri. Kalau kalian terluka, itu adalah kesalahan kalian, tapi kami selalu punya sesuatu untuk mengobati luka."

"Jangan dipikirkan terlalu serius," Ursa menyahut berniat menenangkan. "Tidak akan ada yang terluka dalam latihan. Kita menggunakan alat pelindung."

Raut Philene dan gerombolannya langsung melonggar lega.

"Aku bertanya-tanya apa yang bisa kulakukan dengan kesaktianku," celetuk Philene. Dia menggertakkan jemarinya dan bernapas pelan, "Sudah lama sekali semenjak aku menggunakannya."

Ursa yang duduk di sampingku menyahuti, "Kudengar dulu kau sempat mengikuti akademi militer."

"Ya, hanya sebentar. Tapi saat itu aku masuk ke regu mata-mata. Dan aku cukup menguasai seni penyamaran."

Aku mengingat bagaimana meyakinkannya Philene ketika mengarang alasan agar gerombolannya bisa naik ke kapal dengan gratis, atau bagaimana dia mengajariku cara untuk bersikap layaknya bangsawan tidak modal yang meminta setelan baru pada petugas penginapan. Dia bisa menempel dan berbaur di kalangan mana pun dengan cerdik, seperti bunglon.

Mengetahui jawaban ini, Mavena menyahut dari tempat duduk di ujung, "Itu bagus. Kita juga membutuhkan mata-mata yang bisa menyamar. Dan juga Dumbo," dia memalingkan muka pada Dumbo yang sedang mengoreti sisa saus di piring, "Abnormalitas yang terjadi pada pertumbuhanmu memberi keuntungan lebih pada stamina dan kekuatan otot. Aku melihat potensi itu ketika pertama kali bertemu. Kau memiliki tulang yang besar dan kuat, dan daging yang padat dan gempal. Bila dilatih terus-menerus, itu bisa menjadi senjata yang mematikan."

Dumbo yang diberitahu hal itu menunduk malu, tampaknya dia tak menyangka mendapat pujian seperti itu dari Mavena.

"Pada akhirnya," lanjut Mavena, mendongak menatap kami sambil tersenyum, "Kita semua tidak akan berkumpul di sini karena Ursa. Putriku, kau melakukan pekerjaan baik dengan menemukan orang-orang yang tepat." Dia mengulurkan gelasnya pada Ursa dan memberi gestur bangga pada pencapaian putrinya. Ursa membalasnya dengan senyum samar, tampak sedikit gelisah dan lelah, entah mengapa.

Setelah makan malam usai, kami kembali ke kamar masing-masing. Ursa masuk ke lorong sayap barat, sementara aku dan gerombolan bersama-sama melangkah ke lorong sebelah timur. Sebelumnya, Ursa mengatakan kepada kami untuk segera bersiap latihan setelah sarapan esok hari. Saat aku dan gerombolan menuju kamar, Philene berkata padaku dengan nada ingin tahu, "Jadi, kau enggak tahu bahwa pada akhirnya harus menghadapi pertarungan ini, kan?"

"Tidak," kataku. "Tapi sekarang tidak ada pilihan lain bagiku. Pergi ke mana pun akan sama saja. Dibunuh atau melawan, itu yang aku punya."

Hathen menyahut dari belakang dengan suara resah, "Ya, sesungguhnya kami pun sama sepertimu. Enggak punya alasan buat menolak. Perhatikan ini," kemudian Hathen melompat ke depan kami dan berkata dengan nada berbisik cemas, seolah-olah suaranya bisa mengundang telinga lain yang datang, "apakah kalian merasa kalau kita sedang dijebak oleh gadis itu? Dia sengaja membuat kita datang kemari dan memaksa kita buat menjadi pembelot pemerintah!"

"Gadis itu? Maksudmu Ursa?" Philene mengernyitkan kening.

"Duh, memang siapa lagi gadis yang datang bersama kita?" Hathen memberi tampang seolah bosnya baru saja berkata hal konyol.

"Dia enggak memaksa kita," sahut Dumbo dari belakangku dengan tenang. "Kita punya pilihan untuk enggak ikut terlibat, kalian ingat itu."

"Ya, dan kita sudah sepakat buat menerima tawarannya," Philene berkacak pinggang dan berlagak sok, membuat satu lagi alasan bagi Hathen untuk memutar bola mata. "Bayangkan, kita mendapatkan segalanya di rumah ini―hidup kita bakalan terjamin selama berada di sisi mereka. Ini sudah sangat sempurna, wahai kawan-kawan gembel!"

"Kau saja yang gembel." Hathen menggerutu.

"Ada apa sih denganmu? Kau mau menjadi satu-satunya yang menolak tawaran itu?"

"Coba pikirkan ini, dasar kalian manusia udik! Sebuah kelompok pemberontak telah memberitahu kita rahasia besar pemerintahan! Harga yang sangat mahal buat mendapatkan informasi itu cuma-cuma! Artinya apa? Mereka pasti sudah menukarkan privasi itu dengan taruhan nyawa kita. Bila kita menolak ikut berperang dan pergi dari rumah ini, mereka jelas enggak akan membiarkan kita berjalan santai di luar sana dengan isi perut masih pada tempatnya!"

"Kunyuk, omonganmu membuatku mual," Dumbo berkata sambil memegangi perutnya.

"Taruhan, mereka bakalan membunuh kalau kita menolak permintaan itu. Sebab kita sudah mengetahui rahasianya―enggak ada lagi alasan untuk kabur! Kita kabur, atau kepala kita dipenggal!" Hathen membalas dengan raut wajah memerah takut.

Philene mendongak padaku. Suaranya seperti orang yang terguncang. "Hei ... pendapat Hathen ada benarnya juga. Gimana menurutmu, anak ingusan?"

Aku memandang mata Philene yang diliputi kekhawatiran, dan merasa dua kali lipat lebih bersalah karena tak memiliki jawaban apa pun.

"Kau enggak punya jawaban," kata Philene kecewa.

"Tidak, tunggu―" dengan panik aku berkata, "Tidak usah berpikir berat seperti itu. Bukankah sejak awal tujuan kalian adalah hidup dan makan dengan gratis? Selagi ada di sini, nikmati saja." Aduh, kata-kataku barusan konyol sekali. Tampaknya Hathen menangkap betapa dangkalnya alasanku dan mulai membuat ekspresi seperti orang jijik.

"Tapi tidur di jalanan lebih baik daripada mati kena tebas pedang," Hathen lagi-lagi mengorek masalah. "Gadis itu pasti bersekongkol dengan ibunya yang seram. Dia menyimpan rahasia sebesar ini sendirian. Kalau suatu saat salah satu di antara kita terbunuh, aku enggak akan kaget bila gadis itu bilang dia yang melakukannya. Ursa memang aslinya nenek sihir jahat! Tahu begitu kita bunuh saja dia waktu―"

Kata-kata Hathen terhenti tepat ketika aku mendamprat tubuhnya dan membantingnya ke dinding dengan keras. Kutekankan lenganku pada lehernya, membuatnya tercekik. "Tutup mulutmu, bedebah. Kau sudah berjanji padaku untuk tidak berbuat apa-apa padanya."

Hathen terbatuk-batuk dan menepuk-nepuk lenganku karena tak bisa napas. Pada saat itu, tubuhku ditarik dari belakang oleh Dumbo. "Hentikan, kau bisa melukai anak malang itu!"

Hathen terbatuk-batuk sambil mengusap lehernya. Sorot matanya tajam dan licik ketika melihatku. "Ka-kau sudah di luar batas!"

"Aku, kelewatan?" semburku panas, "Kau membicarakan hal-hal yang belum tentu benar adanya. Kau membuat semua orang panik ... menyimpan kebencian kepada orang yang sudah menolongmu ... kau pikir aku akan diam saja melihat tingkahmu yang seenaknya?"

"Jangan bicara padaku seperti itu!"

"Aku akan bicara semauku!" kataku dengan amarah yang semakin membengkak. Aku mengepalkan jemariku dengan erat dan berharap kesaktianku akan muncul untuk melukai Hathen. Saat aku hendak melemparkan kata-kata tajam untuk menyerangnya, suara lain di belakang kami mendadak saja menginterupsi.

"Kalian baik-baik saja?"

Kami semua memalingkan muka dan melihat Medea berdiri di tengah-tengah lorong.

"Apa kalian bertengkar? Apa ada seseorang yang luka?" tatapannya jatuh dengan cemas pada Hathen yang bernapas tersengal-sengal.

Philene menepuk-nepuk punggung Hathen. "Kami baik-baik saja. Tadi Hathen tersedak sosis. Iya kan? Kau sudah enggak papa, kan?"

Medea terkekeh. Senyumnya di bibirnya yang tebal dan berwarna cokelat sangat kontras dengan giginya yang putih cemerlang. Aku tak sengaja menatap Philene, yang justru tidak berkedip ketika melihat Medea.

Terdengar dehaman kecil, kemudian Medea berseru selamat malam sebelum melangkah kembali ke lorong utama.

Saat Medea telah menghilang, Philene berputar kepada kami bertiga dan berkata dengan raut merona, "Ya, yang tadi itu nyaris saja. Kalau sampai Medea mengadu yang enggak-enggak pada majikannya, kita yang bakalan repot."

"Dia kan hanya budak," cibir Hathen.

Philene langsung menggeplak kepalanya dengan keras, "Jaga mulutmu, bebek buruk rupa! Penampilan Medea bahkan seribu kali lebih baik darimu! Dia wangi sabun dan kue, sementara kau bau selokan dan celana dalam yang tak dicuci berbulan-bulan! Sekarang siapa yang kelihatan seperti budak dan majikan?"

Hathen menggeram, kemudian dia melepaskan diri dan pergi duluan ke kamarnya.[]

-oOo-

.

.

.

.

.

.

Aku double update. Langsung scroll ke bab selanjutnya yakk

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top