25. Wajah Revolusi
AKU merasakan diriku berbaring di sebuah alas yang empuk. Sekujur tubuhku sakit seperti habis dihajar, sementara tanganku ditumpangkan ke perut.
Begitu mengingat apa yang terjadi padaku sebelumnya, kenyataan mendadak menghapus kegelapan di sekeliling. Aku membuka mata dan bergegas mengubah posisi untuk duduk. Tindakan tiba-tiba ini membuat kepalaku meremang pening. Kupegangi kepalaku, lalu suara―seruan ketus seseorang―mengusikku.
"Bagaimana perasaanmu?"
Rupanya aku masih berada di ruangan yang tadi. Namun Ursa, Philene, dan kawan-kawannya sudah tidak ada. Mavena duduk dengan anggun di petak sofa lainnya, memandangiku dengan tatapannya yang sedikit tercoreng oleh prihatin.
"Itu tadi kelewatan," kataku terus terang, "Anda membuatku tercekik tidak bisa bernapas. Rasanya seperti menyongsong eksekusiku sendiri."
"Itu karena kau tidak membiarkanku untuk menjelaskan."
"Dan menyiksaku adalah cara yang menurut Anda tepat?"
Mavena terdiam. Dari bibirnya yang terkatup rapat, aku bisa merasakan dia menggertakkan rahang di dalamnya.
"Aku butuh lebih banyak penjelasan," kataku, melompat bangkit dari sofa. "Siapa aku sebenarnya? Mengapa Raja Gangika begitu membenciku sampai dia ingin ... mencelakaiku."
Mavena mengernyit ke arah kabinet berisi pajangan senjata yang ditata di sudut ruangan, lalu mulai bercerita, "Jauh sebelum peristiwa penangkapan Garos terjadi, dahulu ada seorang tahanan yang dikurung Raja Gangika di penjara bawah tanah sejak berdekade lamanya. Raja tak pernah mengizinkan siapa pun, baik pelayan pribadi ataupun orang kepercayaannya, untuk bertanya mengenai tahanan itu, atau alasan mengapa dia dikurung dan dijauhkan dari dunia luar. Jadi, tidak ada dari kami yang mengetahui siapa yang ada di balik penjara bawah tanah. Namun, perlahan mulai berkembang rumor di kalangan istana yang mengatakan bahwa ...," Mavena berpaling, menatapku dengan suram, "... tahanan itu adalah seorang budak yang berasal dari Kaum Liar."
"Budak yang dikurung?" tanyaku lemah.
"Benar." Lalu Mavena bercerita lagi, kali ini suaranya lebih suram dan berat, "Pada suatu malam, terjadi keributan kecil di dalam istana. Raja Gangika mengarahkan seorang dokter Kerajaan menuju lorong bawah tanah, tempat si budak dikurung."
"Sepertinya terjadi sesuatu pada tahanan itu―tidak ada dari kami yang tahu pasti. Namun kata segelintir saksi yang nekat mendekat, mereka mendengar suara tangisan bayi dari dalam penjara. Tidak ada yang berani bertanya apa yang sebetulnya terjadi di dalam penjara bawah tanah selama berhari-hari, bahkan berminggu-minggu, hingga semua orang mulai melupakannya. Bertahun-tahun setelahnya, Rawata kembali normal. Namun terkadang, jika tidak ada topik menarik untuk bergosip, beberapa orang masih membicarakan desas-desus miring tentang bayi yang lahir di penjara bawah tanah. Mereka mulai menyulam cerita dengan versi yang berbeda-beda. Ada yang mengatakan bahwa bayi itu telah dibunuh ketika pertama kali dilahirkan, ada yang bilang bayi itu dibiarkan tumbuh dan hidup bersama sang budak. Sementara itu, Raja Gangika tampak melupakannya, atau mungkin dia hanya pintar menyembunyikannya."
"Jadi Anda pun tidak tahu siapa budak yang dikurung itu?"
Mavena menggeleng. "Tidak. Aku baru bekerja di Rawata sepuluh tahun setelahnya. Rumornya sudah ada sejak dulu."
Mavena menarik napas, sedikit tengadah seiring punggungnya menegak kaku, lalu melanjutkan dengan cepat, "Kabarnya, Raja menyekap budak dan anaknya itu selama bertahun-tahun lamanya. Suatu hari dia mendapat kabar bahwa penjara itu kosong. Setelah diperiksa sendiri, budak itu ternyata telah kabur bersama anaknya, dibantu oleh sang sipir. Sipir itu bernama Garos."
Ruangan seketika menjadi tegang. Aku duduk pelan di tepi sofa dan merasakan wajahku memucat. Benakku berpacu menyusun kepingan teka-teki yang mulai utuh, menggambarkan masa laluku dengan begitu jelas. Sekarang aku tahu, hilangnya dua orang tawanan dari penjara bawah tanah adalah indikasi bahwa Garos telah melancarkan aksinya mengambil kami berdua; budak itu adalah ibuku, dan anak yang dikandungnya adalah aku.
Mavena berkata, "Setelah dua orang itu dinyatakan kabur, Raja mengerahkan pasukan khusus untuk mencari Garos. Namun pria itu baru bisa ditangkap beberapa bulan lalu setelah lebih dari satu dekade menghilang. Dia mengakui perbuatannya setelah disiksa sedemikian rupa. Dialah yang dahulu membantu budak dan anaknya untuk kabur, lalu menyembunyikannya di Kevra."
Mavena terdiam lama, dan aku merenung memikirkan arti semua ini. Akhirnya, aku meyakinkan pikiranku sendiri, "Jadi, aku adalah anak dari budak yang dilarikan ke Kevra?"
"Ya."
"Lalu siapa ayahku sebenarnya?"
"Menurutmu," kata Mavena, sementara dia menatapku dengan tajam dan berbahaya, "Seorang budak yang ditahan sendirian di ruang bawah tanah selama bertahun-tahun, dan tidak boleh dikunjungi oleh siapa pun kecuali Raja sendiri, pendapat apa yang paling masuk akal selain kemungkinan bahwa kau adalah anak Raja Gangika?"
Kalimat itu menyerangku bagai tombak yang bertubi. Belum sempat kujawab apa pun, Mavena mencondongkan diri padaku dan langsung mengangkat daguku dengan jarinya, "River," katanya, dalam dan dingin, "mata biru ini adalah bukti terkuat bahwa kau anak dari Raja Gangika."
Wanita itu kemudian melepaskan tangannya dari wajahku. Saat menatap matanya yang bersinar emas, organ tubuhku seperti membeku dan lumpuh sejenak. Mavena memperhatikan sikapku yang kewalahan. "River, pemberontakan itu dahulunya hanya ada dalam kepalaku saja. Namun ketika Garos ditangkap dan pria itu memberitahu tentang keberadaan dirimu, aku menjadi sadar bahwa ini adalah kesempatan emas untuk merealisasikan pemberontakan itu. Raja Gangika harus menjadi tonggak kehancuran untuk pemerintahannya yang keji dan berbahaya, dan kau adalah kuncinya, River, wajah revolusi kami. Kematian Raja Gangika yang paling sempurna adalah kematian di tangan anaknya sendiri."
Mendengar kalimat terakhir membuatku bergidik dan terkejut. Aku melontar dengan panas, "Aku tidak mau membunuh siapa pun."
"Apakah kau tidak ingin balas dendam atas kematian ibu dan adikmu?"
Perutku mual. Aku menutup mulut rapat-rapat, sementara hatiku kembali tersengat duka karena mengingat mereka berdua. Kematian bukan satu-satunya pembalasan yang kurencanakan. Dahulu aku begitu pongah dan dikuasai amarah yang meluap-luap terhadap para sraden yang telah membunuh Ibu dan Raga, akan tetapi saat ini nyaliku menciut begitu mengetahui bahwa lawanku yang sesungguhnya adalah Raja Gangika. Aku tak mungkin bisa membunuhnya, bahkan menyentuhnya dengan ujung jariku.
"Kau tidak perlu khawatir mengenai stretegi ataupun cara yang kami pakai," Mavena seolah dapat membaca resah di hatiku, dia melanjutkan dengan tenang, "Kita masih punya waktu yang panjang untuk merencanakan misi dan mengumpulkan orang. Aku sudah memanggil beberapa orang terpercaya dan mereka semua akan membantu kita untuk menghadapi masalah yang lebih besar. Percayalah, kesaktianmu bisa diasah, dan kau bisa menjadi yang terbaik untuk melawan Raja."
"Aku belum tahu apakah ini adalah rencana tepat," kataku. "Aku perlu memikirkannya ulang."
"Kau ini terlalu bertele-tele untuk mengambil keputusan," Mavena mendengkus kecil, melihatku bagai bocah yang baru belajar berjalan. Hatiku sedikit tersinggung, bukan karena dia merendahkanku, tapi karena dia benar. Aku mungkin terlalu digerogoti pertimbangan, tetapi itu karena aku masih terlalu awam untuk dilibatkan dalam pemberontakan sebesar ini, apalagi setelah Mavena menyiratkan bahwa aku adalah orang maha penting yang diberi kuasa untuk membunuh Raja negeri Rawata ... semua tanggung jawab itu terlalu besar dan sangat berisiko.
"Pikirkan ini River," Mavena memecah ketegangan, "kalau Raja dibunuh dan kuasanya diambil alih olehmu, kau tidak hanya membalaskan dendam ibu dan adikmu, tetapi kau juga membebaskan praktik kebudakan yang dialami Kaum Liar. Aku hanya ingin kau tahu bahwa nasib ribuan dari mereka sekarang ada di tanganmu."
"Bila pemberontakan terjadi, mungkin saja akan ada banyak korban jiwa yang berjatuhan," kataku.
"Itulah harga yang harus kita bayar agar dapat menjungkirbalikkan pemerintahan ini. Tidak ada fungsi kematian yang lebih sepadan dibandingkan gugur menjadi seorang pemberontak yang berjasa."
Walau kata-kata itu benar, tetapi membayangkan bahwa aku akan menjadi kunci pemberontakan ini membuatku diliputi rasa takut yang membakar. Sebuah perang akan pecah di depan mata, dan tidak ada yang sanggup menahan-nahan lagi. Aku tak bisa terus menerus kabur karena sekarang dua pihak yang bertentangan sedang mencoba untuk mendapatkanku. Mavena telah berpegang pada prinsipnya untuk merengkuhku dan mencari jalan menuju kemenangan, sementara Raja Gangika tidak akan tinggal diam dan akan terus memburuku sampai mendapatkanku. Pilihanku baginya hanya dua; menyerahkan diri atau melawan.
Tanpa kusadari, neraka sesungguhnya akan dimulai, dan akulah si anak yang ditakdirkan untuk menyulut kobaran api.
-oOo-
Saat aku membuka pintu kamarku sendiri, aku menemukan Ursa berdiri di dekat jendela yang tirainya disingkap setengah. Kakiku melangkah melewati ambang yang dibanjiri sinar senja, dan gadis itu berputar untuk melihatku.
"River, kau baik-baik saja?" dia bertanya dengan nada prihatin. Aku menghampirinya, berdiri di hadapannya, menunduk memandangi wajahnya yang diliputi ekspresi khawatir.
Pada saat itu aku bertanya-tanya, akan seperti apakah hidupku bila aku tak bertemu Ursa? Apakah aku akan terbebas dari ikatan tanggung jawab sebagai Sang Terpilih? Apakah aku akan keburu tewas karena kejaran sraden Kevra? Apa yang membuat hidupku menjadi seperti ini? Aku tidak minta dilahirkan sebagai wajah ataupun simbol revolusi baru yang ditugaskan untuk membunuh ayahku sendiri. Semua yang dikatakan Mavena justru membebaniku dengan semacam perintah untuk melakukan persis seperti yang mereka harapkan. Mengapa harus aku? Mengapa aku mengalami ini?
"Ursa," Hatiku terasa sakit dan aku butuh pegangan untuk menghadapi semua ini. "Boleh aku memelukmu?"
Tanpa berkata-kata, Ursa menarikku ke dalam pelukannya. Kutumpangkan kepalaku pada bahunya yang sempit, yang amat hangat dan nyaman. Tanganku terselip pada pinggangnya, merengkuhnya bagai burung yang tak ingin kulepas dari sangkar. Kehangatan yang menguar dari tubuhnya belum cukup mengobatiku. Aku membayangkan kematian Ibu, suara tembakan yang merobek perut Ibu dan membuatnya meregang nyawa dalam pelukanku. Aku membayangkan tubuh rapuh Heera yang telah membiru dan dingin. Kelaparan yang terjadi di Kevra, anak-anak yang tidak dibiarkan mengenyam pendidikan, gadis-gadis yang menjual diri untuk sesuap nasi, para pekerja yang dihukum karena perbuatan yang sepele. Semua itu untuk apa? Untuk apa?
"River," Ursa menepuk pelan punggungku. "Aku tahu pasti sulit untukmu menerima semua ini. Tapi, beri waktu dirimu untuk pulih sampai kau bisa memutuskan ke mana takdir membawamu. Kita akan menjalani ini dengan pelan."
"Apa yang sebaiknya kulakukan?" Kutekankan daguku pada lehernya dan merengkuh pinggangnya lebih erat. Setidaknya dengan cara ini aku tahu aku tak sendiri. Aku tahu aku tak dibiarkan sendiri menghadapi takdir. "Apa yang harus kulakukan, Ursa?"
"Apabila kau diberi kesempatan untuk bisa menghentikan semua kekejian ini, apa yang menurutmu terbaik untuk dilakukan, River?"
Aku mengingat kalimat Mavena yang membuka seluruh kunci kebungkamanku atas praktik kekerasan dan pembodohan yang terjadi di Kevra. Kematian-kematian yang selama ini kulihat dan kusaksikan. Betapa inginnya aku mengeluarkan Kevra dari lumpur keterpurukan dan membuat Raja bertekuk lutut pada kepada jasad Ibu dan adikku, kepada seluruh korban yang telah dia jagal.
Ternyata pertanyaan yang sudah mengangguku itu hanya punya satu jawaban.
Apa yang akan kulakukan?
Maka aku mengambil napas dalam-dalan dan menjawab Ursa;
"Aku akan menjadi Sang Terpilih."[]
-oOo-
.
.
.
.
Ciyee.... river jadi sang terpilih....
.
.
.
Jujur aslinya rada cringe gitu yak pake istilah sang terpilih. Aku aslinya mikir mau pakai istilah "wajah revolusi" atau "sang terpilih" aja. Tapi entah kenapa aku malah pake ide yang ini awkwkwk. Terus juga aku keinget River di The Leftovers. Rasanya aneh banget dia jadi karakter yg bener2 berbeda di sini huhuhuuuu. Di The Leftovers, River udah kayak german shepherd yang penuh semangat dan ambisi. di sini dia kayak basset hound yang punya wajah melas awkwkwkwk
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top