24. Sang Terpilih

MAVENA bertanya berbasa-basi; "Apa aku mengganggu jam makanmu?"

Kedatangannya jelas mengganggu jam makanku, tetapi protes tidak ada gunanya. Lagi pula, dibandingkan kelaparan, aku lebih penasaran dengan apa yang ingin dia bicarakan. Selama beberapa menit pertama, Mavena menanyakan pendapat apakah aku suka dengan kamar yang telah dia pilihkan, dan aku menjawab sekenanya sesuai apa yang dia harapkan. Selepas memastikan bahwa kepuasanku terpenuhi, dia menyuruhku agar ikut ke suatu tempat.

Aku mengekori Ursa sementara kami dibawa menuju koridor lain di lantai tiga. Mavena membuka sebuah pintu, dan aku masuk ke sebuah ruangan yang bermandikan cahaya pagi. Dindingnya didekorasi dengan beberapa pucuk senjata. Baju zirah sraden Rawata yang tampak gagah dipajang di sudut, sementara di tengah-tengah ruangan, ada sebuah potret lukisan seorang sraden Putih yang sedang mengenakan baju zirah tanpa penutup kepala. Sraden itu begitu mirip Ursa―bermata hijau menyala. Itu pasti mendiang ayahnya.

Rupanya aku terpaku cukup lama memandangi lukisan itu sampai Ursa berbisik di dekatku, menyuruhku fokus. Kukedipkan mata, lalu berpaling pada dua lajur sofa di dekat meja kerja. Betapa terkejutnya aku karena di sana sudah ada Philene dan kawan-kawannya.

Raut mereka semua tampak lebih pucat dan cemas daripada saat pertama kali bertemu Mavena. Tangan Philene dilipat di pangkuan, sementara bahunya yang lebar didorong ke belakang sehingga membuat duduknya dipaksa tegap. Dumbo dan Hathen menatapku di ambang pintu dengan ekspresi tegang tanpa berkedip. Aku menduga sepertinya Philene dan kawan-kawan telah diberitahu rencana Ursa yang asli.

"Duduklah," kata Mavena. "Sengaja kupanggil kalian semua kemari karena ada sesuatu yang ingin kusampaikan. Mula-mula, kabar tentang River kudengar sendiri melalui Ursa ketika dia mengirimiku surat beberapa minggu lalu. Kau dulunya seorang Kaum Liar sampai sebuah insiden membuat iris matamu tiba-tiba berubah menjadi biru, benarkah begitu?"

"Sebetulnya ceritanya lebih panjang daripada itu, tapi inti kejadiannya benar."

Mavena mengangguk. "Katanya kau lupa dengan masa lalumu?"

"Aku masih ingat sebagian besar kehidupanku di Kevra, tapi itu hanya setelah berusia delapan atau sembilan tahun."

"Jadi usia sebelum itu kau tidak mengingatnya?"

"Tidak."

"Menarik sekali," Mavena mencondongkan tubuh dari kursinya. "Apa yang membuatmu tidak ingat soal itu? Apakah kepalamu pernah terbentur saat masih kecil?"

"Entahlah," kataku, ragu sejenak, "Ibuku tidak pernah cerita, dan dulunya aku begitu pasrah menerima kondisi. Tapi, sejak kecil aku memang mudah terserang sakit kepala. Gejala itu kumat setiap kali aku sedang stress."

"Kalau begitu," katanya seraya menghadap Ursa, sementara kedut kepuasan muncul di ujung bibirnya, "kemungkinan besar ucapan Garos mengenai anak yang diselundupkan itu benar. Garos bilang usia anak itu berusia tujuh tahun ketika menghilang. Perhitungannya cocok dengan usia dan pengalaman River."

Aku mengernyitkan kening. "Siapa Garos?"

"Tahanan Rawata yang dihukum karena menjadi pengkhianat pemerintah," Mavena berujar, "Garos ditangkap setelah terbukti menjadi salah satu biang penculikan anak dari keluarga kerajaan di Rawata, kemudian di hadapan para algojo, dia dipaksa untuk mengakui di mana dia menyembunyikan anak itu."

"Dan Garos bilang dia menyelundupkan anak itu di Kevra," sahut Ursa.

"Jadi, River," Mavena melanjutkan, "kami percaya bahwa kau adalah anak yang diculik Garos dan kelompoknya, terutama dengan bukti hilangnya ingatan, warna mata yang berubah, dan kekuatan desktruktifmu yang tiba-tiba meledak."

Aku merasakan cairan dingin membanjiri perutku, membuat organ dalamku membeku oleh kecemasan yang meradang akibat mendengar berita ini.

Ketika aku berpikir lebih jauh, tiba-tiba saja Philene berseru setengah ragu, "Tunggu dulu, kami pernah dengar rumor yang sama ...."

"Oh, kalian juga mendengarnya?" Mavena menyungging senyum seolah takjub. Dia menengok pada Ursa dan berbicara puas, "Sudah kubilang, rumor telah menyebar sampai ke mana-mana."

"Kami dengar itu waktu kami sampai di Benith, waktu sedang makan siang di sebuah kawasan pantai. Beberapa sraden kelas rendah di sana berbisik-bisik tentang adanya seorang pengkhianat yang diamankan negara," Hathen bercerita lebih lengkap.

"Itu memang benar." Mavena mengetuk-ngetukkan jemarinya yang panjang di pangkuan. "Sebetulnya Garos tidak sendiri. Jelas ada beberapa pengkhianat lain yang terlibat. Pihak Kerajaan hanya belum menemukannya saja."

Tatapan mata Dumbo menjadi lebih gelisah. "Dari rumor yang kudengar, pengkhianat itu bilang ... dia melakukan penculikan itu sebagai bentuk rencana pemberontakannya kepada petinggi Rawata."

Bibir Mavena tertutup rapat. Kebungkamannya kini menjadi sesuatu yang lumrah di antara kami, seolah tak ada yang bisa melawan dan memaksanya untuk berterus terang. Namun, dari ekspresi tegang Philene, aku tahu dia mulai menghubungkan sulur teka-teki ini menjadi satu, dan dia mulai meragukan ke mana Mavena membawa arah pembicaraan ini.

"Nyonya Mavena," kata Philene, "Jika River memang benar adalah anak yang diculik Garos, apakah ini artinya ... River terlibat dengan rencana pemberontakan Rawata?"

"Ya, tentu saja dia terlibat, hanya saja kita harus maklum bahwa anak ini masih belum mengerti situasi karena dia mengalami hilang ingatan. Setelah pengakuan Garos diedarkan ke telinga Raja, Raja mengutus pasukan kepercayaannya untuk memburu komplotan Garos sekaligus anak yang telah diculik itu. Beberapa waktu lalu, utusan kerajaan telah menyisir wilayah Kevra, tapi kabarnya mereka tak menemukan hal aneh. Penyelidikan ini melejit lagi ketika Komandan Zurich, pemimpin pasukan sraden Putih yang ditugaskan di Kevra, mengakui adanya insiden kaburnya dua anak muda yang tertangkap basah bisa membaca dan menulis. Sekarang mereka kalang kabut untuk memperluas wilayah perburuan."

Kesunyian menyusul hanya beberapa detik sebelum Philene melontarkan suara memekik kecil. Dia memandangi aku dan Ursa secara bergantian, tatapannya melongo dan tidak percaya, "River ... betul-betul menjadi orang yang paling diburu di negeri ini?"

Kalimat barusan membuat pikiranku lebih kacau. Aku melorot di sofa, menurunkan wajah pada telapak tangan.

"River, selama kau tinggal di rumah ini, kau akan terlindungi," Mavena mencoba menenangkan. "Lagi pula, aku yakin, dengan penampilanmu yang sekarang, mereka akan susah mengenalimu. Kau sudah seutuhnya berubah menjadi Kaum Putih seperti kami, sementara mereka menganggap kau masih bercirikan Kaum Liar yang memiliki rambut dan mata hitam."

"Meskipun fakta besarnya telah terungkap, masih ada pertanyaan lain yang belum terjawab," kata Mavena menengahi ketegangan, "Terutama tentang bagaimana rambutmu bisa terus menghitam selama tinggal di Kevra. Karena Garos telah tewas dalam penyiksaan dan tidak ada lagi tawanan atau saksi yang tersisa. Sekarang kami, para pembelot, serta para petinggi Kerajaan yang memihak pada perburuanmu, sedang berlomba-lomba untuk mengetahui rahasia itu lebih dulu."

"Kita akan mencari jawaban itu pelan-pelan," Ursa melipat tangannya di depan dada sambil melempar raut berpikir. "Perpustakaan di pusat kota memiliki arsip rahasia terlengkap yang hanya bisa dibaca di tempat. Aku yakin aku akan menemukan titik terang di sana. Kondisi yang dialami River barangkali ada hubungannya dengan ilmu medis."

Setelah terdiam selama beberapa lama, Philene―yang paling gelisah sekaligus antusias―mengusapkan jemarinya yang berkeringat di celana seraya maju beberapa senti ke depan, "Baiklah, begini, anggaplah lingkaran sudah mulai utuh. Sekarang kita tahu bahwa River betul-betul keturunan kerajaan yang hilang, dan dia entah bagaimana memiliki keterlibatan dalam pemberontakan Rawata. Pertanyaan berikutnya adalah 'mengapa'―" Philene secara bergantian melotot pada kami semua, "―Mengapa dia diculik, dibuat agar hilang ingatan, dan malah ditempatkan di Kevra? Bila tujuannya adalah menjadikan River sebagai pemberontak, mengapa dia harus dikurung di dalam tempat itu?"

Mavena hanya mendesis pelan, "Tidakkah kau menghubungkan benang teka-tekinya? River adalah anak yang sengaja diculik Garos karena dia hendak dipersiapkan untuk menjadi pemimpin pemberontakan."

"Apa maksud Anda?" tanyaku ragu.

"Sadarlah, River. Kau adalah Sang Terpilih," kata Mavena, yang semakin menimbulkan derak kebingungan dalam kepalaku. "Garos sengaja menempatkanmu di Kevra untuk menanamkan, di dalam kepalamu, konsep pembalasan dendam secara naluriah. Agar kau bisa merasakan sendiri kemelaratan Kaum Liar, agar kau dapat hidup dalam realita yang kejam, agar kau dapat berempati tentang krisis kemanusiaan yang terjadi di sana. Semakin kau disiksa, semakin kau membenci Kaum Putih, dan akan semakin mudah bagimu untuk membelot dari aturan mereka."

"Tunggu," kataku. "Jadi maksud Anda, aku sengaja disembunyikan di Kevra supaya aku tumbuh menjadi anak yang membenci Kaum Putih?"

"Benar."

Ada hentakan dalam perut seolah aku baru saja kelewatan menapaki satu anak tangga. Aku sengaja dibiarkan tinggal di Kevra agar menjadi orang yang membenci kaumku sendiri? Kepalaku otomatis menunduk, kacau oleh gelenyar panas yang meluap-luap tak terkendali. Kuusap wajah dengan tanganku

, mendadak merasa pusing dengan fakta mengejutkan ini. Aku tidak tahu apakah aku harus menganggap Garos dan sekutunya sebagai orang baik atau orang jahat. Kenyataan bahwa dia sengaja mengurungku di Kevra sudah sangat menyakitiku.

"River, kenyataan ini memang seperti pil pahit yang harus kau telan," kata Mavena, "Namun, marilah melihat sisi positifnya. Kau adalah satu-satunya kaum bermata biru yang tidak tercemar doktrin keji mengenai perbudakan Kaum Liar. Kau telah berhasil menjadi bangsawan Kerajaan yang berdiri di pihak para korban. Pikirkan betapa kuat pengaruhmu di pemerintahan. Tahukah kau bahwa kau akan menjadi orang yang sangat dielu-elukan oleh Kaum Liar? Mereka akan mengagungkanmu, River. Bagi mereka, kau adalah Sang Terpilih yang nantinya akan menyelamatkan nasib para budak yang telah tunduk pada aturan keji selama seratus tahun!"

Kau adalah Sang Terpilih yang sudah kami tunggu kedatangannya selama bertahun-tahun.

Namun, hatiku rasanya terlalu egois untuk menerima semua fakta menyakitkan ini. Setiap perasaan getir dan marah mengalir keluar dariku―rasa sakit bahwa ibuku sendiri merahasiakan asal-usul kelahiranku, kemarahanku yang tidak dibiarkan tahu mengenai rencana pemberontakan ini, ketidaktahuanku selama delapan belas tahun hidup diisolasi dan dikucilkan di tempat yang mirip lubang pembuangan ... semua perasaan tidak terima, sedih, dan murka akhirnya meledak melewati batasan.

"River," kata Mavena, dengan cengirannya yang kini terlihat betapa dia tak punya hati untuk memikirkan perasaanku, "Di sinilah aku ada untuk membantumu melaksanakan tugasmu sebagai Sang Terpilih. Aku akan mempersiapkanmu, melatihmu sampai kau siap untuk―"

"Bisakah Anda berhenti mengatakan hal itu padaku?" Suaraku kali berikutnya terdengar seperti geraman dingin.

Mavena membuka mulut tanpa suara. Aku melanjutkan sambil berupaya menahan emosi yang semakin menanjak, "Nyonya, kenyataan ini masih begitu mengejutkan untukku. Bisakah Anda berhenti menjulukiku sebagai Sang Terpilih?"

"Buka pikiranmu. Ini adalah saatnya kau menggunakan kekuasaanmu untuk sesuatu yang benar."

Kemarahan menyasar tanpa tahu tempat. Aku membentak pada Mavena; "Apakah penting untuk memaksaku menjadi Sang Terpilih sementara kenyatannya Anda baru saja memberitahu kalau selama ini aku sengaja dibuang di tempat itu?"

Mavena menarik dagunya ke atas, bersikap tenang dengan gaya angkuh, "Apa maksudmu, River?"

"Jangan pura-pura bodoh."

"River―"

Tapi sebelum aku menyadarinya, aku telah berteriak;

"Tahukah anda betapa aku begitu menderita di Kevra? Tahukah anda bahwa aku nyaris mati berkali-kali karena kelaparan dan serangan penyakit menular? Tahukah anda berapa kali aku hampir menyerah dengan hidup dan memutuskan mati bunuh diri dengan menggantung leher? Harapan Garos yang menginginkanku menjadi sang terpilih tidak ada artinya! Sejak awal mereka memang berniat menyiksaku agar aku menjadi alat untuk membalas dendam!"

Semua orang di dalam ruangan membeku dan terpana, jelas tidak memperkirakan kemarahanku yang begitu mendadak. Kekuatanku, yang berwujud denyut menyakitkan pada jantung, meletup-letup tak terkendali. Dalam sekejap, muncul pendar cahaya lemah dari ujung-ujung jari. Kubiarkan kekuatan itu terpancar keluar, mengambil alih kewarasanku. Dan saat aku hendak melayangkan pukulan pada apa saja yang ada di hadapanku, mendadak, entah darimana asalnya, tanganku tak bisa bergerak. Seluruh tubuhku lumpuh.

Mavena menggunakan kesaktian mata emasnya padaku.

Tubuhku menegang kaku dan terangkat dari lantai. Aku tak bisa berbicara. Ruas-ruas jemariku yang mengacung di udara berkeletak mengerikan seiring aku mencoba menggerakkannya. Mavena, sementara itu, membelalak padaku. Kerut-kerut kemarahan melumuri ekspresinya. Bibirnya membentuk segaris tipis penuh kejengkelan. Aku mengerahkan seluruh tenagaku untuk bergerak, tetapi gagal. Kekuatannya mengikatku begitu erat sampai-sampai aku kesulitan bernapas.

Saat itu aku tahu aku bukanlah lawan Mavena. Aku telah takluk dalam kendalinya.[] 

-oOo-

.

.

.

.

Chapter ini agak dikit yaa awkwk. Aku akan segera perbaiki chapter berikutnya dan langsung update kemari :"

Btw, kalau kalian suka sama cerita ini, tolong divote dong~ 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top