22. Mavena

RUMAH Ursa tampak terlalu tua tetapi dalam satu waktu terlihat megah dan antik. Walau begitu, seluruh muka pintu dan birai jendelanya perlu digosok dari lumut dan dipreteli dari tanaman liar yang merambat beringas. Aku mendengar suara derit besi ketika Ursa menggeser pagar yang sudah terlapis kerak karat. Kami melangkah memasuki halaman yang dibanjiri sinar fajar.

Di sebelah kananku terdapat kolam ikan yang disusun dari batu-batuan besar. Airnya sudah terkontaminasi lumut dan perdu, tetapi di dalamnya masih ada beberapa ikan yang hidup. Sementara lebih jauh lagi, tanahnya mulai melandai menuju pekarangan bawah tanah, yang berupa lahan teduh dijejali berbagai macam pot tanaman tak terawat, dan bunga-bunga yang menyembul liar dari semak dan tegel-tegel batu. Pada seberang pekarangan, di dekat pagar pintu keluar, tiang lentera bertengger agak miring, disandari tong-tong sampah dan patung jembalang yang retak sana-sini.

Kami berdiri di muka pintu hitam yang lapisan catnya sudah terkelupas dan kayunya sedikit gompal karena lapuk. Ursa menekan bel berbentuk kepala singa, dan beberapa saat kemudian pintu ditarik membuka dari dalam.

Saat pertama kali bertemu dengannya, aku sudah bisa menebak orang ini adalah nyonya besar pemilik rumah, Mavena; wanita jangkung dan anggun, dengan ekspresi wajah yang mengundang keresahan, entah karena terlalu tua atau terlalu misterius, atau barangkali keduanya. Dia memakai pakaian formal yang lengkap dengan perhiasan di leher dan kedua telinganya. Rambut peraknya disisir licin ke belakang, menimbulkan kesan tajam dan berbahaya. Sementara matanya―sesuatu yang paling pertama kusorot darinya―berwarna kuning terang, nyaris berpadu dengan warna selaputnya. Bila cahaya matahari tidak terpapar dan memperkeruh iris matanya, aku mungkin bisa melihat betapa kuat pengaruh tatapannya.

Dia adalah sang pengendali pikiran.

"Putriku, Ursa Amesti," katanya seraya menatap Ursa. Suaranya terlalu dalam untuk seorang perempuan. Aku bahkan nyaris melupakan fakta bahwa ini juga kali pertama aku mendengar nama panjang Ursa diserukan begitu lantang.

"Ibu," kata Ursa, tersenyum lebar. "Senang bertemu denganmu lagi."

"Ibu juga senang," Mavena menyungging senyum yang menampakkan deretan gigi-giginya. Sepatunya yang bertumit tinggi berkeletuk ketika dia turun ke langkan teras dan menyambut Ursa dengan memeluknya. "Kau kelihatan lebih kurus dari terakhir kali Ibu melihatmu."

"Aku banyak menghabiskan waktu untuk berlatih, sesuai perintah Ibu," kata Ursa, kemudian dia berpaling menghadap kami. "Ini teman-teman yang kubicarakan."

Mavena menatap kami semua. Pandangannya jatuh cukup lama ketika melihat Dumbo dan Hathen, tetapi kemudian dia beralih padaku, kemudian kembali pada Ursa. "Bawalah teman-temanmu masuk. Sudah kusiapkan ruangan untuk beristirahat."

Kemudian dengan dipandu Ursa, kami satu per satu melangkah ke dalam rumahnya. Aku menjadi orang terakhir yang hampir melewati ambang pintu, tetapi tatapan ibu Ursa―Mavena―yang berjaga di dekat kusen seketika membuatku terhenti.

Dia melihat lurus-lurus ke dalam mataku, tanpa berkedip. Sorotnya seperti menghakimi alih-alih bersikap ramah.

"Kau pasti River," katanya.

"Ya," suaraku terdengar serak dan belum siap. Aku nyaris kehilangan kendali ketika Mavena melangkah lebih dekat hingga aku bisa mencium aroma teh herbal yang baru diseduh dari tubuhnya. Tatapannya yang kecut masih melekat pada mataku, akan tetapi perlahan ekspresinya berubah, seolah seseorang baru saja mendekatkan kelopak mawar di cuping hidungnya.

Bibir menyeringai, kemudian berkata impresif, "Indah sekali," desisnya kepadaku. "Warna matamu sedingin dan sebiru danau di pegunungan."

Aku tidak tahu bagaimana harus merespons sehingga akhirnya kujawab, "Terima kasih," dengan suara mencicit.

"Tapi pasti kesakitanmu belum sehebat Areka," katanya mendadak.

Aku mengernyit. "Ya?"

"Putra Raja Gangika yang akan meneruskan takhta; Raja Rawata selanjutnya."

"Oh."

Gelagat dan tatapan Mavena seolah ingin mengetahui bagaimana reaksiku bila mendengar fakta ini. Barangkali dia menungguku marah, atau membentak, atau menyumpah serapah karena sudah berani membandingkan kekuatanku dengan Areka. Atau mungkin dia malah menanti wajahku tersepuh merah karena merasa dipermalukan. Namun, aku bukanlah pion yang bisa diperdaya sikapnya. Aku tidak ingin memperlihatkan apa yang ingin dia lihat.

"Anda tampaknya mengenal orang-orang penting di Rawata," kataku tenang, nyaris tak memperlihatkan ekspresi apa pun. "Aku bahkan baru mendengar nama Areka sekarang."

Mavena mundur sejenak. Matanya berkedip, kemudian lehernya miring sedikit untuk menilai penampilanku dari puncak kepala sampai ujung kaki. Dia mengatakan kalimat berikutnya dengan enteng;

"Kau tidak mirip siapa pun yang pernah kutemui di Rawata, bahkan Raja Gangika sekalipun."

"Terima kasih, tapi aku lebih nyaman bila tidak dimiripkan dengan siapa-siapa."

Mavena mengangkat alis kirinya, tampak terkejut mendengarku berkomentar sinis. Dia tersenyum miring, lantas menyuruhku lanjut berjalan. "Kita akan mengobrol lebih banyak nanti. Sekarang bergabung bersama teman-temanmu."

Bagian dalam rumah Mavena adalah definisi kemegahan yang tersembunyi dari balik selaput bobrok dan tua. Koridor rumah ini berlantai kayu hitam mengilat. Pada dindingnya yang dilapisi plester bermotif floral, tergantung berbagai macam lukisan benda-benda yang dicat menggunakan warna-warna cokelat kusam, anehnya tampak antik dan bernilai tinggi. Rak-rak yang mengapit lorong terlihat seperti kerangka besi dingin, menyimpan berbagai jenis patung sampai botol-botol kaca berisi kristal dan batu-batuan berwarna. Mavena membawaku ke sebuah ruang tengah, di mana ada sebuah sofa besar yang terhampar di tengah-tengahnya. Seluruh gerombolan Philene duduk di sana dan masing-masing dari mereka memancarkan ekspresi kalut dan terpana. Aku bisa merasakan persis bagaimana bila menjadi mereka. Mavena jelas memancarkan keramahan yang misterius.

Wanita itu maju beberapa langkah, menyambut kami dengan senyum lebar.

"Selamat datang di rumahku. Aku Mavena Amesti. Atas izin dariku, kalian bisa bebas tinggal di sini selama beberapa waktu."

"Terima kasih," Philene buru-buru bangkit. Dia membungkukkan badan untuk kesan sopan. Ekspresinya diliputi rasa senang tapi juga was-was, "Namaku Philene Sigh, dan mereka semua―" tangannya melambai ke arah sofa, tempat gerombolannya duduk, "adalah teman seperjalananku. Maafkan karena kami tiba-tiba kemari ... eh, Anda tentu bisa memberikan kesepakatan di awal supaya kami tidak salah paham atau berbuat kesalahan ...maksudnya, kami pasti akan menjaga sikap tanpa disuruh, tapi akan lebih baik bila―"

"Kalian tidak perlu sungkan bila menginginkan sesuatu. Pelayan di rumahku akan melayani kalian sebaik mungkin."

Dumbo melotot ngeri di tempatnya seolah dia baru saja mendengar berita luar biasa.

"Karena di sini kalian tidak tinggal sendiri, aku hanya berpesan agar kalian akrab dengan semua penghuni rumah. Ada pelayan yang akan menjelaskan semuanya kepada kalian." Mavena mendaratkan atensinya pada gadis itu, "Ursa, ikut aku sebentar," katanya pendek, lalu pergi melewatiku dan keluar melalui pintu.

Sementara itu, ruang tengah menjadi terasa lebih lenggang tanpa kehadiran Mavena. Aku baru menyadari semua orang kini melorotkan bahunya ke sandaran sofa dengan lega, seolah beberapa detik lalu mereka ditekan oleh entitas Mavena yang solid dan berkuasa.

Setelah mendudukkan diri di salah satu sofanya, Philene berkata cemas, "Aku tidak menyangka kalau keluarganya sekaya ini."

"Kalian lihat barang-barang yang dipajang di dalam botol-botol kaca yang tadi? Apa aku enggak salah mengira kalau itu batu berlian dan kristal mahal?" Hathen mendesis terperangah. Suaranya dikecilkan sehingga hanya kami yang dapat mendengarnya.

"Hei, jangan kepikiran buat mencurinya, dasar kambing. Kita bakalan dapat masalah besar kalau ketahuan," Philene komat-kamit dengan panik. Matanya jelalatan memandang sekitar. Kemudian, dia melanjutkan seraya menatap pada kami bergantian, "Wanita itu sepertinya bisa menyuruh kita mematahkan leher bila dia menginginkannya. Aku enggak bercanda. Firasatku mengatakan dia memiliki kesaktian yang besar."

"Aku setuju," sahut Dumbo, terengah, "Rasanya kayak masuk ke kandang buaya. Aku menahan pipis terus saking ketakutannya."

Philene mengusap wajahnya dengan kalut, "Oh, pikirkan ini kawan-kawan babi. Kita sudah menculik Ursa. Kita hampir saja membuatnya melaporkan tindakan penculikan itu kepada ibunya. Kalau sampai benar terjadi ... kalau sampai kita berbuat kelewatan pada gadis itu ... bisa-bisa leher kita digorok dan mayat kita dibuang di sungai oleh wanita itu."

"Dia enggak kelihatan seperti orang yang akan melaporkan begitu saja," kata Hathen dengan enteng, walau begitu aku bisa menangkap ekspresi wajahnya yang kini berubah lebih pucat dan tegang. Bila meja marmer di hadapan kami diangkat, kemungkinan aku bisa melihat lutut Hathen yang gemetaran karena rasa gentar. "E-enggak usah khawatir. Kita ada di pihak River, iya, kan? Ursa pasti bakal mendengarkan segala perintahmu. Dia enggak akan melukai kita begitu saja."

Aku mengerutkan kening.

"Apa sebaiknya kita kabur aja?" Dumbo bertanya. "Bos yakin kita enggak dijebak, kan? Gimana kalau ini adalah cara Ursa membalas dendam pada kita karena telah menculiknya?"

Philene mendadak berpaling padaku juga, "Menurutmu gimana, River?"

"Apanya?"

"Apa Ursa benar-benar menjebak kita?"

"Kenapa kalian bertanya padaku?

"Habisnya ini aneh. Sepanjang perjalanan di hutan dan di kapal, dia sama sekali enggak menyebut soal ibunya. Aku hampir mengira Ursa adalah sebatang kara yang pergi ke Rawata buat mengubah nasib, sama seperti kami, bukan malah bertemu ibu kandungnya yang super mengintimidasi, mengerikan, sekaligus kaya raya!"

"Siapa orang yang mau mengakui kekayaannya kepada perampok?" ketusku. Philene tampak sakit hati, tetapi dia menggerutu sambil mengangkat bahunya, seolah menyetujui ucapanku. "Aku bercanda, tapi kalian memang perampok yang kasar. Kalau aku menjadi Ursa, aku akan melakukan hal yang sama. Hal pertama dari pertahanan diri adalah dengan tidak percaya kepada siapa pun."

"Jadi, menurutmu ini jebakan atau bukan?" Hathen mulai terdengar menjengkelkan.

"Bukan," kataku, "Maksudku, kalau Ursa berniat menjerumuskan kita semua, dia bisa bersekongkol denganku untuk membalas dendam. Tapi dia betul-betul tidak memiliki niat buruk pada kalian."

"Bagaimana denganmu?" Dumbo menuntut dengan berbisik. "Kau enggak mempermainkan kita, kan?"

Aku menggeleng, "Tidak. Aku bersumpah."

Philene menghela napas lega. Eskpresi tegang luntur dari wajahnya. "Kuharap kau bisa memegang janjimu. Aku juga masih punya utang kepadamu, ingat, kan? Kita menjadi rekan karena hubungan timbal balik."

Aku mengangguk, kemudian kami semua kembali tenang di bangku masing-masing. Ketegangan barusan memudar menjadi perasaan lega bercampur syukur.

Lambat laun, semua orang mulai sibuk celingak-celinguk menyisir ruang tengah Mavena. Tampaknya kami semua terlalu dilalap kekhawatiran sampai-sampai lupa mengagumi betapa indah tempat ini. Walaupun kesan dari luar tampak seperti bangunan terlantar yang bobrok, kenyataan di dalam sini berkata sebaliknya.

Karpet sewarna merah darah di bawah sofa terasa tebal. Kakiku melesak dalam ketika menginjaknya. Sementara itu, ada berbagai macam piranti senjata yang digantung di dinding, mengingatkanku dengan dekorasi di rumah Ursa. Saat aku tengah mengagumi berbagai topeng etnik yang dipajang di atas perapian bata, Philene berceletuk lagi.

"Jadi, tadi Mavena mengatakan bahwa di rumah ini dia enggak tinggal sendiri."

"Ya, ada beberapa pelayan," sahut Dumbo. "Aku cuma berharap pelayannya tidak bersikap masam hanya karena aku abnor―"

Namun, kalimatnya terpotong sebelum dia menyelesaikannya. Pintu ruangan mendadak dijeblak terbuka dari luar dan aku secara refleks menegakkan punggung, terlalu terkejut sampai-sampai timbul suara keretak ketika aku melakukannya.

Seorang gadis berdiri di muka pintu; tubuhnya pendek dan kelihatan ramping. Dengan mata segelap tinta, rambutnya yang sepanjang leher juga serupa arang yang kelam.

"Nyonya Mavena memerintahkanku untuk mengantar kalian ke kamar tidur."

Dia adalah kaum liar kedua yang kutemui di Rawata.[]

-oOo-

.

.

.

.


Hmmm new member... semoga kalian nggak bingung sama nama2 tokohnya awkwkwk 🤣

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top