20. Abnormal

"ENGGAK ada yang tahu apa alasannya, tetapi menurut para saksi mata, sepertinya mereka diculik sekelompok orang sepulang beraktivitas. Kamera pengawas yang dipasang di sudut-sudut jalan seringnya diretas," suara Philene terdengar pelan dan murung.

Aku mengerutkan kening, membalas dengan dekutan ragu di dasar perut, "Sejak kapan hal itu terjadi?"

"Sejak enam bulan belakangan."

"Tidak ada yang mengusutnya?"

"Sudah, tapi penyelidikan enggak berjalan lancar." Philene menggosok hidungnya sambil menyedot ingus. Pendingin di dalam mobil memang membuat kami agak menggigil. "Sepertinya Jenderal yang diutus Raja untuk mengusut kasus ini udah mulai bosan menangani. Aku enggak tahu kelanjutannya. Selama di Martes, aku jarang mengikuti berita."

Aku berpaling pada Ursa. "Kau juga sudah tahu hal ini?"

"Ya, aku dengar rumor itu." Mata Ursa berputar gelisah di rongganya, beralih menatap pemandangan yang melaju cepat di jendela. "Omong-omong, apa kita masih jauh?"

Sementara Ursa bertanya pada Philene, aku sendiri hanya bisa terhenyak, begitu terkejut sampai-sampai suaraku menghilang saat membuka mulut. Di titik mana pun di dunia ini, Kaum Liar tak memiliki tempat yang aman. Mereka diburu dan ditaklukkan oleh orang-orang yang secara hukum lebih berhak mendapatkan kekuasaan dan pengakuan. Di mana lagi kami mendapat perlindungan yang cukup untuk menjaga kami tetap hidup dalam beberapa tahun ke depan? Kevra bukanlah pilihan tepat, dan Rawata rupanya tidak menjamin yang lebih baik.

Mobil melaju menuruni jalanan melandai dan membawa kami ke sebuah penginapan di pinggir jalan. Tempat satu ini merupakan bangunan berpelitur gelap yang berdiri kokoh bagai balok beton raksasa yang dijejalkan di antara pertokoan kota berteras cokelat identik. Saat kami turun dari mobil, Philene membayar sejumlah uang pada sopir, kemudian pria paruh baya itu mematung sebentar untuk menatap kami bergantian.

"Kalian datang dari wilayah luar, ya?"

"Bruma," Ursa menjawab cepat, "dan Martes."

"Oh, Martes jauh sekali."

"Yah, itu perjalanan panjang dan melelahkan."

Sang sopir mengangguk, kemudian tanpa sengaja beralih menatapku. Rautnya yang sedari tadi cemberut langsung berubah, "Uh-oh, aku tidak sadar ... dari tadi ada beliau. Apa mereka kenalan Anda, Tuan?"

Sontak saja, tali tak kasat mata di dasar perutku seperti ditarik. Aku menegakkan punggung dan membasahi bibir, jelas begitu terkejut menghadapi pertanyaan ini. Apa maksudnya? Mengapa dia memanggilku dengan sebutan 'Tuan'?

"Mm, yah, um...," sikapku pasti konyol dan tidak meyakinkan, sebab Ursa langsung angkat bicara untuk menyela.

"Kami datang untuk menemuinya. Urusan pekerjaan."

Selama beberapa detik yang terasa lama, sopir itu meresapi jawaban Ursa, kemudian mengangguk penuh arti. "Oh, ya, urusan pekerjaan. Tidak sopan bila aku bertanya lebih jauh. Tapi aku cukup terkejut karena kalian malah menyewaku, seharusnya bisa memakai kendaraan khusus."

Kemudian sopir menyalakan mesin dan mobil melaju pergi.

Aku bertanya pada mereka, "Jadi, kenapa aku dipanggil Tuan?"

"Orang-orang di sini sangat menghormati kaum bermata biru," jelas Philene, kemudian menengadah dan berseru, "Lihat. Yang lainnya sudah datang."

Dari tikungan di bahu jalan, dengan kecepatan minim dan tersendat-sendat, mobil hitam yang membawa Dumbo dan Hathen akhirnya tiba. Ketika Dumbo turun dari kendaraan, ban mobil yang semula seperti kempes kembali mengembang lega, diikuti dengan Hathen yang terseok-seok dari dalam. Mereka menyumpah serapah pada sopir yang buru-buru berputar balik untuk kembali ke jalan, lalu kendaraan itu menghilang ditelan bayang-bayang alun-alun kota yang padat.

"Payah banget," Dumbo menggerutu, dan aku baru sadar wajahnya tersepuh merah keunguan, tercabik antara nyaris mati atau emosi tinggi. "Sopirnya berengsek! Dia sengaja mematikan pendingin dan membuatku kepanasan di dalam!"

"Kita mungkin bakal menghadapi yang lebih parah," kata Hathen sambil meringis jijik. "Hanya karena mata kita berwarna hitam ... orang-orang di sini rasisnya bukan main."

"Ya, kalau saja hukum enggak berlaku, aku udah menghajar hidungnya sampai patah," gerutu Hathen.

Aku berpaling pada Hathen dan bertanya, "Jadi, mereka melakukan tindakan tidak adil pada Kaum Putih abnormal seperti kalian?"

"Bersyukurlah karena kau punya mata biru."

Philene tahu-tahu menekan bahuku, seolah hendak menghentikan perbincangan. "Sebaiknya kita segera masuk ke dalam. Kita enggak akan mau berlama-lama di luar sini."

Akhirnya, kami secara beriringan menghampiri penginapan yang menjulang suram di muka gerbang, menembus genta angin dingin yang melecut-lecuti wajah.

-oOo-

Seperti apa pun sikap angkuh yang ditunjukkan oleh penduduk Rawata, mereka bukanlah pembual tentang kemegahan dan kekayaan wilayahnya. Sebab setiap ruangan dalam tempat ini menunjukkan bukti mencolok tentang kemewahannya.

Bangunan ini terdiri dari empat lantai. Melebar dan memanjang sampai ke lorong belakang. Lantainya dari marmer cokelat yang digosok mengilat, dan setiap dindingnya dilapisi plester berpola bunga dan ngengat yang halus dan dingin. Suara langkah sepatu kami berbunyi nyaring ketika menyusuri ruang lobi. Aku sendiri berjalan agak berjingkat karena tidak mau sepatuku yang penuh lumpur mengotori lantainya.

Seorang pegawai perempuan yang berdiri di balik meja layanan menyambut kami dengan senyum hafalan. Rambut pirangnya digelung ketat di puncak kepala, sementara matanya seperti Alya, hijau bercampur emas.

Philene berkata, "Kami mau pesan kamar."

"Apa kalian datang bersama?" tanyanya.

"Benar."

"Maaf. Kami tidak punya cukup kamar," mata si perempuan yang sedingin es memandang Dumbo dengan raut meremehkan. "Teman Anda terlalu besar, juga sedikit mengerikan. Dia mungkin akan menyebabkan para tamu merasa tidak nyaman."

Aku mendengar Hathen mendesis makian di sampingku.

"Oh, dia sebenarnya berhati lembut," kata Philene, dengan nada yang dibuat-buat ramah, jelas sedang menahan diri untuk tidak membentak. "Lagi pula, kami cuma perlu menginap semalam. Besok pagi kami semua bakal pergi."

Satu gelengan pelan. "Maaf. Kami masih bisa menyediakan kamar untuk Anda dan teman perempuan Anda, tetapi untuk tamu satu ini dan ini ...." Dengan gerakan ala kesopanan, dia menunjuk Dumbo dan Hathen, "saya tidak menemukan tempat yang sesuai untuk mereka. Seluruh kamar sudah terisi oleh tamu penting. Kami tidak ingin para tamu kebanggaan kami mendapatkan pengalaman buruk menginap di tempat ini."

Philene tidak mau kalah. Dia langsung mengeluarkan kantong uang dari balik saku mantelnya, lalu memuntahkan isinya ke atas meja konter, menyebabkan bunyi gemerincing yang nyaring. "Kami punya banyak uang. Aku bisa bayar dua kali lipat!"

Wajah si petugas tercabik antara terganggu dan risi. Mendadak saja aku teringat murid laki-laki yang menindas seorang gadis dari Kaum Putih bermata hitam di sekolah Alya.

Karena tidak tahan lagi, aku menyela maju dari balik punggung Dumbo dan menghadap petugas itu.

"Aku yang membawa mereka kemari." Ah, River, kau kurang garang. Harusnya aku bisa menunjukkan tanda-tanda, tetapi nadaku barusan malah terlalu lirih.

Petugas itu bergeming sebentar. Suaranya dijaga agar tetap sopan. "Oh, Anda kemari bersama orang-orang ini?"

"Ya, kami terlibat dalam suatu pekerjaan. Mereka semua berada di bawah pengawasanku, dan bisa kupastikan hal-hal yang Anda takutkan tidak akan terjadi."

Si petugas terlihat merapatkan rahang.

"Saat ini kami membutuhkan kamar untuk beristirahat," kataku.

"Hanya ada satu kamar biasa yang tersisa. Kami kehabisan kamar kelas satu selama beberapa hari ke depan."

"Tidak masalah, kami ambil kamar yang tersisa saja."

"Anda yakin?"

"Memangnya aku kelihatan ragu?"

"Anda mau sekamar dengan ...." Petugas itu menatap Dumbo dan Hathen.

"Apa maksudnya? Sejak perjalanan beberapa hari lalu aku sudah tidur bersama mereka semua."

Petugas itu mengerutkan kening, tampak lebih curiga. Aku semakin bertanya-tanya tentang apa yang telah kulakukan. Apakah barusan aku salah bicara? Saat sedang menimbang-nimbang kalimat berikutnya, Ursa mendadak maju dari baris belakang dan menyela kami berdua. "Belakangan ini kami menemui masalah tidak terduga. Ada hal-hal yang terpaksa dilakukan dan dampaknya membuat beliau sakit kepala, sampai kadang bicaranya melantur. Tolong berikan saja kunci kamarnya."

"Ya, ya, tunggu sebentar."

Saat menyerahkan kunci kepada kami, petugas itu berkata lagi, "Apa saya perlu memanggil dokter?"

"Tidak usah. Dia akan tenang setelah tidur nanti."

"Nona?" Petugas itu memanggil Ursa yang hendak berputar pergi. Jemarinya menunjuk busur di belakang punggung Ursa, "Nona, memamerkan senjata secara terang-terangan di muka umum dapat mengganggu kenyamanan―"

Kuamati nama pegawai yang tersemat di dadanya. "Sharon, senjata itu adalah bagian dari pekerjaannya, dan dia adalah agen yang paling kupercaya. Kami semua sangat lelah. Tolong sudahi tawar menawar ini dan biarkan kami untuk segera tidur."

Sharon tampak malu dan tersinggung, tetapi dia masih membalas dengan tenang, "Baiklah, Tuan. Kamar nomor 73 ada di lantai empat. Apakah Anda sekalian butuh bantuan membawakan barang?"

"Tidak, terima kasih. Pelayanan yang bagus, Sharon. Kalau kau bertanya lebih banyak lagi, aku tidak akan mau merekomendasikan penginapan ini pada kerabat-kerabatku nantinya."

Satu kalimat yang kuutarakan barusan membuat Philene berbalik menghadap Sharon dan berjalan mundur menyamai langkah kami di lorong. Dia berkata sambil bersiul, "Oh, ya, Sharon, tolong bawakan kami makanan dan minuman hangat di kamar. Seharian berada di luar membuat kulit kami kering karena kedinginan." Dia mengakhiri permintaannya dengan satu kedipan mata.

Sharon mengucap "ya" dengan kaku, dan kami semua menikmati tipuan ini sambil saling menatap dan menahan cekikikan di sepanjang lorong.

-oOo-

"Jadi, gimana kau melakukannya?"

"Melakukan apa?"

"Yang tadi," dalam posisi duduknya, Hathen meluruskan punggung, kemudian mendongak sedikit untuk menunjukkan sikap angkuh, "Gayamu tadi begini. Benar-benar hebat!"

"Aku tidak tahu. Aku melakukannya begitu saja."

Philene meringis sedikit dari tempat duduknya di karpet, lalu melempariku dengan kulit kacang. "Walau konyol di awal. Aku nyaris takut petugas itu sadar bila dia sedang ditipu, sebab penampilanmu enggak meyakinkan."

"Warna mata enggak bisa menipu," sahut Hathen, "Pemerintah enggak mengizinkan adanya tipu daya pada mata. Maksudku, enggak ada operasi atau penggunaan lensa mata palsu yang diperbolehkan. Melihat warna mata adalah cara resmi kita menentukan tentang bagaimana harus memperlakukan seseorang; yang biru harus dihormati, yang hitam harus dicaci maki."

"Kita hidup di tempat yang luar biasa buruk," Dumbo menambahkan.

Philene melempar kacang ke atas lalu menangkapnya dengan mulut. Suara giginya yang meremukkan biji kacang yang keras mengisi keheningan kamar malam itu. Setelah menipu Sharon, kami akhirnya berhasil menyewa satu kamar paling murah yang tidak terlalu luas. Letaknya ada di lantai tiga penginapan, di lorong paling barat yang menghadap langsung kawasan alun-alun kota. Ada balkon di balik jendela yang bisa digeser terbuka. Di sana kami bisa melihat pemandangan dari atas.

"Kamar ini sempit, ya." Hathen mendadak berkata, dan suaranya agak canggung.

Tidak seperti hutan atau dek kapal yang terbuka dan cukup luas, di sini kami nyaris berdempet-dempetan untuk sekadar duduk. Aku dan Philene menempati bagian atas kasur yang hanya muat untuk satu orang, sementara Hathen dan Dumbo bersempit-sempitan di lantai marmer yang dingin. Ursa sendiri duduk merapat di jendela balkon, terlihat tak mau mendekat.

Aku tahu kami semua meresahkan bagaimana posisi tidur yang nyaman untuk jumlah orang sebanyak ini, terutama untuk Ursa, perempuan satu-satunya yang terjebak bersama kumpulan pria bau dan jorok.

Tanpa disadari, kami semua memandangi Ursa dengan kikuk. Kami mungkin telah melewati banyak hari bersama-sama, tetapi sekarang sikap tak acuh kami mendadak saja luntur dan membuat semua orang meringkuk malu-malu di tempat, sepenuh hati menyadari bahwa yang bersama kami selama ini adalah seorang gadis yang, tidak bisa dipungkiri, terlalu menawan untuk berdampingan bersama pria-pria berbau busuk.

Melalui penglihatanku yang mulai pudar karena kantuk, bayangan Ursa terpaut di antara bulu mataku. Aku menatap kakinya yang ditekuk di dada, yang tampak jenjang dan bersih, pada rambut putih keperakannya yang tergerai halus di punggung, pada garis wajah dan bibirnya yang ekspresif, pada lekuk tubuhnya yang mungil dan ramping. Bagaimana dia bisa berpenampilan seperti itu setelah kami melewati hari yang begitu padat dan melelahkan?

Aku tidak pernah kelihatan menawan. Gerombolan Philene apa lagi. Mereka kelihatan seperti perpaduan antara buruh ladang dan pemulung. Ekspresi wajah mereka selalu diiringi tanda-tanda mengkhawatirkan dari bahaya kelaparan dan kurang gizi. Yah, kecuali Dumbo. Dia lebih mirip seorang pegulat kriminal yang kabur dari penjara bawah tanah.

"Ada apa?" Ursa mendadak saja berceletuk, dan kami semua langsung melengoskan wajah kebingungan.

"Kita harus cepat tidur," Hathen membalas lemah, lalu menggaruk lehernya.

Philene yang duduk di sampingku tahu-tahu menegapkan punggung. "Ursa, tidurlah di kasur saja! Biar kami para laki-laki tidur di bawah dan berdesak-desakan seperti babi." Kemudian dia mendorong-dorongku agar menyingkir, "Minggir sana, anak sial. Berikan singgasana ini pada Ursa!"

Mendengar kalimat Philene, aku menjadi malu sendiri. Seharusnya akulah yang mengatakan hal itu.

Namun, Ursa menolak, "Tidak usah, aku tidur di sini saja."

"Jangan! Di sana dingin!"

Aku melotot terkejut, lalu buru-buru menatap Philene yang balas mengawasiku sambil melongo. Kami berdua mengucapkan kalimat tadi bersama-sama.

"Kenapa sih sama kalian?" Hathen menatap bergantian aku dan Philene dengan wajah menggerutu, kemudian berdecak malas, "Kalau Ursa enggak mau, biar aku saja yang memakai kasurnya. Minggir!"

"Berengsek sialan! Aku enggak menawarimu!" Hathen sudah hampir merangkak naik ke kasur saat kaki Philene yang belum dicuci tahu-tahu mendarat dengan tidak sopan di pipinya.

"Ayolah, ini sudah malam, lebih baik cepat tidur," kata Dumbo, lalu mulai menyamankan posisinya yang duduk bersila di depan pintu masuk yang tertutup, sementara Hathen menyerah dari ambisi merebut kasur dan ikut berbaring di sebelah Dumbo.

"Ursa, tidurlah di kasur," kataku, dengan nada memohon.

"Ya sudah." Gadis itu memanjat kasur dengan terpaksa. Ursa merapatkan tubuh ke tembok, lalu menepuk-nepuk bagian kasur di sampingnya yang masih longgar. "Bukannya aku tidak menghormati tawaran kalian, tapi masih ada ruang yang tersisa. Kalau kalian kedinginan di bawah, tidur saja di sampingku."

Aku dan Philene saling berpandangan. Dan, dari keremangan sinar lampu kamar, dapat kulihat pipi Philene tersepuh warna merah jambu.

"Tidak perlu," kataku sambil berpaling pada Ursa dengan cepat. Wajahku menghangat, entah karena malu atau jengkel karena dikasihani. "Kami akan tidur di bawah saja."

"Benar, tidur di bawah. Oh, bahkan aku sudah biasa tidur di kolong jembatan atau trotoar," Philene menegaskan. Dan, Ursa pada akhirnya menerima tanpa protes.

Selepasnya, malam kian terseret ke waktu-waktu yang menjemukan dan penuh kantuk. Selagi aku duduk di lantai sambil menyandarkan kepala di sisi tempat tidur, semua orang mulai menyiulkan dengkur halus yang damai.

-oOo-

Aku terbangun beberapa jam sebelum fajar, menggigil kedinginan dan lapar. Kakiku kram, tidak bisa kuluruskan karena di depanku terhalang kepala Philene yang tidur sambil meringkuk di lantai dengan posisi ganjil.

Kuseret langkah ke bilik toilet untuk membasuh wajah dengan air hangat dan buang air kecil, lalu beberapa saat kemudian kembali ke ruangan kamar. Mataku sudah tidak terlalu mengantuk, jadi aku bisa melihat segalanya lebih jelas. Ursa tidur nyenyak di atas kasur, menghadap tembok dan mengambil sesedikit mungkin tempat. Gadis itu berupaya keras membuat salah satu dari kami berbagi kasur dengannya, tetapi tak ada yang berani menempatinya. Aku sendiri tidak tahu mengapa sikapku sekarang menjadi lebih canggung dengan Ursa, padahal di malam-malam sebelumnya kami sering tidur berdampingan.

Saat menengok ke arah pintu, Dumbo rupanya tidak tidur di tempatnya yang tadi. Sebagai gantinya, Hathen dapat berbaring lebih leluasa sambil merentangkan lengan seperti anak kecil yang tertangkap basah bermain salju. Aku mengernyitkan kening dan bertanya-tanya; ke mana perginya orang itu?

Aku sudah hendak mencari Dumbo ke luar ketika tahu-tahu saja sesuatu yang sejuk dan lembut menerpa pipiku; angin malam.

Kepalaku tengadah ke balkon kamar yang telah digeser dibuka. Dari bawah pagar teralis baja, Dumbo duduk di lantai sambil menghadap pemandangan di luar-kakinya yang gemuk dilipat menyentuh dadanya, dan rambutnya yang lebat bergoyang tipis diempas angin malam.

Kulewati ambang pintu balkon, kemudian kututup jendela di belakangku dengan pelan. Suara keriat yang timbul membuat Dumbo menengok ke belakang.

"Oh, kau, River," katanya.

Aku memperhatikan pemandangan malam yang sempurna di Rawata. Sebagian besar pertokoan di bawah sudah tidak beroperasi, tetapi lampu-lampu masih menerangi bilik-bilik ruangan di balik jendela gedung hingga tampak seperti lautan bintang. Aku duduk di samping Dumbo, membiarkan angin menyapu helai-helai rambutku. Tubuhku merinding kedinginan, tetapi aku tak protes apa-apa karena sudah dibayar oleh pemandangan menakjubkan di bawah.

"Kenapa tidak tidur?" tanyaku.

Dumbo menjawab tanpa menoleh. "Enggak mungkin bisa melewatkan pemandangan seindah ini, bukan?"

Ada kerlipan samar di mata Dumbo―seperti perpaduan antara sorot takjub dan rasa was-was. Aku juga mengenal dan merasakan hal yang sama persis.

"Indah, kan, di bawah sana?" kata Dumbo.

"Ya, tapi terlihat suram berkat karakter penduduknya."

Dumbo tertawa hambar, "Enggak papa. Yang penting bisa menikmati pemandangannya. Di kampungku, kami enggak mendapatkan yang seperti ini. Setiap hari dipenuhi pekerja ladang dan buruh sawah. Satu-satunya hiburan cuma pasar malam yang menyediakan permainan kuno buat bersenang-senang."

"Seperti apa contoh permainannya?"

Dumbo menoleh padaku, lalu menaikkan sudut bibirnya sehingga tampaklah giginya yang besar dan ronggang-ronggang. "Lempar lembing," katanya, meringis geli. "Atau bergulat dan menombak ikan di sungai. Enggak seru."

Aku ingin mengatakan bahwa keadaan di kawasan tempat tinggalku jauh lebih parah, betapa kami hampir-hampir tidak punya permainan menyenangkan selain petak umpet dan membicarakan aib para prajurit di bawah pohon, tetapi aku tak sampai hati untuk mengadu nasib kepada Dumbo. "Dengan badan sekuat ini, kamu pasti selalu menang, iya, kan?" tebakku.

Dumbo menyipitkan mata, "Ya, tapi perlakuan mereka sama aja. Aku dianggap orang aneh karena mataku hitam."

"Penduduk di Martes bermata hijau?"

"Sebagian besar," jawab Dumbo. "Ada segelintir yang berwarna emas, tapi itu bisa dihitung jari. Kebanyakan penduduk bermata emas lebih menyukai tinggal di sini."

"Bagaimana dengan keluargamu?"

Dumbo menatapku lekat-lekat, dan aku hampir melihat geletar tidak suka di matanya. Karena sadar pertanyaanku mungkin menyinggungnya, jadi aku cepat-cepat berkata, "Oh, tidak usah cerita kalau tidak mau. Aku baik-baik saja."

"Aku enggak suka membicarakan mereka," kata Dumbo pelan.

"Itu alasan yang cukup," tambahku.

Kami terdiam lama, kemudian Dumbo berkata lagi.

"Sebenarnya, siapa pun keluargaku itu enggak penting. Semua orang akan tetap membenciku. Enggak ada tempat yang baik untuk kaum seperti kami, River. Kau tahu, rasanya berada di tengah-tengah itu ... menyebalkan. Enggak pantas buat diistimewakan, tapi enggak pantas juga buat diperbudak. Beberapa orang yang enggak mau repot, berpikir kami enggak ada bedanya dengan para kaum liar, jadi mereka berbuat semena-mena."

"Dumbo, sebetulnya kita ini ... terlalu mengotak-ngotakkan manusia," kataku. "Ini menyebalkan. Menurutku tidak ada kaum yang pantas diperbudak. Bahkan kaum liar sekalipun. Kami tidak salah apa-apa. Polos dari lahir. Mengapa harus menerima perlakuan berbeda?"

"Kau kan bukan kaum liar," Dumbo mencibir.

"Kaum Liar tetap menjadi bagian dari diriku, selamanya."

Dumbo menatapku lama, dan ekspresinya berubah seperti terheran-heran. "Aneh."

"Kenapa?"

"Aku dengar kalimat itu dari seorang cowok bermata biru."

"Kalau kau menghabiskan sepanjang waktumu di Kevra, kau pun akan mengerti bagaimana rasanya menjadi aku," tegasku.

Kemudian, sunyi merebak di antara kami. Dumbo menghela napasnya hingga terdengar seperti dengkusan kerbau. "Itu enggak menolong apa pun. Ketimpangan di dunia ini sudah mengakar dan sulit dikendalikan. Semua orang ... saling jegal dan membinasakan."

"Yah, aku bertanya-tanya apa yang terjadi di masa lalu," kataku. "Maksudku ... kita semua terpecah belah setelah Masa Keruntuhan dimulai. Dan, sebelum segalanya menjadi sedemikian buruk, apa yang pernah kita lewatkan? Bagaimana manusia hidup? Apakah dulunya kaum Liar juga menerima pendidikan yang cukup? Apakah ada di antara kami yang memperjuangkan hak untuk hidup dan selamat?"

Kata-kata itu terpetik begitu saja dari mulutku, dan aku meremang oleh rasa takut dan kesedihan yang begitu dalam. Apa yang menyebabkan dunia menjadi sedemikian parah? Pertanyaan itu hanya menggema dan mengambang di atas kepalaku, tak jelas siapa yang akan menjawabnya. Atau mungkin memang belum ada jawaban atas pertanyaan ini.

Tanpa kuduga, Dumbo menepuk punggungku dengan pelan. Aku merasakan tekanan telapaknya yang ringan dan bersahabat, dan nyaris merasa kembali ke Kevra, ke masa di mana aku berkumpul bersama Aris. Apa yang terjadi padanya sekarang? Apakah segalanya masih berlangsung tidak adil?

"Apakah kau membenci Kaum Liar?" mendadak aku bertanya pada Dumbo.

"Sebetulnya aku enggak menemukan alasan buat membenci mereka. Bila dipikir-pikir, mungkin sebenarnya kami ini bernasib mirip."

"Kau tidak akan bergabung menjadi sraden di Kevra, kan?"

"Sraden di Kevra?"

"Ya." Aku terdiam sejenak. "Ursa pernah memberitahuku kalau sebagian masyarakat Kaum Putih abnormal biasanya memutuskan bergabung menjadi sraden yang mengawasi wilayah Kevra karena hanya dengan cara itulah mereka dapat mengekpresikan dominasinya terhadap kaum yang lebih lemah di bawah mereka. Apakah tujuanmu datang ke Rawata adalah untuk...." Aku membiarkan kalimatnya terpotong di akhir.

Dumbo tampak berpikir, lalu menjawab, "Aku enggak bakal jadi sraden di Kevra. Itu bukan aku."

"Mengapa?"

"Menindas orang yang enggak bersalah enggak akan pernah menyelesaikan masalah. Itu cuma bakal menambah daftar tukang penindas yang baru."

Kemudian aku mengingat bagaimana perangai Dumbo saat kami bertemu pertama kalinya di pondok dalam hutan. Bila dipikir-pikir, saat gerombolan Philene menculik Ursa, Dumbo selalu memiliki kesempatan untuk melukai gadis itu dengan dalih membalas dendam atas perlakuan tidak adil yang sejak dulu diterimanya. Namun, dia tak pernah memulai perlawanan sekecil apa pun. Yah, dia memang kasar dan beringas, tapi hanya kepadaku. Dan kemarahannya saat itu sungguh beralasan. Aku memang menyebalkan di mata mereka.

"Lalu menurutmu, apa cara yang tepat untuk menyelesaikan masalah ini?" Aku menanti-nanti jawabannya, harap-harap cemas memikirkan apakah dia akan pasrah dengan keadaan atau justru menyimpan apa yang selama ini aku butuhkan; ambisi untuk meruntuhkan tatanan masyarakat yang semrawut.

Dumbo membalasnya dengan sekali embusan napas;

"Aku cuma berharap dunia ini bakal berubah. Entah bagaimana caranya."

"Kalau kau punya kesempatan untuk mengubahnya, apakah kau mau terlibat di dalamnya?"

Mata Dumbo yang sekelam jelaga tampak bersinar seperti permata. Aku menelan ludah dengan gugup saat dia menjawab dengan suara lirih.

"Tentu aku mau."[]

-oOo-

.

.

.

.

.

.

Please kalian harus cinta juga sama Dumbo. Dia gemesinnn walau garang dan endut 😭😭😭

Btw chapter ini panjang banget sampe 3200+ kata awkwk. Semoga nggak muak yak

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top