18. Trik Menipu
PHILENE menarik kerahku kasar, kemudian mendekatkan ujung hidungnya yang runcing di depan mukaku. "Hei, kukira kita sudah sepakat buat saling memercayai, kan? Kenapa kau masih seenaknya mengataiku di belakang?"
Aku merapatkan rahang. Dengan sekuat yang kumampu, kutepis cengkeramannya dari kerah baju. "Berhenti menganggapku seseorang yang bisa tunduk di bawah perintahmu, berengsek sialan."
"Kau ini sudah kuselamatkan, dasar tolol. Berterima kasihlah sedikit."
"Untuk apa berterima kasih? Sebelumnya kau menculik Ursa dariku."
"Darimu?" Philene mengerutkan kening. "Memang Ursa siapamu?"
Kata-katanya membuatku bungkam. Aku melirik Ursa, dan tidak bisa menemukan alasan yang tepat untuk membantah. Bila dipikir-pikir, sejak awal, Ursa memang tidak ada sangkut pautnya denganku. Bukankah aku yang sendiri yang menginginkan pergi darinya setelah sampai ke Rawata?
"Enggak bisa jawab, ya?" Philene terkekeh kecil, melipat tangannya di depan dada. Seringainya tampak puas sekali.
"Kau menyiksanya," kataku, hampir merenggut pakaiannya. Philene berhasil mengelak karena gerakannya lebih cepat, "Itu yang melukai kepercayaanku pada kalian."
"Kami enggak menyiksanya," kata Philene.
"Salah satu temanmu melakukannya."
"Hentikan debat tidak berguna ini," Ursa tiba-tiba menengahi kami. Rautnya tercabik antara malu dan kesal, "Hutan tidak bagus untuk pemakaman kalian berdua. Lebih baik kita cepat pergi―"
Namun, Philene menarik pakaianku dan menyembur marah, "Jangan ngawur, dasar keledai! Sejak kemarin mulutmu memang minta dijahit!"
"Tanyakan pada temanmu yang pincang itu. Berani taruhan, dia juga membencimu setengah mati. Barangkali karena kau memperlakukan mereka semua bagai budak."
Philene menggertakkan gigi. "Bedebah!" lalu dia menghambur ke depan dan mendorongku hingga jatuh terjengkang ke tanah. Pukulan tidak bisa dielakkan. Tahu-tahu terdengar bunyi lesakan kulit menyakitkan―aku menerima tinju di pipi. Kugigit bibir untuk menahan erangan. Kesakitan tak membuatku panik. Segera kumonopoli situasi dengan menyikut wajahnya. Philene menangkis dengan mudah. Tapi kemenangan tetap ada di pihakku kendati aku berada di bawah kungkungannya. Sebelum dia sempat menyadari, kubelitkan kakiku pada lekukan lututnya dan menggulingkannya ke samping. Aku duduk di atasnya dan secara kalap menghujani wajahnya dengan tinju.
"River, hentikan!" teriak Ursa, tetapi suaranya teredam oleh derap langkah cepat yang menyusul dari belakang. Dumbo dengan kasar mengaitkan lengannya padaku, menarikku agar berhenti memukuli bosnya. Sementara Hathen menahan Philene yang hendak membalasku. Aku terduduk di tanah, bernapas tersengal, melotot pada Philene dengan bengis. Pria itu akhirnya mendorong tubuhnya bangkit sambil membungkuk pedih memegangi hidungnya yang berdarah.
"Keparat sialan," Philene mendesis di antara gigi-giginya.
Selagi Philene dituntun menjauh, Dumbo melepas cengkeramannya pada lenganku. Saat itu Ursa langsung berkata dengan nada mengancam, "Apa kau ini tidak bisa menahan diri sedikit saja? Kalau kekuatanmu sampai meledak lagi, kita akan menghabiskan waktu lebih lama untuk menunggumu pulih!"
"Aku tahu aku kelewatan. Tapi bajingan itulah yang memulai kekacauan ini," kataku.
"Ya, dan kau tidak membuat segalanya lebih baik. Sadarlah, River. Kita tidak punya waktu untuk menyesali apa yang terjadi. Kau butuh mereka untuk menyembuhkan ingatanmu!"
Aku menatap mata Ursa yang dilapisi banyak perasaan―kemarahan, tuduhan, dan sekelumit kesedihan yang tak kutahu sebabnya. Namun, dibandingkan semua perasaan negatif yang kutemukan di dirinya, peringatan yang lebih membingungkan berdengung dalam kepalaku; terombang-ambing dalam ketidakpastian siapa diriku sebenarnya dan terjebak di antara para kriminal yang memerasku. Kenyataan mana lagi yang lebih menyakitkan dari itu?
"Hei, sebaiknya kita kembali jalan," kata Hathen, yang sudah menuntun Philene dan berjalan lebih dulu dari kami. Semua orang kemudian mengikuti, kecuali aku dan Ursa.
Gadis itu kembali berpaling padaku, "Kalau mulutmu masih mengoceh untuk menentukan siapa yang pengecut, kita tidak akan sampai di pantai. Ini sudah hari ketiga dan lewat tengah hari. Tahukah kau kalau seharusnya kita sudah sampai kemarin?" Kata-katanya tajam dan bernada menuduh. Pada detik itu aku hampir berteriak memprotes semua tindakannya yang terasa acak dan tidak adil, tetapi aku tetap menahan diri dan malah berkata hal lain.
"Kalau begitu pergilah," kataku. "Pergilah sendiri dan tinggalkan aku."
Ursa mengerutkan alis. "Apa maksudmu?"
"Yang menghambat perjalanan ini adalah aku, kan?"
"Bukan begitu," kata Ursa, mulai gelisah. "Kesepakatannya tidak begini sejak awal."
"Benar. Sejak awal kau juga tidak bilang akan menjual informasi diriku pada mereka. Tapi apa yang kau lakukan sekarang?"
"River."
"Sejak awal aku percaya padamu, Ursa."
Gadis itu melihatku dengan sorot terluka. Tapi, sialan, siapa yang lebih terluka di sini?
"Aku tahu kau bukan orang jahat seperti mereka," kataku dengan sakit hati. "Dan kuharap kau tidak membuatku menyesal atas pilihanku untuk bertahan bersama kalian."
Lalu tanpa menunggu pembelaan darinya, aku melewati Ursa dan meninggalkannya termenung di tengah hutan, berharap gadis itu akan memikirkan kata-kataku dan melakukan sesuatu agar membuatku lebih yakin untuk mempertahankannya.
-oOo-
Kami meneruskan perjalanan tanpa berkata-kata. Setelah menempuh separuh medan yang lembab dan panas, pada sore harinya, rerumputan di bawah kakiku telah berubah menjadi tanah gersang berkerikil. Selanjutnya, pemandangan yang kulihat dari balik tebing batu mengentak jantungku―sebab itulah pertama kalinya aku menjadi saksi dunia yang begitu luas.
Setelah lama dikerangkeng dalam wilayah terisolasi yang kumuh dan bau, aku hanya bisa melihat laut dari buku cetak yang disimpan Ibu di bawah tegel batu, bahkan membayangkan akan melihatnya secara langsung saja tidak pernah. Tetapi hari ini, kepalaku tengadah memandang hamparan biru mahaluas yang mengisi cakrawala. Angin berembus kencang membawa hawa sejuk yang melegakan, menyapu kulitku yang berkeringat dan memedihkan mata. Samar-samar tercium aroma seperti campuran tanah basah dan garam. Aku terpaku begitu lama memandangi lautan di bawah tebing sana, menyaksikan debur ombak yang menggulung di permukaan, meninggalkan buih putih yang sekejap hanyut disapu gelombang.
"Kita bakal sampai di dermaga. Letaknya ada di pantai sana," kata Hathen, lalu kami berbelok di tikungan yang menyempit dan menuju undakan batu curam yang mengarah ke bawah. Semua orang, satu per satu, menuruni tangga batu dengan pelan. Setiap langkah yang membawaku turun, mengekspos tanah berpasir putih berpuluh-puluh meter jauhnya di bawah kaki. Saat kami hampir mencapai ujung anak tangga, akhirnya tampaklah sisi lain pantai (kuyakin itu bernama dermaga) yang diisi dengan beberapa kapal besar bercadik yang tertambat pada pasak. Layar-layar yang tersambung pada tiang bagian tengah kapal masih terlipat, sebagian terbuka lebar―membentang di langit berbentuk segitiga. Kata Hathen, layar yang terbuka adalah indikasi bahwa kapal akan segera berlayar di lautan lepas.
"Hei!" Hathen berteriak, memanggil Philene yang berjalan memimpin di depan. "Ada satu yang mau berangkat. Kita segera naik yang itu saja!"
Kemudian Philene mengacungkan ibu jari ke atas. Dengan langkah lebar, kami mengikuti Philene menghampiri sekelompok orang yang berkumpul di dekat dermaga (Hathen bilang mereka adalah awak kapal dan penumpang yang mau ikut naik). Di tengah kerumunan, secara refleks aku mencari Ursa. Kutemukan gadis itu berdiri di tepat di belakang Philene. Dia sama sekali tak menengok ke belakang untuk melihatku.
Fakta ini membuatku sedikit menyesal. Apa yang tadi kukatakan pada Ursa memang terkesan menyudutkan, tetapi itu karena aku tak bisa menahannya lagi. Segala perasaan berkembang menjadi kemarahan dan rasa tidak terima karena diperlakukan setengah-setengah. Semestinya aku bisa lebih sabar lagi menahan diri, bukannya malah melimpahkan pada Ursa.
Setelah menyingkirkan perasaan bersalah itu, aku maju ke rombongan. Philene menggamit lengan Hathen dan Ursa yang ada di dekatnya, membuat kami semua melingkar dengan rapat, lalu berkata berbisik dengan nada bersekongkol, "Kita harus banyak berhemat uang sebelum sampai ke Rawata. Ikuti perintahku."
Aku menyipitkan mata, "Apa maksudnya?"
"Maksudnya adalah, kita akan naik kapal dengan gratis," Hathen menjawab.
Aku belum sempat bertanya ketika Philene berdesis padaku dengan hidungnya yang merah karena kupukul, "Hei bedebah, begini caranya. Kau pergi ke awak kapal yang menjaga palang gerbang masuk, bayarlah tiket buat dirimu sendiri. Kami akan menyusul setelahnya."
"Apa? Aku tidak mau!"
"Dengar, aku enggak mau bertengkar denganmu lagi. Di perjalanan kali ini kita adalah rekan. Ikuti kata-kataku atau kita enggak bakal bisa ke Rawata."
"Kenapa harus aku?"
"Kalau bodoh jangan dipelihara sendiri, dasar anak udik." Dan sebelum aku bisa membalas ledekannya, Philene langsung menyodorkan beberapa keping dan lembaran uang di tanganku. Dia mendorongku maju ke antrean yang sedang membeli tiket untuk naik. Merasa panik, aku berpaling ke belakang dan melihat mereka semua sudah menepi dan menjauh dari kerumunan. Sialan.
Untunglah saat itu Ursa tiba-tiba muncul dari samping dan langsung mencekal lenganku, "Kita akan beli tiket sama-sama," katanya, kemudian dia setengah menyeretku ke barisan seraya merogoh kembali kepingan uang dari kantong celanaku. "Tidak usah berkata apa-apa. Pelajari bagaimana aku berbicara kepada mereka."
Selang beberapa lama kemudian, giliran kami tiba. Satu-satunya petugas yang menjaga loket memiliki iris kehijauan segelap lumut yang mengendap. Rambut putihnya ikal dan dagunya sedikit maju. Ketika berdiri menghadapnya, dia memicingkan mata menatapku, kemudian tubuhnya langsung tegap.
"Ma-mau naik kapal?" tanyanya, entah kenapa nadanya gelagapan. Aku tidak menjawab apa pun sesuai kata Ursa.
"Untuk dua orang," kata gadis itu, lalu menyerahkan beberapa keping uang. Setelah memberikan tiket, petugas itu cepat-cepat menaikkan pintu palang dan membiarkan kami masuk.
Kami duduk di bagian dek samping kapal selama beberapa lama. Para pengunjung mondar-mandir seraya membawa berbagai macam barang, dari koper dorong sampai binatang ternak. Setelah hampir bosan menanti-nanti jam keberangkatan, mendadak saja ada suara keributan dari luar pintu palang. Ursa memalingkan muka padaku. Tatapannya juga bingung, tetapi beberapa saat kemudian pancaran sinar di matanya berubah. "Itu pasti Philene dan gerombolan," katanya, lalu kami cepat-cepat menyusul kembali ke pintu masuk.
Rupanya benar. Di dekat palang masuk, gerombolan Philene sedang adu mulut dengan penjaga loket. Hanya saja kali ini penjaga loketnya bukan yang berambut ikal dan berdagu maju, melainkan petugas yang lain dengan cambang dan kumis lebat di area wajahnya. Beberapa calon penumpang yang hendak masuk berkerumun membentuk setengah lingkaran di dekat loket, dengan penuh perhatian menonton adu mulut Philene. Aku mendengar sepatah dua patah kalimatnya; " ... kami benar-benar sudah membayar tiket!"
"Aku sama sekali belum melihat kalian di sekitar sini. Sudahlah, kalau tidak mau bayar lebih baik pergi." Petugas itu tampak marah dan memburu waktu. Dia mengabaikan Philene dan langsung beralih ke calon penumpang di belakangnya.
"Tunggu, itu dia bosku!" Philene mendadak saja berseru sambil menujuk ke arahku. Aku tergagap dan langsung celingukan melihat sekitar, kalau-kalau dia menunjuk orang lain. Tapi tidak ada siapa pun. Petugas loket yang penasaran segera berpaling ke belakang dan menatapku. Rautnya yang ogah-ogahan langsung berubah seperti orang terkejut.
Philene menyahut lagi, "Sudah kubilang, kan? Kami datang kemari bersamanya. Cepat tanyakan kepadanya!"
Ursa memegang lenganku dan berbisik, "Mereka sudah menyingkirkan petugas loket yang pertama tadi. Sekarang kau tahu apa yang harus dilakukan."
Sialan. Jadi ini maksudnya menyuruhku masuk terlebih dahulu.
Diselingi keterkejutan karena terpana dengan trik menipunya, aku menghampiri petugas loket itu dan berbicara sesuai apa yang Philene inginkan. "Tadi aku sudah membayar untuk mereka bertiga. Biarkan mereka masuk."
Petugas loket bertubuh gemuk itu terpaku sebentar. Rautnya seperti bimbang, tapi Philene mendesak lebih jauh dengan beralasan bahwa seluruh antrean sudah menanti tak sabar. Akhirnya, termakan oleh tipuan Philene, petugas itu membuka pintu palang dan membiarkan gerombolannya masuk. Kami berduyun-duyun maju ke dek bagian depan tanpa berkata apa-apa.
Setelah beberapa saat berlalu, saat kerumunan mulai melonggar, Philene menepuk punggungku. Kali ini dengan cara bersahabat. "Makasih bantuannya," katanya, nyengir. "Kalau bukan kau, petugas itu enggak akan percaya dan ujung-ujungnya bakal jadi perdebatan panjang."
Aku mengangguk kecil, "Ke mana petugas sebelumnya?"
"Mudah sekali buat menyingkirannya sebentar," Hathen menyahut, "Kami menipunya buat memeriksa tangki bahan bakar yang bocor."
Ursa menimpali dengan tatapan tak percaya, "Rupanya kalian sehebat itu dalam menipu."
"Ini bukan apa-apa," kata Dumbo untuk pertama kalinya, "Kami biasa menyamar dan merampok juga."
Setelah trik menipu kecil itu, kami mencari tempat menunggu. Aku duduk berjejalan di barisan kursi geladak bersama gerombolan Philene dan penumpang lainnya. Rupanya ini bukan perasaanku saja. Semenjak pertama kali menginjakkan kaki di tempat ini, sebagian orang dan awak kapal memang memandangiku dengan tatapan ganjil, seolah aku benda asing yang tak seharusnya ada di sini. Mungkinkah aku memancarkan aura Kaum Liar yang gembel dan menyedihkan? Seorang bocah kecil―lebih muda dari Heera―bahkan memperhatikanku tanpa berkedip. Karena merasa malu dan tidak suka, aku menunduk, beralih memelototi lantai geladak. Jadilah sepanjang perjalanan aku hanya bisa meringkuk dan menumpukan kepala di lutut yang terlipat.
"Perutku tidak enak," gumamku ketika kapal sedang berlayar. "Rasanya aku mau muntah...."
"Pengalaman pertama memang tidak menyenangkan," kata Ursa, lalu menarikku agar bangkit. "Ikut aku di dek bagian depan."
Aku tidak protes apa-apa saat Ursa menuntunku menjauh dari kerumunan. Gerombolan Philene berjejalan di geladak belakang, dan saat aku berpaling pada mereka, Philene melihatku dengan tatapan tanpa ekspresi. Aku melengos darinya karena isi kepalaku terlalu kacau.
Ursa membawaku di geladak luar kapal, tempat yang lebih sepi dan tenang.
"Di sini sirkulasi udaranya lebih baik. Kau bisa baikan bila melihat pemandangan laut."
Selama beberapa saat, tak ada percakapan di antara kami. Kedua tanganku kutumpangkan di pagar dek sehingga aku setengah bersandar di sana. Sepoi angin beraroma lautan meniup rambut. Kesejukan dan ketenangan ini membelai pikiran dan mendamaikan gejolak di dalam perut dan kepala. Aku melihat ke sisi kanan, mendapati Ursa melakukan hal yang sama.
"River," seru Ursa. "Maafkan aku karena sudah membocorkan tentangmu pada mereka."
Berkat pernyataannya barusan, aku jadi ingat bahwa seharusnya aku masih marah padanya.
"Apa kau tahu kalau ide Philene dan gerombolannya sungguh konyol? Mereka berencana untuk membawaku ke Rawata. Mereka pikir aku adalah keturunan yang hilang dan bisa seenaknya dikembalikan ke lingkaran kerajaan yang jelas-jelas tak kumengerti situasinya semenjak lahir. Tapi bagaimana bila semuanya tak sesuai harapan? Bagaimana bila orang-orang di Kerajaan justru berniat buruk terhadapku, atau terhadap kalian? Keselamatan kita semua akan terancam begitu menginjakkan kaki di sana."
"River, biarkan aku menjelaskannya padamu," jawab Ursa, kemudian dia beringsut mendekat dan menyapu pandang sekitar, seolah sedang meyakini bahwa percakapan kami aman. "Tak ada gunanya untuk menambah musuh di sekitar kita. Lebih baik mencari sekutu yang bisa dipercaya. Philene dan gerombolannya memang berengsek, tetapi mereka bisa diandalkan. Mereka adalah perampok dan penipu ulung―kau sudah lihat bagaimana cara mereka menyusup masuk kemari tanpa membayar. Dumbo juga punya keuntungan dengan tubuhnya yang besar. Dia bisa menahan ledakan kesaktianmu. Bayangkan ini, kalau kita bisa membuat mereka percaya padamu, kita bisa melakukan hal yang lebih besar bersama-sama."
"Jadi alasan tentang Philene yang bisa menyembuhkan hilang ingatanku itu hanya alasanmu saja agar kami berdua bisa turut mendampingimu?"
Ursa terdiam. Jawaban tepat.
"Kau menipu mereka dan berharap mereka mau ikut bersamamu?"
"Aku sudah memikirkan waktu yang tepat untuk menjelaskan pada mereka tentang apa yang sebetulnya terjadi."
"Ursa, sepertinya aku tidak tahu maksud pembicaraanmu." Aku tahu. Aku hanya takut dia berpikiran seperti yang selama ini kutakutkan.
Mendadak saja Ursa berkata dengan nada berbisik penuh sekongkol.
"River, apa kau tidak mau membalas dendam atas kematian keluargamu?"
"Ini gila," akhirnya aku mendengkus tak percaya. "Apa hubungannya semua ini dengan keluargaku?"
"Aku serius," kata Ursa, dan tatapannya memang menegaskan keseriusan dalam nadanya. "Setelah mengalami ledakan energi kemarin, matamu berubah menjadi biru. Ini membuktikan firasatku tempo kemarin; kau memang memiliki peran istimewa di Rawata, meskipun sampai detik ini kita masih perlu menunggu ingatanmu untuk kembali seutuhnya. Tapi, pikirkan apa yang membuatmu tetap hidup sekarang. Tidakkah kau membenci undang-undang upeti anak delapan tahun? Tidakkah kau membenci mereka yang telah membunuh keluargamu? Tidakkah kau membenci para Kaum Liar yang dijadikan budak dan entah bernasib seperti apa di Rawata sana? Kalau kita menyusun rencana agar masuk ke Rawata, kau bisa mengetahui seluk beluk kerajaan dan mengetahui segalanya. Kau mungkin bisa berbuat sesuatu untuk melakukan pemberontakan terhadap seluruh kebijakan mereka yang timpang dan keji."
"Ursa," kataku, merasa kewalahan mendengar rencananya yang begitu ambisius dan tak masuk akal. "Pikirkan kata-katamu. Apakah kau pikir kita bisa melakukan semua itu? Apa kau tidak memikirkan risikonya?"
"River, segalanya adalah tentang risiko," kata Ursa. "Pilihanmu untuk ikut denganku adalah risiko. Kita tidak bisa mundur begitu saja."
"Jumlah kita terlalu sedikit," kataku. Merasa cemas dan gamang. Ada sekelumit rasa penasaran yang membakar hatiku saat mendengar rencana Ursa, tetapi aku berusaha menjaga rasa itu agar tak meledak.
Lalu aku beralih memandang Ursa. Gadis itu berkata lagi, "Walau jumlah kita sedikit, aku yakin kita bisa mengumpulkan sekutu dengan cepat."
"Bagaimana caranya?"
Kemudian dia mengakhiri kalimatnya dengan suara dingin yang menusuk.
"Kita akan merencanakan pemberontakan itu bersama ibuku."[]
-oOo-
.
.
.
Yeaaaaa, kita akan memasuki part yang seru sebentar lagiii~
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top