17. Musuh atau Kawan

SETELAH percakapan yang cukup panjang, Philene beringsut ke salah satu sudut ruangan dan tidur dengan posisi meringkuk menghadap tembok, sedangkan Dumbo kembali merebah bersama kroni penjahat lain yang luka-luka.

Luar biasa. Dalam beberapa detik saja, suara dengkur mereka terdengar nyaring.

Ursa akhirnya menghela napas di dekatku, "Sebaiknya kita tidur juga. Perjalanan masih panjang."

Kami berdua memang kelelahan karena sepanjang hari ini harus terlibat masalah dengan para kriminal yang licik. Namun, sebelum membiarkan Ursa berbaring, aku mencekal pergelangan tangannya. "Kenapa kau memberitahukan identitasku pada mereka?"

"Apa masih belum jelas? Aku terpaksa memberitahunya karena aku tahu dia bisa menyembuhkanmu."

"Bagaimana dengan ibumu?" kataku, menggenggam tangannya lebih erat, "Kalau kau mau memercayakan diriku dengan seorang ahli pengobatan, mengapa tidak membawaku ke ibumu? Bukankah dia juga tenaga medis? Meminta bantuan kriminal jahat yang sebelumnya menculik dan melukai kita justru terdengar tidak masuk akal."

Ursa menyipitkan mata, seolah dia tak percaya dengan apa yang kukatakan. Sudah kuduga, dia menyembunyikan sesuatu dariku.

"River, aku punya jawaban atas semua hal yang kau pertanyakan, tapi sebaiknya kusimpan untuk nanti." Kelelahan memancar dari nada suaranya yang lemah. Aku menjadi tampak jahat karena sudah memaksanya, jadi kulepas pergelangan tangan Ursa dan membiarkannya tidur sambil memunggungiku.

Kami tidur saling membelakangi satu sama lain. Kutumpukan kepalaku di lengan sebagai sandaran, lalu menekuk kaki untuk mengumpulkan kehangatan. Di tengah retih lilin yang menerangi, kupejamkan mata dan mencoba kabur ke kesunyian.

"Omong-omong, terima kasih karena sudah menyelamatkanku." Seruan pelan Ursa mendadak membuatku terbangun. Aku termangu sejenak dan membiarkannya berbicara, "Saat itu ... kurasa aku hampir berpikir kalau kau akan mati."

Terdengar helaan napasnya di tengah kesunyian.

"Kekuatan destruktif itu sekarang bersemayam dalam tubuhmu, River. Sewaktu-waktu dia akan muncul lagi, entah dalam kondisi yang seperti apa. Tidak ada dari kita yang tahu. Dan, aku menjadi bertanya-tanya... setiap kali kekuatanmu muncul, apakah kau akan mendapatkan efek yang sama seperti itu? Maksudku, saat melihatmu sekarat ... itu mengerikan."

Dalam temaram lilin yang membentuk lingkaran jingga di depan mataku, nada suara Ursa yang prihatin membuatku luluh, tetapi aku berusaha bersikap batu. Sebab berkat sikapnya yang seenaknya membocorkan identitasku pada penjahat, kini Philene dan kawan-kawannya bisa memerasku kapan saja agar aku tidak bisa kabur. Padahal saat sampai di Rawata, aku berencana untuk melepaskan diri dari Ursa dan mengurus kehidupanku sendiri. Aku tidak punya waktu untuk mengurusi orang-orang bodoh ini.

Ketika melihat Ursa, mendengar suaranya, dan merasakan panas tubuhnya di dekatku, aku merasa ada sebuah lubang terbuka dalam hatiku yang meluncurkan seluruh rasa kecewaku kepadanya. Aku ingin memuntahkan semua gumpalan yang menyesakkan dada. Aku ingin menuntut Ursa karena telah membocorkan rahasiaku pada Philene tanpa seizinku. Namun, aku tidak berdaya untuk mengucap sepatah kata pun. Hatiku terlanjur sakit untuk mengetahui hal apa yang tersembunyi di balik ini. Ursa adalah orang yang selama ini kupercaya, yang selama ini kujaga dan diam-diam kuperhatikan karena aku tahu dialah satu-satunya temanku di sini. Namun karena perbuatannya yang sembrono, rencana yang telah kususun matang-matang menjadi goyah. Fakta ini membuatku terbakar oleh gelombang sedih yang meluap-luap.

"Kau sudah tidur, River?"

Bukannya menjawabnya, aku malah merapatkan lutut ke dada, meringkuk seperti janin, dan menahan diriku agar tidak hancur kedua kalinya karena semburan kekuatan itu lagi. Jangan meledak, jangan meledak, jangan meledak.

-oOo-

Keesokan paginya, kami semua melanjutkan perjalanan menuju pantai di balik gunung. Philene memberi Ursa dan aku masing-masing selembar dendeng dan sekantong biskuit melempem yang dia dapatkan dari hasil jarahan barang bawaan kami.

"Enggak ada yang tersisa lagi, cuma itu aja," katanya dengan nada kasar dan ogah-ogahan. Philene hendak melempar daging itu ke mukaku, tetapi saat aku berjengit sambil menutup mata, dia malah terkekeh seolah baru saja berhasil melakukan trik konyol.

Daging itu kuambil dengan enggan sambil menatap ekspresi Philene lurus-lurus.

Ada sesuatu dalam penampilannya yang memicu insting buruk seseorang. Segala yang ada pada Philene membuatku muak. Wajahnya adalah tipe yang minta ditonjok. Bahkan anjing saja pasti tidak tahan mengencingi wajahnya bila melihatnya. Dia jangkung, sedikit berotot, dan bermulut lebar ketika tertawa. Senyumnya kepada Ursa mengingatkanku dengan sraden mesum yang menatap gadis-gadis muda di Kevra. Sebaliknya, caranya melihatku sungguh tidak sopan―barangkali campuran antara tatapan menilai dan meremehkan.

Tidak jauh berbeda dengan Philene, dua orang temannya punya aura berengsek yang hampir sama. Dumbo besar seperti raksasa―mungkin tingginya dua meter. Wajahnya tidak berbentuk, penuh dengan pipi dan cambang yang tumbuh awut-awutan. Rambutnya gondrong, seperti karpet jerami yang diburai dan ditempelkan begitu saja di kulit kepalanya, dan dia tidak pernah tersenyum. Aku bertanya-tanya apa yang membuat rautnya kecut permanen seperti itu. Apakah dia masih dendam padaku karena kemarin aku melemparnya ke luar pondok?

"Bocah," kata Dumbo saat dia berjalan melewatiku sambil agak terpincang―barangkali karena luka-lukanya belum sembuh benar. "Dengar, aku pernah menghancurkan keong yang lebih besar darimu. Awas aja kalau kau menyentuhku lagi dengan tangan terkutuk itu." Dumbo mengancam di antara bibirnya yang bergetar karena amarah.

Belum sempat kujawab, terdengar suara kekehan yang mirip tawa histeris perempuan dari belakangku. Itu bukan Ursa, melainkan Hathen, si kaki pincang. Setelah Dumbo maju ke depan, Hathen melewatiku dengan langkahnya yang kecil dan agak melompat-lompat. Fisiknya mengingatkanku pada burung gagak yang licik. Kendati rambutnya berwarna putih, kulitnya kecokelatan karena terik matahari. Tangannya panjang dan kurus, berayun-ayun ringan setiap kali dia berjalan, sementara matanya cekung dan berkantung. Orang pasti ketakutan melihatnya melotot, sebab itu membuat matanya seperti hampir copot. Saat kulihat dari dekat, rupanya kakinya agak cacat―panjang sebelah di kaki kanan. Aku terbayang tentang seseorang yang kupanggil Boris di Kevra. Dia juga memiliki masalah yang sama di kakinya, hanya saja Boris terlahir sebagai Kaum Liar, dan Hathen adalah bagian dari Kaum Putih.

"Hei, River, pukulanmu yang kemarin boleh juga," kata Hathen sambil menatapku dari atas ke bawah. Dia mengusap tengkuk dan bahunya yang dibebat kain kasa tipis sembari mengeluh, "Aku bakalan kesulitan tidur buat beberapa hari karena sakit leher. Kau sendiri gimana?"

"Berhenti bersikap baik padaku," kataku.

"Oh, sudah, dong, jangan jahat gitu." Hathen menepuk-nepuk punggungku, tapi aku menepis tangannya dengan kasar.

"Sial, kau ini," desisnya. "Aku sungguhan mau minta maaf atas sikapku yang kasar kemarin."

Aku tak menjawab, dan Hathen terus bercerocos seperti burung, "Aku tahu kau pasti marah padaku karena aku udah kasar padamu, terutama sama pacarmu."

Mendengar kalimatnya, aku langsung berhenti melangkah. Kupandangi Hathen dengan raut keheranan di wajah. "Dia pacarmu, kan?" tanyanya sambil menunjuk Ursa yang berjalan tak jauh di belakang kami.

"Bukan urusanmu." Entah mengapa aku menjawab begitu, tetapi wajahku berpaling lagi ke depan dan melanjutkan melangkah.

Hathen mengikutiku seperti bebek, "Dengarkan aku. Semuanya rencana Bos. Biasanya kami cuma merampok saja tanpa menculik korban. Gadis itu adalah yang pertama."

Aku memicingkan mata dan tergelitik untuk mengetahui cerita yang lebih jelas, "Mengapa Philene menculik Ursa?"

Hathen hanya mengedikkan bahu. "Mana aku tahu. Tanya aja sendiri sama Bos."

"Bos kalian paling mencurigakan."

"Otaknya seperti katrol yang diputar. Kau enggak bakalan tahu di mana dan kapan porosnya berhenti. Terkadang tindakan Bos memang cukup mengejutkan kami," sanggahnya.

Aku menarik napas dalam-dalam. Orang-orang ini memang licik, tetapi aku perlu mengetahui seluk beluk mereka lebih jauh sebelum dapat terpaksa menerima sebagai rekan perjalananku. Jadi, aku memutuskan untuk bertanya pada mereka pelan-pelan.

"Kalian ini datangnya dari mana?" tanyaku.

Hathen mengusap hidungnya, sekilas menyapu pemandangan hutan yang dipenuhi pohon dan semak-semak. "Kami semua berasal dari Martes. Tujuan kami adalah Rawata, sama seperti kalian. Karena enggak punya cukup uang buat berkendara, kami terpaksa jalan kaki. Perjalanan menjadi lebih panjang dan berputar-putar. Menurutmu sudah berapa lama kami ada di luar sini?"

"Entah. Lima hari?"

"Tiga minggu," kata Hathen. "Martes letaknya nyaris di pucuk dunia―" Aku mengangkat alis, terkejut, "―sial, aku cuma bercanda. Anggap saja tempat kami jauh sekali. Pokoknya, perjalanan ini amat menguras tenaga dan akal sehat. Di minggu kedua, bekal kami mulai habis, jadi harus putar otak untuk tetap mengisi perut."

"Sebab itulah kalian merampok dan melakukan kejahatan?"

"Bukan kejahatan enggak berdasar. Kami merampok karena perut kosong."

"Tetap saja itu salah," kataku. "Kalian mengorbankan orang lain demi memberi makan diri sendiri. Itu perbuatan egois yang memalukan."

Hathen melihatku dan seolah menanti kata-kataku selanjutnya. Aku terdiam dan tetap teguh berjalan di bawah sinar matahari yang menyengat.

"Memang dunia ini enggak adil, kan?" katanya, tertawa miring. Aku menatapnya sambil mengerutkan kening. "Untuk mendapatkan sesuatu, kau harus mengorbankan sesuatu yang lain terlebih dahulu."

Aku tak membalasnya lagi dan malah merenung. Kudapatkan identitas baru sebagai Kaum Putih tapi sebagai gantinya aku kehilangan Ibu dan Heera. Sayangnya, kedua hal itu bukanlah sesuatu yang ingin kutukar. Bila boleh memilih antara mengetahui siapa diriku yang asli atau berkumpul bersama keluarga, akau akan memilih opsi kedua.

"Yah, sudahlah, pokoknya aku sudah minta maaf dan menjelaskan apa yang kutahu padamu," katanya.

Ketika Hathen hendak melangkah menyusul Dumbo di depan, aku menarik kerah leher bagian belakangnya hingga membuatnya nyaris terjengkang. Pria itu memelototiku sambil memekik sebal, "Apaan, sih?"

"Minta maaf pada Ursa," kataku. "Jangan hanya meminta maaf padaku."

Dia berdecih kecil, "Iya, aku tahu, aku akan minta maaf padanya."

"Dan pastikan kau tidak mengulanginya lagi. Kalau sampai tanganmu menyentuh Ursa untuk kedua kalinya," aku mendekatkan bibirku pada telinga Hathen, lalu berbisik, "Aku sendiri yang akan membunuhmu."

Saat kulepaskan kerah Hathen, dia mundur beberapa langkah seraya memandangku dengan sorot ngeri dan tidak percaya. "A-aku enggak akan sentuh dia ...." lalu Hathen terbirit-birit lari ke depan dan mengejar Dumbo.

Setelah Hathen menjauh, aku berpaling ke belakang dan melihat Ursa berlari menyusulku.

"Apa yang kau bicarakan dengan Hathen?" tanyanya.

"Aku baru saja menanyainya beberapa hal."

"Oh, apa itu?"

"Tidak banyak. Hanya ingin tahu mereka sebenarnya dari mana. Katanya dari Martes."

Ursa membenahi posisi anak panahnya di pundak. "Martes? Jauh sekali. Kalau mereka berjalan kaki dari sana, mungkin baru bisa sampai ke Rawata setelah sebulan lamanya. Omong-omong aku melihat bunga di dekat semak belakang. Ambil ini," sambil memberikan sekuntum bunga bermahkota kuning padaku. "Kata Philene, bunga ini bisa dimakan. Aku sudah mencobanya sendiri. Rasanya manis dan agak pahit."

"Kata Philene?"

"Ya, rupanya dia bisa diandalkan. Sepanjang perjalanan memberitahuku ilmu tentang tanaman―mana yang bisa dijadikan ramuan obat, mana yang beracun, dan tidak. Philene mirip denganmu, River. Katanya dia banyak membaca buku juga."

Aku memberengutkan bibir, merasa tersinggung ketika dibandingkan. Membayangkan Ursa mengobrol dengan Philene membuatku marah tanpa sebab yang jelas. Barangkali aku sebal melihat Ursa bisa tertawa padahal dia baru saja melakukan kesalahan. Barangkali aku merasa iri pada Philene karena nyatanya aku tidak sepintar dirinya di bidang tanaman dan ramuan obat-obatan. Walaupun pria itu telah menyelamatkan nyawaku, aku tidak sudi bersikap maklum padanya.

"Ada apa dengan wajahmu?" Ursa bertanya.

"Jangan samakan aku dengan Philene," kataku, ketus.

"Oh ...." Ursa kehilangan kata-kata. Tampangnya berubah seperti tersakiti. "Aku tidak bermaksud membandingkan kalian berdua. Tentu saja kalian berbeda."

"Dia adalah orang yang harusnya dicurigai," kataku, lalu tanpa sadar menggandeng tangannya dan menariknya agar merapat padaku. "Jangan dekat-dekat padanya, Ursa. Kita belum tahu motif Philene saat dia menculikmu dariku."

Mendadak saja, suara keras menyebalkan muncul dari sisi kananku, mengejutkan kami berdua.

"Barusan kau bilang apa?" Philene bertanya dengan sorot sinisnya.[] 

-oOo-

.

.

.

.

.

.

.

.

Ciyee bang riper cemburu 😃

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top