16. Kekecewaan

AKU tercekat, tak bisa berkata-kata. Ada batu kecil yang mengganjal tenggorokanku.

"Lihat, dia sendiri juga enggak percaya, kan?" Philene menggumam rendah di dekat Ursa. Dengan tidak terima, aku merebut cermin itu dan mendekatkannya pada wajahku, memelototinya dengan cara konyol dan kikuk. Dua mata itu berwarna biru―dingin dan membekukan, seolah dia menusukku dengan kehampaannya yang mutlak dan pasti. Dia tak kukenal. Dia bukan aku.

"Pasti ada yang salah." Kini suaraku terdengar parau dan tercekik. Kubiarkan cermin jatuh ke lantai kayu yang lapuk dengan bunyi ketukan tumpul, sekonyong-konyong merasa kehilangan diriku sendiri.

Jadi, inilah jawaban dari kecurigaanku terhadap pandangan menuduh Ursa, dari kebungkamannya yang menjeritkan ledakan kebingungan dalam benakku, dan dari sikapnya yang mendadak kaku dan hati-hati. Saat aku siuman tadi, dia pasti terkejut melihat mataku yang berubah warna.

"Kami melihatmu sebelumnya," kata suara yang lebih dalam dan serak, muncul bagai pukulan samar. Bo telah duduk tak berkutik dalam kesuraman ruangan yang disepuh sinar lilin. Aku melihat rambutnya yang awut-awutan seperti singa membentuk bayangan si lantai kayu. Dia melanjutkan, "Mulanya kau bermata hitam, sama sepertiku. Tapi tiba-tiba saja kekuatan itu muncul bagai ledakan yang enggak bisa dikendalikan. Kau jelas mendorongku sampai ke luar sana, bocah―" dia menunjuk lubang pada dinding pondok dengan jari-jarinya yang gemuk seperti sosis, suaranya lebih bengis lagi, mengakhiri kalimatnya dengan geraman dari gigi-giginya yang terkatup. "Tanganmu yang sekeras baja itu menimbulkan memar di dadaku."

"Sekeras ... baja?"

Aku termangu, membiarkan ingatan lama menyeruak dalam benakku seperti tetesan air dari keran. Bayangan samar, keruh, buram, tentang tindakanku sebelum diriku ambruk didera kelelahan. Kutundukkan kepala, menatap telapak tangan yang coreng moreng oleh jelaga dan debu. Secara ajaib aku mulai mengingatnya lagi.

Mula-mula, kekuatan itu berbentuk rasa panas yang datangnya dari balik tempurung kepalaku, lalu merambat keluar dari bilik-bilik gelap dan memecut nadiku dengan sengatan yang begitu perih, terpaku di sana―pada setiap ujung-ujung jari yang berdenyar dengan kekuatan baru. Aku perbolehkan diriku mengambil satu keputusan untuk menghancurkan Bo, dan saat itu―pukulan sekeras baja itu―muncul.

Aku membuat Bo babak belur.

"Sudah inget, eh?" Bo berbicara dengan dengkusan sinis.

Aku membalas ironis. "Aku tak tahu ... aku tak tahu mengapa ini bisa muncul...."

"Kau hampir membunuhku, Bocah. Kalau aku enggak punya daging dan lemak yang tebal, barangkali aku udah jadi potongan carut marut di luar sana."

Philene menganggap jawaban Bo barusan sebagai candaan, lalu dia tertawa. Aku memandanginya dengan tatapan terhenyak, ragu, benci―segala perasaan yang tak bisa kujelaskan. Bila perlu deskripsi untuk memperjelas bagaimana suasana hatiku, rasanya seperti dilempar ke dalam kerumunan baru yang asing. Bahkan Ursa sama sekali diam, seolah dia membiarkanku menggali jawaban sendiri atas anomali yang kualami.

"Jadi, biar kulanjutkan," kata Philene seiring tawanya menipis. "Tubuhmu enggak kuat melawan ledakan kekuatan yang masif, sehingga setelah kau bertarung, kau kehabisan tenaga dan jatuh dalam kondisi kritis. Kubilang tadi kau mengalami pendarahan―itu memang betul. Jantungmu hampir meledak karena enggak memperkirakan besarnya kekuatan, sehingga dia memompa terlalu cepat―darah keluar banyak, dari mulut dan hidungmu. Kalau enggak segera ditangani, kau bakalan mati sia-sia. Jadi, akulah sang pahlawan kebangkitan yang turun tangan. Keluargaku adalah ahli terapi syaraf dan peracik obat. Kau baru saja menerima pengobatan secara cuma-cuma dariku. Apa sekarang sudah lebih baik?"

Dia mengakhiri kalimatnya dengan sombong, seolah menunggu celetukan terima kasihku. Namun, karena sejak awal yang membuat masalah adalah komplotannya, aku merasa tak sudi memberinya ucapan terima kasih dan malah berceletuk hal lain;

"Sejak kapan mataku berwarna biru?"

"Sejak kau melempar Dumbo ke luar pondok," sahut Ursa. Oh, ternyata nama pemuda raksasa itu Dumbo. "Setelah membuat dinding hancur berkeping-keping, dari tanganmu yang terkepal memancar cahaya biru. Aku memperhatikanmu memandang Dumbo dengan bengis. Saat itu warna matamu sudah berubah ... kemudian kau jatuh begitu saja di lantai."

Aku berpaling menatap bergantian pada Philene dan Dumbo. "Kalau kalian tahu mataku berwarna biru, semestinya mencelakaiku saat aku tak sadarkan diri sudah melakukan setengah pekerjaan. Kalian tak perlu sengaja mengalah pada Ursa dan membantuku untuk pulih."

"Oh, justru karena matamu berwarna biru, kami enggak ingin cari gara-gara," kata Philene. "Coba bayangin. Mana mungkin kami berani menyentuh bangsawan Rawata sepertimu! Bisa-bisa kepalaku yang ganteng ini copot," dia menggosok-gosok lehernya sambil berjengit.

"Bangsawan?"

"Hanya bangsawan keturunan kerajaan yang memiliki mata biru sepertimu, kan? Mereka dinamakan prata."

Aku berpaling pada Ursa. Gadis itu menatapku dengan ekspresi yang tak bisa kuartikan. Apakah itu semacam raut prihatin? Kelegaan? Atau keduanya? Fakta ini menghunusku jauh lebih dalam dan ironis, sebab aku teringat tentang percakapan kami di hutan pada sore sebelumnya. Ursa sempat menyiratkan opini tajamnya mengenai aku yang mungkin terlahir dari keluarga Kerajaan. Dan, walaupun gagasan itu terasa mustahil di benakku, kini kenyataan yang kuhadapi jauh lebih parah. Iris mataku benar-benar berubah menjadi biru.

"Katanya kau lupa ingatan tentang masa lalumu, iya, kan?" Philene berkata sambil menumpukan lengan pada lututnya. "Selama ini kau tinggal di lubang tikus―maksudku, Kevra―" tergelak kecil dengan nada meledek, "Maaf, sejak kecil kami punya sebutan macam-macam tentang tempat jelek itu."

Kutatap Ursa dengan luapan tidak habis pikir. "Kenapa kau bercerita padanya?"

Gadis itu tak mau menatap mataku, tetapi aku bisa menangkap ekspresi bersalah di wajahnya. "Mereka harus tahu, Kupikir tidak apa-apa kalau mereka tahu."

Dadaku kembali bermuruh. Rentetan bentakan tidak terima sudah terpetik di ujung lidah, tapi aku mengurungkan diri untuk meledak murka. Aku tidak boleh gegabah, kuyakinkan diriku sendiri. Selagi memproses situasi apa yang mungkin kudapatkan di sini, satu-satunya jalan terbijak adalah dengan mendengarkan terlebih dahulu.

"Sebenarnya, kalaupun gadis ini enggak berkata apa-apa soalmu, kami tetap bakalan memaksanya supaya mengaku," kata Philene, "Soalnya yang terjadi padamu sungguh aneh, Bung. Aku baru pertama kali lihat mata Kaum Putih yang cacat berubah menjadi sebiru laut pegunungan. Kalau bukan kelainan medis, ini pasti tipuan, iya, kan?" Philene mengangguk ke arah Dumbo.

"Mungkin saja ulah sihir," gumam pemuda itu.

"Nah, setelah kami tahu dari mana asalmu," kata Philene, "Dan karena kau sudah menerima pengobatan dariku dengan cuma-cuma, aku hanya membutuhkan satu bantuan darimu."

Aku menelan ludah dengan gugup, tergagap oleh gelontoran keinginan tak jelas ini.

"Aku enggak tahu apa yang terjadi padamu sampai bisa menyasar ke Kevra dan menjadi penduduk di sana selama belasan tahun, tapi kau pasti bisa memberi kami pekerjaan bergaji tinggi di Istana Rawata. Hanya itu saja."

Mataku membola, tercabik oleh kemarahan.

"Aku bahkan tidak tahu apa-apa soal Rawata. Bagaimana aku bisa kembali ke sana tanpa memicu kekacauan yang lebih besar?"

Ursa tahu-tahu menimpali. "Dia sendiri lupa ingatan tentang masa lalunya, jadi tidak bisa kembali begitu saja di Rawata."

"Ibu kandungnya pasti kaum budak yang menjalin hubungan terlarang dengan Kaum Putih. Sekarang kita tinggal mencari siapa ayahmu sebenarnya, kan?" kata Dumbo. "Sudah pasti ayahnya seorang prata. Dari ayahnyalah dia punya mata biru."

"Kami bisa bantu buat mencari ayahmu, lalu setelah ketemu, beri kami pekerjaan yang hebat di istana." Philene terkekeh enteng.

Aku menatap Ursa dengan kesal. "Lebih baik kita pergi saja dari sini. Mereka hanya penjahat tidak tahu diri yang mencoba memeras kita."

"Memeras, katamu?" suara Philene mendadak saja terdengar serius. Aku berpaling pada pria itu yang menatapku tajam. "Kami hanya meminta balas budi. Enggak berat, kok."

"Balas budi? Aku tidak minta diselamatkan."

"Bedebah gila."

"Kalian pemeras yang menculik orang tidak bersalah."

"Kalau kau menganggap kami pemeras, sekalian saja kami menjadi pemeras."

Setelah mengatakan hal itu, Dumbo yang sedari tadi duduk tak bergerak mendadak saja bangkit. Sepuhan lemah api lilin membuat ukuran tubuhnya jauh lebih besar dan menakutkan. Dia menatap kami dari atas dengan manik mata kecilnya yang berair dan bengis. Jemarinya yang seperti bonggol kayu dikeletakkan satu sama lain, "Coba kabur dari kami, dan aku enggak akan segan-segan mematahkan satu-dua lengan kalian."

Seluruh tubuhku masih lemas karena menggunakan energi terlalu banyak, dan Ursa tampaknya juga tak memiliki banyak tenaga tersisa. Kalau Dumbo menyerang kami untuk kedua kalinya, sudah bisa dipastikan kami tidak bisa bertahan lagi.

Philene menatap kami dan berkata kalem, "Itulah yang dinamakan pemerasan."

"Biarkan kami pergi!" aku berteriak, lalu memandang kepada Ursa. "Ursa, kenapa kau diam saja? Kita harus pergi!"

Ada yang berbeda dari gadis ini. Apakah kelelahan telah mendera tubuhnya hingga dia tampak seperti pemurung dan pasrah? Bagaimana dengan kesaktiannya menggunakan senjata? Kalau dia mau melakukannya, dia bisa membantai orang-orang ini dengan mudah.

Namun, jawaban atas pertanyaanku dilontarkan oleh Philene, "River, justru Ursa yang meminta kami untuk tetap tinggal."

Aku mengerutkan kening kebingungan. "Apa?"

Ursa tiba-tiba membalas, "Philene bisa membantumu, River. Dia bisa mengembalikan ingatanmu."

"Kau enggak ingat tentang masa kecilmu, kan? Aku ini ahli dalam ilmu pengobatan. Mengembalikan ingatan orang yang mengalami amnesia adalah hal mudah," kata Philene.

Sekarang, aku mengerti polanya, tetapi aku tak bisa mengenyahkan rasa ingin menonjok Philene begitu saja. Ursa menatapku dengan berbagai lapisan perasaan yang aneh. Ada setitik perasaan bersalah di sana, tetapi aku mengeraskan hatiku untuk luluh kepadanya. Sebab, biar bagaimanapun, tindakannya yang seenaknya membocorkan rahasia tanpa seizinku tak bisa dimaafkan.

"Setelah kau sembuh dari amnesia, kau mungkin bisa menemukan rahasia dari masa lalumu, termasuk siapa orang tuamu sebenarnya," kata Philene sambil menatap lamat-lamat padaku, "Barangkali kita juga bisa menemukan alasan kenapa matamu berubah biru tiba-tiba. Firasatku mengatakan, mata biru itu dulunya sengaja dikunci supaya enggak muncul ke permukaan. Mungkin itu juga menjadi alasan kenapa kau lupa ingatan tentang masa kecilmu."

Ursa yang sedari tadi diam tak bergerak langsung menyeloroh terkejut. "Kau tahu sesuatu mengenai ini?"

"Oh, ini cuma firasat aja, sebab aku enggak pernah mendapatkan kasus begini. Tapi...." Philene menggosokkan telunjuknya pada dagu dan memasang tampang seperti mengingat-ingat, "Aku yakin, ilmu medis itu sangat luas dan masih penuh rahasia. Bahkan pada batas-batas tertentu, orang-orang yang ahli pengobatan bisa disangka sebagai penyihir karena mereka bisa melakukan segala hal yang kelihatannya mustahil."

"Maksudnya ... mengunci kesaktian itu sesuatu yang mudah dilakukan?"

"Ya, ya. Pasti orang yang melakukannya punya ilmu yang hebat. Tapi aku enggak yakin mereka dari golongan mana. Apakah si mata biru? Mata hijau? Mata emas? Ilmu seperti itu rasanya enggak sejalan dengan bakat-bakat para Kaum Putih."

Semua orang di dalam ruangan langsung membeku. Aku dan Ursa saling menatap dan tak berkata apa-apa, barangkali karena otak kami terlalu terkejut menerima kenyataan ini.

Mula-mula timbul keheningan di antara kami, kemudian Philene bangkit dari duduknya. Begitu mendadak, hingga kami semua terlonjak. "Kalau gitu, setengah dari masalah sudah beres. Kita sudahi aja malam ini dan tidur nyenyak buat mengumpulkan tenaga. Besok pagi, waktu perjalanan ke Rawata, kita bakal menyusun rencana lebih banyak."

Lalu dia beringsut menuju tempat tidurnya di samping Hathen. Dumbo melakukan hal yang sama, tetapi sebelum berbalik, dia memberi tatapan singkat padaku. Barangkali itu adalah tatapan dendam karena aku sudah membuatnya bonyok. Barangkali itu adalah tatapan curiga karena riwayatku yang asli masih misterius, atau bahkan keduanya. Yang jelas, setelah mengetahui adanya kesempatan memanfaatkan diriku, mereka semua tidak akan melepaskan aku dan Ursa dengan cuma-cuma. Dan, itu artinya, mulai saat ini kami akan melibatkan mereka dalam perjalanan berikutnya.[]

-oOo-

.

.

.

.

Buku ini sepi bangeeett awkwkwk. Buat kalian yang masih baca, makasih banyak yakk. Nggak perlu khawatir aku akan sedih dan bolong update. Aku pasti akan menamatkan cerita ini kok, jadi enjoy aja bacanya :D

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top