15. Kilatan Keberanian
BERANILAH, River.
Aku tak perlu menahan diri untuk membantai mereka, bila membabi buta diperlukan, maka aku siap melakukannya.
Ketika langkahku mencapai pintu pondok yang tertutup, kuketuk permukaannya yang lapuk dan berdebu. Selama beberapa saat, tak ada suara langkah mendekat, jadi aku mengetuk lebih kencang.
Suara Bo sayup-sayup terdengar sampai luar, "Hathen, buka pintunya. Itu pasti Bos."
Sambil merapatkan rahang, cepat-cepat kujauhi muka pintu dan bersembunyi di sisi kiri pondok. Tangan kiriku menggenggam batu kecil. Selepas beberapa saat, terdengar pintu dibuka.
Lalu sunyi.
Aku melempar batu kerikil hingga memantul di tepi teras pondok, tidak jauh dariku.
Sesuai dugaan, terdengar langkah Hathen yang menapak lantai kayu. Kubayangkan pria ini menghampiri tempat persembunyianku untuk memeriksa. Pada jeda waktu itu, kueratkan peganganku pada pisau yang berada pada posisi menghunus. Ketakutanku mulai membengkak. Pikiranku berkelebat tentang kenyataan bahwa aku akan menyakiti orang ini. Di manakah aku harus menusuknya? Apakah aku betul-betul akan membunuhnya atau hanya melukainya? Tidak ada cukup waktu untuk memikirkan, sebab satu detik setelah Hathen muncul di hadapanku, kuhunuskan pisau ke arahnya.
Ujung mata pisau berhenti tepat beberapa senti dari perutnya. Rupanya dia berhasil mencekal pergelanganku tepat waktu.
"Aku tak mengerti," desisnya sambil menatapku bengis, "mengapa kau bisa kemari dan menemukan kami?"
"Tentu saja untuk mengambil apa yang kalian curi dariku." Kemudian kuangkat siku yang bebas dan kusodokkan ke lehernya. Dia tersedak sambil membungkuk ke depan. Tengkuknya yang menghadapku menjadi sasaran pukulan bebas. Tanpa berpikir, aku menghantamkan gagang pisau yang tumpul sekuat tenaga di tengkuknya. Terdengar bunyi berderak menyakitkan, kemudian Hathen roboh di bawah kakiku.
Kukendalikan laju napasku agar tidak menyita banyak tenaga. Kemudian, aku kembali menuju pintu.
Hathen meninggalkan pintu dalam keadaan terbuka. Entah karena mereka terlalu bodoh atau terlalu lapar, saat kuintip dari luar, Bo sama sekali tidak menyadari satu temannya yang tak kembali. Saat aku memikirkan cara untuk menumbangkannya, kakiku tak sengaja menginjak papan kayu yang rapuh. Bo menyadari kehadiranku dari suara yang kutimbulkan. Dia membeku beberapa detik saat melihatku berdiri di ambang pintu, lalu―keadaan kacau balau.
"SIALAN!" Bo berseru murka seraya bangkit. Dia menghampiriku dengan bunyi gedebuk-gedebuk menyeramkan. Saat berhadapan langsung, tubuhnya begitu besar. Kakiku mendadak kaku. Saat sudah hampir pasrah disambar olehnya, mendadak ada anak panah menusuk betis Bo.
Ursa telah mendapatkan kembali busurnya.
Namun, bukannya roboh seperti Hathen, Pria raksasa itu hanya bergeming sejenak sambil mengeluarkan tampang mengernyit. Sepertinya tusukan anak panah itu lebih terasa seperti gigitan semut di kakinya. Bo berpaling ke belakang, menatap Ursa. Tenaga gadis itu kelihatannya sudah terkuras sampai pada titik dia tak sanggup berdiri. Ursa terduduk di dekat tiang kayu, tampak seperti bunga yang layu, dan busur yang dipegangnya melonggar ke lantai. Bo sementara itu, dengan kekejian yang mengerikan, mematahkan tangkai anak panah di betisnya. Tak ada kenyitan sakit. Tak ada gaduhan perih. Orang ini adalah monster sebenarnya yang kami hadapi.
"Manusia kurang ajar!" desisnya di antara rahangnya yang menggeretak. Langkahnya yang seberat satu ton menghampiri Ursa. "Tahu begitu, sejak awal aku bunuh kalian berdua!"
Seketika aku tersadar dengan situasi.
Dengan panik, aku menerjang Bo. Kuangkat tangan yang memegang pisau pemberian Alya dan kuhunuskan ujungnya hingga melesak pada punggungnya yang tebal dan berlemak. Namun semua rasa sakit itu belum cukup merobohkannya. Bo meraung murka, lalu menyambar kerah pakaianku dan membantingku ke lantai. Kepalaku membentur tiang kayu. Aku meringis menahan sakit, tak menunggu penderitaan itu meradang.
Bangkit dengan mendadak, aku berlari lagi ke Bo dan melayangkan tinju pada wajahnya. Ledakan nyeri menyerbu tulang pada buku-buku jariku ketika menghantam hidungnya. Rasanya seperti meninju beton. Aku mencoba menarik pisau di punggungnya, tetapi Bo mendapatkan lenganku. Dia memuntirnya ke belakang, kemudian menjegal kakiku. Dadaku membentur lantai begitu keras sampai aku tidak sanggup bernapas. Bo menginjak punggungku dengan lututnya, dan aku terjebak dalam posisi tengkurap. Dia bisa membunuhku hanya dengan menjepitku seperti ini.
Napasku tersendat. Aku merintih, tercabik di antara rasa sakit dan kemarahan. Aku benci menjadi lemah.
Kemudian Bo menarik lenganku dan membalik tubuhku sehingga aku bisa melihatnya berdiri menjulang. Dia tampak berkali-kali lipat lebih besar dari ukuran normal. Tubuh bagian atasku amat sakit hingga tak bisa digerakkan, sementara kepalaku berdenyut mengerikan seiring denyut jantungku. Bo membungkuk, meraih pakaianku, lalu menarikku sampai setengah bangkit.
"Aku akan membuatmu mati tersiksa, dasar serangga kecil," desisnya dengan parau dan bengis, kemudian tanpa aba-aba, dia membantingku lagi di lantai. Mencekik leherku.
Setiap tekanan pada jarinya menyalurkan rasa sakit yang merambat di kepalaku, menulikan kedua telinga, dan membuat aliran darahku tersumbat di otak. Aku meronta-ronta mengais napas dalam genggamannya, tetapi dia jauh lebih kuat. Manik mata hitamnya dipenuhi kekejian dan nafsu membunuh. Mati. Mati. Aku akan mati terbunuh.
Tidak. Aku tidak mau mati.
Dan ketika aku menumbuhkan tekad, sesuatu―letaknya di belakang kedua mataku―seperti hendak meledak. Aku nyaris berpikir bahwa otakku sungguh meledak saking kuatnya Bo menghajarku, sebab ini adalah sensasi paling menyakitkan yang pertama kalinya kurasakan seumur hidup. Kepalaku menegang oleh sentruman yang tak jelas dari mana datangnya. Aku merasakan tubuhku kejang dan pikiranku padat oleh lapisan memori yang sulit terjabarkan. Di tengah gelombang panik, aku terjun ke dalam sudut tergelap pada jurang ingatanku, larut dalam keputusasaan, kemarahan, serta hasrat yang meretih bagai kobaran api. Ada semacam kekuatan yang merebak di sekujur tubuhku, menyebar ke luar dari jantungku, dan menyala-nyala di ujung-ujung jariku. Tubuhku serta semua yang ada di luar tubuhku menjadi bagian darinya. Kekuatan itu. Kemarahan. Ambisi.
Cekikan Bo semakin kuat, dan pikiran terakhirku sebelum ledakan itu mengambil alih tubuhku adalah kehendak untuk membunuhnya.
-oOo-
Aku hampir tidak ingat bagaimana proses terjadinya, tetapi di detik berikutnya saat aku mengerjapkan mata, Bo terlempar hingga ke luar pondok.
Dinding dalam pondok berlubang akibat benturan tubuh raksasanya. Di sekitar Bo yang terkapar tak berdaya, serpihan genteng, gumpalan debu pekat, percikan jelaga serta serbuk kayu membubung bagai asap kelabu yang suram. Kekacauan itu kemudian mengempis, seperti halnya kesadaranku yang melemah, sementara suara pekikan berubah menjadi gema mengerikan yang memantul-mantul di telingaku.
Saat pikiranku teralihkan pada rasa sakit yang kualami di sekujur tubuh, aku merasa seluruh tenagaku telah terkuras hingga kedua kakiku tak sanggup berdiri. Kubiarkan tubuhku ambruk di lantai pondok yang lapuk.
Kesadaranku melayang di antara kabut serpihan kayu.
Kemudian aku merasakannya. Sentuhan di wajah. Kuat dan panas.
"River, lihat aku!"
Suara Ursa, sayup-sayup seperti terdengar dari tempat yang jauh.
"Apa yang baru saja kau lakukan?"
Genggaman di tangan. Panas seperti bara api.
"Kau ... mengapa bisa terjadi...."
Kepalaku berputar. Seluruh gambar tumpang tindih di mataku. Mata Ursa berubah menjadi dua lubang hitam yang menganga.
"...bertahanlah...."
Kemudian gelap.
-oOo-
"Dia siuman," kata seorang laki-laki. Nadanya berat dan asing.
"Hei, kau bisa melihatku?"
Cahaya kuning redup menyepuh ruangan di sekitarku. Setelah beberapa detik, aku baru sadar bahwa penerangan suram ini dihasilkan dari lilin, dan tempatku berbaring masihlah pondok yang tadi. Ada suara berisik sayap serangga yang bersahut-sahutan mengisi kesunyian malam yang kukenal. Ketika aku mengerjapkan mata lagi, sosok di hadapanku terlihat jelas.
Dia bukanlah bagian dari komplotan penjahat tadi. Rambutnya berwarna putih, bermata hijau seperti Ursa―tetapi lebih tajam seperti mata pemburu―serta dibingkai alis yang lebat. Hidungnya bangir dan agak terlalu panjang. Sudut bibirnya naik ketika melihatku. Semacam seringai, entah artinya kepuasan keji atau kelegaan hati. Usianya mungkin tidak jauh dariku, tetapi dia jelas lebih tua beberapa tahun.
"Minum ini," katanya, kemudian aku merasakan kepalaku diangkatnya. Orang asing ini mendekatkan lubang botol di bibirku.
Ini bukan air sungai, melainkan cairan aneh yang tidak enak―seperti campuran tanah dan getir dari kulit pohon. Aku hendak melepehnya, tetapi pria ini menekankan botol dengan kasar. "Jangan dimuntahkan, tolol. Ini obat!"
"River?" Suara lain yang lebih lembut berseru. Seseorang beringsut di sebelahku sambil memegang tanganku. Aku berpaling dan melihatnya. Mata Ursa bengkak dan merah, seperti habis menangis. Mungkin dia juga merasa kesakitan setelah diperlakukan kasar oleh para penjahat itu. Aku meremas tangannya lebih kuat.
"Kau baik-baik saja, kan?" tanyaku.
"Siapa sebenarnya yang pantas mendapat pertanyaan itu?"
"Di mana mereka melukaimu?" tuntutku, sekonyong-konyong bangkit dari posisi rebah dan memeriksa tubuh Ursa.
"Sudah kubilang aku tidak apa-apa. Bagaimana kondisimu sendiri?"
"Ya, ya, ya, drama saling perhatian dimulai," potong si pria asing. Sepanjang dilanda kebingungan, pria ini menjadi luput dari kewaspadaanku. Mengapa pula dia bersama kami dan bersikap seperti nyamuk pengganggu?
"Siapa kau?" tanyaku dengan curiga.
"Aku Philene."
Ursa menyahut, "Dia yang meracik obat untukmu."
"Aku baik-baik saja," kataku.
"Itu sekarang. Tadinya kau hampir mati," kata Ursa. "Pendarahan di mana-mana."
"Apa?" Aku mengernyitkan kening. Ursa menunjuk sesuatu di dekatku, dan aku melihat seonggok kain berlumuran darah.
Bukannya berusaha menjelaskan, mereka berdua malah terdiam sambil menatapku. Entah apa yang sebetulnya sedang berlangsung di sini, sebab sikap dan tatapan Ursa kelihatan sedikit berbeda ketika melihatku terbangun. Ada sesuatu di matanya―rasa terkejut, waspada, atau lapisan firasat lain yang bila kujabarkan mirip seperti ekspresi Ibu ketika melihat para sraden memasuki rumah kami.
"Apa yang sebenarnya terjadi?" tanyaku.
"Kau tidak ingat apa-apa?" Ursa berkata bingung.
Kutekankan tangan pada kepalaku. Segalanya tumpang tindih, jadi aku hanya mengingat sepotong demi sepotong. Tetapi aku ingat jelas bagaimana bisa masuk kemari dan apa tujuanku. Aku mengingat siapa saja penjahat yang telah kurobohkan.
Pemahaman baru ini sontak membuatku bergidik. Aku telah kehilangan petunjuk tentang apa yang sebetulnya terjadi selama aku tak sadarkan diri, seolah-olah ada potongan asing yang jatuh dari alam semesta dan tak bisa kutangkap. Dengan waspada, aku menggeret diri agar mundur perlahan, tak begitu yakin ingin berbuat apa.
"River, tenanglah," kata Ursa, sepertinya berhasil menerjemahkan kepanikan dalam wajahku. "Kami akan menjelaskannya padamu."
Aku memeriksa ruangan lebih cermat. Tempat ini masih pondok dekil yang sama, hanya saja kali ini bau tahi tikus dan pesing binatang kalah oleh aroma obat pahit yang kuat. Aku berpaling ke kanan, tempat seberkas cahaya bulan muncul dari luar hutan. Cahaya membanjiri masuk dari lubang tempat Bo jatuh dan terkapar, menerangi bagian-bagian gelap pondok yang tak tersentuh rona lilin.
Kemudian, sesuatu menyentak kesadaranku begitu telak. Aku bukan hanya berada di pondok yang sama, melainkan juga masih terjebak bersama kelompok penjahat itu; Bo dan Hathen.
Sebab mereka berdua kini sedang terbaring tak berdaya di depanku.
Aku sudah bergerak maju beberapa meter sambil melayangkan tinju ke udara, tetapi Philene lebih tangkas. Dia mencekal bahu dan kedua lenganku, menahannya kuat.
"LEPASKAN!" teriakku.
"River!" Ursa menghadang di depanku sambil mengangkat tangannya ke depan, jelas-jelas melindungi para keparat itu. "Jangan lukai mereka. Aku akan menjelaskannya padamu!"
Kebingungan berdenyar dalam kepalaku―melalui rasa sakit dan pengar yang kurasakan. "Ada apa sebenarnya? Siapa mereka, Ursa?"
"Singkatnya, aku adalah bos mereka, dan kami juga mau pergi ke tempat yang sama dengan kalian." Philene menyahut. "Hei, aku bakalan melepaskan peganganku, tapi jangan bertindak gegabah. Kami enggak bisa menahanmu kalau kesaktian itu muncul lagi."
Aku mengernyitkan kening. Kesaktian apa?
"River, Philene dan teman-temannya juga ingin pergi ke Rawata. Kurasa kita bisa menjadi rekan satu perjalanan."
"Kau menganggap penjahat yang melukai kita adalah rekan?" Aku menatap Ursa dengan sorot mencela, tak habis pikir dengan kata-katanya.
Kemudian, Philene betul-betul melepaskan bahuku. Aku ingin memukulnya atau menendangnya hanya agar kegelisahan dalam rongga dadaku lenyap, tetapi akal sehatku telah kembali sehingga kini yang tersisa dari luapan kemarahanku adalah sikap waspada―perisai awalku untuk melindungi diri sebelum menyusun rencana yang lebih sistematis. Mereka semua berutang penjelasan padaku, tetapi bila aku gegabah dan melancarkan serangan mendadak, sudah jelas siapa yang akan mati duluan di sini.
"Mereka tidak akan melukai kita," kata Ursa sambil mengangkat bahu. "Cobalah untuk percaya hal itu. Kau baru saja diselamatkan oleh Philene."
"Itu tidak membuat sikap mereka lebih baik," kataku.
"Tapi kau bisa mati kalau tidak ada Philene."
Aku mengganggapkan serangkaian makian tidak terima. Rasa sakit itu masih membekas dalam benakku. Bagaimana mungkin Ursa melupakan tamparan yang membuat pipinya berbekas merah? Bagaimana mungkin Ursa melupakan tindakan keji mereka untuk membius dan menculiknya? Sejak awal merekalah yang membuat kami terjebak dalam situasi ini, mengapa kami yang harus mengalah?
"Tenang, Bung, aku tahu kau pasti membenci kami." Philene berkata. Poninya yang bergelombang putih keperakan jatuh menutupi dahinya, sejenak membuatku membayangkan skenario pencolokan mata yang bisa kulakukan untuk membunuhnya. "Jadi, aku mewakili kelompokku yang berisi orang-orang payah, meminta maaf padamu."
Aku mendengkus tak habis pikir. "Mengapa sekarang mendadak minta maaf? Apa kalian baru kapok setelah melihat sendiri kesaktian Ursa?"
Philene tergelak kecil.
"Kenapa tertawa?" kataku.
"Sepertinya kau memang enggak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada tubuhmu. Hathen!" Mendadak Philene berseru pada seseorang yang sedang terkapar di sana. Hathen mengerang kecil, kemudian menoleh pada kami dengan gerakan kaku seolah lehernya sedang sakit.
"Cepat berikan itu, cepat!" Philene memerintah.
Dengan lesu, Hathen merogoh kantong dari pakaiannya dan menarik sebuah beling kecil―mulanya kupikir begitu, tetapi ketika aku melihat pantulan sinar bulan yang berkilau dari permukaannya, aku menebak bahwa itu adalah potongan cermin sebesar telapak tangan. Hathen melempar cermin dengan asal, dan Philene menyambar cermin yang menusuk udara dengan cepat. Dia menyodorkan cermin itu tepat di mukaku, bersamaan dengan sebaris kalimat yang keluar dari belah bibirnya.
"Kami bukannya takut pada Ursa. Kami takut padamu."
Pantulan wajah di cermin membalasku dengan dua mata birunya yang sedingin es.[]
-oOo-
.
.
.
Ciyee si mata biru awkwkwkw. Ada yang kangen sama bang riper?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top