14. Penjahat
-oOo-
RASA cemas menyulutku. Kususuri hutan dengan perasaan kesal, sesekali menyabit rumput atau menendang batu hanya untuk melampiaskan kemarahan.
Ke mana mereka membawanya? Orang-orang jahat yang menculiknya sama sekali tidak meninggalkan jejak. Bisa saja Ursa telah dibawa pergi keluar hutan, bisa saja dia ditinggalkan di suatu tempat dalam keadaan terluka. Pilihan apa pun yang terjadi padanya, mendapati Ursa tidak ada di sisiku membuatku sedih dan khawatir.
Setelah kelelahan menyusuri hutan, yang sepertinya telah memakan waktu sampai tengah hari, kuputuskan beristirahat sejenak di bawah pohon. Matahari sudah meninggi, dan panasnya benar-benar tak tertahankan. Aku bahkan tak tahu apakah ini rute yang benar menuju Rawata. Belum lagi, karena betul-betul ditinggalkan tanpa satu pun barang bawaan, satu-satunya barang selain pakaian yang melekat adalah pisau pemberian Alya yang kusimpan di kantong celana. Ini masih lebih berguna ketimbang tak memegang apa pun untuk melindungi diri.
Daripada rasa lapar, rasa haus setengah mati menyerangku. Perjalanan panjang tak tentu arah ini membuatku dehidrasi. Aku harus berjalan lebih pelan dan sesekali berhenti untuk mengusir pening yang mendera kepala.
Saat itulah aku melihat makhluk kecil terbang dan hinggap di ranting sebuah pohon.
Kupikir aku sedang berhalusinasi karena kekurangan air, tetapi burung merpati itu memiliki tatapan yang sama seperti saat pertama kali aku bertemu dengannya; manik mata seperti biji kopi gelap yang mencoba mengorek sesuatu dari diriku;
Dia Sibel, merpati milik Ursa.
Sayapnya terkepak-kepak, sementara dekutannya kencang, seolah berusaha memberi suatu sinyal, atau pesan―entah apa artinya, tetapi caranya bersikap mengingatkanku pada ekor Tora yang berayun ke atas setiap kali melihat Alya pulang sekolah. Apabila gelagatnya bisa dikaitkan dengan cara komunikasi para binatang, akankah artinya merpati ini mencoba memberitahuku apa yang sedang terjadi?
Sibel membusungkan dada selagi mengepak-ngepak sayap. Selama beberapa detik aku termangu dan berusaha menerjemahkan arti sikapnya. Kemudian aku teringat bahwa dia selalu membawa linitngan surat yang diikat di kakinya untuk Ursa.
Aku menghampirinya. Saat kulongokkan pandang pada dua kaki mungilnya, Sibel rupanya tak membawa surat apa pun di sana.
Burung itu mengepakkan sayap lagi, lalu meloncat-loncat di atas ranting. Berdekut-dekut seperti tak sabaran. Detik berikutnya Sibel terbang, tetapi dia terbang hanya untuk berhenti di ranting pohon satunya. Dia berputar sambil mengorek-ngorek kaki bercakarnya di ranting, mengguncangkan bulunya, lalu mengepak sayap seperti terburu-buru.
Oh, ya, sekarang aku tahu maksudnya. Sibel menyuruhku untuk mengikutinya.
Aku maju lebih cepat, dan seperti dugaan, Sibel terbang lagi dan hinggap di pohon yang lebih jauh. Burung cerdas ini memberiku waktu beradaptasi menyamakan kecepatan terbangnya. Sesekali dia berhenti di dahan pepohonan, menungguku di belakang.
Dia menuntunku ke semak-semak yang tebal dan tinggi. Beberapa meter di hadapanku, ada sebuah pondok tak terurus yang tersembunyi di antara pepohonan. Beberapa di antara jendela-jendelanya ditutup papan, sebagian atapnya kehilangan genting dan tertutup dahan pohon yang mirip sulur tanaman merambat. Secara keseluruhan, tempat itu kelihatan terisolasi, kumuh, dan angker. Seseorang perlu berpikir dua kali untuk menginjakkan kaki di sana, sebab kelihatannya gerimis saja bisa membuatnya roboh.
Sibel bertengger di ranting pohon dekat jendela pondok, tak terbang lagi. Sepertinya memang benar pondok ini adalah tujuan kami. Aku mulai berpikir was-was, tercabik antara penasaran dan frustrasi. Bila Sibel membawaku menuju Ursa, apakah sekarang gadis itu ada di dalam?
Selepas memastikan situasi cukup aman, aku mengendap-ngendap menuju bilah jendela yang keropos dan sedikit terbuka. Jendela itu bertengger rendah di atas kepala, sehingga mudah bagiku untuk menjangkaunya. Kulongokkan kepala melewati kusen, mengintip isinya.
Ruangan di dalamnya seakan berteriak untuk memangsaku hidup-hidup, sebab keadaannya sungguh kotor dan mengerikan, melebihi rumah paling jelek yang bisa kutemukan si Kevra. Bahkan dari luar sini, tercium bau tahi tikus, pesing binatang, dan jelaga hitam yang apak dan membuat mual. Aku menyapu sekitar, lalu atensiku terpaku pada seseorang yang duduk pasrah di lantai, dengan kedua tangan terikat di belakang tiang kayu. Cahaya tak begitu menyentuh bagian ruangan tersebut, tetapi dari lekuk tubuhnya, aku yakin itu Ursa.
Aku harus menahan diri agar tidak gegabah memanggilnya.
Tidak jauh dari Ursa, ada sebuah tumpukan tas kulit dan gundukan kain berserakan; barang-barang bawaan kami!
Aku menyipitkan mata dan menyelidiki lebih cermat. Isi di dalam tas sudah dikuras habis, kemasan berminyak bekas makanan tercecer di sekitarnya, tetapi busur dan anak panah Ursa digeletakkan begitu saja di dekat tas.
Sibel berdekut lirih di belakangku. Dia sungguh melakukan tugasnya dengan baik. Aku tidak akan bisa membayar utang budi pada burung ini.
"Terima kasih," kataku lirih. Kepalanya meneleng kecil.
Sekaranglah saatnya mencari cara membantu Ursa. Ketika aku beringsut ke kanan untuk menuju jendela yang paling dekat dengan gadis itu, gangguan datang. Terdengar keresak dedaunan yang diinjak dan kekehan samar beberapa orang dari kejauhan. Aku tengadah memandang hamparan lahan di depan pondok. Di antara semak dan pepohonan kering yang berdiri jarang, sepasang orang terlihat datang dari arah barat. Aku berputar ke dinding bagian belakang dan mengintip dari sana.
Semuanya pria berambut putih, tetapi matanya gelap; Kaum Putih abnormal.
Salah satunya memiliki badan sangat tinggi dan gemuk, mirip raksasa berkulit kecokelatan. Dia memanggul sesuatu di pundak―karung goni yang gemuk―barangkali berisi barang jarahan atau bangkai binatang. Satu orang yang lain kebalikannya―kurus dan lebih pendek. Namun mereka semua memiliki tampang garang yang tidak bisa didekati. Pakaian mereka seperti jalinan berbagai kain yang ditambal menjadi satu, tetapi yang paling kecil mengenakan setelan yang lebih layak―kemeja tunik dan celana karet tebal yang dilinting hingga pergelangan. Aku baru bisa mendengar suara mereka saat langkahnya hampir dekat.
"Yang tadi kurang, ya? Harusnya aku remukin aja lehernya!" kata si badan besar. Logat mereka agak berbeda―terdengar aneh di telingaku, tetapi aku bisa menangkap jelas maksudnya.
"Jangan keji, Bo. Itu cuma babi enggak berguna. Bos bakalan memarahimu kalau kau berbuat yang enggak penting," jawab salah satu temannya yang berjalan dengan langkah pincang. "Lagi pula sekarang kita punya tawanan. Perjalanan kita di Rawata bakalan seru kalau ada gadis cantik yang menemani."
Aku menekankan punggung pada dinding. Beberapa saat kemudian, terdengar suara keriat pintu yang dibuka, kemudian langkah para pria masuk ke pondok. Aku mengendap-ngendap ke bilah jendela paling ujung yang tertutup papan. Saat kuintipkan mata pada celah kayu, posisiku tepat berada di belakang Ursa. Aku bisa melihat bagian kepalanya yang tertunduk. Dia menggerakkan kepala, tampaknya berpaling untuk menatap sekelompok pria di hadapannya.
Suara para penjahat terdengar lagi.
"Halo, cantik. Gimana tidurnya semalam?" yang kurus dan berkumis tipis bertanya dengan wajah menyeringai aneh.
"Parah banget Bos menculik anak seperti dia. Kita bisa dibantai kalau ternyata kesaktiannya cukup terlatih," kata si raksasa―kalau tidak salah dia dipanggil Bo.
"Cewek ini kelihatan ringkih. Percaya padaku, dia enggak sekuat itu. Barangkali kesaktiannya hanya menjadi warisan kelebihan yang enggak berguna."
"Jangan bilang gitu, Hathen," kata Bo, "Kalau cari yang kesaktiannya enggak berguna sih; Bos kita!"
Lalu terdengar gelak tawa keras dari keduanya.
Suara mereka berbaur dengan atmosfir ruangan yang hening dan mencekik, menimbulkan gaung yang membuat bulu kuduk berdiri. Sejurus kemudian, gelak tawa mereda, digantikan dengan kekosongan yang suram.
Bo menghampiri Ursa. Aku segera menjauh dari jendela dan merapatkan diri di dinding kayu yang lapuk. Dari celah jendela, kulihat pria itu merogoh sesuatu dari kantong pakaiannya dan mengulurkan sebungkus biskuit kepada Ursa. "Hei, cewek, kau belum makan, kan? Nih, sarapan dulu. Gimana kalau kusuapin?"
Tidak ada jawaban. Tampaknya Ursa hanya memelototinya dengan tampang sinis seperti biasa.
"Pura-pura budeg, ya?" katanya, hening kembali.
Bo kemudian membungkuk sambil mengulurkan ujung biskuit ke mulut Ursa, tetapi gadis itu langsung meludah di wajahnya.
Hathen, yang berdiri di samping Bo, mendadak saja langsung berlutut di depan Ursa dan menampar pipi gadis itu begitu keras. Aku membeku dalam keterkejutan. Darah berdesir di nadiku, berdentum-dentum di telinga.
"Jalang sialan! Beraninya kau meludahi temanku! Sudah untung kami enggak mencelakaimu!"
"Udah, biarin saja," Bo membalas seraya mengusap wajahnya dengan pakaian.
Namun Hathen tetap menyeloroh bengis, "Lihat? Lihat, kan? Karena keberadaan keparat macam dia, orang-orang abnormal seperti kita jadi ditindas dan dipermalukan! Jangan tatap aku dengan mata hijau terkutukmu itu, dasar cewek jalang! Lihat aja, cepat atau lambat, aku bakal congkel matamu dari rongganya!"
"Dan aku juga akan merobek mulutmu yang kasar itu," jawab Ursa.
Si kurus tertawa sambil melotot. "Terus aja berkhayal seperti itu, tolol!" dia sudah hendak melayangkan tamparan kedua, tapi Bo mencekal lengannya tepat waktu.
"Jangan, Hathen. Bos bilang jangan melukainya!"
"Aku bertaruh Bos bakal menjualmu begitu kita sampai di Rawata," kata Hathen sambil menuding Ursa.
"Kalau Bos berniat buat jual cewek ini, kenapa kita enggak sekalian menculik cowok satunya dan menjualnya juga? Dua orang akan bernilai lebih mahal!" Bo menyahut.
"Ya enggak tahu! Tapi lihat aja, jangan-jangan karena ketololan Bos, cowok satu itu sekarang dalam perjalanan mencari kita."
"Dia udah dibius, dan begitu bangun, dia enggak akan ingat apa-apa. Seenggaknya dia enggak bisa menemukan kita dengan mudah. Sekarang hentikan debat konyol ini karena cuma bikin perut kita makin lapar!"
Sementara mereka sibuk dengan urusan makanan, aku berpaling dari jendela dan memaksa diri untuk berpikir. Rasa tak sabar berkobar dalam darahku. Tanganku menekan pisau yang kusimpan dalam celana. Hanya ini satu-satunya senjata yang kupunya, tetapi peluangku amat kecil bila harus melawan keduanya. Aku bisa saja menipu atau berpura-pura menjadi mangsa empuk lalu menusukkan pisau ke perut mereka dari jarak dekat, tetapi bagaimana bila mereka langsung menyerangku tanpa aba-aba?
Aku melirik pada celah di jendela. Ursa telah ditinggalkan oleh kelompok penjahat, dan kini dia meringkuk sendirian dengan tangan terikat.
Sepasang penjahat berkumpul melingkar di sisi lain ruangan, sekejap kemudian terdengar gumam berisik mulut yang sedang mengunyah. Dinilai dari betapa rakus mereka makan, suara kecil atau gelagat mencurigakan yang akan kulakukan pasti tidak akan menarik perhatian.
Jadi, hanya inilah kesempatanku untuk membuat Ursa menyadari kehadiranku.
Aku membuat suara mencicit kecil agar dia berpaling, tetapi Ursa tampaknya tak mendengarnya. Lalu aku berjongkok di tanah dan menyambar kerikil, dan kulempar dari celah jendela. Kerikil pertama langsung mengenai tiang kayu tempat tangan Ursa diikat. Gadis itu tersentak kecil, kemudian wajahnya berpaling ke belakang. Dan, mata kami bertemu.
Wajah Ursa tampak letih dan pucat; bibirnya berdarah dan terkelupas, sementara di pipi kirinya ada jejak kemerahan bekas tamparan. Ada geletar keterkejutan dari cara Ursa memandangku.
Dia merapatkan rahang, dan aku mengirimkan semacam pesan dengan cara mengangkat kedua tangan secara bersamaan, meniru posisi tangannya yang sedang diikat. Kemudian, kurogoh kantong jaketku dan menunjukkan pisau lipat pemberian Alya, lalu ujung gagang pisau kuarahkan pada dadaku; Aku beri senjata, lepaskan ikatan di tanganmu. Berikan pisaunya padaku setelahnya.
Ursa memahami pesanku. Dia mengangguk kecil, lalu atensinya berpaling untuk memeriksa dua penjahat yang sedang makan dengan rakus. Mereka masih sibuk dan tak bisa diganggu. Aku menjulurkan pisau dari lubang pada jendela. Berita baiknya lenganku dapat masuk meskipun hanya sampai siku. Tangan Ursa yang sedang terikat tidak bisa menggapainya, jadi aku melempar pisau itu agar mendarat pada telapak tangannya yang terbuka di lantai.
Lemparanku sedikit melenceng.
Pegangan pisaunya jatuh terantuk lantai kayu hingga menimbulkan suara nyaring. Aku menahan napas, otomatis menatap pada kelompok penjahat. Mereka semua tampaknya tidak mendengar apa-apa. Ursa menjangkau pisaunya dengan jari, kemudian mulai mengiris tali di tangannya. Aku menunggu dengan sabar di balik jendela.
Setelah beberapa menit, ikatannya terlepas. Sambil memperhatikan para penjahat, dengan gerakan amat minim, Ursa menggeser tubuhnya ke samping, perlahan-lahan mendekati jendela. Tangannya terjulur ke belakang, memberikan pisau itu kembali padaku. Dari sini aku bisa melihat pergelangan tangan Ursa memerah dan lecet. Namun, aku tak punya waktu untuk berkomentar, sebab pisau itu kembali kusambar dengan cepat.
Bagus, sekarang bagian tersulitnya adalah mencuri perhatian para penjahat.
Aku harus berpikir lebih praktis. Masuk ke pintu depan justru akan menghadapkanku secara langsung pada dua kriminal itu. Bila aku bisa merobohkan salah satunya, bagaimana dengan satu lainnya? Aku tak bisa menjamin Ursa akan mendapatkan kembali busur dan panahnya dengan utuh, sebab bisa saja meskipun tak dirampas, para penjahat telah merusaknya. Kini metode bertarungku adalah berhadapan dengan lawan satu per satu.
Aku melongok ke arah pintu depan. Dalam kesuraman yang menegangkan, berpikir-pikir.
Bila pintu depan adalah jalan satu-satunya, aku tinggal membuat mereka keluar satu per satu. Mungkin aku bisa mengelabui satu di antara mereka, kemudian menarik perhatian yang lain agar masuk ke perangkap berikutnya.
Maka, dipenuhi dengan dengung rasa cemas dan kobaran tekad balas dendam, aku berputar ke pintu depan.[]
-oOo-
.
.
.
.
Hei, maap yaa lama enggak update. Biasa, urusan dunia, awkwk. Btw chapter kali ini 2000 kata tapi kerasa pendek yakk. Mudah2an lusa aku bisa update lagiiii!
Menurut kalian mereka bakalan jadi musuh atau kawan nih?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top