13. Perjalanan

-oOo-

BERHARI-hari setelahnya, rutinitas hidupku menjadi lebih menantang karena Ursa selalu mengajakku berlatih. Walaupun keesokannya lengan dan kakiku terasa pegal, tapi rasanya tubuhku jauh lebih sehat dan berotot bahkan dibandingkan saat aku masih tinggal di Kevra.

Barangkali Ursa memang penuh teka-teki dan misterius, tetapi sulit untuk tidak berhenti memikirkan kebaikan yang selama ini dia berikan padaku. Di beberapa lapisan malam, terkadang aku memikirkan untuk mengucapkan terima kasih penuh rasa syukur kepadanya, tetapi setiap kali bibirku terangkat untuk mengatakannya, benakku mendorongku pada kejadian saat aku mengintip percakapannya yang misterius di ruang baca. Aku selalu menahan-nahan diriku untuk tidak berharap tinggi pada Ursa, karena dia masih penuh teka-teki dan belum jelas berada di pihak siapa. Misiku sejauh ini hanyalah untuk pergi ke Rawata, lalu melepas diri dari Ursa. Aku tak mau berurusan dengan apa pun yang dia sebutkan dalam percakapan itu.

Sisa hari berjalan seperti biasa. Pada malam terakhirku di Bruma, Ursa mengepak beberapa pakaiannya dari lemari untuk perjalanan kami ke Rawata. Dia menjejalkan dua setelan pakaian lain ke dalam tas punggung, yang berisi sekantong uang, beberapa ikat dendeng, biskuit, permen, korek api, gulungan kawat untuk membuat jerat, dan kompas. Barang lainnya adalah busur kesayangan yang nantinya dipanggul di punggung, sementara aku tak punya sesuatu untuk dibawa selain badan dan setelan baru, pakaian dalam, tunik kelabu, ikat pinggang, dan jaket hitam tebal berpenutup kepala yang hangat. Malam-malam di hutan akan sangat dingin, dan aku bersyukur dia memberikannya padaku cuma-cuma.

Aku memikirkan tentang perjalanan kami yang panjang dan menguras tenaga. Ursa memberitahu bahwa kami akan memutari gunung dan keluar dari sisi lain lembah, lalu muncul di pantai dengan pelabuhan kecil yang dipenuhi kapal-kapal tertambat pada tiang perbatasan. Tidak ada kendaraan yang bisa kami naiki untuk pergi ke pantai karena medan jalan di desa ini jelek, dan penduduk yang rela menyewakan kudanya biasanya memasang harga terlalu mahal.

"Setelah sampai di pelabuhan, kita akan membayar untuk naik kapal dan menyusuri lautan, lalu pergi ke timur menuju daratan Rawata." Begitulah kata Ursa, dan semakin membayangkan tentang perjalanan membuat perutku seperti diaduk-aduk. Aku tidak tahu apakah ini serangan antusias atau gelisah, dan apakah ini berarti buruk atau baik.

"Kau pernah pergi ke Rawata sebelumnya?"

"Pernah, saat usiaku sebelas," kata Ursa.

Aku hanya menyaksikan bagaimana pemandangan Rawata dalam gambar kecil yang buram dan hitam-putih, persisnya berupa kubah-kubah raksasa dan gedung-gedung tinggi. Daratan itu memiliki nama lain Lautan Bintang, karena dari jauh seperti samudera yang diselimuti gemerlap menyilaukan mata; daratan surga yang tak pernah tidur, sungguh berbeda dibandingkan Kevra yang terpencil, kumuh, dan penuh bibit penyakit.

"Bagaimana di sana? Apakah sungguh indah seperti di gambar?"

"Gambar hanya menampilkan sisi luarnya saja," jawab Ursa, lalu dia terdiam sejenak seolah memberiku waktu untuk meresapi kalimatnya. "Kau tidak akan ingin tahu dengan apa yang sesungguhnya terjadi di sana."

"Jadi Rawata tidak seindah yang dibayangkan?" tanyaku.

"Tidak ada tempat yang benar-benar baik di dunia ini." Ursa terdiam sambil menatapku. "Apakah kau takut?"

"Tidak. Aku tahu aku akan bisa melewatinya."

Lalu Ursa tersenyum amat tipis. Tanpa berkata apa pun, dia menarik tali serut pada tasnya dan menutup lemari, kemudian mengucapkan selamat malam sebelum keluar kamar. Besok kami harus berangkat sebelum matahari terbit, dan aku menyanggupi berita itu layaknya anak kecil yang menanti tes kesehatan. Ironisnya, aku sama sekali tak ingat bagaimana momen tes itu pernah merangkak di masa mudaku, atau bahkan, apakah aku pernah mengalami tes itu atau tidak.

-oOo-

Tora, anjing hitam milik keluarga kecil ini, berputar manja di kaki Ursa ketika kami sudah berdiri di ambang pintu dan bersiap untuk berangkat. Ursa mengusap kepala Tora dengan sayang, dan anjing itu berusaha menjilati tangannya. Sementara itu, Alya pagi ini mengantar kami dengan raut murung seperti orang sakit. Aku tahu dia tak benar-benar sakit, tetapi pagi ini adalah perpisahannya dengan kakaknya, dan dia kelihatan tak rela untuk melepaskannya.

"Hati-hati di jalan," kata Alya, lalu memeluk Ursa dengan erat. "Kalau ada yang mengganggu, jangan ragu untuk menusuknya dengan panah." Aku terkejut mendengar kalimat seperti itu terlontar dari anak perempuan berusia sebelas tahun.

"Tentu. Kau juga hati-hati di sini. Pastikan Tora makan dengan baik."

"Oke."

"Aku juga sudah menitipkanmu pada bibi tetangga. Setiap sore dia akan mengantarkan makanan untukmu."

Alya memutar bola mata, tampak jengkel. "Aku bukan anak kecil yang perlu diurus."

"Tapi aku akan kena marah kalau menelantarkanmu begitu saja."

Alya menyedot ingus di hidungnya, kemudian dengan raut menggerutu, berpaling padaku. Saat dia mendongak, aku merasakan cubitan rasa sedih di hati.

Tanpa kuduga, dia mengeluarkan sesuatu dari balik pakaiannya.

"Bawa ini," katanya berbisik. Aku mengambil benda yang ditangkup di genggaman Alya; sebuah pisau lipat ukuran kecil dengan gagang logam yang berat.

"Pisau buatanku sendiri," katanya.

Oh, betapa indahnya lekuk dan ketajaman pisau ini. Anak-anak di perkampungan Bruma memang hebat dalam membuat senjata. "Wow, ini ... keren."

"Jangan hanya memuji saja. Pakai pisau itu untuk melindungi diri."

"Iya, aku tahu!" Aku terkekeh, merasa lucu dengan kata-kata yang terdengar terlalu dewasa untuk anak seusianya. Kujejalkan pisau itu di saku celana. Alya tersenyum lebar, dan mendadak saja aku melihat bayangan Heera di wajahnya. Sontak, semua kenangan itu; rasa bersalah, patah hati, dan kerinduan yang telah lama kupendam, meledak ke permukaan tanpa bisa kucegah. Aku membungkuk di hadapan Alya, lalu menariknya dalam pelukan. Anak itu balas mengalungkan lengannya di leherku, menumpukan dagunya pada pundakku.

"Selamat jalan," kata Alya di telingaku, lirih. "Kau harus kembali suatu saat nanti."

Aku membelai belakang kepalanya, menahan sensasi panas di mata. Tak seharusnya aku menangis, dan aku memang berhasil tak menangis, tetapi rasanya sungguh berat untuk berpisah dengan Alya. Begitu juga dengan rumah ini. Kehangatannya membuatku teringat rumah kecilku di Kevra, yang barangkali tak akan kutemukan lagi di tempat mana pun. Aku akan pergi jauh, dan tak ada yang tahu bagaimana rencana dan nasibku nantinya, apakah aku akan bertahan atau mati.

-oOo-

Fajar belum sepenuhnya menyingsing, tetapi cahaya biru pucat telah mengecup semak-semak di sekitar kami dan suara burung bercericip. Pada tengah hari, kami sudah berjalan cukup jauh. Jalanan berubah menjadi kelokan yang sempit dan terjal. Setengah hari berjalan tidak membuat Ursa lelah, seolah jarak yang terjal dan panjang ini sama entengnya seperti rute ke pasar. Dia bahkan mengajakku berlari saat melihat parit sempit yang dialiri air.

"Di ujung sana ada sungai," serunya. Ursa melompati beberapa batuan tanpa terpeleset, mengikuti arah air datang. Aku membayangkan gadis ini memiliki sayap di punggungnya, sebab dia begitu mirip seperti burung yang memiliki bobot ringan dan bisa terbang.

Akhirnya kami sampai di sungai yang airnya cukup jernih dan alirannya deras. Satu jam penuh dihabiskan untuk merendam kaki dan minum dari botol-botol yang telah diisi. Tak jauh dari sungai, ada sebuah batang pohon tua raksasa dengan akar-akar permukaan yang tebal dan cocok dijadikan tempat istirahat. Kami duduk di sana sambil memakan perbekalan.

Ursa mengajariku menangkap ikan dengan panah dan jerat. Sebelumnya dia memberitahuku caranya memasang jerat dengan barang-barang yang dibawanya dan ranting-ranting patah di dekat kaki kami. Setelah memasang jerat di celah antara batu-batuan sungai, kami kembali ke pohon raksasa yang tadi. Senja mulai larut, dan udara mulai dingin. Kami mengumpulkan beberapa ranting untuk membuat api unggun.

Saat duduk di dekat api yang meretih dan panas, aku berceletuk lirih, "Di Kevra aku juga menangkap ikan, tapi hanya bermodal jaring dari penutup jendela. Tidak ada ikan yang kutemukan lebih besar dari jempolku."

Ursa meringis kecil. "Mencari makan di sana susah, ya?"

"Susah sekali. Ada banyak orang pingsan karena kelaparan di sana, bahkan kadang-kadang kau harus menjual diri pada para sraden."

"Menjual diri? Itu serius?"

"Ya, kalau sudah tidak ada jalan lagi."

"Apa kau...." Ursa tidak melanjutkan kata-katanya, tapi aku tahu ke mana arah pembicaraan ini.

"Tidak, aku belum pernah menjual diri. Kalau menjadi jongos mereka, pernah."

"Apa yang biasanya kau lakukan, River?"

"Menyemir sepatu, memberi makan ternak, membereskan bekas kekacauan―kau tahu, mereka kadang-kadang mabuk dan membuat kacau. Aku biasanya menawarkan diri untuk membersihkan ruangan dan mencuci pakaian mereka yang bau muntah. Begitulah, Ursa. Para sraden sungguh menikmati kesengsaraan kami."

"Mereka sungguh berengsek."

Aku mendengkus sambil menatapnya. "Ini pertama kalinya aku mendengar kau mengutuk para sraden itu."

"Kenapa memangnya? Dulu aku pernah bilang padamu kalau mereka licik."

"Ya, tapi itu lain," aku tak melanjutkan kalimatku karena pasti akan terdengar aneh di telinganya. Saat pertama kali bertemu Ursa, gadis ini terlalu banyak diam dan nyaris tak menampakkan emosi. Namun, setelah lama mengenalnya, aku semakin banyak tahu bahwa dia sesungguhnya cukup ekspresif. Suaranya saat berkata berengsek dipenuhi penekanan dan kemarahan, sehingga ini menggelitik sesuatu di perutku, seolah aku senang karena ada Kaum Putih yang berdiri membela Kaum Liar.

"Hukum tidak berjalan baik di tempatku, Ursa. Kesalahan kecil yang kami lakukan dianggap kekacauan ekstrem yang perlu dibasmi. Ada banyak orang-orang di Kevra yang mati dicambuk hanya karena mencuri atau bolos bekerja di ladang."

Ursa membalas, "Terkadang memang seperti itu. Kau tidak bisa menyalahkan sistem peraturannya saja, tetapi juga orang-orang yang bekerja di dalamnya. Seperti halnya para sraden yang bertugas di Kevra. Karena tempatmu terbuang, miskin, dan terpencil dari peradaban, tidak ada yang punya cukup niat untuk mengendalikan ledakan kejahatan yang membabi-buta. Para aparat di sana memonopoli sesuai apa yang mereka mau."

"Kau benar. Aku hanya menginginkan adanya keadilan."

"Itu bisa dilakukan," kata Ursa, "bila kita menghukum penguasa yang sekarang."

"Maksudmu, Kepala Dewan Kevra?"

Aku menebak-nebak. Kepala Dewan Kevra―namanya Dirjah―tidak bisa dikatakan memiliki tanggung jawab untuk memimpin wilayah. Dia adalah Kaum Putih yang pemabuk dan sebatang kara yang kerjanya hanya berbaring di beranda rumah sepanjang hari, menikmati makanan dari gajinya yang digelontorkan dari kawasan pusat, dan selalu terobsesi dengan ladang-ladang serta perkebunannya. Dari kabar yang beredar, dia adalah orang paling pelit di seantero Kevra karena terbiasa memberi upah yang terlalu rendah untuk para pekerjanya. Dan untuk menghindari protes, dia menyerahkan tanaman-tanaman hampir busuk serta isi usus binatang ternak untuk dikonsumsi para pekerja.

"Tidak, River," kata Ursa. "Penguasa yang kumaksud adalah Raja Gangika. Dialah yang memegang dekret perbudakan Kaum Liar. Kalau dia musnah, atau dikalahkan oleh seseorang, seluruh ketidakadilan ini akan berakhir."

"Tidak mungkin," potongku, lalu saat gadis itu melihatku dengan kernyitan heran, aku melanjutkan, dengan ragu, seolah aku takut pemikiranku disebut tolol dan tidak berguna. "Kalau Raja tewas, akan ada orang lain dari pihak Kerajaan yang menggantikannya. Dekret perbudakan tentu saja tidak bisa dimusnahkan dengan hanya membunuh penguasa yang sekarang, iya, kan?"

"Benar, tapi akan lain cerita bila yang membunuhnya adalah seorang pemberontak."

Aku termangu, melihat keseriusan dalam matanya. Rona api yang berkeletik membayang pada irisnya yang sedingin malam. Kelihatan lembut dan kuat secara bersamaan.

"Bagaimana maksudmu?" tanyaku.

"Kita butuh pemberontak yang mengalahkan semua kebengisan ini, yang mampu mengambil alih pemerintahan dengan pikiran jernih."

"Dan siapakah itu?"

"Entahlah," jawab Ursa, kemudian dia tampak menimbang-nimbang. Matanya berpaling menatapku. "Bisa jadi itu kita."

Untuk sejenak aku bergeming, hanya menatap ke dalam sorotnya yang berapi-api. Ada lapisan perasaan yang memantul-mantul dalam benakku―kegamangan, kecemasan, keraguan, dan sekelumit gagasan yang tidak masuk akal. Bagaimana mungkin orang kecil seperti kami melakukan pemberontakan, mengalahkan kebengisan Raja, lalu mengambil alih pemerintahan? Bayangan itu membuatku geli. Ursa rupanya punya imajinasi yang terdengar mustahil dan sinting. Namun, aku tidak mengatakan apa pun demi menjaga perasaannya.

"River?"

Aku mendongak. "Ya?"

"Pernahkah kau menebak-nebak siapa dirimu sebenarnya?"

"Aku tidak tahu," kataku, dengan nada ragu. "Belum terpikirkan."

"Bagaimana kalau Miron yang dimaksud ibumu memang benar adalah sang Raja? Dan kau, karena suatu sebab, harus dilarikan ke Kevra untuk menghindari suatu konflik. Dengan kata lain, kau sebetulnya ... memiliki kaitan, atau barangkali garis keturunanmu ... dekat dengan keluarga kerajaan."

"Oh." Aku hampir tertawa. "Ursa, itu konyol. Mana mungkin seperti itu."

"Andai saja tidak hanya rambutmu yang berubah warna."

"Apa maksudmu?"

"Rambutmu memutih, tetapi mengapa matamu tidak? Itu membuat kita kesulitan menebak dari mana asalmu."

"Itu mudah saja. Berarti aku terlahir sebagai Kaum Putih yang tidak mewarisi kesaktian," kataku. "Kemungkinan paling besar, ibuku memang menikahi seorang Kaum Putih, tapi sudah jelas bukan dari keluarga bangsawan."

Ursa tertawa tipis sekali. "Mungkin karena kau lahir dari rahim ibumu yang seorang Kaum Liar," kemudian dia tengadah memandang bulan yang mulai muncul separuh di langit senja, "Gen mata biru adalah gen paling dominan di antara yang lainnya. Itulah sebabnya, sangat mudah untuk mengenali orang-orang bermata biru. Mereka dianggap penting karena pasti berdarah bangsawan."

"Kenapa kau malah kelihatan sedih?"

"Tidak papa." Lalu Ursa merogoh tasnya dan mengambil sesuatu dari dasar kantong. Dia membuka telapak tanganku dan menaruh kalung pemberian ibuku. Aku sampai lupa kalau aku memilikinya, saking tidak pernah kupakai selama ini.

"Hei, ternyata kau yang menyimpannya," kataku, lalu mengenakannya ke leher. Ursa menatap liontin kalungku lebih lama, lalu tiba-tiba jemarinya merambat―kupikir dia hendak meraba leherku, tetapi ternyata dia menyembunyikan liontin kalung itu di balik pakaian.

"Jangan sampai terlihat," katanya.

"Kenapa?"

"Kalung itu menyimpan rahasia. Bukankah itu dari ibumu?"

"Ya, ibuku memberikannya padaku sebelum dia meninggal." Aku berpikir sebentar. "Kenapa kau pikir kalung ini menyimpan rahasia?"

"Aku tidak bisa memberitahumu banyak hal," kata Ursa. "Belum. Sampai aku mendapatkan sedikit jawaban mengenai dirimu."

"Hei," ujarku bingung, "Tahu tidak? Kau ini sangat aneh, Ursa. Sekarang kau terdengar seperti menelitiku. Aku juga ingin tahu apa yang kau pikirkan tentang aku."

"Sebaiknya sekarang kita tidur," Ursa mengalihkan topik dengan cepat. Aku menjadi semakin jengkel karena kucuran informasi setengah-setengah ini.

Karena tidak mau memulai protes, akhirnya aku diam. Aku tengadah memandang malam yang semakin larut. Angin dingin yang membawa aroma tanah lembab dan lumut sungai menyingkirkan beban pikiranku perlahan-lahan. Jam-jam menyeret kami dalam periode yang menjemukan, kemudian pada titik di mana kesadaranku hampir tersapu dalam kantuk, Ursa memberitahu.

"Kita akan tidur bergantian. Harus ada salah satu yang menjaga barang-barang kita."

"Ya, kau tidurlah dulu," kataku, tetapi Ursa menolaknya.

"Aku tidak yakin kau sanggup membuka mata bila kutinggal tidur sekarang."

Dan, kata-katanya benar. Aku tidak memiliki alasan untuk menyangkap ucapannya, sebab saat aku merapatkan jaket dan merebahkan diri di atas dedaunan kering, aku sudah jatuh tertidur.

-oOo-

Lesakan sepatu di dedauan. Aku mendengarnya.

Tidak ada yang tahu apakah ini mimpi atau bukan, atau apakah aku tersadar atau tidak, sebab tercium bau tajam yang aneh dan sedikit berasap. Bau itu membuat kepalaku berkabut, dan tubuhku seberat beton. Aku merasa seperti tersedot ke dalam perut bumi, perlahan-lahan, didorong ke bawah dengan paksa dan tak bisa melakukan apa-apa untuk melawannya.

Di mana aku?

Seingatku aku berada di pedalaman hutan. Seingatku aku kemari bersama seseorang ... tapi untuk bagian ini aku tidak bisa mengingatnya. Mengapa aku kemari? Bukankah harusnya aku berada di rumah? Ke mana Ibu dan Raga? Semakin kucoba untuk mengingatnya, bayangan itu terurai seperti debu. Aku tak mengerti, tetapi badanku semakin berat.

Biarkan saja. Biarkan saja seperti ini.

Jemariku mulai mati rasa, detak jantungku melambat, dan aku tak bisa mendengar apa pun. Suara lesakan sepatu itu perlahan hilang. Kepalaku terasa makin penuh seperti dijejali kapas, membuatku terantuk kebingungan, ketidakpastian.

Biarkan saja. Biarkan saja seperti ini.

Lalu aku menyerah. Kubiarkan tubuhku meluncur jauh ke dalam kegelapan.

-oOo-

Aku membuka mata dan menatap langit bersinar cerah di atasku. Rupanya aku tertidur sampai pagi.

Sampai pagi?

Fakta itu menyerangku bagai pukulan telak pada jantung. Aku buru-buru bangkit, seketika menyebabkan rasa pening menyerang kepala. Sambil merintih, kupejamkan mata seraya memegang sisi kepalaku yang nyaris pecah.

Semestinya aku tidak bangun pagi. Semestinya Ursa membangunkanku untuk menjaga perlengkapan.

Aku berpaling ke sisi kanan, tempat seharusnya gadis itu berbaring tidur.

Namun, tidak ada dirinya.

Penyelidikan lebih jauh membuatku termangu kaget, sebab aku pun tak menemukan barang-barang yang kami bawa sebelumnya. Ke mana tas berisi makanan dan uang? Ke mana busur panahnya? Kugali tumpukan daun kering dan bekas abu pembakaran. Tidak ada yang tersembunyi di sana. Dengan jantung berdebar dan perasaan kalut, aku menyisir langkah lebih jauh, mondar-mandir di tempat yang kemarin kami lalui, memeriksa semak rimbun dan pepohonan besar. Kuserukan nama Ursa, tetapi dia tak ada di mana pun. Seolah-olah keberadaannya lenyap begitu saja. Ke mana dia?

Kususuri rute yang sama, lalu kembali ke tempat kami istirahat. Saat melewati sungai yang mengalir deras, mataku menangkap sesuatu yang aneh dari dalam semak kecil di dekat bantaran. Aku menghampirinya tanpa pikir-panjang.

Kurogoh semak itu dengan hati-hati, lalu menemukan, tersembunyi di dalamnya, bekas pembakaran―beberapa potong kayu bakar, jelaga dan abu yang menempel di jari, serta kantong kain yang terbuka. Kudekatkan kantong mencurigakan itu di hidung, dan mengenyit karena bau tajamnya.

Benakku berpacu mengingat-ingat apa yang terjadi semalam, terutama saat aku tertidur. Tidak salah lagi. Bau inilah yang sempat kucium sehingga membuat kepalaku berkabut, lalu membiusku agar semakin terlelap. Sepertinya ada seseorang yang sengaja berbuat buruk pada kami, entah apa motifnya, tetapi yang kudapatkan―Ursa, serta seluruh perlengkapan dan senjata yang kami bawa, telah hilang tak berbekas. Sekarang, perasaanku menjurus pada satu kekhawatiran penuh yang merajam benakku.

Ursa mungkin saja dalam bahaya.[]

-oOo-

.

.

.

.

Spoiler: bakalan muncul kehadiran tokoh baru. Pertanyaannya, mereka teman atau lawan?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top