10. Terjebak
"URSA, menurutku kau keliru." Kepalaku penuh rasa terancam, terutama karena gadis yang memiliki kekuatan mengerikan ini sedang menyudutkanku. "Kau semestinya tahu kalau hal itu tidak mungkin. Aku bukanlah buronan yang mereka maksud, sebab rambutku berwarna putih."
"Itulah satu alasan mengapa keberadaanmu tampak aneh di sini." Ursa meludahkan kalimat itu seperti bara api. Sekilas dia mengingatkanku pada seorang pria yang menjual beragam senjata di pasar. "Selain wajahmu mirip dengan sosok yang ada di kertas pengumuman itu, yang paling membuatku yakin adalah alasan kemunculanmu yang begitu aneh, River. Kau ditemukan terluka parah dan tidak mengetahui sedikit saja informasi penting yang semestinya diwariskan turun-temurun dari Kaum Putih."
"Kalau kau lupa, itu namanya hilang ingatan."
"Kau berbeda," Ursa membantah. Dia menarik napas dalam-dalam seraya mengangkat wajah hingga terlihat seperti boneka angkuh. "Seberapa sering aku memicu kembali ingatanmu, bahkan dengan pengetahuan yang paling sederhana sekalipun, tidak ada secuil pun informasi yang bisa membuatmu ingat. Ibuku pernah mendapat pasien yang sama-sama lupa ingatan, tetapi mereka tidak separah dirimu, padahal luka mereka jauh lebih mengenaskan. Dan bukan itu saja yang membuatku curiga ...." Ursa merapatkan bibirnya, seperti mencari kata-kata, "Perilakumu justru berbeda ... tidak seperti pasien lupa ingatan yang kebingungan, kau justru terlihat berhati-hati dan serius. Nah, jadi, bagaimana mungkin kau melupakan segalanya? Menurut pengamatanku, kau sebetulnya hanya tidak tahu dari awal dan sedang berusaha untuk mencari tahu."
Aku menegang merasakan denyut panas di dadaku. Mengapa gadis ini bisa memahami diriku sedalam itu?
Menyadari bahwa tak ada amunisi untuk membantah, dengan panik mataku jelalatan memandang sekitar, mencari sesuatu yang bisa kupakai untuk melawan bila dia memutuskan membantaiku detik ini juga. Tidak ada apa pun di tengah kebun yang rindang dan penuh nyamuk ini. Jalan satu-satunya adalah kabur, tetapi ini pun bukan gagasan baik karena Ursa bisa menangkapku dengan mudah.
"River, sikap diammu ini membuatku semakin yakin. Kau tidak pintar berpura-pura." Ursa menelurkan opini kerasnya sekali lagi. Aku merapatkan rahang.
"Aku tidak tahu caranya merespons, Ursa. Yang kau katakan sungguh tidak masuk akal."
"Jangan berkilah lagi. Aku sanggup menyelidiki siapa kau sebenarnya."
Aku belum terlalu mengenal gadis ini, tetapi caranya berpikir mengingatkanku pada seekor merpati yang bertengger anggun di atas ranting, seolah menanti cacing empuk yang bersembunyi di dalam tanah. Ursa jelas sedang menunggu reaksiku. Dia memilah pemikirannya untuk berhadapan denganku, menimbang segala hal, seolah aku tidak bisa diremehkan. Kenyataan ini membuat hatiku terpaut oleh rasa berpuas diri, sehingga aku tak perlu bersikap lunak di hadapannya apalagi memohon-mohon untuk tidak dibunuh.
"Apa yang akan kau lakukan?" tanyaku, berusaha mengontrol suara agar tidak pecah. "Bila semua itu benar, apa kau akan membunuhku?
"Aku akan membebaskanmu kalau kau bercerita padaku apa yang sebetulnya terjadi."
Keningku berkerut bingung. "Kau akan membebaskanku?"
"Hanya untuk beberapa sebab yang masuk akal."
Sebelum aku menjawab apa pun, Ursa menatap keji dengan mata hijaunya yang seterang lumut hutan. "Tapi lihat sendiri apa yang terjadi kalau kau mengelak. Kau tidak akan bisa lari dariku, River. Ingat itu. Jati dirimu yang sebenarnya sudah ketahuan."
Ketahuan. Kata itu menembus pertahananku begitu telak. Trauma yang kudapatkan bersama Heera seketika merajamku. Aku mengempas tangannya sehingga gadis itu terdorong ke belakang, lalu tubuhku bergerak sebelum pikiranku mencerna situasi; seperti lonjakan keterkejutan, aku berputar, berlari pontang-panting menyusuri perkebunan. Jantungku bertalu-talu dalam rongganya, sementara luka-luka lecet di telapak kakiku terbuka. Ketahuan. Aku ketahuan. Aku ketahuan.
Dengan napas terengah-engah, kususuri lahan tak tentu arah, melewati batang pepohonan dan melompati akar yang tumbuh berbonggol ke permukaan. Namun, mendadak saja, sesuatu yang datangnya dari belakangku―tak bisa kulihat, atau kupikir tak kulihat―menabrak dadaku dan membantingku ke semak-semak rimbun dengan keras. Volume besar angin dan debu menyentakku ke belakang hingga kepalaku membentur kerikil dan batu-batuan. Sambil berbaring kesakitan, aku mengerang, terbatuk-batuk pedih.
"Diamlah," kata seseorang di atasku. Rupanya Ursa. Dia sedang menjepit dadaku dengan lututnya. Aku baru sadar bahwa yang menabrakku barusan adalah gadis ini. Sialan. Kenapa larinya sangat cepat?
"Pergi!" aku berusaha mengatasi sakit kepala yang mulai kambuh―penyakitku. Tanganku berusaha melawan, tapi tenagaku belum sepenuhnya pulih dan belitan gadis ini begitu kuat. Dia menahan kedua pergelanganku agar tetap di tanah.
"Diam, River. Mereka ada di dekat sini!"
Kalimat itu menyihirku seketika. Aku mengontrol deru napas dan memperhatikan lebih saksama. Dalam kesuraman semak-semak yang menyembunyikan keberadaan kami, ekspresi Ursa diliputi kewaspadaan. Dia semakin menunduk, menjatuhkan helaian rambut putihnya yang panjang di leherku, lalu mendekatkan wajah pada telingaku.
"Mereka kemari."
Kemudian, seperti dibangunkan oleh kenyataan, indraku kembali waspada dan berfungsi secara normal. Aku mendengar suara tapak sepatu kuda hanya beberapa meter dari semak tempat kami bersembunyi.
Di antara celah dedaunan, ada kelebatan bayangan yang lewat di dekat kami. Suara kerikil yang digilas, kemudian sayup-sayup terselip gumam perbincangan dua atau tiga orang.
"Mengapa kita turun ke pemukiman dan memasang pengumuman hanya untuk mencari dua buronan bodoh yang tak bisa apa-apa? Buang-buang waktu saja," kata salah seorang dari mereka.
"Kemampuan bertahan diri mereka nol. Aku yakin, kalaupun berhasil kabur, mereka akan langsung dibantai penduduk setempat," timpal pria yang lain, kemudian diikuti seruan persetujuan dari sraden lainnya.
"Ini keputusan aneh, kalian sadar tidak? Mereka hanya Kaum Liar, tapi mengapa harus dicari seolah mereka ini buronan yang kabur dari tahanan Rawarta?"
"Tutup mulutmu, bajingan. Kita hanya melaksanakan perintah dari Rawarta. Katanya Letnan kita mendapatkan arahan untuk ...."
Ursa bernapas dengan hati-hati. Matanya memicing ketika mengintip dari kelebatan yang ada, dan kami menunggu sampai mendengar langkah kaki terakhir menghilang ditelan jarak.
Setelah suara percakapan para sraden lenyap, dia menatapku dengan ekspresi tegang.
"Katakan padaku. Kau adalah buronan itu, ya atau tidak?"
Ketenangan Ursa begitu meresahkanku. Suaranya sedingin dan sekeras batu―tidak ada kata yang tepat untuk mendeskripsikannya, dia bagai sraden wanita yang menitahkan perintah mutlak. Aku memutuskan memberitahunya karena tak ada gunanya mengulur penjelasan.
"Ya."
"Akan kulepaskan tanganmu, tapi jangan mencoba kabur lagi."
Lalu tanpa menunggu tanggapan, dia melepas pergelangan tanganku dan membantuku berdiri. Aku oleng ke bahunya karena pening di kepalaku masih mencakar-cakar.
Ursa menahan sebagian bobot tubuhku, menangkupkan tangan di keningku yang dilapisi keringat dingin. "Kau masih demam. Tidak seharusnya kau berlari seperti tadi."
"Memangnya siapa yang membuatku berlari, dasar perempuan."
"Itu keputusanmu sendiri, kenapa menyalahkan aku? Dasar laki-laki berengsek."
Kedua kakiku goyah, maka aku merosot lagi dan mencoba menghilangkan gelombang pening yang membuatku ingin muntah. Bernapas pun susah. Selain karena demam, penyakit sakit kepalaku ini belum hilang, dan aku selalu merasa terjebak dalam keadaan tubuh yang lemah dan ringkih―satu-satunya sembilu dalam diriku sendiri, faktor yang membunuhku dari dalam meskipun aku punya tekad dan mental bertahan sekuat baja.
"Jangan membunuhku," racauku sambil berpegangan pada pinggangnya.
"Kalau begitu jangan membuat masalah."
"Hentikan ... tolong... aku bisa menjelaskan semuanya padamu. Aku bisa ... aku tidak mau mati."
Ursa berjongkok di hadapanku, menangkup pipiku dengan tangannya.
"River, aku tidak akan membunuhmu. Kau hanya perlu tenang."
Aku mendengarkan suaranya yang kali ini begitu lembut, seolah tatapan dinginnya yang seperti bongkahan es beberapa waktu lalu telah terkubur dalam rasa khawatir. Kupejamkan mata, dan kuhitung sampai tiga. Ketenangan berangsur kembali dalam diriku.
"Kendalikan dirimu. Kau sudah aman."
"Maaf." Akhirnya aku berkata, "Aku terlalu panik."
"Tidak apa-apa. Kita harus pulang dulu dan melanjutkan pembicaraan ini di kamarmu. Masih banyak yang ingin kutanyakan tentangmu."
"Apa yang nantinya terjadi kalau aku pulang?" tanyaku, sementara Ursa menarik tanganku agar berdiri. "Kalau Alya tahu siapa aku, dia mungkin akan membunuhku juga."
"Aku tidak akan memberitahunya," kata Ursa. "Lagi pula, dia tidak seperti yang kau pikirkan. Kami tidak seperti yang kau duga."
"Memangnya apa yang kau pikir bisa dibayangkan oleh Kaum Liar sepertiku?" tanyaku.
"Tentu saja anggapan bahwa kami adalah musuh terbesar kalian."
Kata-katanya menarik sumbat dalam perutku―rasa ketidakpercayaan, terheran-heran, kecemasan apakah aku jadi dibunuh atau tidak. Bagaimana mungkin dia peduli padaku? Mustahil membayangkan dia akan melepaskanku hidup-hidup, tapi perhatiannya padaku adalah kebalikan dari sikap mahakeji yang semestinya dia tunjukkan. Putih adalah bengis. Putih adalah musuh. Ursa adalah bagian dari mereka.
Benarkah itu?
"Kau membenci Kaum Liar, benar atau tidak?"
Ursa berpaling sambil menatapku dengan sorot tak terbaca. Suaranya bagai teredam oleh kewaspadaan ketika berkata lirih dan terus-terang.
"Tidak."
-oOo-
Ursa membuka pintu rumah.
Nyaris seketika, udara sejuk di dalam membuatku tenang. Sakit kepalaku sudah jauh berkurang ketika Ursa menuntunku sampai kamar. Aku mengakhiri bantuannya dengan berinisiatif pergi ke ranjang sendiri, berbaring di sana. Kasur yang empuk membuatku mendesah lega dan merasa aman.
"Akan kuambilkan obat," Ursa berputar keluar. Aku tak punya tenaga untuk melayangkan penolakan, jadi aku membiarkannya pergi. Dalam beberapa detik saja, pening dan kelelahan sudah menyeretku tertidur.
"River, bangun," Ursa mengguncang pundakku. Kusadari sesuatu yang lembab menempel di keningku ketika aku membuka mata. Rupanya Ursa menaruh kain kompres di sana.
"Sudah malam. Kau tidur cukup lama," katanya.
"Aku sudah lebih baik."
"Memang harusnya begitu. Aku tidak suka kalau kau jadi beban terus. Minum ini."
Ursa menyanggah kepalaku pelan, membantuku minum beberapa teguk dari gelas. Dia mengusap air yang melelehi daguku, tampak begitu telaten merawat pasien.
Nyaris membuatku melihat sosok Ibu dari dirinya.
Tidak, tidak. Aku harus menyadarkan diri untuk hati-hati menerjemahkan tindakannya. Inilah salah satu motif terbesarnya yang tak bisa kugali. Barangkali aku melihat rencana jahat terselubung dalam sorot mata Ursa yang teduh. Barangkali dia adalah penipu hebat yang sebetulnya menunggu waktu untuk membantaiku dengan busur dan anak panahnya.
Dia tak berbahaya. Dia berbahaya. Mana dari dua hal itu yang harus kupilih?
"Aku harus merawat lukamu. Berbaringlah lagi," katanya.
Selagi aku berbaring, Ursa melepas kancing pakaianku, lalu mengelupas lapisan perban di sana. Aku memilih untuk tak melihat lukanya. Gadis itu mengambil wadah stoples kecil seukuran genggaman tangan, memutar tutupnya. Aroma obat dan alkohol menyeruak.
Ursa menyendok salep di dalamnya dengan dua jari, kemudian mengoleskannya hati-hati pada bekas jahitan di dadaku. Efeknya cepat sekali menenangkan luka. Aku mendesah lega.
"Obat racikan ibuku," kata Ursa. "Bisa menyembuhkan luka dengan cepat."
Aku teringat bahwa ibu Ursa adalah seorang tenaga medis. "Dia pasti sangat hebat."
"Sangat hebat sampai ayahku sendiri luluh."
"Di mana ayahmu?"
"Meninggal," katanya. "Dulunya dia seorang sraden. Kami mewarisi kemahirannya dalam memakai senjata."
Aku tidak kaget soal itu.
"River," kata Ursa, "kurasa ini saat yang tepat untuk jujur kepadaku."
"Tak tahu apakah aku bisa."
"Kita punya banyak waktu."
Aku terdiam, menimbang-nimbang. Ini bukan soal waktu. Kebiasaanku yang mudah mencurigai dan sulit untuk percaya kepada orang lain menjadi penentu apakah aku harus menceritakan segalanya pada Ursa. Dia melihatku sejenak, barangkali menangkap keraguanku, sebab gadis itu langsung berkata, "Aku tak akan berkata dua kali, tapi kau bisa memercayaiku untuk urusan ini. Aku tak akan menghakimimu dari kacamata Kaum Putih yang biadab."
Mengapa gadis ini begitu berbeda? Untuk beberapa sebab, dia membuatku lebih baik sekaligus lebih buruk―lebih baik karena sikapnya melunak terhadapku, dan lebih buruk karena dia berasal dari Kaum Putih, kaum yang keberadaannya mematikan bagiku. Mereka bagai virus yang tak akan musnah ditelan waktu.
"Sebelum giliranku untuk menjelaskan, aku mau bertanya," kataku memutuskan. Ursa mendengar dengan sabar, "Apakah semua penduduk Bruma memang sepertimu?"
"Sepertiku yang bagaimana?"
"Caramu menangani orang dari kaumku ...," aku mencari-cari kalimat yang tepat, "Apakah semua kebaikan ini hanya rencana untuk membuatku lengah agar kau bisa membantaiku di momen yang tepat?"
Ursa menyelipkan rambutnya ke telinga dan memandangku dengan tatapan tak terbaca. Mendadak saja, dia tersenyum. Senyum sungguhan yang menampakkan deretan giginya yang putih dan rapi, seolah baru saja mendengar lelucon konyol. Aku tak mengerti jalan pikirannya.
"River, kami tidak akan dengan sengaja membantai orang sepertimu. Melaporkan mungkin iya, tetapi tidak dengan membantai. Kami tidak dididik menjadi algojo. Kalau urusan membunuh menjadi sesuatu yang lumrah, sejak awal kami semua sudah bergabung menjadi sraden Kevra yang kau benci."
"Tapi kalian terampil menggunakan senjata."
"Itu tidak menjadi alasan untuk membantai. Ayolah, sekarang giliranmu," katanya, lalu menutup wadah salep dengan memutarnya ke kanan. Dia melapisi kembali bekas jahitan di dadaku dengan kain kasa bersih, menahannya dengan semacam plester. Tangannya ditumpangkan pada lututnya yang tertekuk anggun.
"Mengapa kau kabur dari Kevra?"
Dan, malam itu, aku menceritakan semuanya kepada Ursa.[]
-oOo-
.
.
.
.
.
.
River di sini jadi anak kikuk, kalau di The Leftovers garang banget kayak maung 😭
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top