07 - What Have You Done? Nothing!

Sampai titik ini, Brian masih tak percaya ia harus menghadapi permasalahan pelik di usianya yang baru menginjak dua puluh tahun. Saat mendaftar ketua BEM kemarin, lelaki itu tidak membayangkan inilah tugas yang akan menghadangnya. Kalau saja ia diberi gambaran sedikit saja, tentang beban yang akan ditanggung saat menjabat sebagai ketua BEM, ia pasti akan lebih siap. Tidak, ia tidak akan mundur. Hanya saja, terlalu mendadak. Ia belum genap dua bulan jadi ketua BEM, dan ini adalah masalah pertama yang ia hadapi.

"Brian! Bri!"

Ia menghembuskan napas pasrah ketika mendengar suara seseorang yang lelaki itu hindari. Ya, katakanlah, ia pengecut. Namun, saat suara yang memanggil semakin mendekat, dan kemudian gadis itu berhasil menyejajarkan langkahnya, mau tak mau Brian berhenti.

"Chat gue nggak dibales, telepon gue nggak diangkat, terus di kampus ngehindarin gue terus! Maksud lo apa?" semprot Lia geram.

Brian nenarik napas panjang. "Semalam gue manggung, jadi nggak sempat aja. Sibuk."

Lia mencebik kesal. "Hasil diskusi kemarin gimana?"

"Belum di-acc."

"Jelasin, dong! Pak dekan nolak bagian apanya?"

Brian menunjuk bangku kosong depan ruang kelas. "Duduk dulu, nggak enak dilihatin orang."

Lia pun terpaksa mengikuti Brian dan menempati kursi di sana. Gadis itu bersungut-sungut, tak sabar mendengar penjelasan diskusi BEM bersama dekan kemarin. Ia punya perasaan tak enak.

"Sekarang nggak ada ngeles-ngeles lagi!" tukas Lia judes. "Buruan!" Ia menepuk paha lelaki di sebelahnya.

Brian menyenderkan badannya pada punggung kursi, kakinya terbuka lebar, dan pandangannya lurus ke depan. Ia tak berani menatap sorot mata berapi-api Lia, yang mungkin akan padam karena menelan kekecewaan.

"Ditolak, nggak ada bukti. Gue, Gary, Rissa, Angel udah jelasin, kejadian terjadi saat bimbingan, nggak mungkin ada foto, video, apalagi saksi mata, kecuali ruangan si L itu ada CCTV," terang Brian. "Gue kasih laporan kronologi kejadian. Gue bilang semuanya runtut, itu udah cukup buat jadi barang bukti dan alasan kasih hukuman si L."

"Gitu doang!?"

"Mereka nggak bisa semena-mena kasih hukuman atau mengeluarkan si L dari sini langsung. Katanya harus ada penyelidikan dulu lah. Tapi, pak dekan bilang bakal adain rapat buat bahas kode etik dosen di kampus, terus sama mau konfirmasi dan kasih teguran ke si L gitu."

Lia mendengkus keras. "Rapat begitu, ya nggak guna lah! Dari awal juga, semua orang udah ngerti, kalau pegang-pegang paha, kepala, dada atau bagian mana pun tanpa izin, itu namanya pelecehan!"

Brian meringis. "Mereka juga nggak percaya sama laporan kronologi kejadian, karena bisa aja itu manipulasi. Para korban ini juga ditakutkan bisa dituntut dengan pencemaran nama baik."

Mata Lia membulat sempurna. "Maksud lo? Ya emang mereka ngerti siapa korban-korbannya? Kan nggak! Harusnya lo gas terus! Gimana, sih?!" katanya jengkel.

Lelaki itu meringis, menggaruk tengkuk kepalanya. "Gue suruh para korban bikin surat pernyataan pakai nama asli, yang dikasih materai, terus ditandatangani."

"Gila lo?!" Lia seketika meledak. "Lo kasih nama mereka pas diskusi sama dekan kemarin?"

Brian meletakkan jari telunjuk di atas bibirnya, memberi intruksi pada Lia untuk mengecilkan suara. "Nggak usah pakai teriak, bisa?"

"Pihak kampus jadi ngerti nama-nama korban? Lo bego atau gimana, sih?!" tanya Lia frustasi.

"Mereka cuma lihat, nggak akan hafal. Surat pernyataannya ada di gue!" tukas Brian kesal, jelas berbohong. Nyatanya, semalam ia dapat pesan ancaman dari nomor tak dikenal yang menyebutkan nama-nama korban.

Lia berdecak tak percaya, sorot matanya dipenuhi dengan emosi yang membuat perut Brian melilit. "Bisa-bisanya lo lakuin sesuatu yang membahayakan para korban, Bri? Sekarang gue harus bilang apa ke mereka? Lo janji Bri, lo janji ke gue kalau bakal lakuin sesuatu buat mereka!" desisnya penuh amarah lalu berbalik pergi.

Lelaki itu mengusap wajahnya kasar, dengan mata yang terus terfokus pada punggung Lia yang kemudian menghilang di persimpangan lorong kampus.

***

Lia menatap pantulan dirinya yang terlihat berantakan di cermin. Perasaan marah, kecewa dan malu berbaur menjadi satu dalam tubuhnya, membuat gadis itu tercekat. Bagaimana bisa Brian membuat kesalahan yang begitu bodoh? Bagaimana jika para korban sekarang dalam bahaya? Bagaimana ia harus menjelaskan pada mereka tentang apa yang terjadi? Lia tahu perjuangannya tidak akan mudah. Tapi, ia tak menduga akan seberantakan ini, dan semuanya terjadi karena ketua BEM sok bisa dan sok keren itu!

Parahnya, ia bertanggung jawab dalam penulisan artikel mengenai apa saja, update terbaru kasus pelecehan ini. Lia mengatur napasnya yang mulai pendek-pendek. Gadis itu berkacak pinggang, mondar-mandir di dalam toilet kampus yang kebetulan sepi. Meskipun ia tidak ingin memberitakan kegagalan usaha BEM karena tak mau membuat para korban kecewa, tapi mereka layak tahu apa yang terjadi sebenarnya. Orang-orang harus tahu, jika Brian lelaki yang mereka pilih sebagai ketua BEM adalah penyebabnya. Semoga saja, dengan rilisnya artikel yang ia tulis, dapat menyadarkan para pendukung lelaki sok kegantengan itu.

Tanpa buang waktu, Lia bergegas menuju kosnya, untuk menulis artikel. Ia bahkan sengaja bolos kelas agar artikelnya cepat selesai dan dirilis. Hal pertama yang dilakukan gadis itu sebelum membuka laptop adalah mengirimkan pesan pada para korban pelecehan. Ia meminta maaf karena diskusi tidak berjalan sesuai yang diharapkan. Lia menarik napas pelan, ia tak menunggu balasan dari mereka, dan memilih menyetel ponselnya dalam mode diam. Dia cukup takut membaca pesan balasan, karena tak sanggup menanggung rasa kecewa mereka.

***

Cengkeraman tangan lelaki itu semakin menguat ketika melihat selebaran yang berisi rumor-rumor palsu tentangnya, tertempel di dinding-dinding kampus. Wajahnya mungkin sudah memerah, karena menahan geram. Tatapan menilai dan penasaran beberapa kali ia terima dari para mahasiswa yang berpapasan dengannya.

"Jadi, bener diskusi kemarin gagal, Bri?" Irsyad berjalan ke arah lelaki itu.

Brian mengalihkan pandangannya, sebelum mengangguk. "Ada beberapa hal yang nggak berjalan sesuai rencana. Tapi BEM masih tetep usaha buat cari cara biar kampus mau kasih hukuman ke pelaku."

Irsyad menepuk bahunya. "Chill, Bro. Pelan-pelan aja, gue sebel banget emang sama itu dosen." Lelaki itu tersenyum kecil. "Jangan dipikirin artikel dari Jejak, dan juga komentar aneh-aneh tentang lo. Beberapa hari lagi juga pasti ilang rumornya."

"Thanks, Syad."

Suasana hati buruk Brian dimulai dari tadi malam saat akun sosial media Jejak, merilis artikel baru tentang kegagalannya mendapatkan keadilan untuk para korban pelecehan. Tidak ada yang salah memang, meskipun memalukan bagi Brian berita itu memang harus disebarluaskan, karena para mahasiswa Fakultas Sastra berhak tahu perkembangan kasus ini. Namun, yang membuat lelaki itu kesal adalah pada akhir artikel, seperti biasa ciri khas seorang Julia Maheswari, menggiring opini buruk tentang BEM.

Bukan hanya itu, hal lain yang membuat Brian luar biasa jengkel dan marah adalah beredarnya rumor dan komentar-komentar dari para mahasiswa yang tidak mendasar. Mereka menebak jika kegagalan diskusi antara BEM dan pihak kampus disebabkan karena BEM mendapat 'suap' dari petinggi kampus. Hal itu membuat BEM memihak dosen cabul tersebut dan memilih tidak melanjutkan perjuangan untuk mengekspos pelaku pelecehan seksual yang dilakukan oleh dosen.

Omong kosong macam apa itu? Beredarnya rumor tersebut memang bukan 100% kesalahan Lia, tapi artikel yang ditulis gadis itu bagai pemantik api yang dilemparkan ke tumpukan ranting kering. Dalam waktu semalam, cukup untuk menyebarkan rumor jahat tentang BEM. Hal ini dapat dilihat dari selebaran kertas yang tertempel di berbagai sudut Fakultas Sastra, menunjukkan protes keras kepada BEM.

Brian dengan langkah panjangnya, menghampiri seorang gadis berambut panjang dengan topi barret hitam di koridor. "Maksud lo apa nulis begini?"

Lia menoleh lalu mendecakkan lidah, merasa jengah. "Lo janji buat nyelesaiin kasus ini. Lo janji BEM bakal bantu mereka, para korban. Gue bahkan kasih tahu identitas korban-korban yang mau ngaku. Tapi apa? Kasus ini nggak selesai. Dosen cabul itu masih bebas ngajar di sini! Dan lo berhenti begitu aja?" Gadis itu memberikan tatapan meremehkan.

Lelaki itu menyunggingkan senyuman miring, mendengar ocehan sok tahu gadis yang satu tahun lebih muda darinya itu. Sebagai ketua BEM, sudah jadi makanan sehari-hari mendapat kritik dari para mahasiswa yang hanya bisa meremehkan tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi.

"Hati-hati kalau ngomong, inget kebebasan berpendapat bukan jadi landasan lo buat nulis omong kosong nggak berlandasan begitu. Gimana majalah kampus mau maju, kalau jurnalisnya macem lo yang sok tahu sama emosian begini."

Lelaki itu tidak ingin lama-lama berbicara dengan gadis di hadapannya. Saat ini, melihat wajah Lia membuatnya muak. Setelah mengatakan apa yang bercokol dalam kepalanya, Brian memutar tumit dan meninggalkan gadis itu.

***

"Si nenek sihir emang keterlaluan banget sih," kata Dion bersungut-sungut. "Ngomong seenak jidat, gue percaya lo, lo nggak mungkin dapet suap dari pak dekan. Soalnya kalau lo dapet, pasti langsung traktir kita-kita."

Dion langsung mendapat lirikan tajam dari lelaki itu. "Bercanda, sih. Lagian lo kaku banget." Lelaki itu meringis.

"Kalau mulut lo masih ngomong aneh-aneh begitu, minggat sono! Pergi!" dengkus Brian ketus.

"Jangan lah, oke deh gue anteng." Dion langsung merapatkan bibirnya.

Sore ini, setelah kelas terakhir usai, Brian menuju sebuah cafe, untuk bertemu Della dan Maurin. Ia menautkan jari-jemarinya, merasa gugup. Namun, berbicara tatap muka lebih baik, karena ia tak ingin ada miss komunikasi nanti.

Sepuluh menit sedih, lelaki itu duduk di sudut ruangan dengan kopi yang sudah habis separuh. Tak apa, ia akan menunggu kedua perempuan itu datang. Sampai pada akhirnya, kursi di hadapannya ditarik, dan diduduki seorang perempuan berambut sebahu, tersenyum kaku.

"Long time no see, Mbak," kata Brian sambil berjabat tangan dengan Della.

Della mengangguk, ia melirik beberapa ke arah Dion yang duduk di samping Brian. "Apa kabar, Bri?"

"Alhamdulillah," jawabnya. "Tunggu Mbak Ririn dulu, ya? Tenang aja, nanti Dion pergi kok kalau Mbak Ririn udah datang."

Dion menyengir lalu mengangguk-angguk. "Cuma mau numpang ngopi aja, Mbak."

Untungnya, tak berselang lama yang ditunggu-tunggu pun tiba. Perempuan dengan rambut diikat kuda itu menghampiri meja yang diduduki Brian. Ia menurun masker yang dipakainya lalu tersenyum tipis sebelum menarik kursi dan mendaratkan diri di sana.

Brian menyenggol siku Dion, memberi kode agar lelaki itu cepat meninggalkan meja. Dion pun bangkit dengan membawa serta es kopi susunya ke meja lain.

"Makasih buat Mbak Della sama Mbak Ririn, udah mau memenuhi undangan gue buat dateng ke sini," kata Brian, ia meremas-remas tangannya untuk menenangkan diri. "Gue di sini mau minta maaf secara langsung sama kalian berdua karena belum bisa mewujudkan janji gue. Gue juga mau klarifikasi soal beberapa hal, yang mungkin udah kalian denger beberapa hari ini."

"Nggak apa-apa, Bri. Sejujurnya gue juga nggak berharap banyak," timpal Della. "Apalagi dulu gue dapet sms ancaman, biar gue nggak lapor. Pasti lo juga dapet yang lebih dari gue soalnya lo berani bergerak terang-terangan."

Brian tersenyum kaku. Ia tak mau memberitahu soal pesan ancaman yang ia dapat. "Oh iya Mbak, lo masih simpen nomor yang sms lo nggak?"

Della mengetuk-ngetuk pelipis dengan telunjuknya. "Gue inget pernah ss -screen shoot, sms itu tapi gue lupa masih simpen gambarnya apa nggak. Bukan gue hapus sih memang, tapi gue selalu pindah file-file di hape ke hard disk. Nanti gue cek lagi."

"Soalnya itu bisa jadi barang bukti."

"Tapi kan itu cuma pakai nomor aja. Emang lo bisa lacaknya?"

"Pasti ada cara," jawab Brian yakin, menatap dua perempuan itu bergantian. "Habis kasus ini meledak kalian dapet ancaman dari Pak Lukman nggak?"

Della menggeleng. "Gue nggak ada kontak lagi sama dia."

"Gue nggak dapet pesan ancaman, tapi kemarin pas gue ke kampus, buat ngurus berkas pindah, Bu Sari bilang sesuatu sama gue," gadis itu mengela napas. "Beliau minta gue, jangan nyebarin rumor aneh-aneh soal Pak Lukman, dan dia janji bakal ganti dosbing gue."

"Lo mau pindah Mbak?" Brian sedikit terkejut.

Maurin mengangguk. "Gue udah konsultasi sama orangtua gue dan mereka setuju."

"Lo nggak ada niat buat laporin ke pihak polisi, Mbak? Mumpung kejadian lo masih baru dan itu kemungkinan bisa buka kasus ini?" tanya lelaki itu.

"Gue bukan orang kaya yang bisa sewa pengacara handal. Tahu sih, mungkin nanti ada yang bantu. Tapi lihat gimana Pak Lukman coba nutup-nutupi kasus ini, udah cukup jadi bukti kalau dia bakal lakuin apapun buat menangin kasus ini," jawab gadis itu tersenyum sendu. "Gue takut, Bri ... gue nggak tahu bakal gimana akhirnya, jadi ya ... gue pilih jalan aman."

Oke, Brian mengerti. Itu bukan hal mudah, meskipun dia berharap Maurin berani mengambil resiko, tapi fakta gadis itu berani bersuara dan berkatnya kasus ini jadi meledak, ia sudah sangat berterima kasih. Ia menghargai keputusan Maurin.

"Nggak apa-apa, Mbak." Lelaki itu tersenyum meyakinkan. "Ini nomor WA gue, khusus gue beli nomor baru buat hubungi kalian, biar lebih aman." Ia menunjukkan nomor WA-nya pada dua gadis itu yang kemudian dicatat oleh mereka.

"Kalau ada apa-apa soal kasus ini, tolong chat gue, karena gue belum berhenti. Gue udah janji bakal kuak kasus ini sampai tuntas, biar Pak Lukman dapat hukuman," tukasnya. "Rumor soal BEM dapat dana tambahan dari dekan atau suap-suap lain, semuanya hoaks. Tolong jangan percaya."

Della tersenyum lebar. "Gue percaya kok, Bri. Gue juga udah kenal lo cukup lama, gue tahu lo nggak akan lakuin hal itu."

Brian mengangguk puas. "Mbak Ririn, percaya gue juga, 'kan?" tanyanya saat gadis itu belum menyahut.

"Percaya kok. Lo, hati-hati ya," ujarnya. "Jangan saling sapa pokoknya kalau di kampus. Anggap aja kita nggak saling kenal."

"Ide bagus! Kita diem-diem, biar kayak lagi jalanin misi di film James Bond." Celetukan Brian mengundang tawa kedua gadis itu.

Sebelum pulang, mereka mengingatkan untuk saling berhati-hati. Tidak ada yang tahu apa yang mengintai mereka karena terlibat dalam kasus ini. Harapan agar petaka ini segera sirna terucap tanpa kata, dari tatapan masing-masing.

TBC
***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top