03 - Like an Oil and Water

"Tugas Miss Rahmi gimana? Kok kayaknya lo nggak ketemuan sama si Julia, sih?"

"Gue mau bikin sendiri," jawab Brian tak ambil pusing. Matanya fokus menatap layar laptop.

"Terus, si Julia cuma numpang nama?" Dion memberi pandangan bingung.

Ia mengedikkan bahu. "Terserah."

"Enak dia dong kalau gitu?" komentar Dion.

"Siapa yang enak?" Jay datang dari kamar, bergabung di ruang tengah. Lalu dengan senang hati, anggota termuda Sixth Sense menceritakan kronologi Brian satu kelompok bersama gadis yang membenci lelaki itu. "Kenapa lo nggak chat dia aja?"

"Males, lah! Harusnya dia yang chat gue duluan dong, dia kan adik tingkat," tukas Brian. Kalau mengingat ulah Lia, ia jadi kesal sendiri. "Lagian kalau dipikir-pikir, si Juleha ini ngeselin, ya? Ketus banget ngomongnya."

"Kalau menurut gue, kelompok cuma berdua, nggak dikerjain bareng, pasti dosen lo bakal marah," pungkas Jay.

Brian sudah memikirkan kemungkinan itu. Namun, ia malas menghubungi adik tingkatnya. Jujur, ia tidak sakit hati dengan artikel yang Julia tulis, tapi Brian merasa jengkel setelah berbicara dengan gadis itu. Gaya bicara Julia ini, ketus abis, apalagi ekspresi wajahnya yang super judes, seperti tidak menghormatinya.

"Mau ikut ngopi nggak?" tawar Arsen saat keluar dari kamar.

"Nggak." Brian dan Dion menjawab bebarengan, membuat Arsen mengernyit heran.

"Kalian berdua lagi kenapa? Banyak tugas?"

"Gue nitip aja Sen, pas lo balik," kata Brian.

"Tapi, gue balik malem kayaknya."

"Nggak apa-apa, lagian gue juga butuhnya nanti malem, biar nggak ngantuk."

Lelaki berambut hitam pekat itu mengangguk. Setelah memakai jaketnya denimnya, Arsen mengambil kunci motor dan keluar dari rumah kontrakan. Sejak membentuk band, Brian bersama anggota Sixth Sense lainnya memutuskan menyewa rumah bersama. Sudah hampir dua tahun mereka tinggal berlima. Hal ini membuat kelima lelaki itu menjadi sangat dekat.

Pukul sebelas malam, Brian masih betah di ruang tengah sendirian. Novel berbahasa Inggris, terbuka begitu saja di lantai. Brian menarik napas dalam-dalam memandangi tugasnya yang belum juga jadi. Bagaimana tugas me-review novelnya kelar, kalau Brian bahkan belum selesai membaca bukunya? Padahal, ia sudah memilih novel paling tipis di perpustakaan, 154 halaman. Akan tetapi, menyelesaikan satu halaman saja rasanya sangat sulit. Membaca memang bukan hobinya.

"Apa gue chat si Julia aja, ya?" gumamnya, mengingat tugas dikumpulkan besok. "Tapi gengsi lah, masa gue chat duluan, nanti dikira gue nggak mampu lagi ngerjain tugasnya sendiri."

Ya, emang lo nggak mampu, 'kan Bri? Bisik batinnya mencemooh.

"Kelar lah, bisa. Masa nulis lagi semalem aja bisa, giliran ngerjain beginian gue nyerah?" kata Brian menyemangati diri sendiri.

Pukul setengah tiga pagi, akhirnya Brian berhasil merampungkan tugasnya. Terima kasih es kopi yang dibawa Arsen tadi, membuat matanya terbuka lebar sampai sekarang. Setelah merapikan barang-barangnya, lelaki itu menuju ke tempat tidur, bersiap untuk merajut mimpi. Untung saja, besok masuk pukul sepuluh, ada waktu lebih panjang untuk mengganti jam tidurnya.

***

Lia berjalan tenang menuju kelas seperti biasa, tugas mata kuliah Kritik Sastra Inggris ada di tangannya. Dia mencetak tugasnya sebanyak dua kopi, salinan pertama hanya mencantumkan namanya saja, sedangkan di salinan kedua gadis itu membubuhkan nama Brian. Sebenarnya ia malas mencantumkan nama si ketua BEM. Enak saja, orang dia ngerjain sendiri, masa harus sedekah nilai sama orang lain. Namun, kakak tingkatnya itu tampak santai bersenda gurau dengan teman-teman lelaki itu. Tak terlihat kekhawatiran akan tugas mereka. Apa jangan-jangan dia udah bikin sendiri? Baguslah kalau begitu.

Miss Rahmi langsung meminta mereka untuk mengumpulkan tugas, setelah memberi salam. Lia pun dengan percaya diri meletakkan tugasnya di atas meja. Setelah semuanya terkumpul, Miss Rahmi memeriksa tugas tersebut dengan cepat. Tangan wanita itu yang tengah membolak-balik kertas terhenti, dahinya mengernyit.

"Julia?"

"Iya, Bu?" Gadis itu yakin dirinya pasti kena masalah.

"Kenapa kamu cuma sendiri? Mana teman satu kelompokmu?"

"Saya memang mengerjakan sendiri, Bu."

Kerutan di dahi Miss Rahmi semakin dalam. "Ini tugas kelompok, jadi harus dikerjakam kelompok. Siapa teman satu kelompokmu?"

"Brian," jawabnya.

Kini, dosennya itu menatap Brian yang ada di barisan paling belakang dengan sorot mata tajam. "Brian? Kamu nggak ngerjain tugasnya?"

"Ngerjain kok, Bu. Sudah saya kumpulkan," jawab lelaki itu tenang.

Miss Rahmi berkacak pinggang. Kepalanya menoleh, melihat ke arah Lia dan Brian secara bergantian, lalu berdecak. "Kalian ngerjain tugas kelompok sendiri-sendiri?"

Tidak ada jawaban. Brian dan Lia tahu itu pertanyaan yang tidak perlu dijawab.

"Kalian lagi musuhan? Apa baru putus? Makanya nggak mau kontakan lagi?" sindir Miss Rahmi yang mengundang gelak tawa teman satu kelas. "Tugas kelompok ya, dikerjakan secara kelompok. Kalau kalian berdua tidak mengumpulkan tugas kelompok sampai hari Kamis, saya akan anggap nilai kalian C di tugas ini."

Lia terkesiap, meskipun tahu ia salah, tapi tetap saja gadis itu merasa kesal. "Bu, tapi kan yang penting kita berdua udah ngerjain."

"Ya kalau gitu, nilai kalian berdua C, yang penting saya udah kasih nilai," tukas Miss Rahmi membuat Lia tak berkutik.

"Baik, Bu. Saya akan mengerjakan tugas ulang dengan Brian," katanya malas.

Sedangkan lelaki mendengkus keras dari tempat duduknya. "Miss, kenapa deadline-nya bukan Senin depan?"

Miss Rahmi mencebikkan mulut. "Salah sendiri nggak nurut aturan, ini namanya hukuman. Kamis ini kesempatan terakhir untuk kalian dan harus pakai judul baru, bukan novel yang sudah kalian pakai ini."

Pukul dua belas lebih lima, kelas Miss Rahmi bubar. Brian menghampiri Lia yang berdiri di depan pintu. Akhirnya, mau tak mau ia harus menghadapi perempuan jutek ini. Perempuan yang membuat hidupnya jadi sedikit lebih merepotkan.

"Kenapa lo nggak chat gue kemarin?" todong Brian, membuat Lia mengalihkan pandangannya dari layar ponsel gadis itu.

"Kenapa nggak lo aja?" Lia memutar mata jengah. "Mentang-mentang ketua BEM, lo minta dihubungi dulu gitu?"

"Ya, seenggaknya lo yang lebih muda chat duluan lah."

"Udah nggak zaman senioritas lagi kali," dengkus Lia.

"Nanti sore ngerjain ini di kontrakan gue," tutur Brian memilih mengalihkan topik. Ia tahu betul, jika dirinya terus menyahuti Lia, permasalahan mereka tak akan bisa selesai. Gadis itu punya mulut tajam yang tidak bisa dikendalikan.

"Ogah! Kontrakan cowok berantakan," tolak Lia mentah-mentah.

Brian menarik napas dalam-dalam. Keinginan untuk memasukkan Lia ke dalam karung dan menenggelamkannya ke sungai Ciliwung sungguh menggoda. "Tuh kan, kenapa lo suka banget judge sesuatu tanpa tahu yang sebenernya, sih?"

Lia bersedekap, mengalihkan pandangan. "Gue nggak bisa sore, ada rapat Jejak. Jam tujuh malem, di cafe 'Kata Kita'."

"Oke, tapi lo yang cari novelnya," tukas Brian, malas berlama-lama mengobrol dengan gadis itu. "Gue cabut." Ia memutar tumitnya, melenggang meninggalkan Lia.

"Kenapa gue yang cari?" teriak Lia kesal.

Brian menoleh, tersenyum miring. "Soalnya gue harus ngerjain tugas Mister Wahyu, yang harusnya gue kerjain nanti malem."

Saat menuju parkiran, lelaki itu dipanggil seorang dosen yang baru keluar mobil. Ia tersenyum cerah, dan bergegas menemui dosen tersebut. Pak Lukman Jamaluddin, dosen yang mendampinginya saat lomba debat semester lalu.

"Siang, Pak."

"Siang, Bri." Pak Lukman menepuk bahu Brian. "Udah jadi anak BEM aja nih." Lelaki berusia setengah abad, dengan penampilan fit itu tertawa. Rambutnya yang diwarnai cokelat dan celana jeans di atas mata kaki, jadi ciri khasnya.

"Ya, alhamdulillah, Pak. Jadi tantangan tersendiri buat saya."

Pak Lukman mengangguk-angguk. "Kamu jadi sibuk banget nggak, Bri?"

"Ya, lumayan lah Pak. Pastinya tambah sibuk dari sebelum jadi ketua BEM," jawabnya. "Kenapa, Pak?"

"Ini, ada lima adik tingkatmu, yang mau maju lomba debat. Tapi kan, cuma tiga nanti yang dikirim. Kamu bisa bantu-bantu nggak, kasih tips-tips gitu? Bimbing sebisamu lah."

"Ehm, saya juga kan masih kurang, Pak." Brian menggaruk tengkuk kepalanya. "Kenapa nggak Mbak Della atau Bang Dimas aja?"

"Mereka udah semester atas, sibuk skripsi."

Ia menyengir tak enak. "Baiklah, kalau gitu. Masukin saya ke grup chat aja, Pak. Nanti biar saya atur sendiri kapak ketemu merekanya."

Pak Lukman tersenyum puas. "Oke, makasih ya, Bri. Nggak usah ngoyo, dibawa santai aja, semampumu."

"Siap, Pak."

"Kalau gitu, saya masuk dulu ya." Pak Lukman kembali menepuk bahunya, dan berjalan ke dalam gedung.

***

Jalanan Tembalang di malam hari, tidak pernah sepi. Suara deru mesin sepeda motor dan klakson yang bersahutan, seolah menjadi musik penghibur untuk para perantau di kota Lumpia itu. Brian selalu suka berkeliling kota Semarang, entah hanya untuk merasakan sedikit semilir angin atau menikmati kemerlap lampu yang menghidupkan suasana.

Motor lelaki itu terparkir di pelataran cafe 'Kata Kita' lima menit lebih awal sebelum waktu yang ditentukan. Akan tetapi, Brian mendapati Lia sudah duduk manis di sana dengan laptop di atas meja. Ia pun segera menghampiri adik tingkatnya.

"Ini belum jam tujuh, lo yang dateng duluan," kata Brian.

Lia mendorong sebuah novel ke hadapan lelaki itu, membuatnya membelalakkan mata. "Kenapa nggak cari novel yang tipis sih, Juleha?" Gila! Tebal buku ini kira-kira dua kali lipat dari novel yang di-review-nya semalam.

"Siapa Juleha? Gue Julia!"

"Nama Julia terlalu bagus buat lo yang bar-bar," sungut Brian.

Lia memelototkan mata. Ia berusaha menekan emosinya yang siap meledak dengan meneguk es caramel latte-nya. "Ini ringkasan ceritanya, gue udah pernah baca novel ini."

Brian mengambil beberapa lembar kertas di atas meja yang berisi ringkasan tiap bab novel itu. "Rajin juga lo."

"Ya udah, makanya cepet lo kerjain," tukas Lia galak.

"Gue kan belum baca. Lo dulu lah, yang ngerjain."

Lia menggeram jengkel. "Kalau lo nggak ikut ngerjain, gue nggak akan tulis nama lo. Masa bodo gue dapet C!"

"Eh, Mbak Juleha, dengerin ya, bukannya gue nggak mau ngerjain, gue kan bilang mau baca dulu. Gimana mau ngerjain, orang gue aja nggak tahu isi cerita bukunya apa," gerutu Brian.

"Buruan baca! Malem ini paling nggak harus jadi setengahnya!"

"Iya, ini lagi gue baca! Bawel lo!"

Terlalu lama menghabiskan waktu dengan Lia sepertinya akan berdampak buruk terhadap kesehatan Brian. Buktinya, baru juga setengah jam berdiskusi dengan gadis itu sudah membuat darahnya mendidih. Sisi cerewet dan nyinyir Brian pun menampakkan diri. Lelaki itu tidak tahu, jika ia bisa bersikap seperti ini, sampai pada akhirnya sisi lain itu muncul, karena ulah gadis di depannya.

Untung saja, dua jam berikut berikutnya, mereka berdua bisa bertingkah seperti orang dewasa pada umumnya. Meskipun tugas dari Miss Rahmi belum selesai, tapi tidak banyak yang tersisa. Keduanya sepakat mengerjakan bagian mereka masing-masing dan menggabungkannya setelah semua beres.

"Udah, 'kan? Gue cabut ya," kata Brian sembari mematikan laptopnya. "Kirim alamat email lo."

Lia mengangguk. "Ya udah, sono balik. Ngapain masih di sini?" Ia menatap Brian yang masih di kursinya.

"Kos lo mana? Gue anterin." Sejengkel-jengkelnya pada Lia, hal itu tidak akan menghentikan lelaki itu untuk bersikap sebagai gentleman. Apalagi ini sudah pukul sepuluh.

"Gue bisa balik sendiri!" tolak Lia, bangkit dan melewati Brian menuju pintu keluar.

"Udah malem, nggak baik anak perawan jalan sendirian."

Gadis itu mendengkus keras lalu berbalik. "Nggak usah sok perhatian," tukasnya sambil tersenyum geli.

"Kok lo susah banget sih dikasih tahu?" Suara lelaki itu meninggi.

Lia menunjuk jalan kecil di samping cafe. "Kos gue di jalan itu, jadi lo nggak perlu repot-repot nganter gue. Lagian, gue milih tempat ini sengaja, biar deket sama kos gue," pungkasnya dan meninggalkan Brian di teras cafe. Bahkan saat sampai di depan pintu gerbang kosnya, ia masih melihat lelaki itu di pelataran cafe, bersandar di motornya, dengan mata menatap lurus ke arahnya. Bodo amat lah.

***

Seperti biasa, yang mau baca lebih banyak ada di Karya Karsa. Sudah terupdate sampai part 18.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top