Versions
Sontak kami menoleh ke arah suara. Terlebih Andra, dia sudah melesat keluar. Aku masih mengatur ritme jantung karena suara Clara barusan, baru setelahnya tergopoh keluar kamar. Sesampainya di ruang depan, aku tidak menemukan siapa pun. Tidak Andra, tidak juga Clara.
Panik, aku segera berlarian ke teras rumah. Kosong. Akhirnya aku menoleh ke arah rumah Lia. Gerbang dan pintu masuknya terbuka lebar. Maka, kakiku pun melangkah ke sana dengan tergesa.
Baru juga tiba di depan gerbangnya, mobil fortuner yang tidak asing berhenti di depan rumah Lia. Sontak kuhentikan langkah, terlebih ketika melihat Andika turun dengan terburu-buru. Melewatiku dengan sekilas senyum, kemudian berlarian masuk ke dalam rumah.
Akhirnya aku juga berlarian masuk. Terusik dengan suara tangisan dan lengkingan yang tiba-tiba saja terdengar lantang. Benar saja, pemandangan yang tidak mengenakkan menyambutku.
Clara terlihat menangis di sebelah Lia yang duduk bersandar pada tembok sambil terbatuk-batuk. Sementara Andra dan Andika saling menarik kerah.
"Gue enggak pernah ngizinin lo nempelin bibir sialan lo ke bibir Lia!" Andika menarik kerah Andra lebih dekat.
Aku terdiam. Bibir yang menempel? Andra dan Lia?
"Dan gue juga enggak akan biarin ibunya anak gue semaput tanpa pertolongan!" Andra menyolot. "Kamu abis makan apa sih?!" Sekarang dia menoleh ke arah mantan istrinya.
"Mama makan cookies dari Om Andika." Clara yang menjawab dengan tersedak-sedak seraya memeluk ibunya. "Pas tau ada stoberinya ...."
Pundakku langsung lunglai, paham dengan apa yang terjadi.
Terlihat Andra menepis tangan Andika dari kerah bajunya. Kemudian dengan nada tinggi dia berucap, "Lo hampir bikin ibunya anak gue lewat. Shit!"
Andika terlihat membeku di tempatnya berdiri, lalu perlahan menoleh ke arah Lia yang wajahnya masih memerah. Bisa jadi perempuan itu masih menahan sakit, akibat napas yang sempat terhenti karena alerginya pada stroberi.
Andra berbalik, dan tanpa sengaja mata kami bertemu. Terlihat wajahnya memerah sempurna. Percampuran antara kesal, marah, mungkin juga panik yang tersisa.
Kemudian dia melangkah mendekat, menarik tanganku untuk diseretnya keluar.
Aku bisa mendengar nada suara panik dari Andika yang menanyakan keadaan kekasihnya. Bisa mendengar suara tangis tertahan Clara. Juga bisa mendengar derap-derap langkahku dan Andra yang menjauh dengan cepat.
"Apa enggak pa-pa ninggalin mereka kayak gitu?" tanyaku, yang masih berusaha mengimbangi langkah Andra yang kelewat lebar.
Namun, Andra tidak menjawab. Bisa kutebak kalau dia sedang sedemikian kesalnya. Jadi dari pada membuat masalah baru, aku tidak mengatakan apa pun lagi.
Bahkan sampai dengan kami berada di mobil, dia menyetir dengan kelewat tenang. Pandangannya lurus ke depan, sementara sikut tangan kanannya bersandar pada jendela, dengan telapak yang menopang pipi.
Aku menatapnya sesekali, ragu untuk memulai pembicaraan. Masalahnya, Andra itu jarang sekali semarah ini. Sepertinya malah tidak pernah sama sekali.
"Ini salah satu alasan mengapa aku enggak pindah rumah setelah cerai."
Tanpa kuduga, Andra memulai pembicaraan.
"Enggak bisa pindah sampai dia dapet cowok yang tepat buat ngejagain dia ...."
Serasa ada yang menohok ulu hati. Sadar, kalau dia masih sebegitu pedulinya pada Lia.
"Kita pindah nanti aja ya, Vin," Andra menoleh sejenak ke arahku, "sabar ...."
Napasku terhela panjang dan dalam, lalu mengalihkan pandangan dari wajahnya. Melempar pandangan keluar sana, sibuk melihat pepohonan yang berkejaran dari jendela mobil.
Tiba-tiba saja telapak tanganku digenggam, kemudian dipindahkan ke pangkuan Andra. Kemudian dikecupnya punggung telapak tanganku, sementara matanya masih lurus ke depan.
"Maaf ...,"" katanya. "Bagaimanapun, Lia ibunya Clara. Aku harap kamu ngerti."
Lalu, aku harus jawab apa kalau begini?
***
"Aku bakal berada di bengkel deket-deket sini. Sekalian ngecek kondisi mobil kamu." Andra berkata saat aku hendak menutup pintu mobil. "Nanti aku jemput, ya, Vin ...," lanjutnya lagi.
Aku mengangguk sambil tersenyum. Hampir saja kututup pintu ketika dia kembali memanggilku.
"Kenapa?" tanyaku, sambil menahan pintu tetap terbuka dan mencondongkan tubuh masuk agar bisa mendengar ucapan Andra lebih jelas.
Andra tidak menjawab. Dia melepas sabuk pengamannya, kemudian tubuh tingginya turut condong ke arahku. Detik berikutnya, sebuah ciuman mendarat di bibir. Sekilas saja. Tanpa kuduga.
Mataku mengerjap, sementara Andra menarik bibirnya dengan senyum terkulum. "I love you, Sayang ...," katanya, membuatku berdebar.
Segera kututup pintu mobil, dan membiarkan kendaraan itu melesat meninggalkanku. Dengan hati berbunga-bunga, aku melangkah masuk ke dalam gedung. Berdiri dengan sabar di depan lift, menunggu benda kotak itu terbuka.
Belum juga lift terbuka, lengan kiriku bergesekan dengan lengan seseorang yang sepertinya dengan sengaja berdiri menempel. Menoleh, aku menemukan Keevan berdiri di sebelahku terlalu rapat.
"Pak---"
"Keevan ...." Dia menyanggah ucapanku.
Aku mendengkus, sengaja bergeser menjauh. Tetapi, dia juga bergeser. Dengan sengaja membiarkan lengan kami bergesekan.
"Aku tadi liat kamu ciuman di depan ...." Dia berbisik tanpa menatapku.
Sontak kugigit bibir. Rasanya aneh ketahuan berciuman oleh bos sendiri, meski yang kucium adalah pasangan halal.
"Suamimu?" tanyanya lagi, kemudian menunduk untuk menatapku yang sedang menatapnya dengan wajah memerah karena malu. "Apa supir kamu?"
Sialan!
"Suami saya, Pak ...." Aku melengos, segera masuk ke dalam lift yang tetiba membuka. Keevan mengikuti.
Sialnya, di lift kami hanya berdua. Entah ke mana keramaian yang biasanya tampak di pagi hari. Lagi-lagi Keevan berdiri dengan rapat, sampai-sampai aku bisa mencium parfumnya yang kelewat manis.
"Kalian selalu semanis itu?" tanyanya.
Aku diam saja, menatap pantulannya yang terlihat dari pintu lift yang menutup.
"Dulu, aku dan mantanku juga semanis kalian. Sampai akhirnya, rasa manis itu sirna perlahan." Dia mendengkus tertahan, seakan sedang memikirkan sesuatu yang lucu sekaligus miris. "Seandainya dulu kami mempertahankan manisnya, mungkin aku enggak perlu menaruh hati pada wanita bersuami sekarang ini ...." Dari bias yang terlampau jelas di pintu lift, terlihat dia menoleh ke arahku.
Aku diam saja, merasa tidak perlu untuk menanggapi ucapannya.
Namun, tiba-tiba saja dia meraih kedua pundakku, memaksa tubuhku berputar untuk berhadapan dengannya.
"Keev!" seruku terkejut, menatap Keevan dengan tatapan bingung dan tersinggung sekaligus.
Keevan menatapku dengan tatapan yang tidak dapat kuartikan. Entahlah. Seperti tatapan singa yang menatap hidangan daging di hadapan. Tatapan yang membuatku merasa tidak nyaman dan sedikit takut.
Tetapi, tiba-tiba tatapan itu meneduh, tangannya perlahan lepas dari bahuku. Kembali dia menatap lurus ke depan, membuatku kebingungan setengah mati.
"Tapi dari perpisahan," Keevan menghela napas sebelum kembali melanjutkan ucapan, "aku belajar cara menghargai."
Aku masih membeku. Ketakutan yang sempat menyergap tadi, perlahan sirna. Meski membuat kewaspadaan meningkat berkali lipat.
"Kamu gila, Keev?" tanyaku, bertepatan dengan pintu lift yang terbuka. Rupanya sudah tiba di lantai kantor kami.
"Have a nice day, Vini ...." bukannya menjawab pertanyaanku, dia justru melangkah keluar lift.
Aku sendiri malah terbengong. Teringat perkataan Bian beberapa waktu lalu tentang Keevan yang bisa jadi menyukaiku. Benarkah?
Aku tersadar ketika pintu lift mulai menutup. Membuatku segera menekan tombol untuk membuat pintu tetap terbuka, lalu bergegas keluar.
***
Aku sedang merapikan riasan di rest room setelah makan siang, saat sebuah pesan masuk ke ponsel. Lipstik yang baru saja dioles ke bibir, segera kumasukkan kembali ke dalam dompet kosmetik.
Bibir ini tidak tahan untuk tidak mendesah lelah saat melihat nama yang tertera pada WA messenger. Clara.
Tante ngerti, 'kan, sekarang, kenapa aku minta Mama enggak jadian sama Om Andika? Dia enggak bisa jagain Mama, Tante ....
Kubaca sekali lagi pesan yang masuk, mencoba mencari celah di hati agar bisa setuju dengan pernyataan Clara. Namun, sepertinya tidak ada lagi bagian hati yang bisa kupaksa untuk setuju. Apalagi melihat bagaimana Andra masih mencemaskan mantan istrinya tadi pagi. Bagaimana bisa aku mengamini pernyataan Clara yang meminta agar ibunya tidak berjodoh dengan Andika? Padahal aku menginginkan yang sebaliknya.
Tante harus bikin double date itu sukses. Sesuai rencana. Om Andika dan Mama enggak boleh nikah pokoknya!
Pesan baru yang masuk membuatku ingin memaki. Tetapi, apa yang bisa kukatakan pada bocah tujuh tahun kesayangan Andra ini? Pasalnya, aku ingin Clara terus menempel padaku. Aku ingin berdiri sebagai ibu sambung terbaik untuknya. Aku ingin Andra melihat hal itu. Bahwa aku dan gadis kesayangannya telah menjadi akur.
Tante!
Satu pesan masuk. Hanya satu kata dengan tanda seru. Sepertinya Clara merasa kesal karena aku tidak menjawab satu pun pesan yang masuk darinya.
Benar saja, teleponku tetiba berdering. Dari Clara. Kusentuh layar, dan perlahan melekatkan ponsel ke telinga untuk menjawab panggilan.
"Tante baca WA aku, tapi engga balas. Kenapa?!" Clara terdengar marah.
Aku belum memutuskan apa pun. Belum tahu apakah aku akan menjadikannya sukses sesuai versi Clara, atau sukses sesuai versiku.
Akhirnya kujawab juga, "Tante akan bikin double date itu berhasil, Clara ...." Entah sukses yang bagaimana. "Kamu jangan khawatir, ya ...."
Author notes:
Kalian masih suka dengan cerita ini? Terima kasih sudah mau baca dan setia menunggu, ya.
Maaf, karena aku enggak bisa nulis cepat. Ini karena aku nulisnya berbarengan dengan Keep Silent yang kuikutkan pada event. Kejar-kejaran jadinya, udah mesti tamat di 15 juli. Hahahaha. Entah bisa tamat enggak sebelum tanggal itu. Kalian ada yang baca Keep Silent enggak, sih?
Tapi, cerita inu tetap kuusahain up setidaknya seminggu 1-2 kali. Mohon maklum ya, Gaes.
Btw, jangan lupa vote, shares dan komens, ya! Supaya aku semangat gicuhhh .... :-D
Terima kasih. ^o^
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top