Unsold Hearts

"Double date?" Andra mengernyitkan kening pada saat aku melontarkan ide itu di meja makan. Aku mengangguk dengan yakin, melahap roti yang baru saja menyembul dari toaster tanpa topping apa pun.

Andra merebut roti dari tanganku, mengolesinya dengan selai cokelat, dan disodorkannya kembali padaku. Dia manis  sekali, dan semakin manis pagi ini setelah aksi damai semalam.

"Sama sapa?" tanyanya lagi, sambil menarik lembar roti dari toaster yang berdenting.

"Ya Lia, Andika," sahutku sambil menggigit roti dan mengunyah perlahan.

"Ngapain, sih, sama Lia? Aku enggak suka liat dia!" Andra menggerutu. Gerakan mengoles selainya jadi terlihat terburu-buru. Sama terburu-burunya saat roti berselai itu masuk ke dalam mulutnya, dan langsung habis setengah.

Aku bisa melihat pipinya bergerak-gerak karena mulut yang penuh. Itu lucu.

"Karena aku sedang mempertahankan kamu," ujarku dengan tenang, membuat sepasang mata itu mengerjap, menatapku dengan lebih tenang. Gerakan mulutnya juga jadi melambat.

"Mempertahankan ... aku?" Kedua pipinya merona.

"Aku juga sedang memikirkan pemain tambahan ...."

"Ck!" Andra berdecak. "Apaan lagi pemain tambahan? Emang bola---"

"Clara," potongku.

Andra kembali fokus menatapku.

"Dia harus tau, kalau papa-nya bahagia dengan Tante Vini. Kalau Om Andika-nya, berjuang keras untuk mama-nya."

Terlihat jakun Andra bergerak. Roti di tangannya yang belum habis diletakkan ke piring, lalu segera meraih cangkir kopi yang uapnya sudah tinggal sedikit.

Aku memperhatikan Andra yang menyesap kopi, menunggu tanggapannya atas ide barusan.

"Apa menurutmu, aku terlalu keras sama Clara? Kurang memberinya pengertian?" tanyanya sambil meletakkan cangkir.

"Apa menurutmu, usahaku belum begitu keras untuk mendekati Clara? Aku cukup baik jadi ibu sambungnya?" Pertanyaannya kujawab dengan pertanyaan juga.

Andra terdiam. Kami sama-sama terdiam, bersirobok. Sepertinya, kami sedang mengoreksi diri masing-masing. Yang setelah sadar, saling melempar pandang ke arah berbeda.

"Kapan double date-nya?" Andra bertanya dengan suara pelan.

"Andika yang bakal kasih kabar," sahutku, sok sibuk dengan cangkir teh di hadapan. Padahal, hatiku sedang merasa serba salah. Pasalnya, pertanyaanku sendiri tentang kedekatan dan kebaikanku sebagai ibu sambung untuk Clara, menohok.

Tiba-tiba ponsel Andra yang sejak tadi teronggok di meja, berdering. Kuangkat kepala, melihat Andra yang sedang melekatkan ponsel ke telinga.

"Halo, Hans!" sapanya.

Hans? Temannya yang pemain property itu?

"Oya?" Mata Andra terlihat berbinar.

Aku mengamati dengan saksama. Penasaran dengan isi percakapan.

"Gokil, Bro! Thanks berat! Gue omongin dulu ke bini. Siangan atau soreanlah, ya. Nanti gue kabarin. Once again, thanks, Bro!" Andra meletakkan kembali ponsel ke meja dan tersenyum padaku. Ceruk di pipinya terlihat semakin jelas.

Kuangkat kedua alis, meminta penjelasan tentu saja.

"Will be sold soon." Andra menyahut.

"Apaan yang kejual?"

"Rumah ini. Bakal kejual sebentar lagi!" serunya kegirangan. "Skincare kamu bakal aman, Sayang ...." Andra mengucapkan kalimat terakhirnya dengan lucu. Seakan hendak menyenangkanku, dia mengubah tone suaranya seperti seorang ayah yang berbincang dengan anaknya.

Aku menghela napas, menatap sekeliling rumah dan menghela napas lagi. Bakal tinggal jadi kenangan. Segera.

❤❤❤

Hans memberi kabar kalau dia akan datang dengan calon pembeli rumah malam ini. Sementara itu, aku dan Andra sibuk memilah-milah isi rumah yang akan kami bawa saat pindah. Tidak langsung kami packing, sih, tapi kami tunjuk dan beri label dengan tom and jerry supaya tidak lupa.

Saat tiba acara tunjuk-tunjuk di ruang kerja, Andra terlihat bekerja lebih sigap. Aku bisa melihatnya mengeluarkan beberapa artikel koran dari laci terbawah lemari. Kemudian, dijejalkannya semua ke tempat sampah di dekat pintu.

"Aku enggak butuh ini lagi," katanya, lebih pada diri sendiri.

Aku tidak menyahut, sibuk dengan laci meja terbawah, dan terkejut karena tidak menukan diary merah di sana.

Kukerutkan kening, mengira-ngira ke mana hilangnya benda penting itu. Lalu teringat, kalau aku membawa serta benda itu saat pergi dari rumah tempo hari. Artinya, bisa jadi benda itu ada di mobil, atau dalam tas yang kukenakan terakhir kali. Nanti akan kucek.

"Jadi, apa yang bakal kita bawa dari sini?" tanyaku.

Andra menoleh ke sekeliling. Kemudian mulai menulis di atas kertas penanda berperekat. Suamiku itu kemudian mendekatiku yang masih duduk bersila di lantai dekat meja.

Tanpa diduga, dia membungkuk, dan melekatkan kertas itu di keningku.

"Kamu ... enggak boleh lupa dibawa." Dia nyengir, mendaratkan sekilas kecupan di bibirku. "Kalau lupa, aku bisa senewen seumur hidup." Dia terkekeh, bangkit berdiri dan terlihat mulai menempeli benda-benda di dalam ruang kerja dengan kertas berperekat.

Aku mengulum kedua bibir rapat-rapat. Entah kenapa pipiku terasa panas sekarang, semoga wajah ini tidak berubah jadi memerah. Astaga, Andra selalu saja bisa membuat mood-ku membaik.

Ponselku tiba-tiba berdering, masih mengenakan piama karena belum membersihakan diri sesiang ini, kurogoh saku dan meraih ponsel di sana.

Nama Bian berkedip-kedip, membuatku merasa bersalah seketika. Aku belum mengabarinya tentang pengunduran diri dari kantor. Kulirik jam di layar ponsel yang masih berkedip, aku juga harus ke kantor hari ini untuk menyerahkan surat resign secara resmi.

"Kenapa teleponnya enggak diangkat?"

"Bian ini. Aku enggak enak banget sama dia." Masih kutatap layar.

"Ya angkat aja."

Setelah menghela napas untuk mengumpulkan keceriaan, kusahut telepon.

"Yes, Sist!" seruku, yang disambut lengkingan di ujung telepon. Aku meringis, karena Bian yang terdengar kecewa.

Aku biarkan si cerewet itu mencak-mencak di ujung sana. Tentang bagaimana tidak berperasaannya aku sebagai teman, tentang bagaimana dia kesepian tanpaku. Dram dan drama. Tetapi, aku paham, dia hanya ingin aku menyampaikan secara langsung mengenai ini.

"Siangan gue ke kantor," kataku pada Bian, seraya melirik Andra yang terlihat langsung menoleh. "Kita ketemu di kantor." Sekarang Andra benar-benar meletakkan peralatan perangnya di atas meja, kemudian berjongkok di depanku.

Kualihkan pandangan agar tidak perlu menatap Andra yang menatap dengan cemberut. "Sampai ketemu di kantor," ujarku menutup pembicaraan.

Setelah panggilan selesai, kumasukkan ponsel kembali ke saku. Lalu, pelan-pelan menoleh kembali ke arah Andra yang sedang mengangkat salah satu alisnya ke arahku. Segera aku nyengir, memperlihatkan deretan gigi yang seharusnya rapi.

"Ngapain ke kantor? Kan udah resign?" tanya Andra.

"Ngasih surat resign resmi," sahutku.

"Harus banget?"

"Atas nama profesionalitas dan kesopanan." Aku mengangguk.

"Ada Keevan?"

"Aku emang harus ketemu dia."

"Enggak usah!" Dia menyahut cepat sekali. "Ketemu Bian, titipin aja." 

Solusi apa itu? Asal.

"Enggak sopan dong, Ndra. Lagian setelah itu, aku enggak bakal ketemu Keevan lagi." Aku mencoba bernegosiasi.

"Kayak dia sopan aja sama istri orang." Andra mendengkus, sementara aku mencibir. "Yakin?" 

Cepat aku mengangguk.

"Ya udah, enggak lama-lama. Nanti malam yang mau beli rumah juga bakal datang. Aku maunya kamu juga ada. Ehm?" Andra melunak. "Aku enggak bisa anter kayaknya."

"Siap!" seruku, lalu mendaratkan kecupan di pipinya.

Andra mendengkus lagi, dia bangkit dan kembali meraih kertas di meja. Bersiap untuk kembali menempel-nempel.

❤❤❤

Bian segera menarik tanganku ketika kami bertemu di koridor yang menuju ruang sales and marketing. Dengan tergesa ditariknya aku ke satu sudut yang lumayan sepi, kemudian melipat kedua tangan di depan dada.

"Resign karena apa? Andra cemburu sama Keevan?" Dia langsung menyerocos tanpa basa-basi.

"Gue butuh istirahat, belakangan hidup gue kayak roller coaster," sahutku.

Bian mengjela napas, lantas pandangan marahnya tadi berubah menjadi iba.

"Masih tentang mantan istri dan mertua?" tebaknya.

Aku tersenyum miris. Tidak perlu diperjelas, Bian pasti mengerti. Meski, dia tidak tahu masalah yang paling besarnya.

"Meski enggak sekantor lagi, lo tau, 'kan, kalau lo bisa hubungin gue kapan aja untuk curhat dan hangout?" Bian menyentuh pundakku, kemudian menarik tubuhku untuk dipeluk. Rasanya menyenangkan memiliki teman sebaik dia.

Tiba-tiba saja ekor mataku menangkap sosok yang melangkah masuk ke divisi kami. Seakan menyadari kehadiranku bersama Bian, sosok tinggi itu berhenti sejenak untuk sekedar menatap. Kemudian, melenggang pergi.

"Gue harus nemuin Keevan sekarang," kataku seraya melepas pelukan.

"Doi belum datang."

"Baru aja datang. Gue samperin dulu ya," kataku, lalu tergesa menghampiri ruangan Keevan.

Kuketuk pintu ruangannya, dan menunggu sampai sebuah suara mempersilakan untuk masuk. Begitu masuk, Keevan terlihat sedang berdiri bersandari di mejanya. Seakan sudah tahu kalau aku yang datang, pandangannya terlihat menyambut dengan senyum yang hangat.

"Kamu datang juga," sapanya selagi aku menutup pintu.

"Aku kan udah bilang, kalau bakal datang kasih surat pengunduran diri dengan resmi," sahutku, berdiri memandangnya tanpa mau mendekati.

"Aku enggak mau terima suratnya."

"Keinginan saya sudah bulat, Pak. Saya mesti resign."

Keevan mendengkus. "Pak ...," ujarnya dengan tidak senang. "Kayak yang udah tua aja."

Aku mencibir. "Kayak yang masih muda aja," sindirku.

Keevan tertawa, tangannya bergerak memintaku mendekat. "Mana surat pengunduran dirinya?" tanyanya.

Aku merogoh tas yang tercangklong, meraih surat dalam amplop, berjalan mendekatinya, dan menyerahkan surat itu ke tangan Keevan.

Keevan meraih amplop. Tidak dia buka, tapi langsung diletakkan ke meja di belakangnya. Kemudian kembali melipat kedua tangan di dada dan menatapku yang berdiri sekitar dua, tiga langkah di depannya dengan saksama.

"Kenapa?" tanyaku merasa risih ditatap demikian.

Yang ditanya hanya menghela napas, kemudian menggeleng. "Padahal, aku sangat berharap kamu enggak jadi mengundurkan diri atas nama masa lalu."

Mataku mengerjap.

Keevan berjalan memutar, mendudukkan diri di kursinya di balik meja kerja. Kemudian dia mengaitkan kesepuluh jemari, dan menopang dagu dengan punggung telapak tangan yang saling bertaut.

"Apa setelah ini kita bisa bertemu lagi?" tanyanya.

Aku menggeleng. "Enggak. Enggak kalau disengaja. Aku enggak mau ada masalah di antara aku dan Andra."

Keevan berdecak.

"Lalu masalah hati kamu," aku melanjutkan, "aku juga udah enggak mau tau. Dari awal juga enggak mau tau."

"Aku udah enggak bisa jadi tempat curhat?" Keevan menatap dengan mata sok mengiba.

"Memang sejak kapan aku pernah curhat ke kamu? Dari awal dulu kita bertemu saat masih kecil pun, aku juga enggak pernah curhat sama kamu ...." Aku mengingatkan.

Keevan mencibir, menyandarkan punggung pada kursi, kemudian memasang muka kecewa.

"Setelah aku ingat-ingat, ada benarnya juga. Kamu enggak pernah curhat karena terlalu sering menangis. Tugasku, cuma ngasih cokelat supaya kamu tenang."

"Tugas? Kayak enggak tulus," ujarku, mengerucutkan bibir.

"Tuluslah ... kalau enggak, enggak bakal kepikiran kamu terus pas kita pisah." Keevan tersenyum.

Aku terdiam. Menatap Keevan kawan lama yang pernah mampir sebentar, tapi begitu berbekas. Dia yang selalu menghibur dengan cokelat dan usapan di kepala.

"Terima kasih," kataku tulus.

"Untuk?" Keevan mengernyit.

"Untuk semua cokelat yang selalu menghiburku dulu," sahutku.

Keevan tertawa, sepertinya apa yang kuucapkan terdengar lucu di telinganya. Namun, tawanya menular. Meski tidak selepas dia, tapi garis-garis bibirku bergerak naik. 

Tidak lama aku berpamitan. Kembali menghampiri Bian untuk sekadar berbasa-basi lagi, sebelum benar-benar pergi meninggalkan kantor.

Di perjalanan, Andra menghubungi hanya untuk mencari tahu di mana keberadaanku. Mengetahui kalau istrinya sudah dalam perjalanan pulang, sepertinya dia terdengar lega. Lalu, mulai mengobrol tentang hal lain.

"Aku tadi ngobrol sama Clara," katanya.

"Oya? Tentang apa?" tanyaku penasaran.

"Tentang apa dia mau mengunjungi apartemen kita nanti."

"Lalu, dia bilang apa?"

"Dia bilang, 'Bisa dikondisikan, Pa.' Sok gede itu anak."

Aku tertawa.

"Dia anak baik. Aku harus cepat-cepat akrab sama dia," kataku.

"Dia unik. Mungkin karena harus melihat perceraianku dan Lia di saat masih sekecil itu."

"Ditambah sekarang kita bakal pindah?"

"Jangan bikin hatiku goyah, Vin."

Aku tertawa lagi.

"Masih ada waktu untuk lepas plang for sale dan hubungi Hans kalau rumah batal dijual," godaku.

"Ck!" Andra terdengar berdecak. "Udah, cepat pulang! Bawain martabak ya, buat ngemil bareng Hans dan calon pembeli rumah nanti," katanya sebelum mengucapkan 'I love you' dan menutup menutup panggilan telepon.

Sesuai instruksi, maka aku mampir untuk membeli dua loyang martabak. Baru setelahnya, meluncur langsung menuju rumah.

Ketika pintu gerbang terbuka otomatis, mataku melirik pada plang yang turun bergerak seiring gerbang yang membuka. Lalu, pandangan jatuh pada sebuah mobil yang terparkir bersebelahan dengan mobil Andra di halaman. Sepertinya, Hans sudah datang. Kulirik jam tangan, sudah pukul 6:30 sore. Pantas, langit sudah beranjak gelap.

Kuparkir mobil di belakang mobil Andra, turun, dan melirik ke halaman rumah sebelah. Ada Pajero milik Andika di sana, bersebelahan dengan mobil milik Lia. 

Tadinya aku sudah mau melangkah menuju teras, tapi berbalik lagi karena lupa akan martabak di mobil. Jadi, aku berbalik dulu dan mengambil martabak. 

Ketika aku berbalik lagi, mataku menatap sosok gadis kecil di teras rumah sebelah. Matanya memandangku datar. Sesaat aku membiarkan mata kami bertatapan, untuk kemudian kulempar senyum.

Tanpa kuduga, Clara bergerak menghampiri. Tangan-tangannya menggenggam jeruji pagar pemisah, sementara dia mendongak agar bisa menatapku.

"Tante ...," katanya.

"Ya, Clara?" Aku sedikit membungkukkan tubuh, agar jarak wajah kami tidak terlalu jauh.

"Kapan bakal pindah?"

Mataku mengerjap sebelum mengangkat kedua bahu. "Calon pembelinya baru bakal datang sebentar lagi," sahutku jujur.

"Aku berdoa, semoga rumahnya enggak laku," ucapnya datar. Ekspresinya juga datar. Datar yang justru membuatku terkejut.

"Kok gitu?" tanyaku kaget.

Clara melepas cengkeraman di jeruji pagar, kemudian tersenyum. Matanya lalu turun ke kotak-kotak di tanganku. "Aku mau martabak. Ada yang rasa keju?" tanyanya.

Sebenarnya aku masih mau bertanya lebih lanjut mengenai kenapa dia mendoakan supaya rumah kami tidak laku, tapi kuurungkan. Sebab, sepertinya aku bisa menerka alasannya.

"Ada dong!" sahutku, lalu mengangkat salah satu kotak ke atas melewati pagar pembatas, agar bisa kuserah pada Clara. "Buat kamu, Mama, dan Om Andika," kataku.

Clara segera meraih kotak, lalu tersenyum lagi. "Sebenarnya aku tau, kalau Tante baik ...."

Segera kutegakkan tubuh, menunduk tertarik ke arah Clara. Tetapi bocah itu tidak melanjutkan kalimat, hanya tersenyum penuh arti lalu berbalik masuk ke rumahnya.

Kuhela napas. 

"Vin!" Suara Andra terdengar dari arah teras. Segera aku menoleh, benar saja suamiku itu sedang berdiri di sana. 

"Iya! Ini mau masuk!" sahutku, bergegas menghampiri. "Yang mau beli rumah udah dateng?" tanyaku.

Andra menggeleng. "Baru Hans doang."

Aku mengangguk-angguk. 

Hans tiba-tiba muncul dari dalam, ponsel menempel di telinganya. 

"Iya, Pak. Tinggal lurus aja dari situ. Enggak jauh kok. Rumahnya pagar hitam persis kayak di foto, ada plang for sale di gerbangnya." Sepertinya, dia sedang berbicara dengan si calon pembeli rumah.

"Aku bukain gerbangnya," tawarku sambil masuk ke dalam rumah. Meletakkan kotak martabak di meja ruang tamu, lalu menekan tombol di salah satu sisi dinding. Membiarkan pintu gerbang kami terbuka sendiri. Tidak lama, aku sudah kembali bergabung dengan Andra dan Hans di teras.

Sebuah mobil sedan berwarna metalik memasuki pekarangan rumah, lalu berhenti tepat di belakang mobil milik Hans.

"Semoga orangnya cocok sama rumah kita." Andra berbisik ke telingaku dengan bersemangat.

"Gue samperin orangnya dulu ya," ujar Hans kala pintu mobil itu muai terbuka. Si sipit itu segera beranjak menghampiri si calon pembeli.

Andra merangkul bahuku. Sementara aku mengamati kaki jenjang yang sudah terlihat menjejak. Kemudian, tubuh itu benar-benar keluar dari dalam mobil.

Napasku mendadak sesak ketika wajah itu menoleh ke arahku juga Andra. Bersamaan dengan rangkulan Andra yang menguat di bahuku.

"Dia ... mantan bos kamu, 'kan?" tanyanya dengan gelisah.

Bersambung.

Verlita's speaking:

Hai, enggak berasa tinggal 1 bab lagi menjelang tamatnya Double Date. Apa kalian masih bersemangat? Semoga masih ya. Hehehe.

Btw, aku cuma mau kasih tau, kalau salah tulisanku akan ada yang mulai Open PO besok. 

KEEP SILENT. Saat ini sedang aku republished marathon.

Siapa tau kamu berminat untuk meminang novel ini, kamu bisa WA aku di: 0812-9122-1151 (text only). Bisa juga ke OS langganan kamu, penerbit Lotus Publisher, juga ke marketer yang dekat dengan daerahmu biar bisa hemat ongkir.

List marketer-nya bisa kamu cek di lapaknya KEEP SILENT mulai besok.

Ini blurb-nya:

Ikutan PO-nya ya, Gaes!

Luv!
Verlitaisme.





Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top